Lima hari sebelumnya .... Derap langkah sepatu pantofel begitu menggema di sepanjang koridor rumah sakit. Perasaan cemas dan gelisa terus menghantuinya, peluh keringat membasahi wajahnya. Dokter Adryan yang seharusnya sudah beristirahat di rumahnya, harus kembali ke Mawar Medika. Dokter Marcell menghubunginya sekitar tiga puluh menit yang lalu saat ia baru saja pulang bersama sang istri. Keadaan Denta memburuk, gadis kecil itu dilarikan ke rumah sakit lagi. Sesampainya di ruang ICU, jeritan tangis menyambutnya masuk ke dalam sana. Semua alat bantu pernapasannya sudah dilepas, wajah gadis kecil itu sudah pucat dan kaku, tangannya sangat dingin. Adryan mengambil Defibrillator, lalu memasang kembali pada beberapa bagian tubuh gadis kecil itu. Tidak lupa ia memasang kembali oksigen, dan mulai menjalankan alat tersebut untuk mengembalikkan detak jantung Denta. "Dokter Adryan, Denta sudah tidak bersama kita," ucap salah satu perawat disana. "AdAdAdryan, cukup! Denta sudah pergi, biarka
Akmal bersandar pada kepala ranjang, memeluk erat pacarnya. Tak henti mencium puncak kepala gadis yang selalu ia rindukan, yang selalu ia tunggu kehadirannya. Helsa kembali, gadis itu tidak benar-benar pergi. Helsa menepati janji untuk bersamanya selalu. "Jangan pergi lagi," titah Akmal, ada kerinduan dari sorot matanya. "I miss you," ucap Helsa, tangannya membalas pelukan pacarnya lebih erat. "Sa, anak kita," sebutnya sembari menyentuh perut pacarnya yang buncit. Akmal terlonjak saat mendapat satu tendangan dari janinnya, setitik air mata meluruh, ia terharu. "Kata dokter, jenis kelaminnya cowok," ujar Helsa, mengusap air mata pada pipi laki-laki itu. "Dia bisa jagain aku," tambah Helsa. "Aku juga bisa jaga kamu," tanda Akmal tidak mau kalah. Masa anaknya saja yang bisa menjaga Helsa. "Iya, kamu juga." Keduanya larut dalam perbincangan hangat. Akmal menceritakan keadaan nya semasa ditinggal Helsa. Begitu juga Helsa, banyak hal yang ia ceritakan setelah perpisaha
Denting jam dinding berbunyi seiring dengan isak tangis wanita di sampingnya. Adryan mengerjap matanya berulang kali, menoleh ke sang istri yang tertidur. Helsa mungkin tertidur, namun tidurnya sembari menangis. Semenjak mereka menikah, kejadian seperti ini sudah berulang kali Adryan lihat. Alam bawa sadarnya kembali menjerit. Bahkan wanita itu menangis hingga sesegukan, terkadang Helsa akan bergumam menyebut papanya seraya menangis. Lebih parahnya, nama Akmal pernah ia gumamkan. Tapi itu saat sebelum mereka nikah. Adryan menjadi saksi bagaimana hancurnya seorang Helsa yang dikhianati pacarnya. Helsa mungkin tidak pernah menyadari hal tersebut, maka dari itu Adryan tidak pernah membicarakan hal ini Ia membawa Helsa tidur dalam pelukannya, mengusap punggung wanita itu, membisikkan kata-kata penenang. Hingga wanita itu tertidur tanpa menangis. Adryan tahu kebahagiaan yang diberikannya belum bisa menyembukan luka masa lalu istri kecilnya itu. "Jangan nangis, Helsa. Mas disini buat k
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, Ranaya baru saja masuk ke rumah. Di dalam sana, gadis itu disambut oleh Mamanya dan Akmal. Laki-laki itu sudah di rumahnya sejak satu jam lalu. Ada urusan apa dia kemari? "Kamu pulangnya kurang malam, Ranaya," tegur Mamanya, "Akmal nungguin kamu dari tadi." "Macet, Ma," selah Ranaya. "Akmal, tante ke belakang ya," pamit wanita itu. "Baik tante," jawabnya dengan sopan. Ranaya meletakkan beberapa paperbag diatas sofa, duduk disana dan memandang penuh curiga pada laki-laki itu. "Ada keperluan apa lo ke rumah?" tanya Ranaya langsung ke intinya. "Lo habis dari mana?" Akmal balik bertanya. "Belanja, makan, nonton. Kenapa emang?" "Sama Helsa?" tebak Akmal. Ranaya tidak begitu terkejut saat Akmal menyebut nama sahabatnya, tampak biasa saja. Malahan gadis itu menyerngit. "Lawak lo? Gue aja nggak tahu Helsa dimana," seru Ranaya. "Ray, udah nggak ada yang perlu lo tutupi. Helsa masih di Jakarta, kan?" Ranaya mendengus pelan, "iya, tadi gue
