"Sayang..., kok nikahan kemarin sahabat-sahabat kamu nggak ada?"
Helsa menatap intens Adryan, tangannya Masih menjamah kerah baju milik suaminya. Hal semacam ini sudah menjadi kebiasaannya setiap sebelum suaminya berangkat ke rumah sakit, Helsa yang membena kembali kemeja suaminya. Adryan memang seperti itu, padahal kan dia tidak memakai dasi yang harus dibantu istrinya."Helsa nggak punya sahabat," tukasnya. Namun, di dalam hati kecilnya, Helsa merindukan keempat sahabatnya. Ranaya, Diandra, Citra, dan Keke. Empat gadis itu tidak bersalah. Semua karena Bella. Musuh dibalik selimut.Adryan mengerti, mungkin mereka punya Masalah. Sudah, dia tidak perlu banyak bertanya."Oh, iya sayang, mama apa kabar?" Adryan mengalihkan pertanyaan, lagipula dia juga belum bertemu ibu mertuanya setelah hari pernikahan mereka. Renata memang sangat sibuk dengan perusahaan."Mama baru balik dari Kanada. Helsa lupa bilang sama Mas, mama nyuruh kita main ke rumah.""Ya udah, malam minggu kita menginap disana.""Serius?" tanyanya meMastikan."Iya sayang," Adryan mengecup singkat kening wanitanya."Kemarin Mas bawah pulang stetoskop ,ya?" tanya Adryan."Emang Mas bawah pulang?" Helsa balik bertanya."Nggak tahu, Mas lupa."Helsa tertawa sinis, suaminya ini umur Masih muda tapi sudah pikun. "Helsa coba lihat di pantry, Mas itu teledor. Papan namanya jangan lupa, jas juga awas ketinggalan."Wanita itu meninggalkan suaminya sendiri, langkah kaki membawa ibu hamil itu menuju kitchen room, mencari stetoskop yang entah dimana suaminya simpan."Helsa, nggak usah. Ada di dalam tas," pekik Adryan.Dia kembali, bersiap mengantar suaminya ke depan pintu. Adryan sudah lengkap dengan jas kebanggannya yang disampirkan pada pergelangan tangannya."Mau pesan apa hari ini?" tanya Adryan. "Susu vanilla rasa coklat atau rasa strawberry?""Ihhh, kenapa harus dibahas lagi sih?!""Habisnya kamu mintanya aneh-aneh."Mengingat dua hari yang lalu istrinya minta dibelikan susu ibu hamil dengan varian vanila, tapi rasanya coklat kalau diminum. Yang berujung dengan tangisan malam hari karena Helsa yang keras kepala, sudah tahu kelemahannya nggak bisa tidur tanpa dipeluk."Nggak akan lagi. Tapi boleh ya, nanti pulang beliin thai tea. Helsa pengen banget nih," mohonnya.Adryan mengubah posisinya membungkuk, wajahnya sudah sejajar dengan perut istrinya. "Sayang, yang minta thai tea kamu atau mami?"Helsa mengulum senyum, wajahnya memerah akibat perlakuan manis suaminya. Masih pagi loh ini, dokter Adryan buat deg-degan."Katanya, baby yang minta bukan mami." Jawabnya seolah menjadi perantara bayi dalam rahimnya.Adryan mendongak, "itu sih mau-maunya kamu.""Mas ijinin, kalau mau delivery aja. Kayaknya Mas pulang malam lagi," kata Adryan. "Kamu jangan kemana-mana.""Ahhh.... Thank you, " Helsa memeluk pria itu, sangat manja."Mas berangkat, ya? Baik-baik di rumah," pamit Adryan."Iya, kalau udah sampai kabarin," balas Helsa.Adryan mengecup kening wanitanya, lalu diakhiri dengan ciuman singkat pada bibir sebelum akhirnya dia berlalu meninggalkan Helsa sendiri.Punggung tegap itu hilang ditelan langkah panjang, suasana lantai apartemen yang ditempati mereka terlihat sepi. Sebagian dari penghuninya mungkin sudah berangkat ke tempat kerja.***Ting ...Senyumnya mengembang dengan sempurna, Helsa mengambil langkah panjang menuju pintu Masuk. Sepertinya itu delivery thai tea miliknya. Tadi setelah selesai beberes rumah, wanita itu segera pesan minum tersebut."Bun-bunda?" Raut wajahnya mendadak berubah, wanita di hadapannya itu tidak menggubris sapaannya.Bunda Marimar. Wanita paruh baya itu menerobos Masuk ke apartemen anaknya, dia tidak memperdulikan menantunya.Pak, pesanan saya di titipkan ke lobby saja. Nanti bilang saja atas nama dokter Adryan Brawijaya.Helsa mengirim pesan untuk ojol yang mengambil pesanannya. Dia tidak ingin bunda Marimar memarahinya hanya karena mengkonsumsi minuman itu.Tapi, memangnya bunda akan peduli?Helsa menutup pintu, lalu menghampiri ibu mertuanya yang sudah duduk manis pada sofa."Kamu ngapain aja selagi Adryan di rumah sakit?""Helsa biasanya selesai beberes, belajar bun."Keluarga Brawijaya memang sudah mengetahui bahwa Helsa akan melanjutkan kuliahnya di Kanada, mereka juga sangat mendukung. Pendidikan memang sangat penting."Bun, Helsa buatin minum.""Nggak perlu," ketus wanita itu."Bunda udah makan? Kita makan yuk, Helsa juga belum makan. Helsa sudah Masak.""Saya bilang nggak perlu," jawabnya.Ingin sekali Helsa menangis disini, namun dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan ibu mertuanya."Kamu pikir, karena kamu dari keluarga berada saya akan baik-baik sama kamu?""Perempuan murahan!" tanda bunda."Kamu itu sampah! Perempuan baik mana yang mau disentuh sebelum nikah?""Helsa, apa jangan-jangan anak itu juga bukan anak dari Adryan?!" Bunda tertawa miris, wajahnya terlihat sangat angkuh.Helsa menggigit bibirnya, mencoba untuk menahan tangisannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Helsa takut semuanya terbongkar, bagaimana dengan nasibnya nanti."Jangan nangis, Sa.""Kamu dan bayi itu beban untuk anak saya," tukasnya.Helsa tidak bisa menahannya. Air mata itu lolos begitu saja, isakan tangisnya terdengar. Bunda Marimar mendengus, menatap nyalang menantunya yang sudah berlinang air mata.Merasa kesal, bunda Marimar beranjak dari sofa, niatnya ingin pulang sekarang, namun tangannya ditahan Helsa."Kalau dengan seperti ini bunda bisa maafin Helsa, lakukan sesuka hati bunda. Helsa ikhlas kalau bunda harus mencaci maki, tapi Helsa mau bunda maafin Helsa. Maaf bunda.""Dan tolong, bun, cukup Helsa yang bunda caci maki, jangan dia."Dengan cepat bunda menarik tangan saat Helsa hendak mendekatkan bibir pada punggung tangannya. "Saya tidak sudi dipegang oleh wanita gampangan seperti kamu. Selamanya kamu tidak akan saya maafkan."Setelah melemparkan ucapan kasar itu, bunda berlalu meninggalkan Helsa sendiri di apartemen itu. Ini terlalu berat baginya, dimusuhi oleh ibu mertua yang awalnya begitu mencintainya.***"Dokter Adryan," panggil salah satu security di lobby apartemen."Iya," jawabnya."Ini ada pesanan dokter, sejak siang tadi belum diambil sama istrinya."Adryan menyerngit. "Pesanan?" Adryan mengambil kantong tersebut. Kenapa bisa thai tea ini tidak diambil Helsa, padahal dia sendiri yang mau."Terima kasih, pak. Saya permisi."Security itu hanya mengangguk dan Adryan cepat-cepat menuju kamarnya.Sesampainya di lantai kamar apartemennya, Pria itu segera membuka pintu kamar apartemennya. Suasana didalam gelap, tidak ada tanda-tanda keberadaan istrinya.Saklar lampu menyalah, kondisi ruangan ini Masih sama seperti sebelum dia berangkat ke rumah sakit. Helsa dimana?"Helsa, Mas pulang."Di dapur dan kamar mandi tidak ada. Apa mungkin Helsa sudah tidur?Benar saja, ketika Adryan Masuk ke kamar, istrinya sudah tertidur. Tapi yang mengganggu pikirannya, deru nafas itu tak beraturan. Ada yang berbeda dari Helsa."Helsa...,""Sayang...,""Hey, are you ok?""Kamu kenapa? Perutnya sakit? Kamu sudah makan?""Kenapa nangis, sayang?" Adryan mengusap air mata yang kembali meluruh, Helsa Masih dengan aktivitasnya menatap suaminya."Kalau Helsa beban untuk Mas, lepasin aja, ya?" ucapnya dengan sisa-sisa tangisan, Adryan tidak mengerti apa maksudnya."Kamu ngomong apa sih? Apa yang buat kamu seperti ini, hm?""Maaf Helsa nyusahin, Mas." Adryan tertegun. Mimik wajah Helsa terlihat serius. Mata sayu itu terlihat sembab.Adryan berdiri menjulang dihadapan Helsa, tangan kanannya memegang dagu wanita itu. "Mas, ada salah sama kamu, Sayang?""Jangan nangis. Mas nggak suka lihat ini." Adryan berjongkok di depan Helsa, mencium buku-buku jari kecil istrinya."Pulangin Helsa ke Mama," lirihnya."Bunda kesini nyakitin kamu?" tebak Adryan dan silanya tebakan itu sangat benar."Bunda, kan, sayang?" tuntut Adryan. "Kamu nggak punya mulut buat jawab pertanyaan Mas?""Mas, Helsa nggak kuat," jeritnya membuat Adryan sedikit tersentak."Helsa lebih baik sendiri, dibanding harus terima kenyataan kalau bunda nggak terima Helsa. Bunda benci sama Helsa.""Helsa nggak mau dia yang jadi bullyan bunda, cukup Helsa.""Bunda boleh maki Helsa, tapi jangan dia." Untuk kesekian kalinya air matanya tumpah.Baginya, tidak Masalah jika bunda harus mencaci makinya, tapi jangan dengan janin yang dikandungannya.Adryan tertawa, namun setelahnya hanya ada seringai tajam dari bibirnya. "Ikut Mas sekarang!""Helsa nggak mau," tolaknya."Mas bisa mutusin hubungan sama Bunda malam ini juga." Adryan menatapnya serius."Jangan gila! Lebih baik Mas tinggalin Helsa dari pada harus tinggalin bunda. Kita bahkan baru kenal tiga bulan.""Helsa nggak apa-apa pisah, Helsa bisa sendiri. Helsa bisa sendiri tanpa Mas Adryan ataupun Akmal," ucapnya dengan bibir yang bergetar, Helsa tak kuasa menahan kekesalannya.Adryan menatapnya sendu, ada guratan kekecewaan saat Helsa mengatakan pisah. "Sayang...,Mas nggak pernah ngerasa kalau kamu itu beban. Kamu itu anugerah buat Mas, Helsa.""Jangan pernah bilang pisah. Mas nggak mau, Mas nggak bisa."Adryan ingat, Akmal pernah seperti ini saat Helsa akan meninggalkannya. Adryan lihat bagaimana laki-laki itu memohon maaf pada Helsa.Tidak. Adryan tidak akan melepaskan Helsa, wanita itu hanya miliknya. Dia tidak akan mengabulkan permintaan istrinya untuk berpisah. Lagian Adryan tahu bahwa Helsa sedang emosi."Kamu sendiri bilang sama Mas, supaya Mas sayang kamu terus.""Setiap hari Helsa. Setiap hari, tanpa kurang sedikitpun Mas selalu cinta sama kamu.""Dapat kamu itu harus dipukul dulu sama Akmal harus pura-pura main ke rumah kamu, harus sengaja ke rumah sakit malam-malam cuma buat lihat kamu."Adryan mengelus surai hitam milik istrinya, diikuti ciuman pada kening itu. "Meskipun Mas tahu, kamu belum sepenuhnya bersama Mas. Tapi Helsa, Mas akan selalu tunggu kamu. Mas selalu tunggu kamu mencintai Mas."Pelukan Adryan membuatnya semakin tenggelam dalam kesedihan. Wanita itu bisa dikatakan beruntung, bisa dikatakan malang nasibnya.Dokter Adryan terlalu baik baginya, mungkin itu pikiran wanita yang tengah hamil muda.Mobil porsche hitam berhenti tepat di halaman rumah dengan nuansa putih, rumah milik wanita yang Masih stay di mobil.Adryan menghela nafasnya, dia tidak rela pisah beberapa hari dengan Helsa. Soal pertengkaran semalam, Helsa ingin menenangkan dirinya dulu."Kamu bisa tidur tanpa Mas?" tanya Adryan. Ini pertanyaan sudah tidak terhitung berapa kali keluar dari mulutnya, mereka sama-sama tahu bahwa Helsa tidak bisa tidur tanpa dipeluk suaminya."Ada mbak Ana," jawab Helsa."Kalau misalkan Mas kangen, boleh kan Mas datang?" tanya Adryan."Sayang...," Adryan memeluk Helsa, mengecup-ngecup lembut surai hitam milik istrinya. "Jawab dong, Mas boleh kesini kan kalau kangen?""Iya," jawabnya singkat.Adryan beralih pada rahim yang sudah menjamah perut milik istrinya, dia melepaskan seatbeltnya dan juga Helsa, lalu sedikit membungkuk agar wajahnya lebih dekat dengan janin dalam rahim istrinya."Jaga Mami ya? Jangan nakal, jangan buat Mami sakit sayang.""Mas, makasih."Adryan mendongak. "Makasi
Cafe Andara itu ramai pengunjung hari ini. Cafe ini terletak sangat strategis di tengah kota. Pengunjungnya juga didominasi oleh anak SMA dan Mahasiswa, mungkin hanya beberapa dari mereka orang kantoran. Dua orang wanita dengan usia yang terpaut jauh sedang asyik bercengkrama di sudut cafe, mereka tampak membicarakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Bunda Marimar bersama dokter Uni, layaknya seorang ibu dan anak yang saling melemparkan cerita lucu. Sudah hampir satu jam lamanya mereka belum meninggalkan cafe ini. "Bunda senang bisa ketemu kamu lagi, kalau dulu Adryan nggak lanjutin sekolahnya keluar negeri, mungkin kalian bisa sama-sama terus." Wanita yang mengenakan jaket denim itu hanya membalas dengan ulasan senyum, miris sekali. Benar kata Bunda, mungkin mereka bahkan bisa selamanya bersama. Walaupun Uni tahu Adryan tidak pernah menyukainya, dan hanya menganggapnya sahabat. "Bunda bisa aja, emang kitanya nggak jodoh bun." "Padahal Bunda berharapnya sama kamu, Ni." "Lagian
"Gue pamit, Sa." Arjun mengusap surai hitam wanita itu. "Jun, makasih." Arjun tersenyum getir, sulit sekali dia harus menyimpan rahasia ini dari sahabatnya. Arjun tahu ini akan sangat menyakiti Akmal, tapi mau bagaimanapun ini keputusan Helsa. "Jaga diri baik-baik. Jaga keponakan gue," nasihatnya. Helsa membalas dengan seulas senyum. Arjun pergi, keluar dari rumah itu dengan langkah berat. Pikirannya saat ini hanya pada sahabatnya. Bagaimana jika Akmal mengetahui yang sebenarnya? Apa mungkin Akmal akan merebut kembali mantan kekasihnya itu? "Maaf, Al. Tapi suatu saat nanti, lo bisa ngerti semuanya." *** Secarik kertas berwarna putih dan pulpen bertinta hitam itu tergeletak diatas meja belajar. Sudah saatnya Helsa berdamai dengan dirinya, berdamai dengan masa lalunya. Helsa meraih pulpen itu, sedikit menegakkan tubuhnya, mencari posisi duduk nyaman. Jemarinya mulai bergerak diatas kertas itu dengan tinta hitam yang mulai mengisi kekosongannya. Setitik air mata jatuh membasahi
Adryan menatap lekat wajah cantik istrinya, sama sekali tidak berpaling. Malam ini dibuat menangis bahagia dengan pengakuan Helsa yang mengatakan bahwa dia mencintai suaminya. Akhirnya Adryan miliki semuanya dari Helsa. Tidak akan ada lagi masa lalu, meskipun Adryan tahu yang namanya melupakan itu mustahil. Tapi, percayalah Helsa sudah sepenuhnya mengikhlaskan dan melepaskan semuanya. "Mas, kenapa liatnya gitu banget?" "Mas sayang sama kamu. Jangan pergi, ya? Sama mas terus," ucap Adryan. "Tegur kalau mas salah," titah Adryan. Helsa membalas dengan anggukan kecil, wajahnya terlihat lucu. "Jam berapa sekarang?" tanya Adryan. Tadi sebelum nonton, dia sudah melepaskan arlojinya. "Jam sebelas," jawab Helsa. "Tidur ya? Kamu nggak boleh begadang. Kamu punya anemia berat. Mas ini dokter hematologi, bagaimana bisa biarin istrinya begadang." "Helsa mau minta sesuatu lagi, boleh?" "Apa, hm?" "Tapi gendong dulu ke ranjang, ngomongnya disana aja." Helsa manja banget sama suaminya, kan
Helsa menggeliat kecil dalam tidur. Dinginnya Ac kamar dan juga sapuan nafas hangat pada leher membuatnya terbangun. Wanita itu tersenyum kala menemukan posisi tidur suaminya seperti bayi."Jangan gerak, sayang. Mas capek banget ini, biarin kayak gini terus," tita Adryan dengan mata yang masih terpejam. Tangan kekar itu semakin mempererat pelukannya.Jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Sudah dua jam lamanya mereka tertidur dalam posisi tubuh tanpa busana. Permainan hari ini hanya sampai jam sepuluh, Adryan tidak mau melanjutkannya karena Helsa minta yang lebih.Kenapa? Karena Adryan tidak mau wanita itu kecapean, dia sedang hamil."Mas, mbak Ana beneran keluar seharian?" tanya Helsa."Hmm, mas bilang baliknya agak sorean," sahutnya."Helsa lapar. Mau pakai gofood aja, kan nggak ada yang masak." Ujarnya sembari mengambil handphonenya dari nakas.Tadi saat pelepasan pertamanya, Adryan menyempatkan diri untuk mengirim pesan pada mbak Ana untuk liburan hari ini. Sebenarnya saat itu mba
Sebuah mobil porsche hitam menerobos lampu merah di simpang Cafe Andara. Disaat yang bersamaan sebuah truk besar melintas begitu saja dan langsung menabrak sisi kanan mobil tersebut, yang mengakibatkan kecelakaan besar terjadi. Mobil itu terpental beberapa meter dari lokasi, sedangkan truk yang bermuatan beberapa sepeda motor itu tetap ditempat. Beberapa pengendara dan warga yang berada disekitar berlarian ke mobil porsche tersebut. Seorang pria dengan hoodie hitam polos sudah tidak sadarkan diri. Darah segar mengalir dari kepala, telinga, dan hidung menambah kesan buruk. Mereka membuka pintu mobil yang kacanya sudah pecah berkeping-keping, lalu mengeluarkan pria itu dari sana. Dibaringkannya di atas trotoar jalan dan memberikan pertolongan pertama sebelum ambulance tiba. "Masih ada denyut nadi," ucap seorang laki-laki. "Ambulance dari rumah sakit terdekat sudah dalam perjalanan, semoga tidak terlambat," kata wanita yang sudah menghubungi rumah sakit. Beberapa saat kemudian sir
"Kalian siapa?" Kalimat tanya itu mematahkan perasaannya. Helsa menatap Adryan yang sama sekali tidak mengingat siapa dia. Wajah kebingungan pria itu sudah menunjukan bahwa dia tidak mengenal mereka semua. "Mas, jangan bercanda deh. Helsa tahu mas suka banget jailin Helsa, tapi nggak gini juga." Satu minggu pasca operasi, Adryan sadar dari koma. Dokter yang menanganinya tidak terkejut dengan kejadian ini, karena memang hasil rontgen kepala dokter Adryan sudah keluar. "Saya nggak kenal kamu," ketus Adryan. "Dan kalian semua, saya tidak mengenal siapa kalian." Suaranya lantang, sorot matanya bukan seperti Adryan yang mereka kenal. Helsa kembali menyentuh wajah tampan yang dihiasi luka-luka kecil. Adryan meringis kesakitan, wajah cantik wanita hamil dihadapannya mengusik memorinya. "Minggir!" teriaknya saat nyeri itu semakin meradang, dia menepis kasar tangan lembut istrinya. "Adryan! Jangan kasar sama Helsa," tegur Jefry. "Sayang, kamu ingat bunda, kan?" tanya bunda. "Itu ayah
Suasana apartemen terasa sunyi, hanya terdengar percikan minyak goreng dari dapur. Hari sudah semakin gelap, Helsa sudah mulai berperang dengan alat masak di dapur. Dia sudah melupakan kejadian siang tadi, Helsa memaklumi kondisi suaminya. Sedangkan Adryan, pria itu duduk di sofa tengah, matanya sedari tadi tak luput dari sebuah foto berukuran besar yang ada di ruangan tersebut dan juga beberapa foto yang ada di bufet laci. "Apa wanita ini seberarti itu untuk saya? Kenapa saya terlihat bahagia dalam foto itu?" Adryan mengambil bingkai kecil dari bufet, dia tersenyum kecil melihat fotonya bersama bunda, ayah, dan senyumnya hambar saat ada Jefry disampingnya. Laki-laki itu membuat moodnya buruk. "Mas...," panggil Helsa. Adryan balik menatap Helsa, wanita itu terus menampilkan senyum tulusnya, rambut sebahunya sudah kembali di gerai setelah selesai masak. "Makan sekarang ya? Mumpung masih hangat," ajak Helsa. Adryan hanya membalas dengan anggukan kecil. Helsa menangis dalam diamny
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad