***
Follow me, comment dan kasih rating ya...
***
Anindya, Anindya, Anindya..
Nama itu terus berloncatan di kepalaku. Nama seorang gadis kecil yang bahkan belum lulus SMP, gadis manis yang baru saja kuperawani, terus saja timbul tenggelam dengan sendirinya.
Rama, seorang dokter melakukan pencabulan pada gadis di bawah umur. Dunia akan mengenalku demikian? Tidak! Betapa konyolnya jika muncul berita semacam itu.
Usai keluar dari kamarnya, aku menghempaskan badan ke ranjang. Meninggalkannya sendirian setelah memastikan dia bisa berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa-sisa sentuhanku.
Sekarang hanya giliranku berdoa, semoga Anindya, gadis kecil itu tidak melapor pada orang tuanya, terlebih pada ayahnya yang berprofesi sebagai hakim. Sial! Kenapa dia harus dititipkan di rumahku? Kenapa di saat aku hancur karena rencana pernikahan Riri -gadis yang kucintai- dengan Ranu kakakku?
Lamunanku menerawang jauh. Sedari tadi berusaha kulanjutkan tidurku tapi tak bisa. Aroma tubuh Anin seakan melekat kuat di kulitku. Bahkan tanpa tahu diri tiba-tiba Jack mengeras ketika otakku mengingat kembali rasa Anin.
Oh aku ingat betul betapa luar biasanya. Herannya, dalam keadaan mabuk begitu aku masih bisa mengingat. Terus terang aku memujamu.
Gila!
Pedofil! Sejenak kemudian aku tersadar. Kujambaki lagi rambut yang sudah acak-acakan ini. Cabul gila! Masih sempat-sempatnya membayangkan rasa menyetubuhi gadis itu setelah tak tahu malu merampas mahkotanya.
Bajingan kamu Rama!
Kamu sebenar-benarnya bajingan!
***
Meja makan, sarapan.
"Ehem.."
Aku berdehem kecil setelah mengambil tempat di seberang Anin. Sepintas wajahnya tampak pucat, matanya pun membengkak, garis imut di wajahnya tampak lemah. Dia tak ceria seperti biasanya. Meskipun aslinya Anin juga bukan gadis bawel yang banyak tingkah.
Kulihat Mama masih sibuk di dapur, sedangkan Papa sepertinya masih siap-siap di kamar. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk menanyai keadaannya. Memastikan penguasaanku padanya masih berlaku.
"Masih sakit?"
"Ehh.." Dia tampak kaget mendengar suaraku. Tubuhnya mengerut seiring dengan wajahnya. Takut. Kalut.
"Jangan takut.." Larangku santai sambil mengoles roti dengan selai cokelat. "Apa masih sakit?" Ulangku perlu memastikan. Jangan sampai dia mengidap trauma seksual, bisa berlapis dosaku.
Anin hanya diam sambil menundukkan kepala. Aku yakin matanya kini mulai berkaca-kaca. Ini wajar untuk gadis seusianya, dan jelas membuktikan betapa kejam aku padanya.
"Hei.. Jangan menangis.." Rayuku.
"Hiks.. Hiks.."
Ah dasar anak-anak, dilarang menangis malah terisak. Aku harus menggunakan tipu muslihat untuk meredam, sebelum orang tuaku menyadari sesuatu telah terjadi pada putri semata wayang kawan mereka ini.
"Nin.. Kalau kamu menangis dan orang tuaku tahu, kamu tahu kan artinya?" Ancamku sambil clingak-clinguk persis seorang maling. Ya anggap saja aku ini maling keperawanan. Ah! Aku jadi benci pada diriku sendiri jika menyadari hal itu.
Dia mengangkat wajahnya. Takut-takut melihatku. Tampak keraguan itu saat ia mengulum bibir tipisnya dengan sangat menggoda. Betapa nikmatnya jika kukulum dengan lembut seperti semalam.
Baiklah aku mulai kembali tak waras. Mana mungkin dia menggodaku? Dia begitu lugu. Otak mesumku saja yang tergila-gila dengan rasa seorang Anindya.
"Nanti kalau orang tuaku bertanya kenapa kamu begini, bilang saja semalam kram perut, tidak tahan sampai menangis."
Tak ada perubahan berarti, Anin masih tampak meragu. Menundukkan kepala seraya terus menggigiti bibir bawahnya dengan lesu. Seakan perintahku hanya angin lalu.
"Nin, paham kan?" Aku perlu memastikannya yang hanya diam. "Anindya, kamu paham?" Aku sedikit menggeram.
Ia mengangguk berulangkali seakan sedang kuintimidasi. Yah aku mungkin sangat menyeramkan seperti monster menjijikkan di matanya.
"Pagi Anin.."
Anin menunduk saja. Diam. Gemas, ingin kuteriaki tepat di telinganya agar segera menyahuti sapaan ibuku. Ayo bicara Nin, bicaralah.. Jangan membuat orang tuaku menaruh curiga.
"Anin.." Merasa tak direspon, mamaku mengulang panggilannya. "Nin kamu tidak apa kan?"
Gawat! Mama semakin mendekati curiga saat menelisik wajah letih Anin yang lengkap dengan mata bengkaknya. Aku harus melakukan sesuatu untuk menepikan kemungkinan.
"Nin jawab pertanyaan Mama, kamu tidak apa kan?" Aku berusaha menekan Anindya.
"Ehh.. A..nin sakit pe..rut Tan." Meskipun tergagap, aku lega setidaknya Anindya buka suara. "Semalam sakiit.." Imbuhnya agak telat, menghayati kata sakitnya.
Memang diperawani itu sakit bocah, ah menggelikan..
"Ya Tuhan Anin, kenapa kamu diam saja? Rama, kamu sudah periksa Anin kan?" Mamaku panik.
"Sekarang sudah tidak apa Tante.. Anin sudah tidak apa-apa." Potong Anin sangat bersemangat, terlihat sekali jika takut kuperiksa. Dia takut kusentuh, itu wajar.
"Benar kamu tidak apa Nin? Jujur sama tante.."
"I..iya Tante.."
"Ya sudah, nanti biar Om yang mengantarmu ke sekolah. Jangan berangkat naik ojol dulu, kamu masih sakit."
"Biar Rama yang mengantar Ma.." Sahutku lugas, terdengar bak seorang pahlawan kesiangan.
"Ah ya sudah, Mama lega kalau begitu.."
Tapi wajah Anin tidak lega Ma, kehadiranku di dekatnya adalah ancaman. Bahkan bisa kulihat batinnya bergumam bahwa berangkat bersamaku setara bencana alam.
***
Aku diam, kak Rama sepertinya terus mengawasiku. Aku takut. Kami cuma berdua di mobilnya. Bagaimana kalau dia meng'itu'kan aku lagi? Hiks.. Sakiiit.. Jijik..
Kuremas ujung rok biru seragamku. Harusnya tadi pakai sesuatu untuk menutupi kakiku, tapi saat kucoba pakai celana olahraga malah tidak nyaman. 'Itu'ku sakit, nyeri sekali saat dipegang dan banyak bergerak.
Aku terus melihat ke jendela. Takut sekali duduk di samping kak Rama. Meskipun memang tempat duduk kami masih terpisah console mobil.
Ketakutanku sedikit terbawa angin saat dia menjalankan mobil, tapi aku masih merasa dia terus memperhatikanku. Ya Tuhan tolong Anin.. Anin takut.. Hiks..
Tak lama kemudian dia menepi ke sebuah apotek. Sejenak lalu kembali dan mengagetkanku dengan suaranya.
"Minum ini.." Perintahnya sambil meletakkan sesuatu di telapak tanganku. Dia kemudian menyodorkan sebotol air mineral.
Aku risih, rasanya aneh saat tanganku disentuh olehnya. Tapi benda yang sepertinya obat itu sudah digenggamkan padaku.
"Minum Nin.." Perintahnya lebih mendesak saat aku hanya memandangi tablet di tanganku yang terbuka. Rasanya ingin menangis lagi jika begini. Aku rindu Mama.. Hiks..
Aku hanya menggenggam tablet itu. Sementara tangan kiriku tak henti meremas ujung rok dengan gelisah.
"Cepat minum Nin, katanya tidak mau hamil." Sepertinya dia mulai marah. Kalimatnya terasa panas di telinga.
"Ehh.. I..ini?" Aku menunjuk tablet kecil di telapak tanganku dengan sorot mata.
"Iya, sudah cepat minum itu, atau kamu mau hamil karena semalam kita.."
Hiks.. Hiks.. Aku takut, aku menangis lagi saat mengingatnya. Semalam aku dan kak Rama sudah melakukan apa? Bisa hamil ya kalau sudah begituan? Hiks.. Pokoknya aku ingin menangis saja, aku tidak mau hamil, tidak mau.. Hiks..
"Ya Tuhan Anin.. Kenapa harus menangis lagi sih?"
Terdengar kalimatnya yang gemas sekali terhadapku. Marah. Aku jadi semakin takut dan mencengkeram dadaku sendiri.
"Diam Nin!" Dia bahkan membentakku, hiks.. Jahat!
Bentakan demi bentakannya bukan semakin membuatku diam, tapi malah membuatku semakin keras menangis. Kak Rama menakutkan, jahat! Dia jahat!!
"Nin!" Sergahnya sambil meremas kedua pundakku. Memutar tubuhku menghadapnya dengan paksa. "Lihat aku!"
Tidak berani, aku takut, pokoknya takut melihat wajahnya. Seram. Aku tidak mau menatapnya. Semalam saja dia seperti monster. Dia melukai 'itu'ku hingga berdarah dan sampai sekarang masih nyeri sekali.
Aku terus menangis.
"Nin! Apa lagi yang ditangisi? Kamu pikir dengan terus menangis kamu bisa perawan lagi heh? Cukup minum pil itu lalu kita hentikan semua, kita anggap tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Atau kamu memang mau hamil anakku??"
"Hiks.. Anin tidak mau hamil!" Sanggahku keras. Aku memang tidak mau hamil, aku mau sekolah, hiks..
"Ya sudah minum Nin!"
"Anin tidak bisa.. Hiks.."
"Berarti kamu memang mau hamil ya?" Kak Rama semakin gemas terhadapku.
"Bukan Kak.. Anin memang tidak bisa.. Hiks.."
***
"Aku tidak akan bertanggungjawab kalau sampai kamu hamil, aku tidak mungkin menikahi anak ingusan sepertimu!!" Aku melepasnya dengan emosi. Habis sudah kesabaranku. Tak peduli lagi seberapa kejam kalimatku.
Aku kesal sekali. Apa susahnya meminum pil pencegah kehamilan itu sebelum benar-benar berkembang janin di rahimnya.
"Hiks.. Hiks.. Kak Rama jahat!!"
Anin terus menangis sambil menutup wajahnya. Tersedu-sedu hingga membuatku tak tega. Akhirnya kuputuskan untuk memeluknya.
"Maaf Nin.. Maaf.." Tuturku lembut. Memeluknya begini Jack mulai tak tenang. Dasar penghuni selangkangan!
"Hiks.. Hiks.. Anin tidak bisa minum obat Kak.. Hiks.."
Apa?? Jadi.. Ya Tuhan.. Jadi Anin? Oh Tuhan..
"Jadi kamu menangis karena tidak bisa minum obat?"
Kurasakan anggukannya di dadaku. Oh betapa berdosanya aku padamu Nin. Aku bahkan melontarkan ancaman jahat untuk membujukmu minum obat.
"Terus biasanya kalau minum obat bagaimana?" Berusaha kutatap wajahnya yang lemah.
"Digerus pakai sendok."
Jawaban lugu Anindya menyadarkanku. Membuatku pasrah.
Baiklah saudara Rama, nikmatilah hidupmu untuk ngemong ABG puber yang telah kamu perkosa.
***
Follow me, comment dan kasih rating ya...
follow dan tinggalin jejak ya say***Akhirnya aku bisa bernafas lega setelah susah payah meminumkan pencegah kehamilan itu pada Anin. Meskipun harus beli sendok, minuman manis, permen, dan apapun itu aku rela. Setidaknya dengan begini aku tidak akan merasakan apa yang kak Ranu rasakan, menghamili anak umur 16 tahun. Memalukan.Ketika kucermati wajahnya yang berangsur lega tapi tetap mencuri lirikan-lirikan ketakutan padaku, tiba-tiba saja muncul hembusan angin iba membelai peri kemanusiaanku. Teganya aku menyakiti gadis kecil ini. Teganya aku melontarkan kalimat-kalimat keji tadi.Anindya.. Kenapa kamu harus bernasib seperti ini? Tapi harus bagaimana lagi, semua sudah terjadi di luar kehendak kita. Tanpa kita mau telah berada pada situasi yang salah. Pada akhirnya apapun yang terjadi, mari bersama-sama melupakan hal ini."Nin, mari lupakan semua." Tuturku lembut. Tenang bak air menggenang. "Anggap saja semalam tidak terjadi apa-apa. Jadi, ja
"Rama, tolong ajak Anin berangkat sekolah bareng kamu ya, Papa ngantor agak siang.."Aku mengangguk saja saat sarapan tadi Papa memintaku demikian. Sejujurnya suasana hati ini masih suntuk, marah tak tersalurkan pada orang tuaku setelah mengetahui fakta keterlibatan mereka pada takdir antara aku, Riri, dan kak Ranu. Entah mengapa tiba-tiba saja kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Anin menjadi hiburan tersendiri. Aneh memang.Di dalam mobil, sesekali kulihat Anin berusaha menarik-narik ujung roknya untuk menutup paha. Padahal bagian itu sudah tertindih tasnya. Sebegitu khawatirnya bocah itu akan nafsuku."Nin, berapa usiamu?"Dia terdiam bahkan membuang muka ke jendela. Aku tersenyum santai. Melihat tingkah Anin yang begini, rasanya lucu saja mengingat Riri sempat menuduhku menginginkan bocah lugu ini. Konyol."Nin, kamu harus menganggap tidak pernah terjadi apapun di antara kita. Mari jalin hubungan seperti s
Pukul sepuluh malam. Sejak kulihat dia memasuki kamar tadi, otakku terus menerus mendikte raut wajah Anindya. Gerakan bibirnya, tubuh kecilnya, dan pikiran kotorku selalu berakhir dengan membayangkan yang bukan-bukan. Kuakui sejak malam itu, setelah sekian lama tidak berhubungan intim dengan gadis manapun, aku merasa kembali mengecap surga. Dia bisa menjadi obat untuk kepenatan pikiranku. Seorang Anindya pasti bisa menyenyakkan tidurku. Ah entah karena lama tak bercinta atau memang Anindya begitu indah hingga aku masih bisa mengingat gairah yang sudah-sudah setiap kali memandang wajahnya. Aku pun bangkit dari ranjang. Menggaet tshirt yang tergantung lalu memakainya. Lanjut kuberdiri di ambang pintu kamar. Menoleh ke kanan, ke arah pintu kamar yang dekat dengan tangga, kamar Anindya. Entahlah.. Hasratku padanya kian penuh, membuncah. Haruskah secepat ini aku melampiaskan kelelakianku padanya?
Anggukan Anin mengantarkan tubuhnya ke ranjang, di bawah kungkunganku. Selayaknya manusia yang akan mengecap surga dunia dari pintu neraka, aku pun tersenyum bahagia. Demikian jahatnya. Ya, aku tahu ini salah. Aku tahu. Gadis ini tampak sangat kecil di bawahku. Tubuhnya mungil. Wajahnya yang imut melengos tak sudi saat cumbuanku berusaha menghampiri bibirnya. Tak masalah, semua memang harus berjalan perlahan. Selama proses terus bergerak dinamis maka yang kubutuhkan hanya bertahan dan bersabar. Toh aku masih bisa menjelajahi lehernya, juga bagian-bagian sensitif lain yang menunggu giliran. "Geliii.." Protes Anin seraya berusaha mendorong dadaku. Terasa bak gelitikan mesra menjamah. Usaha yang sia-sia belaka jika dia ingin lepas dari lingkupanku. Kujepit kembali dagunya lalu segera mencumbu bibir kecil yang menggugah. "Buka bibirmu Nin.. Percayalah semua akan baik-baik saja."
"A..Anin.. ingin kak Rama."Ahh rasanya ada yang membesut telingaku untuk berbuat semakin liar. Kupastikan, kamu akan tunduk padaku Anindya.Kukecup bibirnya dengan haus yang teredam. Agar memeroleh kenyamanan sekaligus kehangatan.Keningku terlipat begitu saja ketika tiba-tiba bibirku terbungkam tangan kecilnya."Kenapa Nin? Cup!" Tanyaku seraya menyingkirkan jemari itu. Menggantikannya dengan ciuman yang syahdu dan kelak mungkin menghasilkan rindu seorang pecandu."Jangan beri ludah lagi kak, Anin jijik. Anin tidak mau!" Pintanya dengan menyusupkan nada iba. Gelisah penuh keluh kesah.Lugunya.. Gadis ini selalu dengan mudah menerbitkan senyumku. Menganjurkanku untuk membelai rambutnya agar bersembunyi dibalik telinga. Perlakuan yang menurunkan suhu panas di antara kami."Baiklah, apapun asal kamu menurut padaku."Ta
Aku benar-benar termanjakan. Luar biasa gesekan tubuh kami. Terasa hangat menggelayut, aku pastikan malam ini tak akan lekas berhenti. Jack akan terpuaskan sampai pagi. "Enghh.." Anin hanya melenguh kecil. Menahan suaranya agar tak teruar bersama udara. Masih menggigit bibir bawahnya. Bukti bahwa dia mulai menikmati ritme permainanku. Yes! Aku tak salah dengar, Anin terus mendesah. Dia bisa merasakan nikmatnya hubungan kami malam ini, yang bisa jadi berlanjut di malam-malam selanjutnya. "Suka kan Nin?" Anin mengangguk cepat. Refleksnya bekerja normal. Wanita mana yang bisa memungkiri performa prima Jack. Shit! Anin terus meracau tak karuan. Nada-nada rendah dari kepolosannya mengobarkan gairahku untuk mempercepat gerakan. Semakin cepat tak terkontrol hingga bunyi mirip tamparan akibat pertemuan kulit kami pun kian memenuhi ruangan. Aku mendesahkan namanya. Desisan demi desisan kami bersahutan. Anin tak protes sedikitpun. Sekali
Aku melewati kamar Anin saat hendak turun. Entah mengapa hatiku tergelitik untuk kembali dan membuka pintu surga itu. Ini godaan yang tak bisa ditepis. Normal kan? Klek! Anin yang sedang berhadapan dengan meja rias sontak menatap gugup ke arahku. Bahasa tubuhnya yang mengaku kusambut dengan senyuman kecil, seraya menggeser slot pintu. Mencari aman dari ketahuan. Beberapa langkah kutapak untuk mendekatinya, berjongkok di depannya yang tampak tegang. Dari jatak ini saja aku bisa mencium harum tubuh belianya. Aku suka, Jack juga. Aku harus menyapa gadis manis yang semalaman memanjakan Jack dalam kepuasan dengan nada kelembutan. Membagi kenyamanan yang menegaskan rasa aman. "Pagi Nin.." "Pa..pagi juga Kak.." Jawabnya sambil terus menghindari tatapanku. Gugup itu tak bisa mengatup. Sementara hasratku padanya selalu meletup. "Maaf tadi meninggalkanmu sendiri, saat aku bangun sudah pukul empat subuh, jadi aku bergegas kembali ke kamar
*** Sepanjang perjalanan Anin hanya diam. Dia tak banyak menanggapi saat aku mencoba berbasa-basi untuk merilekskan suasana di antara kami. Sampai juga aku di depan sekolah Anin. Dia segera memutar tubuhnya untuk turun. Namun dengan sigap tanganku menahan lengannya. "Nin.." "Ehh.." Dia kaget. Kuputar kembali tubuhnya agar menghadapku. "Pulang jam berapa?" "Jam.. Jam lima." "Sore amat?" "Anin ada bimbel." "Oh.. Oke nanti aku jemput di tempat bimbelmu. Cendikia bimbel kan?" Anin mengangguk pelan. Sejenak kemudian dia berubah pikiran. "Anin bisa pulang sendiri. Kak Rama tidak usah jemput." "Tapi aku ingin menjemputmu." Jawabku santai. "Engg.. Kalau begitu terserah kak Rama saja.." Jawabnya malu-malu. Anin segera beranjak meninggalkanku tapi aku belum rela ditinggalkan. Masih ingin bersamanya, menghirup aromanya yang menggugah. Aku mencekal tangannya, memutar tubuhnya
"Saya terima nikah dan kawinnya Anindya binti Ibrahim dengan mas kawin sebuah klinik fisioterapi dibayar tunai."Nafasku berembus lega kala semua saksi menyebut sah. Artinya, impianku yang sesungguhnya telah menjadi nyata. Kami menikah, bersiap membangun rumah tangga.Meskipun tak paham betul tentang arti sebuah pernikahan, Gio yang duduk di samping Mama tersenyum kepadaku. Dia tampak tampan dalam balutan jas hitam persis yang dikenakan lelaki di sebelahku, ayahnya yang kini sah menjadi suamiku.Soal mas kawin, aku tak menyangka kak Rama akan memberinya. Aku tak pernah meminta. Saat dia bertanya aku ingin mas kawin apa, selalu kujawab terserah. Hasilnya, dia mengonsep semua dengan matang di hari pernikahan.Tak kusangka lelaki tampan yang pernah menjadi masa lalu pahit bagiku adalah lelaki yang sama yang akan menemaniku menggapai cita dan cinta. Mulai hari ini kami a
Serangkaian prosesi menjelang pernikahanku dan kak Rama digelar secara runtut. Dimulai dari prosesi lamaran antar dua keluarga yang baru kemarin diadakan. Kak Rama memang ingin segera menikah. Dia takut aku akan berubah pikiran. Lagi pula Mama khawatir terjadi Gio jilid dua. Takut saja kalau-kalau kami khilaf seperti dulu."Aku boleh main ke kosmu?"Aku hanya melirik judes sambil memainkan ponsel lalu diam pura-pura tak mendengar. Tak lama kemudian kurasakan tangannya mengusik rambutku."Kakak ih!" protesku karena rambut panjangku jadi acak-acakan."Aku butuh jawaban.""Pertanyaan yang mana?" Kupasang wajah tanpa dosa."Jadi tidak boleh main ke kosmu? Kenapa? Masih takut padaku hm?" cecarnya setelah menyahut ponselku.Geram, aku pun merebahkan punggung di beanbag. Menatap ke langit
Malam kian larut. Sepi. Anakku, yang pernah sekian lama menjadi impianku, sudah lelap dalam pelukku. Gioksa Anrama, terima kasih untuk akronim nama yang kamu berikan, Nin. Pertanda kamu tak pernah melupakanku barang sedikitpun. Andai hal-hal yang selama ini selalu mengingatkanmu padaku itu mengarah kepada kebencian sekalipun, aku rela. Sekali lagi kuucapkan terima kasih, Nin. Kamu telah mematri cinta kita agar melekat selalu pada diri Gio. Pukul sepuluh malam. Kurasa semua orang sudah tidur. Tante Fatma, Om Ibra, bahkan Anindya, tak satupun di antara mereka kujumpai saat mengambil minum di dapur. Tak kudengar pula suara mereka. Sementara aku sendiri tak bisa tidur. Kebahagiaan ini terlalu nyata untuk mengantarku dalam lelap. Aku masih ingin menikmatinya. Seteguk kuminum, menyandarkan pantat di meja dapur dengan pandangan menjelajah ke seisi rumah. Memang posisi dapur menjangkau semua. Rumah berlantai satu ini hampir tak bersekat selain kamar. Hingga dengan mudahnya s
"Menginaplah di sini, Rama."Semua mata tertuju pada Papa. Tak terkecuali Mama yang mendelik ingin melayangkan protes. Namun Papa segera menggenggam tangannya."Kita tidak boleh egois, Ma. Kita sama-sama tahu apa yang Gio butuhkan."Kulihat Mama mencabut tangannya, lalu meninggalkan meja makan dan dengan dalih membawa piring kotornya ke dapur. Tinggi, Mama membentengi hatinya tinggi sekali."Temani Gio tidur. Besok kamu libur kan?"Kak Rama mengangguk kaku. "Tapi, saya takut merepotkan Om dan Tante.""Selama kamu tidak masuk ke kamar Anindya, tidak ada yang merepotkan bagi kami."Wajahku merah padam. Apa-apaan sih Papa. Malah sengaja menggoda. Kak Rama bahkan kesulitan menutupi senyum malu-malunya. Kulihat tangannya yang mengusap tengkuk berkali-kali karena gerogi.***"Aku masih mencintainya, Deco.""Aku tahu. Sudah kukatakan akan sabar menunggu bukan?" Lelaki berkursi roda itu tampak mantap."Sama seperti
Kumajukan bibir setelah lama berdiri di tepi jalan. Aku menunggu, sesekali melangkah maju dengan kedua tangan menggenggam tali backpack yang kupakai. Kutoleh ke kanan, menanti seseorang.Ah ini sudah hampir setengah jam. Apa susahnya menghubungiku dulu jika masih ada kepentingan, bukan malah membuatku menunggu serasa tahun-tahunan. Terus timbul niat kembali ke kamar kos saja, tapi selalu kubatalkan jika ingat mungkin yang kutunggu segera tiba.Kulihat lagi jam di layar ponsel. Jika lima belas menit lagi dia tak datang, aku kembali ke kamar. Semua orang akan setuju jika kukatakan lama menunggu adalah hal yang sangat menjengkelkan. Tapi, aku jadi ingat satu hal. Saat meminta kak Rama menungguku beberapa waktu lalu, jangan-jangan salah satu alasannya melepasku adalah karena rasa jengkel yang sama. Ah entahlah.Lima belas menit sia-siaku pun berlalu. Aku memutar badan ke kiri. Berjalan lurus dengan perasaan dongkol di hati. Sayangnya, cukup beberapa langkah kutapaki
"Ketemu! Itulah masalahnya. Dia mungkin memutuskanmu karena itu, dia tidak ingin kamu dipecat dari rumah sakit ini, tidak mau menghambat karirmu."Masuk akal. Kak Rama adalah bagian dari direksi, kemungkinan kecil rumah sakit akan memecatnya. Dari janji untuk mempertahankanku di rumah sakit ini tempo hari, kurasa suaranya banyak berpengaruh. Sementara aku yang hanya pegawai biasa akan lebih mudah dihentikan jalannya. Itukah alasannya?"Bukankah itu bisa ditutupi dengan menjalin hubungan diam-diam?""Diam-diam sampai kapan? Sampai kalian menikah?" Dia bangun, duduk bersedekap lalu kembali terkekeh saat otakku yang buntu masih berusaha mencerna jawabannya. "Dia sudah melepaskanmu, Anindya. Menyerahlah, buka pintu hatimu untukku. Dia sudah menyerah meskipun masih mencintaimu. Demi kebaikanmu."Aku tertegun sejenak. Menela saliva encer agar membasahi tenggorokan. Kutekuk wajah sambil memejamkan mata."Kurasa suasana hatimu sedang tak baik. Antarkan aku
Saat aku membuka tirai jendela, kulihat matahari pagi ini cukup terik. Kilaunya menyilau, menyipit aku dibuatnya. Kurasa cuaca hari ini akan panas menyengat, tapi dingin mengering khas musim kemarau.Semalam aku tidur sangat lelap. Kembali sendiri di kamar kos ini setelah kemarin berdrama panjang dengan Gio yang tak mau ditinggalkan. Dia memaksa ikut denganku agar bisa bertemu dengan Kak Rama. Entahlah. Mereka bahkan baru bertemu sekali tapi ikatan itu sudah terjalin sekuat ini.Dia terbangun di minggu pagi sambil merengek-rengek mencari Kak Rama. Merasa ditipu karena ditinggalkan saat sedang terlelap. Orang tuaku sibuk membujuk dengan berbagai hal, tapi dia masih saja bertanya tentang cara menemui Kak Rama. Di saat itulah aku merasa harus melakukan sesuatu. Terus kuusahakan membujuknya melalui pelukan demi pelukan yang sebelumnya jarang kuberikan. Memang aku ibu yang kejam, bukan penyayang, tapi juga bukan pembenci.Setelah berhasil membuatku tercengang, dia pe
Aku kembali setelah membereskan tangis kesedihan. Kulihat Kak Rama sedang duduk melantai. Menghadapi Gio yang masih duduk di sofa. Sementara Papa dan Mama mengawasi kedatanganku seraya membuang nafas lelah. Semacam peringatan untukku yang kini duduk di samping Gio. "Sekalang Gio sudah boleh panggil 'Om Lama' lagi kan?" Kak Rama tersenyum lebar. Mencubit pipi Gio dengan gemas lalu mengangguk menyetujui. Dia luar biasa dengan segala pengertian dan keikhlasannya sekarang. "Terima kasih Gio sudah mau memanggil ayah. Nanti kalau Om Rama sedih karena kangen anak Kak Rama lagi, Gio mau kan panggil Om Rama 'Ayah' lagi?" "Siap!" sahut Gio sambil menempelkan telapak tangannya di kening kanan. Berusaha bersikap hormat walau masih belepotan. "Gio senang kan bertemu Om Rama?" tanya Kak Rama setelah mengabsen wajahku, Papa, dan Mama. "Senang. Gio senang kenal dengan banyak olang. Papa selalu bilang, Gio halus lamah dan baik pada semua olang. Om Lama
Di luar sudah petang, sudah jadi kewajiban kami sebagai tuan rumah yang baik untuk mempersilahkan masuk tamu yang datang. Memberi hidangan penyambutan meskipun hanya berupa minuman. Di atas sofa, kak Rama duduk gelisah. Jelas sekali jika raganya di sana tapi isi pikirannya menjalar ke arah Gio yang dibawa Papa dan Mama masuk ke kamar. Aku salut pada orang tuaku. Di luar tekanan yang mereka berikan padaku di masa lalu, baik Papa dan Mama barusan sepakat memberiku kesempatan menyambut Kak Rama, yang artinya mereka pun memberiku kebebasan untuk membeberkan segala kejadian di masa lampu. Sekaligus menilai yang dilakukan orang tuaku sendiri dari sudut pandangku. Ya walaupun aku paham, di rumah yang hanya berlantai satu ini, Mama yang jelas-jelas menunjukkan sikap tak suka atas kehadiran Kak Rama pasti memasang telinga lebar-lebar. Memaksimalkan kemampuan mengupingnya. "Minumlah, Kak." Dia tak mengindahkan jamuan teh hangatku. Sorot matanya yang gegab