Share

Bab 2

Author: Aulia Lapan Bilan
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tik tok tik tok..

Kudengar denting jarum jam di tengah kesunyian. Mataku mengerjap-kerjap ketika pupil menyesuaikan diri dengan cahaya lampu. Sejenak kemudian kusadari dingin menusuk tengkuk. Kuusap-usap perlahan, ah rupanya aku tidur tanpa pakaian. Celana berikut celana dalamku turun sepaha, jorok sekali bak bayi.

Celanaku? Celana dalamku? Turun? Tunggu! Ini bukan kamarku.

Aku tersentak, bangkit, lalu terduduk keheranan. Kamar siapa ini? Mataku semakin terbelalak lebar saat melihat meja rias yang penuh dengan beberapa benda khas perempuan. Ada bandana biru tosca, jepit rambut dan.. Sebuah boneka beruang berwarna cokelat yang tak tertolong tergeletak di lantai begitu saja.

Glek! Aku menelan ludahku yang pekat. Seret. Rasanya leherku kaku saat menemukan kaki kecil menjulur keluar dari selimut di sampingku.

Aku menoleh dan.. DAMN! SIAL!!

Kamu gila Rama!! Gila!!

Kedua tanganku mulai meremas rambut frustasi. Entah serupa bentuk apa ekspresi terkejutku saat ini. Aku tertohok menyaksikan sosok kecil meringkuk pulas di sampingku. Sementara bibirku sendiri tak berhenti mengumpat, merutuki diri yang lepas kendali.

Mau tak mau harus segera kustabilkan nafas, mengurut semua kejadian sampai menemukan apa gerangan penyebab malapetaka ini?

Seingatku, semalam aku pergi ke pesta ulang tahun kawan, mencicipi beberapa teguk wine melepas kepenatan lalu pulang. Apa aku hilang kesadaran hingga memasuki pintu kamar ini dan meniduri Riri? Bukan. Dia bukan Riri! Dia.. Arghh! Shit!

Aku melihat beberapa bercak darah di selimut. Kulihat celana jeansku yang sudah melorot. Ya Tuhan.. Aku merusak anak gadis orang, anak ingusan yang baru akan lulus SMP??

Rama!? Kamu pedofil sialan! Kamu shit!!

Apa yang harus kulakukan?? Semua akan lebih mudah jika kami sama-sama dewasa, meskipun tetap saja tindakanku ini tergolong asusila. Namun cobalah bayangkan, apa yang harus kujelaskan pada anak SMP yang masih ingusan?

Dia mungkin masih lima belas atau enam belas tahun.

Harus bagaimana ini? Harus dengan apa aku menjelaskan semua? Mulai dari mana? Ini murni kecelakaan karena aku sama sekali tak sadar. Ya Tuhan.. Kenapa hal buruk selalu menimpaku akhir-akhir ini?

Bak seorang pengecut aku tak berani banyak bergerak. Kurapikan celanaku dengan gerakan sehalus mungkin. Jangan sampai dia terbangun lalu menjerit mendapati kenyataan pahit babwa kesuciannnya kurenggut begitu saja.

Ini benar-benar dosa besar yang tak boleh seorang pun tahu. Bagaimanapun caranya harus ditutup rapat-rapat, ditimbun, dikubur bersama sampah plastik yang tak terurai bertahun-tahun lamanya.

Namun, sisi kemanusiaanku ternyata dengan mudah mencuat ke permukaan. Semakin kulihat nafas yang teratur dari tubuh kecil itu, semakin kuselami wajahnya, semakin aku merasa licik pula. Aku layak disebut pengecut tak bertanggungjawab jika benar-benar akan meninggalkannya.

Kugigit bibirku sendiri kala berhasil mengintip beberapa bercak merah di leher dan dada dari tubuh yang kini membelakangiku itu. Getir rasanya telah melakukan hal segila itu pada gadis yang baru beranjak dewasa, yang mungkin baru masuk pubertas.

Ya Tuhan seberapa menyeramkan aku menggaulinya semalam? Tidurnya tampak begitu lelap, kurasa dia sangat kelelahan. Jelas dia buka lawan yang seimbang untuk meladeni nafsu biantangku. Dari selimut yang hanya menutup sebagian tubuhnya, aku yakin tak ada serat kain yang kusisakan untuk membalut tubuhnya.

