Jam sudah menunjukkan pukul 02:00 WIB, dini hari. Jeritan tangis dari wanita yang masih tertidur membangunkannya. Adryan menyalakan saklar lampu kamar, melihat dan mendengar Helsa yang menangis dalam kondisi tertidur. Ya, itu dari alam bawa sadarnya, wanita itu mimpi buruk. "Helsa ..." panggilnya. Belum sadar, Adryan terus berusaha untuk membangunkan Helsa. Wanita itu sampai mengeluarkan butiran air mata, entah apa yang dia mimpikan hingga seperti ini. Beberapa kali tepukan pada pipi akhirnya berhasil membangunkan istrinya. Kelopak matanya terbuka sempurna, Helsa mengubah posisinya duduk bersandar di kepala ranjang. Jantungnya berdebar tak karuan, nafasnya memburu hebat. Netranya tampak lesu, Adryan bisa melihat dari tatapannya sekarang. "Mas," Helsa meraih tangan suaminya, lalu mencium punggung tangan itu. "Jangan tinggalin Helsa." "Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Helsa tidak menjawab, kedua tangannya justru dikalungkan pada leher suaminya, menghirup dalam aroma tubuh itu. "Apa semu
Jam sudah menunjukkan pukul 11:00 WIB, terik matahari di luar begitu menyengat. Cahaya dari luar menembus ke kamar saat gorden jendela dibuka. Helsa menggeliat dalam tidurnya, merasakan kecupan-kecupan manis pada wajahnya. "Helsa, masa mau tidur terus? Kamu harus makan, sayang." Adryan menarik pelan selimut yang membalut tubuh polos istrinya, Helsa bahkan belum mandi setelah bertempur bersama suaminya. Dia sudah tidur selama satu jam setelah selesai, sedang sang suami sudah bersih. "Ayo dong, Sa. Mas udah buatin kamu susu juga, tadi katanya kangen susu vanila buatan Mas." "Helsa capek," balas wanita itu, selimutnya kembali ditarik untuk menutup tubuhnya. Adryan berdecak sebal, Helsa selalu keras kepala. Dia tidak memikirkan janin yang juga butuh asupan nutrisi, hal seperti ini kadang membuat Adryan kesal setengah mati. Pria itu lantas mengambil makanan yang dia sendiri masak, dan membawa ke kamar. Istri kecilnya ini memang banyak tingkah. "Makan nggak, Sa? Mas udah bawah kesini,"
"Hati-hati di jalan mbak Viola, Mas Jeff." Helsa melambaikan tangan pada sepasang kekasih yang baru saja memasuki lift. Malam ini dia bahagia bisa mengenal lebih dekat dengan Viola. Perempuan itu sangat ramah, sifatnya bisa dikatakan seperti Jefry. Kata Viola, mulai saat ini mereka berteman. Pintu apartemen ditutup kembali, sampai didalam dia tidak menemukan keberadaan suaminya. Apa mungkin di toilet? "Mas..., dimana?" panggilnya. "Balkon, sayang," sahut Adryan dari sana. Dia menghampiri suaminya yang sedang duduk di balkon kamar, ditemani segelas orange jus yang baru dibuatnya. Helsa mengacak surai hitam Adryan dengan gemas, lalu dengan asal merampas minuman milik sang empunya. "Kebiasaan," tanda Adryan lalu menarik Helsa duduk dipangkuannya. Tangan kekar itu melingkar di pinggang istrinya, pundak wanita itu dibuat sebagai tumpuan dagunya. "Bintangnya banyak malam ini," ujar Helsa. Netranya menatap takjub pemandangan langit malam, dengan milyaran bintang dan satu bulan yang te
Derap langkah kaki terdengar dari pintu masuk apartemen, dengan cepat Helsa masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Tidak lupa dia menyetel sebuah drama korea pada macbooknya, seolah dia sedang menonton drama tersebut. Hal itu dia lakukan untuk mengalibi suaminya, sejak siang tadi Helsa tidak berhenti menangis. Memikirkan setiap ucapan mertuanya. Dia bahkan tidak sempat makan. "Helsa? Sayang, kamu dimana?" panggil Adryan dari luar, sepertinya dia sudah berada di kamar. "Lagi di kamar mandi," sahutnya dari sana. Untuk beberapa detik Helsa membiarkan dirinya tenang, pantulan cermin wastafel menunjukkan bagaimana matanya begitu sembab, bahkan matanya hampir tak bisa dibuka karena terlalu banyak menangis. "Tenang Helsa." Ditariknya tuas pintu kamar mandi, lalu matanya mendapati suaminya yang baru keluar dari walk in closet bertelanjangkan dada. Pria itu hanya mengenakan celana boxer, entah apa yang dilakukan di walk in closet kalau pas keluar hanya dengan celana itu. "Mas tumben
