Pertemuan hari ini menyisakkan haru. Meskipun Hanum masih bungkam dan tetap dengan pendirian pertamanya yang menolak ajakanku untuk rujuk. Namun, setidaknya rasa rindu ini sedikit terobati. Meskipun aku hanya sesekali bisa berinteraksi dengan Mahe dan Daffa. Namun bisa melihat mereka bermain riang dengan Ibu dan Hanum di teras rumah megah Bu Pramesti, ada yang terasa hangat di dalam sini. Menjelang sore, kami berpamitan pulang. Aku melirik Hanum yang berdiri di samping Rega. Lelaki yang seharian ini seolah menjadi satpam yang tak henti mengawasi kami. “Mahe, Daffa … Papa pulang dulu, ya ….” Aku mencium pipi mereka satu per satu. Hal yang jarang sekali kulakukan ketika kami masih tinggal seatap dulu. “Papapapapa ….” Kedua anakku yang tengah duduk di atas karpet dan memainkan mainannya mengoceh. Tawanya sesekali berderai ketika Ibu yang masih anteng duduk dengan mereka menggodanya. “Bu, ayo … sudah sore.” Aku menatap Ibu. Perempuan itu tampak enggan dan menoleh ke arahku. “Sebentar
"Oke, mari kita buktikan ke dokter kandungan! Kita lihat, berapa usia kandunganmu sekarang! Dan kapan hari naas yang kamu jadikan alasan jika aku berbuat hal itu padamu!” Aku menarik tangan Meli dan setengah menyeretnya keluar. Risna yang berada di belakangku mengejar. Aku sangat yakin, jika mereka hanya tengah menjebakku. Meli tak tahu jika aku sudah tahu isi percakapannya dengan Risna malam itu. Bahkan yang begitu mengejutkanku, ternyata semua ide gila memberiku obat tidur dan menelanjangiku adalah dari Risna dan Meli hanya mengikuti arahannya. “Mas Ramdan!” Tarikan tangan Risna terasa keras di bahuku. Dia memaksa agar tarikan tanganku lepas dari tangan Meli. Aku menolah padanya yang bahkan memaksa melepaskan cekalan tanganku dari pergelangan tangan Meli. Namun, tak seucapun kalimat terlontar dari mulutku. Tak habis pikir, kenapa Risna selalu mendukung Meli sampai tak memikirkan nasib rumah tangga kakaknya sendiri. Apakah ada yang mereka sembunyikan dariku ataukah memang persahab
Kusobek sembarang amplop cokelat itu. Di dalam bungkusan tersebut rupanya sebuah kartu undangan berwarna gold. Kubolak-balik untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Seketika debum jantung bertalu lebih cepat melihat nama yang tertera di sana. Dunia rasanya berhenti berputar dan semua asa yang kupupuk biar subur menguap begitu saja. Secepat inikah aku harus mengubur semuanya? Kulempar kertas undangan dengan kualitas premium itu sembarang. Ada yang terbakar di dalam sini dan rasanya mau meledak. Bercampur antara harapan yang patah, kecewa dan penyesalan yang menggunung tiada tara. Aku segera mengambil gawai dan menelpon Ibu. Rasanya selera kerjaku sudah hancur. “Hallo! Assalamu’alaikum, Bu!” “Wa’alaikumsalam, Dan!”Aku menarik napas panjang, rasanya tenggorokan tercekat dan sulit sekali untuk mengucap kalimat berikutnya. “Bu!” tukasku setelah beberapa detik menekan pedih. Lalu, tak ada kalimat lagi, bersambung dengan sedu yang tak bisa lagi kukendalikan. Rasa sesak memenuhi rongga d
Sudah hampir tengah malam, akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Kutitipkan satu tas besar itu pada security. Aku pulang dengan hati kosong. Bayangan memeluk dan menciumi Mahe dan Daffa hilang sudah. Malam ini adalah malam terakhirku di sini. Satu tahun aku akan menjauhkan diri dari semua, mengobati luka yang kuciptakan sendiri. Rumah besar, mobil nyaman dan karir cemerlang mendadak terasa bukan apa-apa. Asaku kini bahkan seperti selembar kapas yang terkena hujan. Andai aku punya nomor Hanum, ingin sekali kutelpon dia, kutanyakan keadaannya, memberikan perhatian padanya agar dia tahu kalau aku memang sungguh-sungguh menyesal. Setibanya di rumah, aku langsung membersihkan diri, lalu bermunajat lagi dan memanjatkan doa pada sang pemilik kehidupan. Meminta ampun padanya karena aku telah salah melangkah dan menyia-nyiakan keluarga, hal yang ternyata kini kusadari sangat berharga.Memang benar ketika orang bilang, jika titik terberat dari mencintai adalah merelakan. Perasaan yang datan
Aku turun tergesa dari mobil Avanza berwarna silver metalik milik kantor yang baru saja berhenti di depan rumah. Kuucapkan terima kasih dan mengepalkan satu lembar berwarna merah ke dalam genggaman tangan Pak Bowo yang sudah setia menemani perjalanan kami. “Makasih, ya, Pak.” “Sama-sama, Pak Ramdan! Pamit dulu, ya, Pak. Mau antar Pak Rozak.” Aku mengangguk dan melambaikan tangan pada Rozak dan Pak Bowo, lantas membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah. Kunyalakan lampu dan bergegas membersihkan diri. Hanya menumpang mandi dan ganti baju sebentar. Lalu aku segera mengambil kunci mobil dan melajukannya menuju ke rumah Ibu. Hanya saja, niatan awal sejenak berubah. Rasa rindu pada kampung halaman membuatku melajukan mobil menyusuri jalanan tanpa tujuan. Lelah, memang terasa padahal. Hanya saja naluri menuntunku menyusuri ruas-ruas jalan yang dipadati keramaian. “Ah, rindu … semua yang ada di sini kurindukan ….” Tiba-tiba bayangan wajah Hanum melintas. Senyumnya yang dulu malu-ma
Pov MeliSelamat membaca! Selamat weekend semuanya. Yang mau tegur sapa sama othor boleh follow IG/FB aku ya, Evie Yuzuma. Harapan yang kembali kandas membuatku benar-benar meradang. Mas Ramdan bahkan benar-benar tak lagi peduli padaku. Dia tak memandang meski sebelah mata. “Ris, ayo dong bantuin! Ada ide lagi gak?” Aku menatap Risna malam itu. Biasanya dari otak Risna lah ide ide itu bermunculan. “Bentar dong, Mel. Buntu, nih! Mas Ramdan otaknya lagi lurus keknya. Kalau dulu pas masih ada Mbak Hanum di rumahnya, dia malah cepet banget geser otaknya. Sekarang giliran udah pisah, malah lempeng, aneh!"Risna tampak menggaruk-garuk kepala. “Ck! Ide lo semuanya nol! Sebel, lah!” Aku mendelik. Ya, aku tak bisa berpikir lagi. Rasa cinta yang sudah sekian lama kusimpan dalam kesendirian, rupanya tak juga bermuara pada seseorang. Setiap kali aku mencoba menjalin hubungan, hanya Mas Ramdan yang ada di dalam otakku. Ah, dagu belahnya, rambut curlynya, dan kedua mata yang dulu pernah memand
Melihat Ibu yang terus-menerus bersedih. Akhirnya aku berjanji akan mencari tahu keberadaan Risna. Waktu cuti yang diambil dan tak banyak ini, mau tak mau harus kupecah. Namun, aku akan menemui dulu Mahendra dan Daffa. Aku sudah membelikan banyak mainan dan juga baju-baju lagi untuk mereka. “Ibu sudah, gak usah cemas. Aku akan mencari keberadaan Risna.” Aku menatap pada Ibu. “Dan, nikahkan saja Risna. Ibu ingin, dia ada yang membimbing.” Suara Ibu masih terdengar melengis, menahan sedih. “Masalahnya dengan siapa, Bu? Bahkan dalam foto-foto ini jelas sekali apa yang sudah Risna perbuat dengan lelaki itu. Lalu, apa ada lelaki lain yang mau?” Aku menatap Ibu. Ragu, jika harus menikahkan Risna dengan lelaki lain. “Nikahkan saja mereka. Setidaknya, Risna tidak terus-menerus melakukan zina.” Tanpa kusangka, Ibu mengambil keputusan yang sebetulnya tak ada sisi baiknya juga. Melainkan, hanya memberikan solusi sesaat yaitu agar Risna tak lagi berzina. “Lelaki rusak seperti itu, tak mungk
Aku menautkan alis ketika melihat Rega memapah perempuan itu. Bukankah itu Bu Hana? Namun, kenapa mereka tampak sedekat itu? Apakah Rega tak meraba perasaan Hanum---istrinya? Aku berdiri dan membuat Rega dan Bu Hana yang melihatku tampak terkejut. Keduanya langsung saling menjauh. Aku melirik ke arah Hanum, takut-takut ada gelayut sedih karena suami barunya sebegitu perhatiannya pada iparnya. Namun, yang kulihat hanyalah wajah gugup dan salah tingkah. Hmmm, ada apa sebenarnya? “Selamat malam, Pak Rega! Selamat malam, Bu Hana!” Aku menghampiri Rega dan Bu Hana. “Malam, Pak Ramdan! Lama gak bertemu. Kabarnya sedang mengembangkan bisnis yang di kendal, ya?” Bu Hana menangkup tangan di depan dadanya, aku pun melakukan hal yang sama. Sementara itu, Rega mengulurkan tangan dan menjabatku.“Malam, Pak Ramdan!” “Saya pamit masuk duluan, ya! Lagi gak bersahabat dengan udara malam.” Bu Hana tersenyum dan mengangguk. Lantas Hanum menghampiri dan memapahnya. Aku menatap dua perempuan yang
“Hanum ….” Aku tengah mengusap seprai yang kosong seperti hatiku, ketika derit pintu terdengar. Sontak aku mengerjap ketika melihat sosok yang kurindukan datang dan berjalan masuk ke dalam kamar. “Apakah Hanumku sudah berubah pikiran? Apakah dia mau tidur bersamaku malam sekarang?” batinku meracau. Sementara netraku memperhatikannya yang berjalan dan membuka lemari pakaian. “Num!” Aku menatapnya yang ternyata mengambil selimut. Dia menoleh. “Ya, Mas.” “Kamu ambil apa?” Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan satu buah selimut yang dia ambil. “Kamu tidur di mana?” Dia yang sudah hendak melangkah, menoleh dan tersenyum. “Di kamar sebelah, Mas. Bareng anak-anak.” Aku beranjak dan menahannya. “Boleh Mas peluk kamu, Num?” Wajah sudah memanas, tetapi kukesampingkan rasa gengsi. Aku benar-benar merindukan dia. Sepasang mata bening itu menatapku sekilas. Namun sebuah anggukan membuatku merasa lega.“Sebentar saja, ya ….” Langsung saja kurengkuh tubuhnya. Harum yang mengu
“Kata orang, titik terbesar sebuah rasa cinta adalah merelakan. Jika kamu benar-benar mencintaiku, kenapa kamu tak merelakanku pergi menjalani hidupku sendiri, Mas? Hmmm, kamu tadi sudah janji akan mengabulkan apapun permintaanku ‘kan, Mas?” Dia bertanya lagi dan menatapku. Kali ini lebih lekat, bahkan aku yang tak sanggup membalas pendar manik hitam itu dan memilih membuang pandang.“Mas?” Suaranya kembali terdengar, meminta jawaban. Aku mengangguk ragu. Semoga saja dia tak meminta yang bukan-bukan. “Katakanlah … asal jangan kamu meminta Mas untuk melepasmu kembali, hmm?” Aku sudah menahan napas. Rasanya seperti hendak mendengar pengumuman hasil siding skripsi. Dia menggeleng. Lantas mengangkat wajah dan menatapku dengan pandangan yang entah.“Alasan kamu kembali demi anak-anak ‘kan, Mas?” “Hmmm.” “Aku mau kita tidur di kamar yang terpisah sampai aku benar-benar yakin jika kamu telah berubah.” Hening. Aku menggaruk tengkuk. Permintaannya begitu berat kurasa bagiku yang sudah s
Seratus gram emas batangan antam menjadi mas kawin pernikahanku yang kedua kalinya dengan dia dan dua cincin perak yang sama agar aku bisa juga memakainya. Setelah berpisah aku baru tahu kalau lelaki tak boleh memakai emas. Perempuan yang arti kehadirannya kurasakan setelah kusia-siakan. Ijab qabul kuucap dengan fasih. Sesekali kulihat wajahnya yang menunduk. Jujur, hati takut jika dia menolakku lagi. Kemarin ketika dia mendengar jika dia sudah menerima CV taaruf dari seorang istri kyai. Aku langsung mencari tahunya, hingga pada akhirnya aku bertemu dengan pucuk pimpinan pondok pesantren itu hanya demi satu hal, meminta bantuannya untuk menyerahkan profilku CV yang kubuat mendadak itu padanya. Aku tak banyak menuliskan detail diri. Percuma baginya posisi manager dan uang berlimpah, sebagai putri dari pemilik saham, dia pasti sudah punya semuanya. Aku hanya menuliskan satu hal. Aku ingin menebus semua kesalahanku padanya, menyayangi anak-anak dan membangun rumah tangga sakinah, mawadd
“Han, Mbak Hanumnya sudah dipanggil Mama.” Aku mengangkat wajah, Mas Rega melirik ke arah kami. “Yuk!” tukasnya seraya membagi pandang padaku dan Hana. Hana bangkit dan meraih lenganku. Aku pun ikut berdiri dan melangkah mengimbangi langkah Hana yang lebih dulu mengayun. “Mbak, tangannya dingin banget.” Hana terkekeh seraya berbisik. “Gugup, Na.” Aku menjawab sejujurnya. Bahkan aku merasa jika saat ini lebih gugup dari pada ketika aku pertama menikah dulu. “Bismillah, Mbak … Insya Allah ini yang terbaik buat Mbak Hanum.” Hana kembali meyakinkan. Aku pun menuruni anak tangga perlahan, Hana menggenggam erat lenganku dan menemani meniti anak tangga satu-satu. Sementara itu, Mas Rega sudah berjalan lebih dulu dan kembali bergabung di ruang tengah. Aku hanya menoleh sekilas, tetapi tak bisa jelas melihat seperti apa sosok lelaki pilihan Mama. Barulah ketika titian pada anak tangga terakhir, aku mendongakkan wajah. “Hanum, sini, Nak!”Mama melambaikan tangan ke arahku yang mematung
“CV-nya ada di rumah. Ummi sudah tunjukkan soft copy sama Bu Esti. Dia sudah pilih juga yang mana buat kamu. Mari ….” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Bukannya apa-apa aku tak mau melihat-lihat dulu. Namun melihat kesetiaan Mama pada almarhum Papa, hal itu saja sudah membuktikan jika lelaki yang meninggalkannya adalah lelaki terbaik, tak bisa tergantikan hingga sekarang. Karenanya aku juga yakin, kalau Mama tak akan salah pilih untuk anaknya. Semoga saja setelah aku memilih, Mas Ramdan akan berhenti mengejar-ngejarku lagi.Kami sudah tiba di teras rumah luas milik Ummi. Seseorang datang dan menyajikan minuman. Tak berapa lama Ummi permisi ke dalam, lalu kembali dengan satu map yang dia pegang.“Bu Esti, ini hard copynya. Kemarin Ibu sudah baca-baca semua yang dikirimkan melalui whatsapp.” Ummi menyerahkan amplop berwarna cokelat itu pada Mama. Aku menunduk menetralkan jantung yang tiba-tiba terasa lebih cepat berdegub. “Makasih, Ummi.” Mama menerimanya dan tersenyum padaku.“Bis
“Ya sudah, nanti Mbak check kalau sudah sampai. Hati-hati kalau ada indikasi mencurigakan, kamu panggil keamanan saja, ya!” Aku wanti-wanti padanya. Sepulang dari psikolog kenalan Mama, aku tergesa minta di antar ke toko. Mahe dan Daffa pastinya sudah pulang juga kalau jam segini dan sudah di rumah. “Emang kenapa kok buru-buru banget, Num?” Perempuan paruh baya yang tengah memegang setir itu menatap padaku. “Hmmm, ada yang kirim paketan, Ma. Cuma rasanya aku gak ada pesan belanja online akhir-akhir ini.” “Salah alamat kali, Num.” Aku menggaruk kepala. Pikiranku juga sama, tapi kata Fitria memang benar namanya Hanum. Mobil berhenti juga. Aku turun dan lekas mencium punggung tangan Mama. Bergegas turun dan masuk ke dalam toko. Fitria tampak merapikan bekas makannya di atas meja. Biasanya memang dia suka makan kalau sambil kerja. Sudah kubilang gak apa, tetapi mungkin ada rasa tak enak juga. “Mbak, katanya sejam lagi?” Fitria bangun dan menyapaku. “Iya tadi ternyata lebih cepet
Aku lebih memilih diam, tak menimpali mereka. Kugiring menuju parkiran. Aku baru hendak memarkirkan sepeda motor ketika pertanyaan dari mulut mungil Mahendra membuat pergerakanku terhenti.“Ma, kenapa, sih, Papa gak tinggal sama kita?” “Ayo cepetan naik, sudah mau ujan!” tukasku. Tak hendak menjawab pertanyaan mereka. “Jadi ke timezone sama Papanya gak jadi, Ma?” Mahe mendesak. “Iya, Ma. Mau main basket lagi.” Daffa menimpali. “Sama mau mobil lagi sama Papa, Ma.” Mahe juga tak mau kalah. “Sekarang kita pulang dulu, ya! Time zonenya belum buka.” Ah apa saja yang penting mereka diam. “Oh belum buka, Ma?” “Hmmm ….” “Bukanya jam berapa, Ma?” Duhhh … makin hari, mereka makin aktif. Makin saja membuatku kewalahan tentang pertanyaannya yang semakin detail. “Kita pulang dulu, ya, Sayang! Habis Mahe sama Daffa makan, bobok siang, nanti Mama lihat apakah Timezonenya sudah buka atau belum? Oke?” tukasku untuk menyudahi perdebatan yang pastinya akan panjang ini. “Okeee.” Aku pun melaj
“Yah, Mama lupa. Jas ujannya gak kebawa.” Aku menghela napas kasar. Pada saat bersamaan, terdengar klakson dari arah belakang. “Duh, bentar, ya! Motor saya mogok!” Aku menoleh. Kukira orang yang kesal karena aku menghalangi jalannya. Namun, ketika aku menoleh, seketika sepasang mata ini mengerjap menatapnya. Seorang lelaki tersenyum dan bergegas keluar dengan sebuah payung menembus hujan. “Ayo naik mobil Papa!” tukasnya seraya berjalan mendekati Mahendra dan Daffa. Aku tersenyum ketika dia pun menoleh padaku. Aku dan dia sudah tak ada masalah lagi. “Num, ayo naik saja. Kebetulan tadi memang Mas mau ke sekolah anak-anak.” Lelaki dengan wajah tirus dan rambut gondrong itu mengalihkan perhatiannya padaku. Saat ini, anak-anak sudah berada di bawah payungnya. “Ahm, gak usah, Mas. Titip Mahe sama Daffa saja, ya … tolong anterin ke sekolah. Saya masih harus urus motor ini ke bengkel.” Kutepuk dua kali sepeda motor kesayanganku. “Gak apa, biar sekalian! Nanti pulang dari sekolah, kamu
Pov Hanum “Seperti biasa, Num. Permintaan Mama kamu sama Ummi, minta dicarikan jodoh buat kamu. Apa kamu sudah membuka hati lagi untuk lelaki lain?” Dia memandang lekat wajahku. Pertanyaan yang bukan pertama kali kudapatkan dari pemilik pondok yang tiap bulan memang selalu mendapatkan bantuan yang cukup besar dari Mama ini. Aku tersenyum, lantas menatap perempuan itu dan mama bergantian, lalu setelahnya aku menggeleng perlahan. Mama menghela napas kasar, tetapi Ummi tetap tersenyum dan mengangguk paham. “Sampai kapan, Num?” Mama menatapku. “Sampai hatiku siap, Ma.” Satu jawaban yang membuat Mama kembali bungkam. Aku kembali fokus pada kehidupanku yang sudah tertata dengan lebih baik. Menjadi seorang single mom dan memiliki usaha agen skincare dan kosmetik membuatku memenuhi waktu dengan rancangan masa depan. Mama juga mendukung usahaku. Dia memberiku sejumlah modal dan kini aku sudah mulai membuka satu toko juga. Jaraknya memang agak sedikit jauh dari rumah, tetapi masih bisa d