Samar-samar kuingat perbuatanku semalam yang semakin lama rasanya semakin menajam. Rasa keperawanannya, rasa persetubuhan kami, aku ingat betapa semalam begitu menggilai gadis yang kusebut Riri ini.

Huh! Biarkan aku berpikir keras, apa yang harus kulakukan? Dia akan meraung-raung jika terbangun dan menyadari bahwa aku telah merenggut kesuciannya.

Brengsek kamu Rama! Dia masih puber! Shit! Lagi-lagi aku hanya bisa mengumpat sambil menekuk wajahku di sampingnya. Kemarahanku pada diri sendiri yang tak termaafkan masih mengobar.

"Akh!"

Refleksku menoleh saat mendengar rintihan kecilnya. Yang pertama ku perhatikan adalah wajahnya yang lemah. Matanya yang masih terpejam sembab, bengkak, bibirnya sedikit berdarah di ujung. Jangan bilang itu akibat gigitanku, meskipun kenyataan akan semakin menggiring demikian.

Perlahan matanya terbuka. Mendelik dengan susah payah ketika menemukan sosokku ada di dekatnya. Gadis kecil itu terus berusaha menjauh saat kuputar tubuh menghadapnya. Wajahnya mengerut menjatuhkan butir air mata satu per satu.

Dia semakin beringsut, meringkus selimut menutup dadanya saat aku mencoba mengulurkan tangan. Ketakutan tergambar pada seluruh anggota geraknya.

"Akh! Hiks.." Rintihnya kecil, sekecil tubuhnya. Ringkih. Lemah.

"Jangan banyak begerak, memang sakit saat pertama kali melakukannya, nanti akan membaik sendiri.."

Bodoh! Kalimat apa yang sudah kukatakan? Apa pantas kuberi dia penjelasan yang dmeikian? Dia bukan kekasih yang dengan sukarela mempersembahkan keperawanannya padaku. Ayolah man! Kamu memperkosanya dan tanpa berdosa menjelaskan nyeri di kewanitaan karena kegiatan belah durenmu itu? Kamu benar-benar bajingan yang harus diberi tepuk tangan Rama, bajingan gila!

Kembali kujambak rambutku frustasi. Mengumpulkan keberanian untuk memberi penjelasan. Meskipun susah, aku harus memulai sebelum semua semakin runyam.

"Nin.." Sapaku pelan sekali.

"Anin tidak mau hiks.. Anin tidak mau!" Pekiknya sambil menutup kedua telinga. Bahasa tubuhnya bekerja seakan aku kembali akan menyetubuhinya.

"Nin, tolong dengarkan dulu.."

Dia menggigil ketakutan saat mendengarku memanggil namanya. Terus menerus berlindung di balik selimut. Takut. "Anin takuuut.. Hiks.. Anin takuutt.."

"Nin.." Panggilku kembali, kali ni kubarengi dengan menyentuh lengannya yag bebas. Sebagaimana dugaanku, dia terjingkat dan berusaha melepas sentuhan. "Nin, dengarkan aku dulu.."

Dia terus menggeleng tak mau kusentuh. Berusaha semakin menjauh, bersembunyi dibalik selimut sambil meringis, susah payah menahan perih dan pedih. "Hiks.. Papa.. Mama.. Anin takuut.."

"Nin!" Entah kenapa aku kesal melihatnya. Aku lepas kontrol dan sedikit membentak, meremas lengannya dan miris menyadari betapa kecil lengan itu di kolong tanganku. Dia benar-benar masih belia. "Anindya, dengarkan aku. Tenanglah.." Imbuhku melunak.

Mulanya dia semakin beusaha melepaskan diri dariku, hingga kurengkuh tubuhnya agar mau berdamai. Setidaknya aku memberi pertanggungjawaban berupa pelukan yang menenangkan.

Lambat laun tangisnya memudar. Kurenggangkan pelukanku saat dia mulai menurut.

"Aku khilaf Nin.."

Ya Tuhan, pantaskah bahasa khilaf kupakai pada anak SMP ini? Entahlah, semalam aku benar-benar hilang akal dan telah menganggapnya Riri gadis yang kucintai. Aku mabuk dan menyetubuhinya sebagai Riri.

"Aku tidak sadar saat melakukannya.. Aku.. Aku mabuk.."

Dia terdiam meskipun masih terisak-isak tipis. Tak ada secuilpun kalimatnya membalas penjelasanku. Entah apa yang ada di pikirannya, atau mungkin diamnya mengiyakan kemabukan, kegilaan, dan kebrutalanku dalam merenggutnya semalam.

"Maaf Nin.. Ini akan jadi rahasia kita. Aku minta maaf.."

Sejenak tak ada jawaban. Aku pun turut terdiam. Sabar menanti jawaban yang pada akhirnya keluar juga.

"Hiks.. Anin akan laporkan ke Papa.. Hiks.. Anin akan laporkan ke polisi biar Kak Rama dipenjara! Hiks.. Anin benci kak Rama! Hiks.. Hiks.."

Terancam, aku terancam sudah. Papa, polisi, penjara. Baiklah, aku benar-benar akan membusuk di penjara jika bocah lugu ini benar-benar merealisasikan ucapannya. Sebagai jaksa, ayahnya terkenal tegas. Tak tanggung-tanggung saat memberi tuntutan.

"Ssuutt.. Jangan terlalu keras bicara. Bagaimana kalau ternyata aku tidak dipenjara? Bagaimana kalau kita justru dinikahkan?" Spontanitas pertanyaan itu muncul di usiaku yang sangat dewasa, ancaman pada bocah ingusan yang terdengar licik sekali.

Dia tercengang, sedikit melirikku lalu kembali menunduk. Kulihat matanya yang bergerak-gerak gamang. Respons yang bagus, artinya dia takut, artinya ancamanku manjur.

"Aku tidak masalah jika harus menikah denganmu, tapi kamu bagaimana? Kamu mau?" Pertanyaanku semakin menyudutkannya.

Tubuhnya semakin mengerut. Sepertinya bergidik ketakutan. Pertanda akan semakin mudah bagiku menekannya hingga takluk pada keputusanku.

"Anin msih mau sekolah Kak.." Jawabnya seraya menahan tangis.

"Maka dari itu kita jaga rahasia ini ya, jangan sampai siapapun tahu." Bujukan ini menunjukkan seberapa tinggi tingkat kebajinganku saat ini.

"Tapi Anin.."

"Kenapa?" Potongku saat dia berusaha menyanggah.

"Anin sudah tidak perawan ya Kak? Hiks hiks.."

Glek! Harus kujawab apa? Ya Nin, aku sudah memerawanimu Nin. Lalu harus kujawab 'Ya Nin, kamu sudah tidak perawan', begitu?

"Tidak perawan juga tidak apa, tiak ada yang tahu." Jawabku asal. Betapa pentingnya sebuah keperawanan bagi seorang gadis belia sepertinya dan aku mengatakan tidak apa? Seringan itu? Begitu saja..

Kulihat wajah imutnya meragu. Bibirnya bergetar takut. Belum ada keputusan tapi aku yakin dia mau berdamai.

"Ehh.." Anin terlihat tidak nyaman saat kakinya bergerak.

"Kenapa?" Pertanyaan pura-pura bodoh.

"Ini.." Kakinya terus bergerak tak nyaman.

"Basah semua.. Lengket.."

Damn! Satu lagi kesialan yang baru kuingat. Aku mengeluarkannya di dalam. Bagus, tepuk tangan yang meriah untukmu Rama.

Mendadak aku lemas setelah mendapati kenyataan itu. Bayang-bayang bilamana gadis sekecil Anindya harus mengandung anakku. Oh tidak!

Kulihat wajahnya yang gelisah. Tangisnya kembali pecah.

"Sudah tenanglah Nin.." Aku berusaha memeluknya. Dia menurut.

Cup! Kukecup puncak kepalanya, memberikan kenyamanan yang semestinya. Dia semakin tersedu di dadaku.

"Hiks.. Anin takutt.. Anin sudah tidak pera..wan Hiks.. Anin tidak akan hamil kan Kak? Hiks.."

Entahlah Nin, mungkin.. Jika Tuhan menginginkan demikian, aku bisa apa? Meskipun kita sama-sama tahu tidak menginginkannya, jika Tuhan mau, kita bisa apa?

Mendadak aku kalut. Takut. Aku sendiri tidak bisa mengelak, hanya bisa berdoa semoga sel telurmu tak lepas dari ovarium Nin, atau sel spermaku lemah dalam berenang dan gagal membuahi.

Mendengarnya terus merengek bak anak kecil, telingaku terusik tapi batinku terus terkulik.

"Tenanglah, besok akan ku beri obat agar kamu tidak hamil.. Jangan menangis lagi, maafkan aku.." Sesalku seraya terus menenangkannya.

Anindya, kesalahan ini adalah awal dari segalanya. Tanpa sama-sama menyadari, kisah kita telah dimulai sejak penyatuan tubuh kita semalam..

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hony Lolong
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 3

    ***Follow me, comment dan kasih rating ya...***Anindya, Anindya, Anindya..Nama itu terus berloncatan di kepalaku. Nama seorang gadis kecil yang bahkan belum lulus SMP, gadis manis yang baru saja kuperawani, terus saja timbul tenggelam dengan sendirinya.Rama, seorang dokter melakukan pencabulan pada gadis di bawah umur. Dunia akan mengenalku demikian? Tidak! Betapa konyolnya jika muncul berita semacam itu.Usai keluar dari kamarnya, aku menghempaskan badan ke ranjang. Meninggalkannya sendirian setelah memastikan dia bisa berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa-sisa sentuhanku.Sekarang hanya giliranku berdoa, semoga Anindya, gadis kecil itu tidak melapor pada orang tuanya, terlebih pada ayahnya yang berprofesi sebagai hakim. Sial! Kenapa dia harus dititipkan di rumahku? Kenapa di saat aku hancur karena rencana pernikahan Riri -gadis yang ku

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 4

    follow dan tinggalin jejak ya say***Akhirnya aku bisa bernafas lega setelah susah payah meminumkan pencegah kehamilan itu pada Anin. Meskipun harus beli sendok, minuman manis, permen, dan apapun itu aku rela. Setidaknya dengan begini aku tidak akan merasakan apa yang kak Ranu rasakan, menghamili anak umur 16 tahun. Memalukan.Ketika kucermati wajahnya yang berangsur lega tapi tetap mencuri lirikan-lirikan ketakutan padaku, tiba-tiba saja muncul hembusan angin iba membelai peri kemanusiaanku. Teganya aku menyakiti gadis kecil ini. Teganya aku melontarkan kalimat-kalimat keji tadi.Anindya.. Kenapa kamu harus bernasib seperti ini? Tapi harus bagaimana lagi, semua sudah terjadi di luar kehendak kita. Tanpa kita mau telah berada pada situasi yang salah. Pada akhirnya apapun yang terjadi, mari bersama-sama melupakan hal ini."Nin, mari lupakan semua." Tuturku lembut. Tenang bak air menggenang. "Anggap saja semalam tidak terjadi apa-apa. Jadi, ja

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 5

    "Rama, tolong ajak Anin berangkat sekolah bareng kamu ya, Papa ngantor agak siang.."Aku mengangguk saja saat sarapan tadi Papa memintaku demikian. Sejujurnya suasana hati ini masih suntuk, marah tak tersalurkan pada orang tuaku setelah mengetahui fakta keterlibatan mereka pada takdir antara aku, Riri, dan kak Ranu. Entah mengapa tiba-tiba saja kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Anin menjadi hiburan tersendiri. Aneh memang.Di dalam mobil, sesekali kulihat Anin berusaha menarik-narik ujung roknya untuk menutup paha. Padahal bagian itu sudah tertindih tasnya. Sebegitu khawatirnya bocah itu akan nafsuku."Nin, berapa usiamu?"Dia terdiam bahkan membuang muka ke jendela. Aku tersenyum santai. Melihat tingkah Anin yang begini, rasanya lucu saja mengingat Riri sempat menuduhku menginginkan bocah lugu ini. Konyol."Nin, kamu harus menganggap tidak pernah terjadi apapun di antara kita. Mari jalin hubungan seperti s

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 6

    Pukul sepuluh malam. Sejak kulihat dia memasuki kamar tadi, otakku terus menerus mendikte raut wajah Anindya. Gerakan bibirnya, tubuh kecilnya, dan pikiran kotorku selalu berakhir dengan membayangkan yang bukan-bukan. Kuakui sejak malam itu, setelah sekian lama tidak berhubungan intim dengan gadis manapun, aku merasa kembali mengecap surga. Dia bisa menjadi obat untuk kepenatan pikiranku. Seorang Anindya pasti bisa menyenyakkan tidurku. Ah entah karena lama tak bercinta atau memang Anindya begitu indah hingga aku masih bisa mengingat gairah yang sudah-sudah setiap kali memandang wajahnya. Aku pun bangkit dari ranjang. Menggaet tshirt yang tergantung lalu memakainya. Lanjut kuberdiri di ambang pintu kamar. Menoleh ke kanan, ke arah pintu kamar yang dekat dengan tangga, kamar Anindya. Entahlah.. Hasratku padanya kian penuh, membuncah. Haruskah secepat ini aku melampiaskan kelelakianku padanya?

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 7

    Anggukan Anin mengantarkan tubuhnya ke ranjang, di bawah kungkunganku. Selayaknya manusia yang akan mengecap surga dunia dari pintu neraka, aku pun tersenyum bahagia. Demikian jahatnya. Ya, aku tahu ini salah. Aku tahu. Gadis ini tampak sangat kecil di bawahku. Tubuhnya mungil. Wajahnya yang imut melengos tak sudi saat cumbuanku berusaha menghampiri bibirnya. Tak masalah, semua memang harus berjalan perlahan. Selama proses terus bergerak dinamis maka yang kubutuhkan hanya bertahan dan bersabar. Toh aku masih bisa menjelajahi lehernya, juga bagian-bagian sensitif lain yang menunggu giliran. "Geliii.." Protes Anin seraya berusaha mendorong dadaku. Terasa bak gelitikan mesra menjamah. Usaha yang sia-sia belaka jika dia ingin lepas dari lingkupanku. Kujepit kembali dagunya lalu segera mencumbu bibir kecil yang menggugah. "Buka bibirmu Nin.. Percayalah semua akan baik-baik saja."

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 8

    "A..Anin.. ingin kak Rama."Ahh rasanya ada yang membesut telingaku untuk berbuat semakin liar. Kupastikan, kamu akan tunduk padaku Anindya.Kukecup bibirnya dengan haus yang teredam. Agar memeroleh kenyamanan sekaligus kehangatan.Keningku terlipat begitu saja ketika tiba-tiba bibirku terbungkam tangan kecilnya."Kenapa Nin? Cup!" Tanyaku seraya menyingkirkan jemari itu. Menggantikannya dengan ciuman yang syahdu dan kelak mungkin menghasilkan rindu seorang pecandu."Jangan beri ludah lagi kak, Anin jijik. Anin tidak mau!" Pintanya dengan menyusupkan nada iba. Gelisah penuh keluh kesah.Lugunya.. Gadis ini selalu dengan mudah menerbitkan senyumku. Menganjurkanku untuk membelai rambutnya agar bersembunyi dibalik telinga. Perlakuan yang menurunkan suhu panas di antara kami."Baiklah, apapun asal kamu menurut padaku."Ta

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 9

    Aku benar-benar termanjakan. Luar biasa gesekan tubuh kami. Terasa hangat menggelayut, aku pastikan malam ini tak akan lekas berhenti. Jack akan terpuaskan sampai pagi. "Enghh.." Anin hanya melenguh kecil. Menahan suaranya agar tak teruar bersama udara. Masih menggigit bibir bawahnya. Bukti bahwa dia mulai menikmati ritme permainanku. Yes! Aku tak salah dengar, Anin terus mendesah. Dia bisa merasakan nikmatnya hubungan kami malam ini, yang bisa jadi berlanjut di malam-malam selanjutnya. "Suka kan Nin?" Anin mengangguk cepat. Refleksnya bekerja normal. Wanita mana yang bisa memungkiri performa prima Jack. Shit! Anin terus meracau tak karuan. Nada-nada rendah dari kepolosannya mengobarkan gairahku untuk mempercepat gerakan. Semakin cepat tak terkontrol hingga bunyi mirip tamparan akibat pertemuan kulit kami pun kian memenuhi ruangan. Aku mendesahkan namanya. Desisan demi desisan kami bersahutan. Anin tak protes sedikitpun. Sekali

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 10

    Aku melewati kamar Anin saat hendak turun. Entah mengapa hatiku tergelitik untuk kembali dan membuka pintu surga itu. Ini godaan yang tak bisa ditepis. Normal kan? Klek! Anin yang sedang berhadapan dengan meja rias sontak menatap gugup ke arahku. Bahasa tubuhnya yang mengaku kusambut dengan senyuman kecil, seraya menggeser slot pintu. Mencari aman dari ketahuan. Beberapa langkah kutapak untuk mendekatinya, berjongkok di depannya yang tampak tegang. Dari jatak ini saja aku bisa mencium harum tubuh belianya. Aku suka, Jack juga. Aku harus menyapa gadis manis yang semalaman memanjakan Jack dalam kepuasan dengan nada kelembutan. Membagi kenyamanan yang menegaskan rasa aman. "Pagi Nin.." "Pa..pagi juga Kak.." Jawabnya sambil terus menghindari tatapanku. Gugup itu tak bisa mengatup. Sementara hasratku padanya selalu meletup. "Maaf tadi meninggalkanmu sendiri, saat aku bangun sudah pukul empat subuh, jadi aku bergegas kembali ke kamar

Latest chapter

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Ekstra Part 2

    "Saya terima nikah dan kawinnya Anindya binti Ibrahim dengan mas kawin sebuah klinik fisioterapi dibayar tunai."Nafasku berembus lega kala semua saksi menyebut sah. Artinya, impianku yang sesungguhnya telah menjadi nyata. Kami menikah, bersiap membangun rumah tangga.Meskipun tak paham betul tentang arti sebuah pernikahan, Gio yang duduk di samping Mama tersenyum kepadaku. Dia tampak tampan dalam balutan jas hitam persis yang dikenakan lelaki di sebelahku, ayahnya yang kini sah menjadi suamiku.Soal mas kawin, aku tak menyangka kak Rama akan memberinya. Aku tak pernah meminta. Saat dia bertanya aku ingin mas kawin apa, selalu kujawab terserah. Hasilnya, dia mengonsep semua dengan matang di hari pernikahan.Tak kusangka lelaki tampan yang pernah menjadi masa lalu pahit bagiku adalah lelaki yang sama yang akan menemaniku menggapai cita dan cinta. Mulai hari ini kami a

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Extra Part 1

    Serangkaian prosesi menjelang pernikahanku dan kak Rama digelar secara runtut. Dimulai dari prosesi lamaran antar dua keluarga yang baru kemarin diadakan. Kak Rama memang ingin segera menikah. Dia takut aku akan berubah pikiran. Lagi pula Mama khawatir terjadi Gio jilid dua. Takut saja kalau-kalau kami khilaf seperti dulu."Aku boleh main ke kosmu?"Aku hanya melirik judes sambil memainkan ponsel lalu diam pura-pura tak mendengar. Tak lama kemudian kurasakan tangannya mengusik rambutku."Kakak ih!" protesku karena rambut panjangku jadi acak-acakan."Aku butuh jawaban.""Pertanyaan yang mana?" Kupasang wajah tanpa dosa."Jadi tidak boleh main ke kosmu? Kenapa? Masih takut padaku hm?" cecarnya setelah menyahut ponselku.Geram, aku pun merebahkan punggung di beanbag. Menatap ke langit

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Ending

    Malam kian larut. Sepi. Anakku, yang pernah sekian lama menjadi impianku, sudah lelap dalam pelukku. Gioksa Anrama, terima kasih untuk akronim nama yang kamu berikan, Nin. Pertanda kamu tak pernah melupakanku barang sedikitpun. Andai hal-hal yang selama ini selalu mengingatkanmu padaku itu mengarah kepada kebencian sekalipun, aku rela. Sekali lagi kuucapkan terima kasih, Nin. Kamu telah mematri cinta kita agar melekat selalu pada diri Gio. Pukul sepuluh malam. Kurasa semua orang sudah tidur. Tante Fatma, Om Ibra, bahkan Anindya, tak satupun di antara mereka kujumpai saat mengambil minum di dapur. Tak kudengar pula suara mereka. Sementara aku sendiri tak bisa tidur. Kebahagiaan ini terlalu nyata untuk mengantarku dalam lelap. Aku masih ingin menikmatinya. Seteguk kuminum, menyandarkan pantat di meja dapur dengan pandangan menjelajah ke seisi rumah. Memang posisi dapur menjangkau semua. Rumah berlantai satu ini hampir tak bersekat selain kamar. Hingga dengan mudahnya s

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 46

    "Menginaplah di sini, Rama."Semua mata tertuju pada Papa. Tak terkecuali Mama yang mendelik ingin melayangkan protes. Namun Papa segera menggenggam tangannya."Kita tidak boleh egois, Ma. Kita sama-sama tahu apa yang Gio butuhkan."Kulihat Mama mencabut tangannya, lalu meninggalkan meja makan dan dengan dalih membawa piring kotornya ke dapur. Tinggi, Mama membentengi hatinya tinggi sekali."Temani Gio tidur. Besok kamu libur kan?"Kak Rama mengangguk kaku. "Tapi, saya takut merepotkan Om dan Tante.""Selama kamu tidak masuk ke kamar Anindya, tidak ada yang merepotkan bagi kami."Wajahku merah padam. Apa-apaan sih Papa. Malah sengaja menggoda. Kak Rama bahkan kesulitan menutupi senyum malu-malunya. Kulihat tangannya yang mengusap tengkuk berkali-kali karena gerogi.***"Aku masih mencintainya, Deco.""Aku tahu. Sudah kukatakan akan sabar menunggu bukan?" Lelaki berkursi roda itu tampak mantap."Sama seperti

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 45

    Kumajukan bibir setelah lama berdiri di tepi jalan. Aku menunggu, sesekali melangkah maju dengan kedua tangan menggenggam tali backpack yang kupakai. Kutoleh ke kanan, menanti seseorang.Ah ini sudah hampir setengah jam. Apa susahnya menghubungiku dulu jika masih ada kepentingan, bukan malah membuatku menunggu serasa tahun-tahunan. Terus timbul niat kembali ke kamar kos saja, tapi selalu kubatalkan jika ingat mungkin yang kutunggu segera tiba.Kulihat lagi jam di layar ponsel. Jika lima belas menit lagi dia tak datang, aku kembali ke kamar. Semua orang akan setuju jika kukatakan lama menunggu adalah hal yang sangat menjengkelkan. Tapi, aku jadi ingat satu hal. Saat meminta kak Rama menungguku beberapa waktu lalu, jangan-jangan salah satu alasannya melepasku adalah karena rasa jengkel yang sama. Ah entahlah.Lima belas menit sia-siaku pun berlalu. Aku memutar badan ke kiri. Berjalan lurus dengan perasaan dongkol di hati. Sayangnya, cukup beberapa langkah kutapaki

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 44

    "Ketemu! Itulah masalahnya. Dia mungkin memutuskanmu karena itu, dia tidak ingin kamu dipecat dari rumah sakit ini, tidak mau menghambat karirmu."Masuk akal. Kak Rama adalah bagian dari direksi, kemungkinan kecil rumah sakit akan memecatnya. Dari janji untuk mempertahankanku di rumah sakit ini tempo hari, kurasa suaranya banyak berpengaruh. Sementara aku yang hanya pegawai biasa akan lebih mudah dihentikan jalannya. Itukah alasannya?"Bukankah itu bisa ditutupi dengan menjalin hubungan diam-diam?""Diam-diam sampai kapan? Sampai kalian menikah?" Dia bangun, duduk bersedekap lalu kembali terkekeh saat otakku yang buntu masih berusaha mencerna jawabannya. "Dia sudah melepaskanmu, Anindya. Menyerahlah, buka pintu hatimu untukku. Dia sudah menyerah meskipun masih mencintaimu. Demi kebaikanmu."Aku tertegun sejenak. Menela saliva encer agar membasahi tenggorokan. Kutekuk wajah sambil memejamkan mata."Kurasa suasana hatimu sedang tak baik. Antarkan aku

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bab 43

    Saat aku membuka tirai jendela, kulihat matahari pagi ini cukup terik. Kilaunya menyilau, menyipit aku dibuatnya. Kurasa cuaca hari ini akan panas menyengat, tapi dingin mengering khas musim kemarau.Semalam aku tidur sangat lelap. Kembali sendiri di kamar kos ini setelah kemarin berdrama panjang dengan Gio yang tak mau ditinggalkan. Dia memaksa ikut denganku agar bisa bertemu dengan Kak Rama. Entahlah. Mereka bahkan baru bertemu sekali tapi ikatan itu sudah terjalin sekuat ini.Dia terbangun di minggu pagi sambil merengek-rengek mencari Kak Rama. Merasa ditipu karena ditinggalkan saat sedang terlelap. Orang tuaku sibuk membujuk dengan berbagai hal, tapi dia masih saja bertanya tentang cara menemui Kak Rama. Di saat itulah aku merasa harus melakukan sesuatu. Terus kuusahakan membujuknya melalui pelukan demi pelukan yang sebelumnya jarang kuberikan. Memang aku ibu yang kejam, bukan penyayang, tapi juga bukan pembenci.Setelah berhasil membuatku tercengang, dia pe

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bagian 42

    Aku kembali setelah membereskan tangis kesedihan. Kulihat Kak Rama sedang duduk melantai. Menghadapi Gio yang masih duduk di sofa. Sementara Papa dan Mama mengawasi kedatanganku seraya membuang nafas lelah. Semacam peringatan untukku yang kini duduk di samping Gio. "Sekalang Gio sudah boleh panggil 'Om Lama' lagi kan?" Kak Rama tersenyum lebar. Mencubit pipi Gio dengan gemas lalu mengangguk menyetujui. Dia luar biasa dengan segala pengertian dan keikhlasannya sekarang. "Terima kasih Gio sudah mau memanggil ayah. Nanti kalau Om Rama sedih karena kangen anak Kak Rama lagi, Gio mau kan panggil Om Rama 'Ayah' lagi?" "Siap!" sahut Gio sambil menempelkan telapak tangannya di kening kanan. Berusaha bersikap hormat walau masih belepotan. "Gio senang kan bertemu Om Rama?" tanya Kak Rama setelah mengabsen wajahku, Papa, dan Mama. "Senang. Gio senang kenal dengan banyak olang. Papa selalu bilang, Gio halus lamah dan baik pada semua olang. Om Lama

  • ANINDYA: BELIA TERPEDAYA CINTA   Bagian 41

    Di luar sudah petang, sudah jadi kewajiban kami sebagai tuan rumah yang baik untuk mempersilahkan masuk tamu yang datang. Memberi hidangan penyambutan meskipun hanya berupa minuman. Di atas sofa, kak Rama duduk gelisah. Jelas sekali jika raganya di sana tapi isi pikirannya menjalar ke arah Gio yang dibawa Papa dan Mama masuk ke kamar. Aku salut pada orang tuaku. Di luar tekanan yang mereka berikan padaku di masa lalu, baik Papa dan Mama barusan sepakat memberiku kesempatan menyambut Kak Rama, yang artinya mereka pun memberiku kebebasan untuk membeberkan segala kejadian di masa lampu. Sekaligus menilai yang dilakukan orang tuaku sendiri dari sudut pandangku. Ya walaupun aku paham, di rumah yang hanya berlantai satu ini, Mama yang jelas-jelas menunjukkan sikap tak suka atas kehadiran Kak Rama pasti memasang telinga lebar-lebar. Memaksimalkan kemampuan mengupingnya. "Minumlah, Kak." Dia tak mengindahkan jamuan teh hangatku. Sorot matanya yang gegab

DMCA.com Protection Status