Pemandangan dari Villa milik keluarganya tidak kalah cantik karena disampingnya merupakan hamparan laut yang begitu luas. Helsa menghirup dalam angin laut yang menerpa wajahnya. Sudah dua malam wanita ini tidur tanpa ditemani suaminya, karena memang pria itu harus berada di hotel selama tiga hari untuk mengikuti Rakernas IDI. Bukan tidak mau menginap di Villa, tapi memang jarak dari Villa ke hotel tempat acara itu sangat jauh. Tadinya dia ingin mengajak Helsa, tapi wanita ini memilih menetap di Villa. Buat aku, bisa hidup sama kamu udah lebih dari sempurna. I love you so much. "Kamu bodoh." Dia memejamkan mata. Entah mengapa kalimat itu terlintas di ingatannya. "Bajingan emang," lirihnya. "Siapa yang bajingan?" Suara baritone itu membuat Helsa tersenyum sumringah. Adryan berjalan dari pintu samping villa menuju padanya. "Suami Helsa udah pulang. Bukannya tiga hari ya, Rakernasnya?" tanyanya. "Jadwal dikosongkan, jadi Mas balik kesini. Mau tidur sama kamu." "Kopernya ditinggal
"Sayang...," Suara berat khas bangun tidur itu sedari tadi memanggil nama wanitanya. Jika biasanya ada Helsa disampingnya, maka pagi ini berbeda, Adryan tidak menemukan keberadaan istrinya. Seisi Villa sudah dia periksa, namun hasilnya nihil. "Apa Helsa lagi keluar?" lirihnya. Mungkin saja wanita itu sedang jalan-jalan sebentar, tapi dia khawatir. Helsa tidak biasa seperti ini, bahkan nomor handphonenya tidak aktif. Dari dapur, Adryan langsung ke kamar, bersiap-siap kembali ke hotel, melanjutkan Rakernas hari terakhir. Pikirnya, mungkin sebentar lagi Helsa kembali. Saat hendak menarik tuas pintu kamar, mbok Ayu yang mengurus Villa ini datang dari arah pintu samping dekat kolam renang. Wanita yang masih berusia kepala empat itu membawa beberapa buah dalam keranjang. "Mbok, lihat Helsa?" tanya Adryan. Wanita itu sedikit terkejut dengan suaranya, "Mas dokter buat kaget saja." "Mas ini kok tidak tahu istrinya pergi, sudah dari jam lima subuh keluar rumah. Bawa sama kopernya," teran
Suasana ruang keluarga di rumah tuan Franco Brawijaya tampak damai, dilihat dari candaan sepasang wanita yang tengah asyik berbincang. Bunda Marimar tertawa banyak, hari ini wanita paruh baya itu sangat lega. Akhirnya hari yang ditunggu tiba, Helsa mau pergi dari kehidupan putranya. Bahkan menantunya itu mengirim surat gugatan cerai ke rumah. Dan wanita yang kini bersamanya adalah dokter Uni. "Bunda, apa sekarang Adryan masih bersama Helsa?" tanya Uni. "Mereka sedang di Bali, atau mungkin saja Helsa sudah tidak bersama Adryan." Uni mengangguk paham, kalau saja kemarin dia ke Bali untuk mengikuti Rakernas mungkin saja akan bertemu dengan teman lamanya. Mereka juga bisa nginap di hotel yang sama. "Bunda nggak kasihan sama Adryan?" tanya Uni prihatin. "Bunda lebih kasihan jika anak bungsu bunda harus terjebak dengan orang salah." PRANG!!!!!! PRANG!!!!! "Terjebak dengan orang yang salah? Senang banget kayaknya, Bun. Puas banget ya, baca surat itu." Suara baritone dari pintu dan
"Mas...,""Kok tidur disini? Ayo bangun.""Dingin, nanti bisa sakit."Kelopak mata perlahan terbuka, iris mata coklatnya mencoba untuk menetralisir cahaya lampu yang menerpanya. Adryan menangkup wajah cantik yang terlihat pucat itu."Kamu pulang sayang?""Iya, Helsa pulang. Kenapa harus tidur disini?"Adryan tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia memeluk wanitanya, bahkan sangat erat. Jangan katakan dia berlebihan, apa kalian tidak akan frustasi itu jika ditinggal pergi orang yang kalian cinta?Dia menangis dalam pelukan istrinya, menumpahkan segala lara yang membanjiri pikiran dan perasaannya. Adryan mengecup mesra kening Helsa, beralih pada punggung tangan wanitanya."Jangan pergi lagi, Helsa. Mas sayang, Mas cinta sama kamu," ucap Adryan bersungguh-sungguh. Sorot matanya teramat sangat tulus, tidak ada guratan kebohongan pada wajahnya.Braggghh..."Adryan!!!""Bangun!!!""Lo ngapain tidur di kamar mandi, gila!""Sa..., pulang, sayang." Adryan terus menggumamkan nama Helsa dala