Good morning, Sunshine. Mas berangkat lebih pagi ya, sayang. Jangan lupa sarapannya dimakan. Kalau udah mau berangkat chat Mas. Ingat, pulangnya nggak boleh malam. Nggak boleh capek, nggak boleh makan makanan atau minuman cepat saji. Secarik stick notes berwarna orange tergeletak diatas nakas, bukan hanya itu, ada sarapan juga disana. Roti gandum dan susu sudah tersedih untuknya, oh satu lagi jangan lupa bahwa Adryan juga meninggalkan black card untuknya. Padahal Helsa selalu mengatakan bahwa uang bulanan sudah sangat cukup untuknya, apalagi Renata juga masih memberikan uang bulanan untuknya. Dan jangan lupakan uang mahar miliknya yang belum ia pakai sama sekali. Kepada Renata, Helsa sering mengatakan tidak enak hati karena mamanya itu masih memberi uang bulanan untuknya. Karena bagi Helsa, dia sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Begitu pun Adryan, pria itu selalu mengatakan kepada Renata untuk tidak memanjakan Helsa seperti itu. Wanita itu sudah menjadi tanggung jawabnya. B
Ujian Nasional berjalan dengan semestinya. Ini hari keempat sekaligus menjadi hari terakhir. Khusus hari terakhir ini, Adryan tidak berangkat ke rumah sakit hanya untuk menemani istrinya ujian. Dan lihat, pagi sekali pria itu sudah sibuk membuat sarapan untuk istrinya, yang pastinya dibantu mbak Intan. Hari ini ia bangun lebih cepat dari biasanya. Sedangkan ibu hamil itu masih terlelap. Pria itu pandai dalam mengolah makanan, hanya saja sejak menikah ia menjadi malas. Selama di apartemen kemarin Helsa yang selalu masak untuknya, namun seiring berjalannya waktu ia tidak mengijinkan istrinya bekerja. Oatmeal dengan potongan strawberry, roti gandum isi telur dan sedikit alpukat, susu ibu hamil sudah tersedia diatas meja makan. Jangan lupakan beberapa menu sarapan untuknya sendiri. "MAS ADRYAN!!!" Adryan yang sedang meneguk air putih seketika tersedak saat suara teriakan yang diiringi tangisan dari dalam kamar menggema. Gelas yang tadinya dipegang sekarang berpindah ke lantai dan menj
Aroma lavender dalam ruangan membuat Helsa betah berlama-lama disini. Kamar ini menyimpan sejuta kenangan bersama sahabat-sahabatnya. Bahkan kenangan bersama mantan pacarnya. Helsa ingat sekali saat bagaimana enam orang gadis dengan seragam SMA yang berdesakan tidur di atas ranjang itu, bahkan Diandra dan Bella sempat jatuh ke lantai. Bicara soal Bella, apa kabar dengan gadis itu? Helsa sudah memaafkannya. Rindu, Helsa merindukan mereka. Mungkin sekarang gadis-gadis itu sedang berlibur menikmati masa muda mereka atau mungkin sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke universitas. "Sampai bertemu lagi," ucap Helsa. Pertemuan beberapa hari lalu mungkin menjadi yang terakhir, karena Adryan sudah tidak mengijinkan istrinya untuk keluar apalagi dengan kondisi kehamilan Helsa yang sudah membesar. Katanya, jika teman-temannya ingin bertemu, langsung saja ke rumah. Helsa membuka laci nakas, disana ada sebuah flashdisk dan ponsel lama milikknya. Ponsel itu sudah tidak ia paka
Adryan melangkah tegas memasuki ruangan dokter Bagas, Kepala Rumah Sakit Mawar Medika. Tidak memakai pakaian formal seperti biasa, pria itu hanya mengenakan celana training dan kaos berwarna abu-abu yang dibalut dengan hoodie hitam. Di ruangan dokter Bagas, Daniel masih ditahan sejak kejadian siang tadi. Laki-laki yang berprofesi Analisis Kesehatan itu terlihat sangat berantakan. Adryan menahan emosinya saat melihat Daniel, begitu pun dengan Daniel yang sama sekali tidak ingin melihat Adryan. Perbuatannya salah karena sudah membahayakan nyawa seseorang, apalagi orang itu adalah istri dari pria yang hatinya begitu mulia. "Helsa sudah di kamarnya, dokter Adryan?" tanya dokter Bagas. "Sudah, mungkin sebentar lagi suster Diana akam memasang infus," jawabnya. Dokter Bagas mengalihkan atensinya pada Daniel yang sejak tadi tidak bersuara. "Bicara seperti apa yang mau kamu sampaikan pada dokter Adryan, jangan mengulur waktu," tegas dokter Bagas pada Daniel. "Saya hanya disuruh, dokter.
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad