Lautan darah hitam tercipta, memenuhi jalan utama Kota Suralaya yang senggang. Tubuh-tubuh yang kurus kering, tinggal tulang yang terbalut kulit tergeletak di sana-sini. Potongan tangan, bahkan hingga kepala pun ikut memeriahkan acara menghias jalanan besar tersebut.
Aku terengah, menatap satu persatu anatomi tubuh yang terlepas dari batang kokohnya karena tebasanku. Sudah setengah jam berlalu, tapi jumlah dari makhluk menjijikkan ini tidak berkurang sedikit pun. Semakin bertambah hingga membuat kami kewalahan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang membuatku terkejut.
Mereka membawa bahan peledak! Entah dari mana mereka mendapatkannya, tapi yang pasti mereka mengerti cara menggunakannya. Dan itu membuat kami kewalahan karena harus menghindari tempat yang dilempari bahan peledak tersebut.
“Kalau begini terus, kita bisa mati di sini!” Tidak jauh dari tempatku, Helios terdengar sedang mengeluh. Kondisinya sama sepertiku. Terengah, keringat membanjiri tubuh, dan merasa kesal. Tangannya kembali mengayunkan pedangnya dan membelah dua zombie sekaligus menjadi dua. “Kalau terus berhenti di sini, kita akan mati!”
“Haruskah kita berlari, mencari suatu tempat untuk memusnahkan mereka sekaligus?” tanyaku disela usahaku untuk memotong zombie yang hendak menyerang punggung Eugene.
“Ide yang bagus!” Asher menyahuti dari ujung sana. Sedang berhadapan dengan segelintir makhluk kurus kering itu dan kemudian membuka jalan. “Kita pergi ke arah sini. Semoga saja ada bahan peledak yang tersembunyi di sana!”
Kami langsung berlari, dan gerombolan zombie itu langsung mengikuti kami. Mereka berdesis berisik, sesekali mengeluarkan tawa melengking seakan-akan mereka kegirangan karena kami berlari ketakutan menghindari mereka.
Itu sangat menyebalkan kalau boleh jujur.
“Lihat di sana! Ada seseorang!” teriak Helios seraya menunjuk ke sebuah siluet manusia yang berada di sebuah perempatan yang cukup jauh dari posisi kami.
Aku justru mengernyit. Merasa aneh dengan keberadaan sosok manusia itu yang berdiri dengan tenang seperti sedang menunggu seseorang. Maksudku, mengapa ia bisa begitu tenangnya berdiri sendirian di kota kosong yang dipenuhi oleh zombie? Jika bukan manusia, berarti dia....
Aku membulatkan mataku saat sebuah kilatan cahaya terlihat dari sosok manusia tersebut. Sesuatu dengan cepat melesat ke arah kami, “Menunduk!” teriakku sembari mendorong Helios untuk tengkurap di aspal saat kilatan cahaya itu melesat begitu saja di atas kami.
“Musuh!” bisik Jeremy yang tengkurap tidak jauh dari posisiku dan Helios, “Dia pasti Reptilian!”
Dugaanku benar. Ketika kami beranjak dari posisi tengkurap kami, sesosok manusia itu berjalan mendekati kami dengan tenangnya. Kami terpojok. Di belakang sana ada gerombolan zombie, lalu di depan kami ada seorang Reptilian yang menjadi musuh utama kami setelah wabah ini menyebar.
Reptilian itu semakin terlihat jelas di mataku. Dia laki-laki, berkulit sangat pucat dan bersurai keemasan yang bersinar di bawah terik matahari. Tangannya terlihat seperti sedang menghempaskan angin dan kemudian angin kencang berembus menabrak kami berlima yang sekuat tenaga tetap menapak pada aspal.
Berbeda dengan gerombolan zombie di belakang kami. Mereka terhempas, beterbangan beberapa meter ke belakang dan berakhir mati karena benturan kuat dengan beton ataupun aspal. Begitu angin itu berhenti berembus, aku menghunuskan pedangku ke arah pria Reptilian tersebut.
“Bajingan gila! Dia tersenyum seperti seorang psikopat gila dan terlihat menjengkelkan di mataku.” Jeremy memekik dengan dahi mengernyit jijik. “Dia pasti berpikir senang karena menemukan kita di sini. Bukankah dia tidak bisa menembus pertahanan Kota Erythroupoli berkat bantuan Pak Ashen? Aku rasa dia memanfaatkan misi penjelajahan kita untuk menangkap manusia.”
“Dugaanmu benar sekali, anak muda.” Dia, Reptilian itu, berbicara. Membenarkan dugaan Jeremy yang terlihat terkejut. “Apalagi hasil tangkapanku hari ini ada keturunan Anubis dan Demeter!” Dia menyeringai, memamerkan gigi taringnya yang runcing, melebihi dari gigi Vampir yang digambarkan dalam film-film. “Ah... Apa yang akan terjadi jika Virus Rusa Zombie itu disuntikkan pada tubuh kalian? Apakah akan menjadi makhluk-makhluk kurus kering di belakang sana? Atau justru menjadi Reptilian sama sepertiku?”
Aku merinding saat melihat kilatan di mata Reptilian itu. Dia hebat juga menyadari jika ada keturunan Anubis dan Demeter di sini.
Reptilian itu tanpa terduga melesat dalam satu kedipan mata dan berhasil berdiri di hadapanku. Tak membiarkanku menghindar ataupun terjebak dalam euforia keterkejutan, dia mencekik leherku dengan cukup kuat hingga membuat napasku tercekat. Rasa pusing mulai mendera ketika jalur pernapasanku menjadi sulit. Semakin menjadi ketika Reptilian itu mengangkat tubuhku ke udara dengan cengiran lebarnya.
Eugene terlihat panik namun tak bisa bergerak karena suatu hal. Sepertinya Reptilian ini melakukan sesuatu kepada gaya gravitasi di sini sehingga membuat semua rekan kelompokku kesulitan bergerak.
“Kau berdarah murni keturunan Anubis.” Dia menyeringai, mengarahkan jari telunjuknya yang berkuku panjang dan runcing ke mata kiriku. “Bagaimana rasa darahmu? Apakah manis? Atau rasanya sangat sulit dijelaskan?” Aku menatap horor jarinya yang menyentuh kulit di atas alisku. Perasaanku menjadi tidak enak. “Baiklah, kenapa tidak kita coba?”
SRET!
Gila! Aku menjerit kesakitan yang terdengar seperti geraman seseorang yang sedang sekarat karena cengkeraman kuat di leherku. Dia, Reptilian gila itu dengan santainya menggoreskan jarinya yang berkuku tajam dan panjang itu dari alis dan turun ke tulang pipi kiriku. Melewati mata kiriku begitu saja. Rasa perih berdenyut hebat di sana dan sepertinya, bola mataku terkena goresannya dan bisa jadi aku mengalami kebutaan permanen setelahnya.
Reptilian itu tertawa, terlihat kesenangan saat sebelah wajahku dibanjiri darah segar. Jari yang digunakannya untuk melukaiku dia arahkan ke mulutnya sendiri, mengemutnya hingga terdengar sebuah erangan kenikmatan karena cita rasa darahku.
“Cita rasa yang luar biasa! Haruskah kusimpan kau di kamarku dan menjadikanmu boneka peliharaanku? Menyediakan darah dan juga kebutuhan ranjangku kelak?” Dia berbicara tanpa melunturkan ekspresi kesenangannya sembari menjilati darah yang mengalir di pipiku.
Tubuhku menjadi lemas, hampir saja memasrahkan semuanya pada cekikan kuat di leherku jika saja tiba-tiba genggaman tangan kuat itu terlepas. Tak sempat jatuh ke tanah, tubuhku berada di pelukan Reptilian itu. Melompat ke sana kemari saat tebasan pedang terasa menebas angin.
Aku berusaha memfokuskan penglihatanku karena kabur setelah hampir napas. Ada Eugene di sana. Berlari seraya menebaskan pedang kesetanan, mengejar Reptilian ini yang sedang membawaku.
“Wah, ada keturunan Anubis lain yang mampu melepaskan pengaruh Manipulasi Gravitasi yang kuciptakan barusan.” Dia berkomentar dengan santainya sambil menghempaskan pedang Eugene dengan begitu mudah. “Apakah gadis ini adikmu? Wah sayang sekali. Bolehkah aku membawa adikmu ini? Darahnya sangat enak! Atau kau juga bisa ikut denganku!”
