Matahari pagi menyeruak masuk ke dalam kamar apartemen milik seorang perempuan yang masih tertidur dalam balutan selimut yang tebal. Wajah cantiknya tak luntur. Pria yang sebentar lagi menjadi suaminya tersenyum simpul menyaksikan wajah calon istrinya saat tertidur.Tangan kekarnya mengusap wajah itu. "Kamu nangis lagi," lirihnya ketika sadar akan jejak air mata pada pipi perempuan itu.Adryan tahu apa yang selalu perempuan itu tangisi. Adryan tahu bagaimana Helsa mencintai kekasihnya, sulit memang harus melepaskan orang yang sudah lama bersamanya. Dokter tampan itu akan menunggu, dia yakin suatu saat nanti Helsa pasti bisa mengikhlaskan semuanya."Helsa ... Ayo bangun!" satu kecupan mesrah pada kening membuat perempuan itu menggeliat kecil sembari membuka perlahan matanya."Mas, kok bisa masuk sini?""Ini," tunjuk Adryan sebuah kartu akses yang diberikan Renata untuknya."Mama?" tebak Helsa. Dan Adryan mengangguk.Helsa menyibak selimut, duduk dipinggir ranjang sembari menatap Adryan
Arjun memeluk Adryan begitu erat. Hari ini dia bahagia sekaligus sedih. Sedihnya karena Helsa tidak bisa bersama Akmal, dan bahagianya Helsa mendapatkan suami yang lebih baik dari bajingan itu. Begitu pun Ando pada Adryan, sudah seperti seumuran saja mereka."Pak dokter, kalau Helsa nakal marah aja. Jangan dimanjain anaknya," sarkas Ando."An…," tegur Helsa."Mas Adryan, terima kasih," ucap Arjun. "Jaga Helsa baik-baik. Cukup untuk air matanya kemarin, dia terlalu banyak menangis."Arjun seperti seorang abang yang melepas adik perempuannya menikah. Dia bahagia, sangat bahagia. Kekesalannya pada Akmal dibayar dengan kebahagiaan Helsa. Arjun pun tidak menyangka bahwa hubungan tiga tahun itu kandas begitu saja. Lucu sekali takdir."Helsa, lo harus ingat, kita masih sahabat sekaligus abang buat lo. Jangan sungkan minta bantuan selama suami lo sibuk," peringat Arjun."Makasih An, Jun. Bakal kangen kalian," kata Helsa."Sa, kelas akan seperti sayur tanpa garam. Tanpa lo dan Bella," keluh An
Selama tiga puluh menit Helsa berada di kamar mandi. Entah apa yang dilakukannya. Dan sekarang dia keluar dengan piyama coklatnya. Perasaan canggungnya masih seperti tadi, dia bahkan tidak ingin memandang pada suaminya yang sedang sibuk berkutat pada ponsel.Pria itu hanya melirik gerak-gerik istrinya yang kembali berkutat dengan skincarenya. Biarkan saja, perempuan memang selalu seperti itu."Mau tidur jam berapa?""Mas nanya Helsa?""Nggak! Mas nanya istrinya Mas," jawab Adryan."Kan Helsa-" suara lembut itu mendadak berhenti saat Adryan sudah berdiri di belakangnya, menatapnya dari pantulan cermin."Kamu cantik," sebut Adryan. Helsa membalas pujian itu dengan seulas senyum."Kamu tahu, Sa? Mas selalu percaya takdir," ujar Adryan. "Dan sekarang, lebih percaya lagi.""Kenapa gitu?" tanya Helsa, mendongak ke arah suaminya."Karena kamu," jawab Adryan cepat.Keputusan Adryan menikahi wanita itu tidak pernah disesalinya. Dia bahagia sekali bisa miliki Helsa seutuhnya, meskipun Adryan ta
Dua manusia dengan tubuh polos yang ditutupi selimut tebal tertidur begitu pulas diatas ranjang hotel yang menjadi resepsi pernikahan mereka kemarin. Pakaian yang mereka kenakan semalam berserakan di lantai. Tampaknya pasangan baru ini melewati malam yang luar biasa ya saudara-saudari. Adryan bangun dari tidur panjang, sebuah panggilan masuk mengharuskannya untuk menjawab. Kalau bukan karena ibunya, Adryan enggan menjawab panggilan tersebut."Adryan sama Helsa masih di hotel, bun," ujar pria itu dengan suara khas orang bangun tidur."Helsa?" sebutnya, pria itu melirik ke samping wanita yang masih tertidur lelap, "masih tidur.""Iya, nanti kita kesana. Adryan kan cutinya sembilan hari. Tapi, sebelum kesana, mau beberes barang-barang milik Helsa yang sudah di apartemen." Adryan memang masih harus menetap di apartemennya, karena rumah pribadinya sedang dalam pembangunan. Orang tuanya menawarkan untuk tinggal bersama, namun hal tersebut ditolaknya."Bye bun," ucap Adryan dan memutuskan
