Mobil porsche hitam berhenti tepat di rumah besar bernuansa putih. Suasana rumah terlihat sepi seperti tidak ada penghuninya. Kejadian malam ini membuatnya cukup trauma, melihat Akmal memukul dokter Adryan dengan beringas. Selama mereka bersama, Akmal tidak pernah seperti itu. Helsa mengalihkan pandangannya pada dokter Adryan, namun dia tersentak saat pria itu sudah menatapnya lebih dulu. Bahkan sejak tadi. Seulas senyum terpancar dari wajah lebam itu, masih tetap tampan. "Mas, maaf. Karena Akmal-" Suaranya mendadak putus saat Adryan mencium keningnya. Matanya mengerjap berulang kali, Helsa tidak mengerti apa maksud semua ini. "Untuk pukulan tadi mas maafin dia, tapi tidak untuk semua air mata kamu," ungkap Adryan sembari menatap dalam manik mata perempuan dihadapannya. "Helsa boleh minta sesuatu?" tanyanya. "Apa?" "Bawa pergi Helsa sejauh mungkin," ujarnya. "Maksud kamu?" "Helsa mau lurusin amanah papa," ucapnya final. Adryan melepaskan seat belt, mengambil posisi duduk sed
"Ma ... Echa boleh minta sesuatu?"Renata menghentikan aktivitasnya pada laptop, suara parau puterinya mengalihkan perhatiannya. Tidak biasanya Helsa mengusik waktu kerjanya saat di rumah, mungkin hanya saat dia masih kecil."Kamu minta apa? Sini," seru Renata sambil menepuk sofa agar Helsa bisa duduk disampingnya.Dengan langkah kecil, Helsa berjalan menuju Renata. Lalu duduk bersimpuh dekat kaki wanita itu, Helsa menangis."Ma, Echa boleh ikut paket aja untuk ijazah SMA? Echa mau berhenti sekolah," pintanya."Cha, are you ok? Cerita sama mama! Kamu punya masalah di sekolah? Ada yang jailin kamu, sayang?""Ma, Echa harus tanggung jawab!""Maksud kamu apa? Mama nggak ngerti? Jangan nangis kayak gini, ayo bangun!""Helsa...., hamil, Ma," lirihnya disela isakan tangis.Renata diam. Tubuhnya seketika menegang, suara Helsa barusan membuatnya bisu. Untung saja dia tidak punya riwayat penyakit jantung.Untuk beberapa saat semuanya terasa kaku, Renata membiarkan Helsa menangis."Cha, bilang s
"Banyak-banyak istirahat ya cantik. Minum air putih yang banyak, jangan stres. Nggak usah mikir hal yang memperlambat kesehatannya. Biar cepat pulang. Nggak enak lama di rumah sakit," nasihat pria berjas putih pada pasiennya.Sejak pagi, pasien di Mawar Medika begitu padat, mulai dari yang rawat jalan sampai yang rawat nginap. Tapi, dokter dengan marga Brawijaya ini tetap dengan tangan terbuka menangani semuanya.Adryan Brawijaya. Seorang dokter penyakit dalam spesialis Hematologi. Dokter yang memfokuskan diri pada komponen darah dan permasalahannya. Adryan terlahir dari keluarga kasta menengah.Pria blasteran Belanda-Jogyakarta ini bukan anak tunggal seperti Helsa ataupun Akmal, tapi dia memiliki satu saudara yang berprofesi sebagai dosen. Adryan menjadi salah satu dokter termuda di rumah sakit Mawar Medika.Pasien yang baru dinasehatinya adalah seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang mengidap leukimia atau kanker darah. Namanya Denta."Dokter udah punya istri?" tanya an
Percikan kembang api menghiasi langit kota Jakarta, sangat cantik. Dari ketinggian lantai lima belas apartemen, Helsa menyaksikan semuanya. Ini pergantian tahun pertama tanpa papanya, dan juga tanpa Akmal.Kehamilannya sudah memasuki bulan kelima, maka dari itu Adryan mempercepat pernikahan mereka. Hanya saja perutnya belum terlihat. Helsa pun sudah bertemu dengan keluarga besar Brawijaya, wanita itu diterima baik oleh keluarga itu. Apalagi bunda Marimar, ibu dari dokter Adryan sangat tertarik pada Helsa.Malam pergantian tahun ini dihabiskannya seorang diri. Helsa tidak mau diganggu, dia mau menikmati kesendiriannya, mengumpulkan segala keberaniannya untuk menemui Akmal.Ting ...Ting ...Suara bell pintu kamar apartemen mengalihkan perhatiannya. Helsa meletakkan cangkir teh yang dipegangnya, lalu beranjak menuju pintu masuk. Dia menyempatkan diri untuk melihat dari celah kecil pada daun pintu, untuk memastikan siapa yang bertamu tengah malam seperti ini.Jakarta memang masih sangat
Matahari pagi menyeruak masuk ke dalam kamar apartemen milik seorang perempuan yang masih tertidur dalam balutan selimut yang tebal. Wajah cantiknya tak luntur. Pria yang sebentar lagi menjadi suaminya tersenyum simpul menyaksikan wajah calon istrinya saat tertidur.Tangan kekarnya mengusap wajah itu. "Kamu nangis lagi," lirihnya ketika sadar akan jejak air mata pada pipi perempuan itu.Adryan tahu apa yang selalu perempuan itu tangisi. Adryan tahu bagaimana Helsa mencintai kekasihnya, sulit memang harus melepaskan orang yang sudah lama bersamanya. Dokter tampan itu akan menunggu, dia yakin suatu saat nanti Helsa pasti bisa mengikhlaskan semuanya."Helsa ... Ayo bangun!" satu kecupan mesrah pada kening membuat perempuan itu menggeliat kecil sembari membuka perlahan matanya."Mas, kok bisa masuk sini?""Ini," tunjuk Adryan sebuah kartu akses yang diberikan Renata untuknya."Mama?" tebak Helsa. Dan Adryan mengangguk.Helsa menyibak selimut, duduk dipinggir ranjang sembari menatap Adryan
Arjun memeluk Adryan begitu erat. Hari ini dia bahagia sekaligus sedih. Sedihnya karena Helsa tidak bisa bersama Akmal, dan bahagianya Helsa mendapatkan suami yang lebih baik dari bajingan itu. Begitu pun Ando pada Adryan, sudah seperti seumuran saja mereka."Pak dokter, kalau Helsa nakal marah aja. Jangan dimanjain anaknya," sarkas Ando."An…," tegur Helsa."Mas Adryan, terima kasih," ucap Arjun. "Jaga Helsa baik-baik. Cukup untuk air matanya kemarin, dia terlalu banyak menangis."Arjun seperti seorang abang yang melepas adik perempuannya menikah. Dia bahagia, sangat bahagia. Kekesalannya pada Akmal dibayar dengan kebahagiaan Helsa. Arjun pun tidak menyangka bahwa hubungan tiga tahun itu kandas begitu saja. Lucu sekali takdir."Helsa, lo harus ingat, kita masih sahabat sekaligus abang buat lo. Jangan sungkan minta bantuan selama suami lo sibuk," peringat Arjun."Makasih An, Jun. Bakal kangen kalian," kata Helsa."Sa, kelas akan seperti sayur tanpa garam. Tanpa lo dan Bella," keluh An
Selama tiga puluh menit Helsa berada di kamar mandi. Entah apa yang dilakukannya. Dan sekarang dia keluar dengan piyama coklatnya. Perasaan canggungnya masih seperti tadi, dia bahkan tidak ingin memandang pada suaminya yang sedang sibuk berkutat pada ponsel.Pria itu hanya melirik gerak-gerik istrinya yang kembali berkutat dengan skincarenya. Biarkan saja, perempuan memang selalu seperti itu."Mau tidur jam berapa?""Mas nanya Helsa?""Nggak! Mas nanya istrinya Mas," jawab Adryan."Kan Helsa-" suara lembut itu mendadak berhenti saat Adryan sudah berdiri di belakangnya, menatapnya dari pantulan cermin."Kamu cantik," sebut Adryan. Helsa membalas pujian itu dengan seulas senyum."Kamu tahu, Sa? Mas selalu percaya takdir," ujar Adryan. "Dan sekarang, lebih percaya lagi.""Kenapa gitu?" tanya Helsa, mendongak ke arah suaminya."Karena kamu," jawab Adryan cepat.Keputusan Adryan menikahi wanita itu tidak pernah disesalinya. Dia bahagia sekali bisa miliki Helsa seutuhnya, meskipun Adryan ta
Dua manusia dengan tubuh polos yang ditutupi selimut tebal tertidur begitu pulas diatas ranjang hotel yang menjadi resepsi pernikahan mereka kemarin. Pakaian yang mereka kenakan semalam berserakan di lantai. Tampaknya pasangan baru ini melewati malam yang luar biasa ya saudara-saudari. Adryan bangun dari tidur panjang, sebuah panggilan masuk mengharuskannya untuk menjawab. Kalau bukan karena ibunya, Adryan enggan menjawab panggilan tersebut."Adryan sama Helsa masih di hotel, bun," ujar pria itu dengan suara khas orang bangun tidur."Helsa?" sebutnya, pria itu melirik ke samping wanita yang masih tertidur lelap, "masih tidur.""Iya, nanti kita kesana. Adryan kan cutinya sembilan hari. Tapi, sebelum kesana, mau beberes barang-barang milik Helsa yang sudah di apartemen." Adryan memang masih harus menetap di apartemennya, karena rumah pribadinya sedang dalam pembangunan. Orang tuanya menawarkan untuk tinggal bersama, namun hal tersebut ditolaknya."Bye bun," ucap Adryan dan memutuskan