Eugene terlihat marah. Namun kemarahan itu berubah menjadi ekspresi keterkejutan saat terdengar suara ledakan dari atas kami, bersamaan dengan runtuhnya sebuah bangunan pencakar langit itu dan reruntuhannya terjun bebas ke arah kami.
Dan entah bagaimana bisa, aku terlempar ke arah sebuah ledakan lain terjadi. Yang membuatku terjebak di antara kobaran api dan reruntuhan. Aku merasakan rembesan darah keluar dari punggungku. Apakah sekarang ini aku terluka parah? Lalu, bagaimana dengan yang lain? Di luar sana masih ada Reptilian. Eugene, kakakku, pasti terluka saat ini.
Perlahan visi yang diterima oleh retinaku perlahan memburam. Tidak! Jangan sekarang! Aku ingin menggerakkan tubuhku, tapi tidak bisa. Rasa sakit mulai menghantam ke seluruh tubuh, berpusat pada mata kiriku yang berdenyut nyeri luar biasa.
Di tengah-tengah rasa sakit dan detik-detik kematianku. Sesosok manusia berwajah tampan tanpa eskpresi tiba-tiba muncul begitu saja di pandangan buramku. Dia laki-laki, matanya berwarna ungu dan bersinar entah karena apa.
“Kau sekarat.” Dia berbicara padaku sembari membawaku ke pelukan hangatnya. “Apakah kau ingin hidup?”
Tentu saja bodoh! Aku masih ingin hidup. Aku belum menempatkan keluargaku di tempatnya yang seharusnya di Keluarga Utama Andromeda. Aku masih memiliki janji bertemu dengan Erika.
“Keinginan untuk terus hidupmu kuat juga, ya? Aku akan bertanya satu hal lagi padamu.” Suaranya mulai terdengar samar, sebuah tanda bahwa kematianku semakin dekat. “Kau akan hidup, tapi bukan sebagai seorang manusia. Kau akan hidup sebagai seorang Seraphie berkat bantuanku. Apakah kau sanggup?”
Apa pun itu... aku sanggup. Asalkan aku bisa hidup kembali. Tidak masalah kalau aku akan hidup sebagai Vampir atau pun Iblis.
“T—tidak masalah ...” sial! Suaraku tercekat dan terdengar seperti bisikan. Apakah orang asing itu mampu mendengarku?
Kulihat dia tersenyum, kemudian mengarahkan telapak tangannya yang besar ke mataku. Rasa kantuk tiba-tiba menyerangku, hendak mengirimku kepada kegelapan abadi saat sesuatu yang bersifat cair dan amis tertelan oleh mulutku.
Aku tidak tahu cairan apa itu. Namun yang kutahu selanjutnya adalah, rasa panas tiba-tiba menjalar ke seluruh pembuluh darahku yang kehilangan banyak isinya. Dan setelahnya, semuanya benar-benar gelap.
Yveria Andromeda, dinyatakan gugur dalam bertugas pada hari Senin, 07 September 2020.
To Be Continue.
Serpihan-serpihan ingatan yang berisikan kobaran api mengganggu kegelapanku.Eugene yang berlari kesetanan mengejar Reptilian yang menyanderaku.Kemudian terdengar sebuah ledakan dan berakhir aku mati di pelukan seseorang misterius.Aku melompat bangun. Memaksakan membuka mata begitu saja hingga sebuah denyutan yang terasa perih di kelopak mata kiriku. Sebelah pandanganku juga terlihat gelap. Apakah aku mengalami kebutaan di sebelah mataku?Ada sebuah rasa sakit lain yang terasa di berbagai tempat di sekujur tubuhku. Ada sebuah perasaan hampa, dan sebuah rasa lapar yang sangat luar biasa hingga membuat tenggorokanku terasa kering. Mungkin jika aku bersuara sedikit saja bisa menyebabkan tenggorokanku lecet.Namun mengabaikan kekhawatiranku, aku memilih untuk melihat sekitar. Tempat yang sangat asing. Usang, berdebu, terlihat sudah ditinggalkan pu
Di sinilah aku. Berada di sebuah ruangan yang sepertinya adalah sebuah kantor di masa lampau. Bersama dengan Aquilla yang sedang sibuk memperhatikanku yang berdiri kikuk di hadapannya. Pria itu menyenderkan bokongnya pada meja yang telah berjamur, kedua tangannya menyilang di dada. Benar-benar terasa seperti aku sedang diinterogasi oleh atasan karena melakukan kesalahan.“Sejujurnya, aku juga merasa takjub dengan kecepatanmu menerima suatu hal di luar logika, seperti saat ini.” Dia membuka suara setelah sekian menit diselimuti keheningan. “Tapi itu membuatku bisa menghemat waktu untuk meyakinkanmu akan kenyataan.”Aku hanya mengangguk dan terus menatap Aquilla yang melakukan hal yang sama denganku. Tidak ada percakapan lagi selanjutnya. Kembali diselimuti keheningan, membiarkan suara-suara alam dan desis angin menguasai indra pendengaran kami.“Kau tahu siapa aku?”
Tepat tengah malam, aku berada di atas bukit di sebuah padang rumput maha luas bersama dengan Seonghwa. Setelah sesi perkenalan itu, Aquilla tanpa menjelaskan apa pun lagi langsung memerintah Seonghwa untuk menjadi pemanduku dalam pelajaran pertama sebagai seorang Seraphie.“Aku sudah mendengar garis besarnya dari Aquilla tentang dunia ini,” ujarku membuka percakapan dengan kakak satu darahku yang sedang berdiri di ujung bukit kecil ini. “Jadi, kau sudah setua apa untuk menjadi seorang Seraphie?” Hening sejenak, kakak satu darahku itu tak bergeming sama sekali. Angin malam yang dingin yang tak dapat kurasakan berembus, menerbang surai hitamku dan juga Seonghwa yang masih berdiri di sana. Mendongak menatap langit yang bertabur bintang.“Empat puluh delapan tahun.” Seonghwa bersuara tanpa emosi dan tak berniat mengalihkan sed
Aku membulatkan mataku karena tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Yoon Seonghwa, dengan santainya mengizinkan para perampok itu untuk bersenang-senang denganku. Amarahku mendadak menyentuh ubun-ubun. Iblis di dalam tubuhku pun meraung, merasa tidak terima dengan ucapan kakak satu darahku itu. “Yoon Seonghwa,” panggilku, merasa terkhianati dan dia tetap bergeming, bahkan dia tak menoleh kepadaku ataupun melirikku. Menyebalkan. “Ini pelatihanmu. Aku yakin kau bisa bela diri jika dilihat dari pakaianmu yang kau pakai saat pertama kali Aquilla membawamu kemari.” Akhirnya dia bersuara namun tetap saja menyebalkan di mataku. Aku mendengus kesal, mengarahkan mataku untuk melihat salah satu dari mereka, para perampok itu, mendekatiku dengan senyuman nakalnya. Mungkin pria gendut dengan tangan yang diselimuti oleh kotoran itu berpikir kalau anak perempuan
Sedikit mengentakkan kakiku dengan sengaja karena kesal, Aku melangkah menuju Aquilla. Kuharap pria tampan itu masih berada di ruangannya.Seonghwa benar-benar pergi, tanpa memberikanku sebuah kesempatan untuk menyusulnya karena rasa penasaran yang melambung tinggi ke atas langit. Alhasil, aku merasa kesal seperti seorang anak kecil yang ditinggal kakak tercintanya.Dan itu membuatku merinding.Aku terperanjat terkejut saat pintu coklat yang hendak kubuka tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Menampilkan wajah dingin Aquilla yang melemahkan sedikit otot wajahnya. Baru kali ini kulihat wajah terkejutnya itu.“Fajar masih lama, cepat sekali kau kembali,” ucapnya segera menutup kembali pintu coklat tersebut dan kami berdiri saling berhadapan. Sial, tinggi badanku hanya sebatas tulang selangkanya saja. Dan itu membuatku harus mendongak untuk menatap tepat di mata ungunya.
Aku melompat dan terbangun di malam berikutnya karena sebuah suara gaduh dari luar gudang ini.Sebuah gudang yang tak tersentuh oleh cahaya matahari sedikit pun dan aku memutuskan untuk tidur di sini setelah mengucapkan selamat tidur kepada Aquilla. Dan benar saja, aku membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk terpejam.Aku beranjak dari posisiku, duduk meringkuk di sudut gudang. Keluar dari tempat ini untuk memeriksa apa yang sedang terjadi di luar sana. Lorong gelap dan berbau apak. Berantakan. Kertas-kertas berjamur yang berserakan di seluruh lantai kayu yang berderit setiap kali kuinjak. Dan terkadang aku mencium aroma darah yang sudah disamarkan oleh bau jamur yang entah pusatnya di mana.Aku menengok di balik tembok berjamur dan retak, mendapati sosok Yoon Seonghwa yang sedang berhadapan dengan seorang pria yang tak kukenal di ruang terbuka di bangunan tua ini. Pria itu bersurai hitam kec
Lusinan kilometer sudah kami lewati ketiak tengah malam tiba.Melewati padang rumput, hutan kecil, dan juga reruntuhan bangunan. Aquilla membimbing kami semua menuju ke arah timur tanpa istirahat ataupun sekedar berbelok untuk berburu darah. Perjalanan kami sesekali terhenti karena pertikaian antara Jake dan Seonghwa yang selalu berakhir dengan baku hantam.Awalnya mereka saling melontarkan ejekan, kemudian memaparkan semua dosa-dosa mereka masing-masing, saling menyalahkan atas dosa tersebut, dan berakhir mereka saling berbagi bogem mentah . Aquilla sendiri hanya sesekali memberi peringatan pada mereka, tanpa berniat melerai.“Apakah kalian berdua bisa berhenti berdebat seperti itu?!” Aku bertanya untuk ke sekian kalinya. Belum genap setengah jam baru saja saling memukul, kedua kakak satu darahku itu kembali berdebat. “Terlalu banyak luka yang kalian ciptakan walaupun sembuh d
Dua hari melakukan perjalanan dengan mereka bertiga membuatku menyadari suatu hal begitu sampai di tempat yang kami tuju.Dunia ini tidak ada bedanya dengan dunia asalku.Bekas-bekas peradaban yang maju, adanya Reptilian Sangmixta, serta keegoisan manusia-manusia yang melekat sejak dilahirkan.Bahkan aku juga bertemu dengan Ghoul, makhluk yang sama seperti di duniaku. Mereka kurus kering, pucat, mata yang memutih serta mulut penuh busa dan air liur, mereka membungkuk, dan juga agresif.Satu malam sebelum akhirnya kami berhasil menapaki tanah sebuah perkemahan, sekumpulan Ghoul menghadang jalan kami. Menggeram dan berdesis kelaparan kepada kami karena mungkin mereka mengira kami adalah sekumpulan manusia bodoh yang berkeliaran pada malam hari.Tentunya kami dengan mudah mengalahkan mereka walaupun sempat menderita luka cakaran ataupun gigitan yan
“Yoon Seonghwa!”Sang pemilik nama merespons panggilanku. Pemuda bersurai kelabu itu berbalik, sepenuhnya menghadap ke arahku. Ekspresi wajahnya mengalami banyak perubahan setelah perubahan Yoon Seonghwa menjadi vampir. Tidak ada lagi keramahan di wajah tampannya itu. Hanya ada ekspresi keras penuh amarah yang entah ditujukan kepada siapa. Dan kalau boleh jujur, itu membuatku merasa kecewa dan semakin merasakan kehilangan sesosok figur ‘kakak’ yang penyayang. “Kau sudah kembali?” Tetapi, aku masih bisa merasa bersyukur karena karakternya tidak setajam ekspresi wajahnya. Nada suaranya masih terdengar ramah, seperti biasanya. Yoon Seonghwa tidak sepenuhnya berubah, mungkin hanya ketika berhadapan denganku.Aku mengangguk singkat, melirik sebentar pada Aquilla yang kini memasuki rumah yang kami tinggali saat ini, “Bagaimana dengan pelatihanmu dengan Jake?”Ekspresi wajahnya itu semakin bervariasi. Ada perasaan jijik terpatri di sana, yang membuatku merasa bingung sekaligus mulai menum
“Memang tidak baik bagi kita untuk menunda waktu. Tetapi, keadaan memaksa kita untuk menetap di sini beberapa malam lagi.”Ucapan Aquilla di akhir rapat semalam benar-benar masih terngiang-ngiang di benakku. Bahkan aku masih dapat mengingat euforia setelah mendengar pernyataan Aquilla yang secara tersirat memberikan waktu libur kepada kami. Hal tersebut tentunya tidak dimanfaatkan dengan berleha-leha dan membuang-buang waktu untuk hal yang tidak perlu. Yoon Seonghwa kembali mengulang pelajarannya. Bukan dengan Aquilla, melainkan dengan Jake. Kakakku itu harus membiasakan diri dengan kehidupan vampir. Karena, menurut penuturan Aquilla, kehidupan dan cara bertahan hidup antara vampir dan seraphie itu beda tipis. Jake tentu saja tidak keberatan untuk mengajari Yoon Seonghwa. Meskipun terkadang mereka beradu mulut sih. Lalu, Ahin memanfaatkan waktu libur ini dengan cara mengistirahatkan tubuhnya secara total. Biar bagaimana pun, Ahin adalah seorang manusia. Meskipun ia mampu terjaga se
Seperti pada malam sebelumnya, aku terbangun begitu matahari mulai beristirahat. Senja baru saja berakhir saat aku beranjak dari atas ranjang. Aku tidak merasakan kehadiran Aquilla saat terbangun. Mungkin saja dia terbangun lebih awal dan pergi ke suatu tempat, tetapi tidak begitu jauh dari sini. Suasana yang begitu sunyi berhasil membuatku tenggelam dalam renungan. Menyelami bagian terdalam dari pikiranku sendiri, membentuk berbagai cabang yang melebar ke segala arah. Aku semakin larut dalam lamunanku tatkala aurora berwarna ungu kembali muncul di atas langit. Pancaran cahaya yang menari-nari pada lapisan ionosfer itu tampak begitu indah dan membuatku semakin larut dalam pikiran. Tetapi, penampakan cahaya berwarna ungu itu mampu membuat tubuhku tenang. Semua pikiran semrawut seperti benang kusut itu lenyap entah ke mana, menguap begitu saja bagaikan embun yang melebur ke dalam oksigen ketika mentari semakin tinggi sinarnya. “Sedang memikirkan apa?”Aku tersentak terkejut saat sebu
“Tunggu, Aquilla,” cegahku saat ujung pisau tajam itu hendak mengenai punggung Yoon Seonghwa. Hendak merobekkan lapisan kulit tersebut untuk mengeluarkan sesuatu yang tertanam di sana. “Kau yakin tidak akan membunuhnya?” tanya Jake, “Bagaimana jika dia mati saat kau berusaha mengeluarkan parasit itu? Kau tahu sendiri bukan Zhou Yanchen itu selicik apa? Bisa jadi dia sudah memperkirakan ini, lalu menanamkan parasit pada tubuh Yoon Seonghwa untuk membuat kita terpecah belah karena selisih paham.” Aquilla tampak terdiam, terus memandangi punggung Yoon Seonghwa yang telah ia robek baju pasien yang pria bersurai kelabu itu kenakan. Sesuatu dibalik kulit punggung Yoon Seonghwa terlihat bergeral acak yang membuatku ngilu. “Keberadaannya akan menjadi sebuah malapetaka jika dibiarkan terus hidup. Tetapi, kalian berdua akan menyerangku jika aku membunuhnya,” suara Aquilla terdengar dingin. Dia beranjak dari posisinya, berdiri menjulang di hadapan Yoon Seonghwa dengan tatapan dingin dan penu
Suara gesekan pedang yang beradu. Mengusik gendang telingaku, hingga membuat tubuh ringkihku terasa ngilu. Suara-suara itu memaksaku untuk terbangun dari tidur panjangku. Dengan perlahan, kelopak mataku terbuka dan berkedip beberapa kali. Semua yang kulihat buram, hanya terlihat siluet dua orang pria yang sedang beradu pedang.Aku mengedarkan pandanganku, melihat ke sekeliling. Ruangan yang digunakan sebagai arena pertempuran antara kami dengan Yoon Seonghwa, tampak berantakan seperti kapal pecah. Dinding-dindingnya retak, bahkan sudah ada lubang cukup besar di beberapa sisi, lemari, brankar, dan rak roboh, juga pecahan kaca berhamburan di lantai. Menandakan betapa dahsyatnya pertempuran antara seorang Spirit Rasi Bintang dengan Vampir yang baru terlahir. Sebuat saja Baby Vampire.Aku mengalihkan pandangan ke dekat jendela. Kulihat siluet dua lelaki dewasa tengah bertarung. Karena membelakangi cahaya, karena itu aku tidak tahu siapa mereka. Ka
Tubuhku menegang kaku ketika sesosok pria yang sangat kukenali tersebut, muncul dari balik gordeng yang tersingkap.Tubuh tinggi yang terlihat semakin kurus, namun tidak sekurus para ghoul di luar sana. Surai kelabunya terlihat lepek, sepertinya sempat basah karena keringat. Juga ... entah kenapa aku merasa merinding hanya karena kehadiran sesosok Yoon Seonghwa tersebut.Ada yang tidak beres dengan kakak satu darahku tersebut.Jake merangsek maju, tanpa sadar menabrak bahuku, karena saking antusiasnya dia untuk bertemu dengan Yoon Seonghwa. “Yoon Seonghwa, sialan! Kau membuatku kerepotan! Kau tiba-tiba menghilang bagaikan ditelan oleh bumi dan—“Aku mengernyitkan dahi ketika menyadari jika Jake tiba-tiba saja terdiam. Vampir berusia 65 tahun itu tadinya terlihat senang dengan mata polos bak anak kecil. Walau Jake telah hidup sebagai vampir selama 65 tahun, di dunia manusia, umurnya seperti pria 20 tahun
Aku memandang ragu pada Aquilla yang tampak menyetujui rencana yang kuucapkan tersebut.“Kau yakin menggunakan cara ini? Aku saja ketika memainkan gamenya selalu gagal dan berakhir aku menangis karena takut,” ujarku kembali menanyakan keputusan Aquilla tentang rencanaku.Rencanaku adalah, untuk mengalahkan makhluk yang disenjatai wolverine claws itu, kita harus melumpuhkan parasit di punggungnya. Karena bentuknya yang hampir sama seperti pada sebuah video game yang kumainkan di sela latihan militer.“Dan jika kelemahannya bukan pada punggungnya, kita tinggal memenggalkan kepalanya, bukan?” Aquilla terlihat tersenyum miring, mengejekku yang meragukan keputusannya, “Atau begini saja. Kamu yang bertugas untuk menembakinya, dan aku menggunakan pedangku untuk memenggal kepalanya.”“Bagaimana jika kulit kepala itu keras seperti cangkang kura-kura?” tanyaku merasa tidak mau kalah karena di
Perbincangan kami yang sebenarnya tidak begitu masuk di akal tersebut, berakhir begitu saja ketika terdengar suara desisan yang selalu dikeluarkan oleh ghoul muncul di sekitar kami. Alhasil, Aquilla bergegas bangkit dari duduknya, mempersiapkan senjata api laras panjangnya kemudian menembaki ghoul tersebut yang muncul di pintu masuk ruangan ini.Entah bisa kusebut sebagai keberuntungan atau bukan, namun yang pasti, aku bisa terhindar dari percakapan serius serta kemesraan yang baru pertama kali kurasakan tersebut.Aku tidak pernah berpacaran sebelumnya. Aku terlalu sibuk memikirkan cara bertahan hidup di Keluarga Andromeda, kemudian begitu memutuskan keluar dari keluarga tersebut dan memasuki Keluarga Ellias, aku langsung mendaftarkan diri sebagai prajurit cilik militer Erythroupoli. Dan selama masa pelatihan pun, aku lebih memilih disibukkan untuk mendapatkan nilai terbaik selama pelatihan. Hal tersebut membuatku tidak bisa berintera
Rasanya aku pernah merasakan perasaan ini. Rasa nyaman ketika tidur terasa nyenyak itu benar-benar membuatku enggan untuk membuka mata. Kehangatan bercampur rasa dingin yang entah kenapa terasa tidak asing ini, melingkupi seluruh tubuhku. Rasa pegal yang disebabkan oleh posisi tidur yang kurang nyaman juga terasa.Kemudian, beban berat terasa di puncak kepalaku. Menjadikannya sebagai tempat peristirahatannya. Perasaan tidak nyaman kemudian menderaku, menyebabkan rasa kantuk yang perlahan hilang dan membuat kedua mataku terbuka. Pemandangan pertama yang kulihat adalah dada seseorang. Aku tidak lagi terkejut ketika melihat hal tersebut. Kali ini aku mengingatnya. Aku tidur di pangkuan Aquilla setelah semalaman menjelajahi bangunan rumah sakit yang entah seberapa luasnya itu.Tak ingin membuat tubuh Aquilla semakin kesakitan, walaupun aku tahu itu adalah sebuah kemustahilan, aku bergegas beranjak dari posisiku walaupun masih berada dalam pelukan