Adryan dan Helsa memasuki sebuah rumah besar di salah satu perumahan elite yang ada di Jakarta Selatan. Helsa sedikit gugup, ini kedua kalinya dia mengunjungi rumah ini. Kemarin sebagai calon menantu, sekarang sudah resmi. Ya. Itu adalah rumah milik orang tua dokter Adryan. "Helsa ..." sambut bunda Marimar yang baru saja keluar dari dapur, dengan membawa sebuah nampan berisi kue. "Bunda," sebut Helsa. "Ayah?" tanya dokter Adryan. "Lagi ada urusan," jawab bunda. "Duh, pengantin baru bedah banget ya, Bun," sindir Jefry. Jefry Van Brawijaya, dosen Teknik di salah satu kampus besar di Jakarta. Dia adalah kakak dari dokter Adryan, mereka cuma bedah tiga tahun. Dia punya calon istri, tapi tiba-tiba saja adiknya duluan. Payah sekali. "Itu pinggang nggak usah di peluk posesif gitu, Helsa nggak nyaman," ujar Jefry, langkah pria itu menuju dapur. "Apaan sih lo! Makanya cepat nikah," ketus Adryan. Helsa tersenyum malu-malu ketika digoda kakak iparnya. "Helsa, jangan di dengar Je
Matahari pagi sudah menyeruak ke dalam kamar melalui pintu kaca balkon yang gordennya sudah dibuka Helsa sejak pukul enam pagi. Tangan kekar itu merabah pada bantal disampingnya, Adryan tersentak tidak mendapati istrinya. Tanpa mengenakan baju, hanya dengan celana trainingnya, Adryan berlari keluar kamar mencari keberadaan istrinya. Apa Helsa kabur? "Helsa…," panggilnya dengan suara khas orang bangun tidur. "Sa, kamu ninggalin Mas?!" Tidak ada sahutan. Saat hendak mengambil baju dan kunci mobil untuk mencari istrinya keluar, dentingan garpu dan piring mengalihkan perhatiannya. Adryan mengambil langkah panjang menuju dapur, dan lihat betapa kesalnya dia saat menemukan istrinya sedang asyik sarapan. "Helsa ..." panggilnya. Wanita itu melihat ke sumber suara, disana berdiri suaminya yang sedang menatapnya penuh kekesalan. "Kamu nggak punya mulut untuk nyaut?!" tanya pria itu, langkah kaki kembali membawanya menuju meja pantry. "Mas nggak lihat Helsa lagi apa? Tadi mau nyaut, c
Ini sudah minggu kedua setelah Helsa dinikahi dokter Adryan. Usia kandungan wanita itu sudah menginjak enam bulan, perutnya sudah terlihat besar.Di apartemen Helsa sendirian, sedangkan Adryan kembali menjalankan tugas mulianya di rumah sakit, cuti sembilan harinya sudah selesai. Wanita itu mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas kamar, lalu kembali duduk pada pinggiran ranjang. Helsa membuka room chat dari Renata, mamanya. Wanita paruh baya itu mengirim fotonya saat bisnis trip beberapa hari kemarin. 'Mama kangen. Main ke rumah, ya Cha?' Sorot mata Helsa berkaca-kaca saat membaca pesan singkat itu. Rasanya dia ingin sekali kembali ke masa kecilnya. Selalu dekat bersama Mama dan Papanya.'Nanti Echa bilang sama mas Adryan, ma,' balasnya. Ting ... Suara bell pintu apartemen mengalihkan perhatiannya. Helsa melihat ke arah jam dinding, Mas Adryan pulang secepat ini?Dengan cepat wanita hamil itu berjalan pelan menuju pintu, lalu membuka tuas pintu secara perlahan. "Helsa...,"
Adryan dan Helsa mengikuti langkah bunda memasuki rumah. Wanita paruh baya itu sama sekali tidak bicara sejak dari klinik. Mereka tahu jika bunda kecewa saat ini. Di dalam hanya ada Jefry yang sibuk berkutat dengan laptop di ruang tengah. Pria itu menyerngit heran saat melihat wajah bundanya yang ditekuk. "Bunda, kenapa?" tanya Jefry pada Adryan dan Helsa. "Bun, Adryan sama Helsa mau jujur sekarang. Kita perlu bicara ini," ujar dokter Adryan. "Kenapa?" tanya Jefry penasaran. Biasanya jika bunda dari apartemen adiknya, selalu bahagia. Apalagi setelah Adryan menikah. Bunda Marimar tidak menggubris perkataan Adryan, dia langsung masuk ke kamarnya, lalu menutup pintu rapat. "Gue dikacangin mulu," gumam Jefry"Helsa hamil," sambar dokter Adryan. "Alhamdulillah," ucap Jefry, dengan tangannya yang menengadah "Terus itu bunda kenapa? Bukannya bersyukur, udah mau punya cucu." "Helsa hamil diluar nikah," balas dokter Adryan. Helsa hanya menunduk, dia malu pada kakak iparnya.Bagai terk