Share

BAB 61

"Sayang..., kok nikahan kemarin sahabat-sahabat kamu nggak ada?"

Helsa menatap intens Adryan, tangannya Masih menjamah kerah baju milik suaminya. Hal semacam ini sudah menjadi kebiasaannya setiap sebelum suaminya berangkat ke rumah sakit, Helsa yang membena kembali kemeja suaminya. Adryan memang seperti itu, padahal kan dia tidak memakai dasi yang harus dibantu istrinya.

"Helsa nggak punya sahabat," tukasnya. Namun, di dalam hati kecilnya, Helsa merindukan keempat sahabatnya. Ranaya, Diandra, Citra, dan Keke. Empat gadis itu tidak bersalah. Semua karena Bella. Musuh dibalik selimut.

Adryan mengerti, mungkin mereka punya Masalah. Sudah, dia tidak perlu banyak bertanya.

"Oh, iya sayang, mama apa kabar?" Adryan mengalihkan pertanyaan, lagipula dia juga belum bertemu ibu mertuanya setelah hari pernikahan mereka. Renata memang sangat sibuk dengan perusahaan.

"Mama baru balik dari Kanada. Helsa lupa bilang sama Mas, mama nyuruh kita main ke rumah."

"Ya udah, malam minggu kita menginap disana."

"Serius?" tanyanya meMastikan.

"Iya sayang," Adryan mengecup singkat kening wanitanya.

"Kemarin Mas bawah pulang stetoskop ,ya?" tanya Adryan.

"Emang Mas bawah pulang?" Helsa balik bertanya.

"Nggak tahu, Mas lupa."

Helsa tertawa sinis, suaminya ini umur Masih muda tapi sudah pikun. "Helsa coba lihat di pantry, Mas itu teledor. Papan namanya jangan lupa, jas juga awas ketinggalan."

Wanita itu meninggalkan suaminya sendiri, langkah kaki membawa ibu hamil itu menuju kitchen room, mencari stetoskop yang entah dimana suaminya simpan.

"Helsa, nggak usah. Ada di dalam tas," pekik Adryan.

Dia kembali, bersiap mengantar suaminya ke depan pintu. Adryan sudah lengkap dengan jas kebanggannya yang disampirkan pada pergelangan tangannya.

"Mau pesan apa hari ini?" tanya Adryan. "Susu vanilla rasa coklat atau rasa strawberry?"

"Ihhh, kenapa harus dibahas lagi sih?!"

"Habisnya kamu mintanya aneh-aneh."

Mengingat dua hari yang lalu istrinya minta dibelikan susu ibu hamil dengan varian vanila, tapi rasanya coklat kalau diminum. Yang berujung dengan tangisan malam hari karena Helsa yang keras kepala, sudah tahu kelemahannya nggak bisa tidur tanpa dipeluk.

"Nggak akan lagi. Tapi boleh ya, nanti pulang beliin thai tea. Helsa pengen banget nih," mohonnya.

Adryan mengubah posisinya membungkuk, wajahnya sudah sejajar dengan perut istrinya. "Sayang, yang minta thai tea kamu atau mami?"

Helsa mengulum senyum, wajahnya memerah akibat perlakuan manis suaminya. Masih pagi loh ini, dokter Adryan buat deg-degan.

"Katanya, baby yang minta bukan mami." Jawabnya seolah menjadi perantara bayi dalam rahimnya.

Adryan mendongak, "itu sih mau-maunya kamu."

"Mas ijinin, kalau mau delivery aja. Kayaknya Mas pulang malam lagi," kata Adryan. "Kamu jangan kemana-mana."

"Ahhh.... Thank you, " Helsa memeluk pria itu, sangat manja.

"Mas berangkat, ya? Baik-baik di rumah," pamit Adryan.

"Iya, kalau udah sampai kabarin," balas Helsa.

Adryan mengecup kening wanitanya, lalu diakhiri dengan ciuman singkat pada bibir sebelum akhirnya dia berlalu meninggalkan Helsa sendiri.

Punggung tegap itu hilang ditelan langkah panjang, suasana lantai apartemen yang ditempati mereka terlihat sepi. Sebagian dari penghuninya mungkin sudah berangkat ke tempat kerja.

***

Ting ...

Senyumnya mengembang dengan sempurna, Helsa mengambil langkah panjang menuju pintu Masuk. Sepertinya itu delivery thai tea miliknya. Tadi setelah selesai beberes rumah, wanita itu segera pesan minum tersebut.

"Bun-bunda?" Raut wajahnya mendadak berubah, wanita di hadapannya itu tidak menggubris sapaannya.

Bunda Marimar. Wanita paruh baya itu menerobos Masuk ke apartemen anaknya, dia tidak memperdulikan menantunya.

Pak, pesanan saya di titipkan ke lobby saja. Nanti bilang saja atas nama dokter Adryan Brawijaya.

Helsa mengirim pesan untuk ojol yang mengambil pesanannya. Dia tidak ingin bunda Marimar memarahinya hanya karena mengkonsumsi minuman itu.

Tapi, memangnya bunda akan peduli?

Helsa menutup pintu, lalu menghampiri ibu mertuanya yang sudah duduk manis pada sofa.

"Kamu ngapain aja selagi Adryan di rumah sakit?"

"Helsa biasanya selesai beberes, belajar bun."

Keluarga Brawijaya memang sudah mengetahui bahwa Helsa akan melanjutkan kuliahnya di Kanada, mereka juga sangat mendukung. Pendidikan memang sangat penting.

"Bun, Helsa buatin minum."

"Nggak perlu," ketus wanita itu.

"Bunda udah makan? Kita makan yuk, Helsa juga belum makan. Helsa sudah Masak."

"Saya bilang nggak perlu," jawabnya.

Ingin sekali Helsa menangis disini, namun dia tidak ingin terlihat lemah dihadapan ibu mertuanya.

"Kamu pikir, karena kamu dari keluarga berada saya akan baik-baik sama kamu?"

"Perempuan murahan!" tanda bunda.

"Kamu itu sampah! Perempuan baik mana yang mau disentuh sebelum nikah?"

"Helsa, apa jangan-jangan anak itu juga bukan anak dari Adryan?!" Bunda tertawa miris, wajahnya terlihat sangat angkuh.

Helsa menggigit bibirnya, mencoba untuk menahan tangisannya. Jantungnya berdebar tak karuan. Helsa takut semuanya terbongkar, bagaimana dengan nasibnya nanti.

"Jangan nangis, Sa."

"Kamu dan bayi itu beban untuk anak saya," tukasnya.

Helsa tidak bisa menahannya. Air mata itu lolos begitu saja, isakan tangisnya terdengar. Bunda Marimar mendengus, menatap nyalang menantunya yang sudah berlinang air mata.

Merasa kesal, bunda Marimar beranjak dari sofa, niatnya ingin pulang sekarang, namun tangannya ditahan Helsa.

"Kalau dengan seperti ini bunda bisa maafin Helsa, lakukan sesuka hati bunda. Helsa ikhlas kalau bunda harus mencaci maki, tapi Helsa mau bunda maafin Helsa. Maaf bunda."

"Dan tolong, bun, cukup Helsa yang bunda caci maki, jangan dia."

Dengan cepat bunda menarik tangan saat Helsa hendak mendekatkan bibir pada punggung tangannya. "Saya tidak sudi dipegang oleh wanita gampangan seperti kamu. Selamanya kamu tidak akan saya maafkan."

Setelah melemparkan ucapan kasar itu, bunda berlalu meninggalkan Helsa sendiri di apartemen itu. Ini terlalu berat baginya, dimusuhi oleh ibu mertua yang awalnya begitu mencintainya.

***

"Dokter Adryan," panggil salah satu security di lobby apartemen.

"Iya," jawabnya.

"Ini ada pesanan dokter, sejak siang tadi belum diambil sama istrinya."

Adryan menyerngit. "Pesanan?" Adryan mengambil kantong tersebut. Kenapa bisa thai tea ini tidak diambil Helsa, padahal dia sendiri yang mau.

"Terima kasih, pak. Saya permisi."

Security itu hanya mengangguk dan Adryan cepat-cepat menuju kamarnya.

Sesampainya di lantai kamar apartemennya, Pria itu segera membuka pintu kamar apartemennya. Suasana didalam gelap, tidak ada tanda-tanda keberadaan istrinya.

Saklar lampu menyalah, kondisi ruangan ini Masih sama seperti sebelum dia berangkat ke rumah sakit. Helsa dimana?

"Helsa, Mas pulang."

Di dapur dan kamar mandi tidak ada. Apa mungkin Helsa sudah tidur?

Benar saja, ketika Adryan Masuk ke kamar, istrinya sudah tertidur. Tapi yang mengganggu pikirannya, deru nafas itu tak beraturan. Ada yang berbeda dari Helsa.

"Helsa...,"

"Sayang...,"

"Hey, are you ok?"

"Kamu kenapa? Perutnya sakit? Kamu sudah makan?"

"Kenapa nangis, sayang?" Adryan mengusap air mata yang kembali meluruh, Helsa Masih dengan aktivitasnya menatap suaminya.

"Kalau Helsa beban untuk Mas, lepasin aja, ya?" ucapnya dengan sisa-sisa tangisan, Adryan tidak mengerti apa maksudnya.

"Kamu ngomong apa sih? Apa yang buat kamu seperti ini, hm?"

"Maaf Helsa nyusahin, Mas." Adryan tertegun. Mimik wajah Helsa terlihat serius. Mata sayu itu terlihat sembab.

Adryan berdiri menjulang dihadapan Helsa, tangan kanannya memegang dagu wanita itu. "Mas, ada salah sama kamu, Sayang?"

"Jangan nangis. Mas nggak suka lihat ini." Adryan berjongkok di depan Helsa, mencium buku-buku jari kecil istrinya.

"Pulangin Helsa ke Mama," lirihnya.

"Bunda kesini nyakitin kamu?" tebak Adryan dan silanya tebakan itu sangat benar.

"Bunda, kan, sayang?" tuntut Adryan. "Kamu nggak punya mulut buat jawab pertanyaan Mas?"

"Mas, Helsa nggak kuat," jeritnya membuat Adryan sedikit tersentak.

"Helsa lebih baik sendiri, dibanding harus terima kenyataan kalau bunda nggak terima Helsa. Bunda benci sama Helsa."

"Helsa nggak mau dia yang jadi bullyan bunda, cukup Helsa."

"Bunda boleh maki Helsa, tapi jangan dia." Untuk kesekian kalinya air matanya tumpah.

Baginya, tidak Masalah jika bunda harus mencaci makinya, tapi jangan dengan janin yang dikandungannya.

Adryan tertawa, namun setelahnya hanya ada seringai tajam dari bibirnya. "Ikut Mas sekarang!"

"Helsa nggak mau," tolaknya.

"Mas bisa mutusin hubungan sama Bunda malam ini juga." Adryan menatapnya serius.

"Jangan gila! Lebih baik Mas tinggalin Helsa dari pada harus tinggalin bunda. Kita bahkan baru kenal tiga bulan."

"Helsa nggak apa-apa pisah, Helsa bisa sendiri. Helsa bisa sendiri tanpa Mas Adryan ataupun Akmal," ucapnya dengan bibir yang bergetar, Helsa tak kuasa menahan kekesalannya.

Adryan menatapnya sendu, ada guratan kekecewaan saat Helsa mengatakan pisah. "Sayang...,Mas nggak pernah ngerasa kalau kamu itu beban. Kamu itu anugerah buat Mas, Helsa."

"Jangan pernah bilang pisah. Mas nggak mau, Mas nggak bisa."

Adryan ingat, Akmal pernah seperti ini saat Helsa akan meninggalkannya. Adryan lihat bagaimana laki-laki itu memohon maaf pada Helsa.

Tidak. Adryan tidak akan melepaskan Helsa, wanita itu hanya miliknya. Dia tidak akan mengabulkan permintaan istrinya untuk berpisah. Lagian Adryan tahu bahwa Helsa sedang emosi.

"Kamu sendiri bilang sama Mas, supaya Mas sayang kamu terus."

"Setiap hari Helsa. Setiap hari, tanpa kurang sedikitpun Mas selalu cinta sama kamu."

"Dapat kamu itu harus dipukul dulu sama Akmal harus pura-pura main ke rumah kamu, harus sengaja ke rumah sakit malam-malam cuma buat lihat kamu."

Adryan mengelus surai hitam milik istrinya, diikuti ciuman pada kening itu. "Meskipun Mas tahu, kamu belum sepenuhnya bersama Mas. Tapi Helsa, Mas akan selalu tunggu kamu. Mas selalu tunggu kamu mencintai Mas."

Pelukan Adryan membuatnya semakin tenggelam dalam kesedihan. Wanita itu bisa dikatakan beruntung, bisa dikatakan malang nasibnya.

Dokter Adryan terlalu baik baginya, mungkin itu pikiran wanita yang tengah hamil muda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status