Wangi campuran bawang-bawangan dan rempah-rempah lainnya yang di tumis terhidu indra penciuman. Harum santan mendidih dengan campuran rimpang-rimpangan juga semakin mengoda perutku berbunyi. Lucunya aku bisa mendengar suaranya. Kapan terakhir aku makan? Kemarin di perjalanan pulang kalau tidak salah.
Kali aku membuka mata, ini jauh lebih mudah, tak sesulit tadi pagi. Walau merasa berat dan pusing aku memilih memaksakan diri bangun duduk di pinggir ranjang. Kutarik napas sedikit panjang lalu menarik tungkai meninggalkan kamar. Tak ada siapapun di ruang tamu, riuh tawa justru terdengar dari halaman depan. Masa bodoh dengan gengsi yang kujunjung di langit ketujuh. Aku lapar dan perlu mengisi perut, jadi kuputuskan melangkah menuju dapur. Entah apa yang membuat tubuhku lemas seperti kehilangan tulang-tulangnya, beberapa kali aku harus berpegangan pada dinding tembok untuk mKita, telah matiSeperti pohon saksi berkasihAku tak ingat lagiLayaknya hijau pada akasia keringPercuma!Pupuk sesal tiada gunaHati, lama terbuangBerhenti....Ada baiknya saling melupa______________________Bodoh!Tak habis aku memaki diri. Siapa di muka bumi ini punyai otak dangkal lagi kecil macam diriku? Tak ada! Hanya wanita ini.Harusnya segala berjalan sesuai rencana mas Sayhan. Aku bertemu keluargaku, mencairkan kebekuan kami, lalu mas Sayhan menyusul untuk memintaku di hadapan keluarga.Ya, mestinya sesederhana itu. Tapi saksikanlah, bagaimana dungunya aku. Semua berantakan, segalanya menjadi tak terkendali dan jauh dari rencana awal.Terlaknatlah dendam yang kembali jerumuskanku dalam belenggu pernikahan bersama Yusuf. Bukan kepuasan seperti impian kudapati, melainkan kuperoleh sayatan luka baru.Siang tadi, Yusuf mengatakan akan membawaku bertemu Meylina. Demi tuhan, di mana otaknya? Di mana n
Pagi ini aku terbangun agak terlambat, tak ada yang berbeda. Hati dan otakku masih sama kusutnya seperti kemarin.Setelah membersihkan tubuh aku berniat mengunjungi rumah Ramlah. Agak tak tahu diri memang, karena baru ingin mencarinya setelah belasan tahun berlalu. Sahabat apa aku ini!"Dek, sarapan dulu." Kak Tera berjalan dari arah dapur. "Sayhan temanmu itu sudah sarapan, dan sekarang sedang berjalan-jalan bersama Langit mengelilingi desa." Bersama Langit? Astaga, semoga anak Yusuf tersebut tidak banyak bicara tentangku. Dadaku seketika bertalu."Ayo, ada Syahrin dan Yusuf juga. Mereka menunggumu." Pandai sekali kakakku ini melempar adik perempuan satu-satunya pada dua sosok jelmaan Ifrit."Aku tidak lapar."Kenyang dengan slide-slide gambaran Yusuf dan keluarga bahagianya kemarin. Mana mungkin aku punya nafsu makan."Sedikit saja, Syahrin ingin bicara. Sebentar lagi Kak Min dan Alfi juga akan datang." Kak Tera memegang tanganku, agak memaksa.
Mereka bilang percuma berlari,Ujung dunia kelam menanti.Bersihkan saja noda bathin,Maka sejengkal lega menyebar.Namun....Pongah lantang kupujiMenolak tunduk pada kebenaran.Sebab aku adalah busuk kebencian.Khianat di balas khianat,Iblisku nyalakan kembang api._____________________________"Turunlah, minimal seseorang di dalam sana memberi obat. Wajahmu sepucat kapas." Aku membuka mata saat mas Sayhan menyentuh bahu."Aku hanya butuh kita segera sampai di rumah, Mas. Selain itu, aku tak peduli.""Jangan membantah.""Aku tidak membantah, Mas. Kita sampai dan aku akan kembali sehat. Percayalah." Lagipula tidak ada obat untuk hampaku saat ini, dokter manapun belum menemukannya.Aku akan mengatupkan kedua kelopak lagi, ketika satu cengkraman pelan di lengan mengurungkan niat. "Sekali ini saja, turuti aku.Beberapa detik aku menatap wajah di depanku. Tak ada senyum, hanya raut datar. "Mas marah?"
Senja boleh pergiGerimis bisa menjauhOmbak silahkan surutBiarkan saja ...Nanti pasti mereka kembali.Sepertimu...PergiMenjauhTanpa kabarHilangLalu pulang...Kukira padakuNyatanya bukanKu ingin egoisMerengguhmu kembaliMenjadi milikkuTapi kamu, seolah memilih mati._______________________________Assalamualaikum, wanita yang dirindukan, Langit.Hai ... bagaimana kabarmu? Aku dan yang lainnya baik. Semoga kesehatan dan kasih sayang juga selalu Allah limpahkan padamu.Aku tidak tahu apakah email ini sudi kamu buka atau justru langsung menghapusnya. Besar harapan surat elektronik yang aku tulis tepat saat terhitung dua bulan selepas kepergianmu berkenan di baca. Maaf, karena lancang meminta alamat surel-mu pada Sayhan kekasihmu.Sebanarnya menulis ini membuatku seperti orang bodoh. Dibanding merangkai aksara seharusnya berbicara jauh lebih mudah. Tapi kamu tidak member
Deras hujan setelah petirMeluruh bening tak mau hentiHari berlalu, tahun bergulirNanah dan darah mengenang bagai belatiPada hati yang berpura bangkitKetentuan takdir kembali mengujiTuhan percayakan sesuatu yang sulitSeperti menatap kiamat unjuk taji_____________________________Ada macam-macam rasa pada manusia. Sedih, marah, kecewa, senang, bahagia, haru dan masih banyak lainnya. Anehnya dari semua rasa itu, aku tidak tahu yang bergejolak dalam dada saat ini masuk dalam kategori mana.Aku seharusnya senang Yusuf melepasku. Bukankah harapan sejak dia menyakitiku memang memutus tali diantara kami.Tapi, apa ini?Ketimbang bahagia hati justru berdenyut ngilu mendapati fakta bahwa ia tak halal bagiku lagi.Bukan. Bukan karena aku masih mencintai dia. Debar untuknya telah lama padam dan aku tidak berbohong.Yang mengganggu hatiku tak lain, perasaan marah. Marah karena dia kembali mencampakkanku setelah mengamb
Kemarin, beberapa ribu jam yang laluKetika hujan masih asin dan air mata masih darahMenjelang dini hari di tepian mahakamMohonnya, tinggalkan lebam biru masalaluPilih dia, kemudian pelangi tanpa suram janji ia persembahkan.Lalu sekarang.... Siapa yang meninggalkan siapa?__________________________Jam menunjukkan pukul 20.00 Wita. Di luar hujan lebat, rintiknya keras memukul atap, berdentam sampai ke telinga. Tempias air mesrah mencumbu jendela, titik-titik beningnya ciptakan aliran panjang sebelum luruh menyentuh ubin.Suara TV dengan volume rendah mengisi ruang perawatan. Bau obat-obatan masih kental terhidu. Gorden-gorden coklat yang memanjat tepi jendela melambai lemah terkena angin Air Conditioner. Sesekali terdengar bunyi brankar di dorong melintasi ruangan.Aku sedang memperhatikan sosok di samping. Wajah rupawan pembuat taman hatiku selalu bermekaran jika memandang, kini diselimuti muram durja. Kemeja hitam polos tadi pagi masih meleka
Aku sedang termangu menatap Yusuf dan kak Min memasukkan pakaian-pakaianku dalam tas juga koper.Sedari tadi mereka hilir-mudik menggeledah isi kontrakan ini demi mencari apa lagi kebutuhan yang akan aku bawa dan sekiranya bakal aku perlukan saat di Redan nanti.Hari ini terhitung satu minggu aku keluar rumah sakit, dan selama itu pula, tak sekalipun aku bertemu mas Sayhan.Sudah berkali bahkan tidak terhitung berapa jumlahnya jemari menekan tombol memanggil pada ponsel. Nihil, mas Sayhan tak bisa kuhubungi. Nomornya selalu di luar jangkauan,SMSdanchatku tak terkirim.Setiap hari aku menanyakan keberadaannya pada Niko, meneror mantan bawahanku itu melalui handphone layaknya rentenir menagih utang. Namun, semua orang bungkam, tidak hanya Niko, Ditha yang kuanggap keluargapun mengunci bibir rapat.Aku gelisah, setiap waktu terlewati dengan was-was. Otakku buntu untuk berpikir, belum lagi mual bawaan anak Yusuf di perut semakin membu
"Capek?" Yusuf bertanya dari balik kemudi. "Kita bisa istirahat sebentar kalau mau. Bagaimana?"Seseorang menyentuh pundakku yang menghadap jendela. "Punggungmu sakit?" Istri kak Min bertanya. Aku menggeleng. "Lapar?" Kembali kepala bergerak kekanan dan kekiri. "Istirahat sebentar yah? Kita perlu magriban dan makan malam."Kenapa mereka bertanya padaku? Kenapa seolah-olah mereka mencari apapun yang membuatku nyaman. Aku tidak suka. Seharusnya lakukan saja apa kehendak mereka. Berpura-pura baik padaku tidak akan meruntuhkan secuil saja benciku pada keputusan egois mereka.Lagipula aku masih meratapi nasib karirku. Masih menangisi perjalanan kisah cinta kandasku. Apa mereka tidak bisa memberi sedikit saja ruang agar berpikir? Apa mata mereka buta untuk melihat keping-keping jantungku berserakan bersama bulir darah meranaku. Kenapa mereka menjadi sangat kejam. Kenapa?Minggu ba'da Azhar kami meninggalkan Samarinda. Dadaku menyempit menyaksikan kontrakan yang k