"Kalian siapa?" Kalimat tanya itu mematahkan perasaannya. Helsa menatap Adryan yang sama sekali tidak mengingat siapa dia. Wajah kebingungan pria itu sudah menunjukan bahwa dia tidak mengenal mereka semua. "Mas, jangan bercanda deh. Helsa tahu mas suka banget jailin Helsa, tapi nggak gini juga." Satu minggu pasca operasi, Adryan sadar dari koma. Dokter yang menanganinya tidak terkejut dengan kejadian ini, karena memang hasil rontgen kepala dokter Adryan sudah keluar. "Saya nggak kenal kamu," ketus Adryan. "Dan kalian semua, saya tidak mengenal siapa kalian." Suaranya lantang, sorot matanya bukan seperti Adryan yang mereka kenal. Helsa kembali menyentuh wajah tampan yang dihiasi luka-luka kecil. Adryan meringis kesakitan, wajah cantik wanita hamil dihadapannya mengusik memorinya. "Minggir!" teriaknya saat nyeri itu semakin meradang, dia menepis kasar tangan lembut istrinya. "Adryan! Jangan kasar sama Helsa," tegur Jefry. "Sayang, kamu ingat bunda, kan?" tanya bunda. "Itu ayah
Suasana apartemen terasa sunyi, hanya terdengar percikan minyak goreng dari dapur. Hari sudah semakin gelap, Helsa sudah mulai berperang dengan alat masak di dapur. Dia sudah melupakan kejadian siang tadi, Helsa memaklumi kondisi suaminya. Sedangkan Adryan, pria itu duduk di sofa tengah, matanya sedari tadi tak luput dari sebuah foto berukuran besar yang ada di ruangan tersebut dan juga beberapa foto yang ada di bufet laci. "Apa wanita ini seberarti itu untuk saya? Kenapa saya terlihat bahagia dalam foto itu?" Adryan mengambil bingkai kecil dari bufet, dia tersenyum kecil melihat fotonya bersama bunda, ayah, dan senyumnya hambar saat ada Jefry disampingnya. Laki-laki itu membuat moodnya buruk. "Mas...," panggil Helsa. Adryan balik menatap Helsa, wanita itu terus menampilkan senyum tulusnya, rambut sebahunya sudah kembali di gerai setelah selesai masak. "Makan sekarang ya? Mumpung masih hangat," ajak Helsa. Adryan hanya membalas dengan anggukan kecil. Helsa menangis dalam diamny
Membayangkan kehadiran dokter Uni dalam kehidupan pernikahannya membuat Helsa kurang fokus pada macbooknya. Terhitung dua bulan lagi dia akan mengikuti ujian setara untuk mendapatkan ijazah SMA sesuai permintaannya. Akhir-akhir ini Helsa diserang cemas yang berlebihan, apalagi wanita lajang itu selalu menghubungi Adryan. Helsa takut dia terlupakan, ya meskipun memang dia dilupakan. Belum lagi dengan bunda yang selalu menuntutnya untuk tidak banyak bicara pada suaminya. Bunda memang egois. "Kamu lagi ngapain?" Suara baritone itu mengalihkan pandangannya, Adryan menghampirinya ke meja pantry. Dia bingung dengan apa yang dilakukan seorang ibu hamil ini. "Belajar? Kamu masih sekolah?" Helsa menatap intens manik mata suaminya. "Iya, habis lahiran Helsa mau berangkat ke Kanada. Dan mas sendiri udah izinin." "Kamu mau tinggalkan saya sendiri?" Adryan menghentikan pergerakan tangan Helsa. Wanita itu menepis pelan tangan Adryan, memalingkan wajahnya ke macbook. "Nggak ada yang ninggali
Tangisan itu pecah dalam pelukan suaminya. Malam ini dia benar-benar menumpahkan semua kekesalan beberapa minggu ini, menumpahkan rasa cemburunya. Helsa sedikit berjinjit untuk mengalungkan tangannya pada leher Adryan. Pelukan itu masih sama. Adryan memeluk wanitanya begitu erat, saking eratnya dia tidak sadar istrinya lagi hamil. Dasar pria amnesia! "Saya memang tidak mengingat kamu, tapi saya yakin kamu adalah perempuan yang saya cinta. Jangan pergi Helsa, saya butuh kamu." Runtuh sudah pertahanan Adryan untuk tidak menyentuh wanita itu, dia tidak tega melihat Helsa menangis. Wanita itu membutuhkannya, begitu juga dia. "Maaf kalau sikap saya buat kamu tidak nyaman," ujar Adryan. Helsa merenggangkan pelukan itu, jemarinya menelusuri setiap inci wajah suaminya, dia tersenyum dalam air matanya. Helsa kembali berjinjit, lalu memberi kecupan rindu pada dua mata milik sang suami. "Helsa takut Mas pergi. Helsa takut terlupakan. Helsa nggak mau kehilangan Mas Adryan," tuturnya dengan
"Let's making love, baby girl." Adryan menatap dalam netra hitam yang begitu cantik, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Helsa ingin teriak, tapi dia sadar tidak akan ada yang mendengarnya. Lagian, untuk apa dia berontak, toh pria di hadapan ini adalah suaminya. Adryan mengalungkan kedua tangan Helsa ke lehernya, lalu menautkan bibir mereka. Ciuman itu sangat lembut, namun lama-kelamaan menuntut. Helsa yang merasa pasokan udaranya berkurang segera melepas pangutan itu. Dia tertunduk mengambil kembali oksigen yang terasa berkurang, lalu mendongak. "Mas, Helsa nggak bisa." "Mas Adryan nggak ingat siapa Helsa," tambahnya. Dia tersenyum kecil, namun Helsa tahu ada guratan kecewa pada wajah tampan itu. Adryan menginginkan lebih, tapi Helsa tidak siap harus melakukan ini disaat Adryan bahkan tidak mengenalnya. "Mulai malam ini kita tidur bareng," tanda Adryan. Helsa mengangguk antusias, dia tidak mau Adryan merasa ditolak seperti tadi. Setelah mendapat jawaban, pria itu memba
"Assalamualaikum." Nada ucapan salamnya begitu lembut masuk melalui indra pendengaran. Helsa menduduki kursi kecil yang dibawa dari apartemen, duduk disamping makam Papanya. Usia kandungan dan perut yang semakin membesar tidak memungkinkan dia untuk berjongkok. "Pa, anaknya datang nih. Apa kabar?" Ia mengusap lembut nisan itu. "Yuda Andrean," lirih seseorang yang sudah duduk disampingnya. Adryan membaca nama itu di pusara makam ayah mertuanya, nama itu tidak asing untuknya. "Saya seperti mengenal nama itu," tuturnya. Helsa tersenyum simpul mendengar penuturan suaminya , matanya tidak lepas dari nisan itu. Dia tertegun melihat pergerakan tangan Adryan yang membersihkan beberapa daun yang jatuh di atas gundukan tanah itu. "Pa, emang Papa kenal laki-laki disamping aku?" sindir Helsa. Netranya melirik Adryan yang menukik alisnya, dia sudah merasa disindir. "Dia aja nggak kenal Helsa," suaranya merendah. "Lagi berusaha, bilangin," seru Adryan dari sampingnya. "Dia jalan sama perem
Jam sudah menunjukkan pukul 02:00 WIB, dini hari. Jeritan tangis dari wanita yang masih tertidur membangunkannya. Adryan menyalakan saklar lampu kamar, melihat dan mendengar Helsa yang menangis dalam kondisi tertidur. Ya, itu dari alam bawa sadarnya, wanita itu mimpi buruk. "Helsa ..." panggilnya. Belum sadar, Adryan terus berusaha untuk membangunkan Helsa. Wanita itu sampai mengeluarkan butiran air mata, entah apa yang dia mimpikan hingga seperti ini. Beberapa kali tepukan pada pipi akhirnya berhasil membangunkan istrinya. Kelopak matanya terbuka sempurna, Helsa mengubah posisinya duduk bersandar di kepala ranjang. Jantungnya berdebar tak karuan, nafasnya memburu hebat. Netranya tampak lesu, Adryan bisa melihat dari tatapannya sekarang. "Mas," Helsa meraih tangan suaminya, lalu mencium punggung tangan itu. "Jangan tinggalin Helsa." "Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Helsa tidak menjawab, kedua tangannya justru dikalungkan pada leher suaminya, menghirup dalam aroma tubuh itu. "Apa semu
Jam sudah menunjukkan pukul 11:00 WIB, terik matahari di luar begitu menyengat. Cahaya dari luar menembus ke kamar saat gorden jendela dibuka. Helsa menggeliat dalam tidurnya, merasakan kecupan-kecupan manis pada wajahnya. "Helsa, masa mau tidur terus? Kamu harus makan, sayang." Adryan menarik pelan selimut yang membalut tubuh polos istrinya, Helsa bahkan belum mandi setelah bertempur bersama suaminya. Dia sudah tidur selama satu jam setelah selesai, sedang sang suami sudah bersih. "Ayo dong, Sa. Mas udah buatin kamu susu juga, tadi katanya kangen susu vanila buatan Mas." "Helsa capek," balas wanita itu, selimutnya kembali ditarik untuk menutup tubuhnya. Adryan berdecak sebal, Helsa selalu keras kepala. Dia tidak memikirkan janin yang juga butuh asupan nutrisi, hal seperti ini kadang membuat Adryan kesal setengah mati. Pria itu lantas mengambil makanan yang dia sendiri masak, dan membawa ke kamar. Istri kecilnya ini memang banyak tingkah. "Makan nggak, Sa? Mas udah bawah kesini,"
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad