Anila menurunkan tubuhnya dan Aldrich pada badan jembatan, untuk menuju istana itu. Tempat yang cukup lengang untuk waktu turunnya sepersekian detik.
Ia mulai dapat mengamati istana itu dengan jelas, keramaian yang ada, kebahagiaan yang tersebar, semuanya tampak damai. Bahkan, tidak ada tanda-tanda yang seperti Markhor katakan bahwa Kerajaan yang disebut Lunar itu termasuk kerajaan dengan pimpinan yang egois.
Aldrich melangkah maju lebih dulu, meskipun ia ragu, tetapi, ia bertekad untuk berjalan lebih tiga langkah dibanding Anila. Setidaknya, ia harap, ia segera menemukan informasi tentang Prince Mereya.
Anila menjajari langkah Aldrich.
“Ini keren Al…” Matanya tidak luput sedikitpun dari arsitek megah berukir, dan rumah-rumah yang sederhana namun tampak mewah.
Mereka memasuki keramaian, semua penduduk melakukan kesibukannya di depan halaman istana, sudah seperti pasar.
Aldrich kembali cukup larut. Ia tidak menyangka akan lupa waktu berada di luar. Tapi tidak apa, itu sudah sangat malam. Pastilah Anila sudah tertidur, pikir Aldrich.Aldrich membuka pintu."Eh, kamu masih terjaga, Na?" Aldrich mematung, matanya menangkap Anila duduk terdiam. Melamun."Na... kau tidak papa?" Aldrich duduk di sampng Anila, menekan bahunya lembut."Eh, tidak-tidak." Anila menggeleng, "aku baik-baik saja." Senyumnya tampak dipaksakan."Kau sudah makan?" Aldrich beranjak, mencari sesuatu yang tadi didapatnya. Masih utuh."Kau tidak makan?" Anila kembali terdiam."Na. Aku tidak tahu mengapa. Tapi sifatmu mendadak aneh, setelah kita memutuskan untuk tinggal di sini tadi. Apa kau tidak suka tempat ini? Jika iya, kita dapat berpindah dan mencari tempat yang lebih layak untukmu. Apa mungkin–"Anila menole
Anila tersenyum, begitu juga Aldrich. Ia bangkit dari ranjang—mempersilahkan Anila untuk tidur, berjalan ke blok lain rumah. Anila hendak merebahkan tubuhnya, tetapi ia teringat sesuatu. Apakah tadi ia tidak terlalu berlebihan menyikapi masalah yang ada? Mungkin saja tadi karena pikirannya ruwet, sekarang sudah lebih baik. Namun, mau bagaimanapun yang tadi ia lakukan jelas tetap salah. Anila berseru, menghentikan langkah Aldrich. "Iya, Na? Ada lagi?" tanya Aldrich. Hati pria itu benar-benar hanya terisi kesabaran. Apa yang telah Anila pikirkan. "Boleh kau kemari?" Anila ragu-ragu mengatakannya. Aldrich kembali membalik badannya, mendekat. Anila berdiri, mereka saling berhadapan. "Terima kasih." Aldrich mendengus, "Ah, kau ini ku kira ada apa." Ia kembali tersenyum. Hati Anila berdesir. Ia terharu pada apa yang di
Gadis yang dipanggil memberikan nampannya kepada Pemimpin Pelayan, lantas meminta Anila yang melakukannya—mengirim nampan-nampan itu ke ruangan utama. Anila menggangguk, segera mengikuti pelayan lain menuju ruangan utama. "Aku tidak dapat terus di sini, aku harus segera bertemu dengan Prince Mereya itu." batin Anila, menaruh makanan itu pada meja sajian utama, yang megah nan memanjang. Hampir 30 menit waktunya berlalu hanya untuk berbolak-balik mengantarkan makanan. Anila lelah. "AYO Cepat! Terus antarkan semua makanan yang telah siap ke ruang utama." Pemimpin Pelayan kembali berteriak; memerintahkan. Saat Anila kembali untuk lima belas kalinya, atau lebih. Anila melihat Pemimpin Pelayan menghentikan seseorang. Melalui indra perasa-nya. Anila dapat mendengarkan pembicaraan itu lebih jelas. "Apa? Pangeran tidak mau ikut makan bersama di ruangan utama? Tabib meminta
Mata Anila semakin berkilauan ketika sebuah air menetes dari sana. ia bergeming tidak bersuara. Pangeran pun tidak mengerti apa yang telah terjadi beberapa menit terakhir. "Jawab aku. Siapa engkau? Mengapa engkau malah menangis?" Anila tersadar. Ia tidak dapat mengendalikan dirinya. Pangeran mendekat. Anila segera menghilang dari sana. "Kemana dia? HEY! SIAPA ENGKAU!" sang Pangeran memutarkan tubuhnya, menatap seluruh ruangan. "MENGAPA ENGKAU MENGHILANG! KATAKAN! SIAPA ENGKAU!" Pangeran kembali berteriak. Ia berjalan geram kesana kemari, tidak menemukan apapun. Ia tidak dapat melihat, bahwa Anila masih berada di sana, menangis tersedu-sedu. Pangeran pun menangis. "Aku mohon. Jangan lakukan itu padaku. Katakan siapa engkau!" pekik Pangeran tidak putus asa. Ia sangat berharap dapat melihatnya sekali lagi. Anila memunculk
Anila terbang tanpa tujuan. Ia menghancurkan apa pun yang dihadapannya. Tidak peduli pepohonan atau kawanan burung."Ini tidak mungkin! Pasti aku salah lihat, kan?""AAaaaa!!" Anila berubah menjadi angin kencang dari udara, beberapa pohon tumbang."Aku yakin itu tidak mungkin dia. Tapi bagaimana mungkin?" Ia terus bersungut-sungut tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.Aldrich pulang ke rumah sore itu. Siang kala ia pulang, Anila juga tidak ada. Aldrich pikir, Anila mungkin sedang melaksanakan misinya, atau terjebak dalam situasi yang belum memungkinkan dirinya untuk kembali ke rumah.Tetapi, hari sebentar lagi gelap, sedang Anila belum pulang juga. Aldrich mondar mandir di halaman gubuk."Aku yakin dia dapat pulang jika dia mau. Kemana Anila, ya? Atau dia dalam bahaya?" Aldrich berpikir ulang, "Ah, sepertinya tidak mungkin. Kendatipun dia dalam bahaya. Aku juga yakin
"Na, kau tidak papa?" Aldrich segera berdiri begitu melihat Anila tersadar."Sekarang jam berapa? Apakah aku sudah harus kembali ke istana sekarang?""Na, Na. Tenanglah dulu, Na. Kau pingsan hampir semalaman. Misi itu, kita tunda dulu. Kau istirahat saja." Aldrich yang duduk di samping Anila, masih tidak berpindah. Tidak tertidur, semalaman ia benar-benar mengkhawatirkan Anila. Bingung, akan apa yang terjadi padanya sore itu.Wajah cantik Anila tiba-tiba tampak muram. Semangatnya pudar, ia tertunduk lesu."Kau kenapa, Na? Apa kau lapar? Kau mau makan apa?" Aldrich tersenyum lembut. Sesungguhnya ia bukan ingin menanyakan hal itu. Ia ingin bertanya banyak hal. Tetapi, Aldrich rasa, ini bukan saatnya. Setelah kepulangan Anila dari Kerajaan Lunar yang tidak semestinya. Itu sudah sangat Aldrich mengerti, sesuatu telah terjadi.Anila masih hening. Diam. Menunduknya semakin dalam, bibir
Bangunan ukiran batu itu tampak kusam, dengan pasak-pasaknya berwarna putih rusak, menjulang. Tumbuhan merambat, dedaunan kering memenuhi lantai. Pada pintu masuk, pohon buah-buahan merunduk. Sebab, buahnya yang sangat subur, menyambut seorang wanita cantik, surainya yang berwarna keunguan, diikat, menyatu hingga ke bagian belakang tubuhnya, terbuka, tidak dapat ikut tertutup sehelai kain, pada baju yang hanya berporos melilit di leher. "Lihatlah, siapa yang telah datang, ke istana musim semi." Suara hentakan terdengar, para tumbuhan melakukan tugasnya. Berkeliat, bermacam tangan, menyiapkan makanan, membereskan tempat dan menyambut anggun. Gadis itu tersenyum. Ia menundukkan tubuhnya sejenak. Seekor kambing berjalan mendekat. "Hai, sahabatku. Engkau tidak pernah tua. Aku menyesal. Seandainya saja kita tidak bertemu dalam keadaan seperti ini," ujar sang Kambing yang tanduknya berkelit indah itu. &nb
Makhor menyimak cerita Halw dengan saksama. Bagaimanapun, kehadiran lencana itu sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya rencana. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" Markhor kembali bertanya. Situasi terburuk akan segera tercipta jika mereka tidak memiliki rencana cadangan. "Aku berpikir untuk mendekatkan Anila dengan Pangeran Mereya, bagaimana menurutmu?" Markhor hening, ikut berpikir sejenak. "Aku tahu, itu tidak memberikan banyak perubahan dalam waktu singkat. Terlebih, mengingat bulan sabit akan datang besok malam." "Tidak!" tolak Marklor. "Kita tidak akan membawa gadis itu kemana-mana. Justru, kdia harus dikurung agar tidak kembali pergi ke istana," lanjutnya. "Itu lebih bodoh! Kita tidak dapat menunda lagi, waktu kita terbatas untuk rencana jangka panjang," Halw juga menolak, dahinya bekerut, berpikir lebih keras. "Nah, itulah sebabnya. Kita harus jauhkan pangeran Mereya dengan Anila dalam waktu beberapa hari ini. Sampai hari acara pertunangan itu. Dengan begitu,
Aurora tidak pernah main-main dengan apa yang ia hendak lakukan. Malam itu juga, setelah kepergian Ratu Neoma dia langsung terbang menuju kota buku. Tempat di mana kerajaan Ratu Angin berada.Dahulu dia pernah dibesarkan di kota itu. Rumah-rumah buku, tanaman penghasil pengetahuan dan sungai aliran yang melukis keindahan alam penuh kecerdasan itu. Aurora jelas menyukai tinggal di sana penuh ramai, daripada Istana megahnya yang tetap membuatnya kesepian.“Guk! Guk!”Seekor anjing yang berjalan bersama Aurora menggonggong.“Diamlah, Ed. Ini tengah malam. Jangan membangunkan mereka. Kita akan mengunjungi keluargamu.” Aurora berjongkok, mengelus kepala Anjing bernama Ed. Anjing itu seakan mengerti dan bergonggong kecil. Kemudian kembali berjalan mengikuti tali pada leher yang ditariknya.Aurora dan anjingnya berhenti pada sebuah lubang besar. Seperti sebuah kanal, namun di dalamnya tidak terdapat air. Itu adalah tempat kematian terburuk di alam buku.“Kau berasal dari sana. Aku menghidupk
“Ini milikku?”“Buku itulah yang membuat kami yakin Anila adalah seseorang yang tepat untuk memimpin alam buku. Mungkin dari buku itu juga kita bisa mencari jalan keluar untuk membebaskan Anila.”“Dari mana kalian mendapatkannya?”“Aku menemukannya di dekat tubuh manusia egois itu saat terluka.”Mereya dengan perlahan dan teramat hati-hati mencoba menyentuhnya. Begitu jemari indah itu bersentuhan. Seketika saja ribuan saraf ingatan lampau milik mereya kembali hidup. Cepat sekali seperti gulungan kaset yan tersusun rapi. Mereya melihat jelas gambaran seorang pria dan wanita mengenakan seragam sekolah, mengambilkan bola. Gambaran seorang gadis tersenyum kepadanya. Gambaran pria dan wanita itu, duduk bercerita, pulang bersama. Semuanya melintas cepat."Hah!” Mata Mereya membelalak.“Apakah laki-laki itu aku?” gumamnya, meyakinkan jika seseorang yang dilihatnya tadi benar-benar dirinya sendiri.“Ada apa pangeran apakah ada cara menyelamatkannya?”“Siapa gadis itu sebenarnya? Jika dia manu
“TIDAK!!!”Halw memekik. Tangannya terulur, namun dia tidak bisa kembali keluar dari tabir itu dan membuat segala rencana juga pengorbanan sia-sia.Suara lencana jatuh menggelinding di lantai, menyadarkannya bahwa dia harus bergerak cepat sebelum ratu datang.Dengan napas tersengal, Halw mendekati Pangeran mereya yang terbaring. Memasangkan Lencana itu pada dada Pangeran.“Sadarlah Pangeran, Sadarlah!! Aku mohon cepat sadarlah sahabatku! Cepat!”buru Halw tidak sabar. Keringat dingin membasahi wajah dan rambut panjangnya yang diikat rapi dalam wujud manusia biasa.Ribuan cahaya berburu menuju ke saraf otak pangeran.Tabir gaib telah dihancurkan. Ratu mendarat di balkon penuh amarah.“Kau terlambat!”“Halw telah menghianati kerajaan. Meski pakaiannya biasa, dia telah menipu ratu di kawasan istana.”“Arrghh! Hentikan!!” Jutaan sel-sel yang membentuk manusia milik halw berkelit pada tubuhnya, seakan menyayat-nyayat organ dalam miliknya. Sangat sakit.Gadis malang itu terus mengerang kesaki
Halw menoleh pada Aldrich, indranya langsung aktif menyimak.“Ya, aku tidak berbohong. Kita masih punya harapan. Tania sempat menguping pembicaraan saat keluar mengantarakan makanan, dia mendengar bahwa pangeran akan kembali sadar jika lencana itu dikembalikan.”Layaknya lentera yang baru saja diisi minyak, mata halw kembali penuh akan harapan.“Apa selanjutnya?”“Tania akan membantu kita. Bangunlah Makhlor! Ada tugas penting untukmu! Kita harus bersiap untuk hari esok!”Aldrich berdiri, menampar tubuh makhlor tanpa dosa. Senyumnya tidak berhenti merekah.“Kerja bagus, Al.” Halw langsung menghambur memeluk tubuh Aldrich erat, “Aku tahu sejak awal. Kau bukan sekadar manusia. Di mataku kau selalu luar biasa,” puji Halw dengan amat bahagia.Aldrich canggung sendiri. Ingin membalas pelukan itu atau tidak sama-sama takut disalahartikan.“Ayo, Makhlor. Aku akan siapkan makanan untuk kalian.”Halw beranjak lebih dulu meninggalkan laboratorium.“Sejak kapan kucing bisa memasak?”“Miawww!!”Aldr
Setelah usai mempersiapkan penyamarannya, Alrich kembali menuju istana, dengan idenya yang banyak, juga pengalamannya selama ini. Tidak sulit baginya mengelabui keluarga kerajaan juga para prajurit. Ia berhasil lolos beberapa tes keabsahan, sempat khawatir di beberapa tes, namun dia sudah belajar banyak kemampuan dari Halw, yang latihannya tidak jauh berbeda dari latihan para prajurit asli karena Halw memang panglimanya.Dengan seragam lengkap dan penutup kepala khusus; lambang kerajaan lunar. Aldrich mengikuti deretan prajurit yang mendapatkan tugas mengamankan sidang.“Apakah wanita itu sungguh akan disidang hari ini? Dari bukti yang sudah aku bantu kumpulkan, seharusnya, pelaku mendapatkan hukuman keji atas perbuatannya,” batin Aldrich sambil terus berarakan, berbaris mengitari area persidangan.Pada jalan utama, Al meninjau sekilas, cermat, wanita yang ditolongnya kemarin.Suara wasit sidang terdengar nyaring membuka acara, semua orang yang bersangkutan juga bukti yang diperlukan
Arak-arakkan prajurit mulai menghambur ke seluruh Kerajaan Lunar. Buku-buku informasi, juga koran-koran kabar menginformasikan tentang gagalnya pertunangan pangeran pun pencarian seorang pencuri lencana, terserta foto Aldrich pada beritanya. “Siapa pun yang bertemu dengan pencuri lencana itu, kemudian menangkap dan menyerahkannya pada kerajaan Lunar. Maka mereka akan diberikan imbalan yang besar!” “Ayo! Ayo!” Gemuruh bisik-bisik riuh terdengar ketika pengumuman dan penggeledahan Aldrich terus berlanjut. Dua orang pemuda menghadang gerombolan prajurit. “Jangan menghalangi jalan kami! Pergi dari sana! Katakan apa keperluan kalian!” teriak ketua prajurit pencarian. “Kami tahu di mana manusia itu.” Prajurit lain menyambangi ketua, membisikkan beberapa kata, kemudian kembali pada tempatnya. “Kami tidak mempercayai kalian. Kalian adalah mantan prajurit penjaga malam kerajaan bukan, kalian berdua dikeluarkan atas tuduhan pelecehan seksual. Jangan harap kalian bisa merayu kami dengan info
Halw kemudian kembali mengubah wujudnya sebagai seorang gadis. Aldrich terkejut, namun hati dan wajahnya sedang tidak memiliki sisi lain. Hanya wujud datar itu yang ia tampilkan. Sebuah senyuman setidaknya dia berhasil mengalihkan perhatian Aldrich dari melukai dirinya sendiri. “Halw? ... Manis?” “Benar. Kemarikan tanganmu.” Halw menarik lengan baju Al, melakukan hal sama. “Aku tahu ini sakit sekali,” sambung Halw yang terus bermonolog tanpa jawaban dari Aldrich. “Tidak seberapa,” jawab Aldrich singkat. Dengan lihai tangan lentik itu merawat luka, cekatan tanpa takut. “Aw!” “Duh, sakit?” Aldrich menatap Halw sejenak. Laki-laki itu menggeleng. “Boleh aku meminta sesuatu?” Dahi Halw berkerut, menandakan jika ia ingin mengetahuinya meski tanpa menjawab. “Apa kau bisa mengobati luka dalamku juga? Itu terasa lebih menyakitkan daripada yang coba kau obati,” ungkap Aldich. Halw seketika terdiam, melihat sejenak Anila yang tertawa bersama Pangeran Mereya. Betapa beruntungnya menjad
Aurora masih berusaha menyadarkan dirinya dan meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar terjadi. Pangeran Mereya menghentikan tindakan Aldrich dengan menyambar tangan Anila. Saat kedua kulit itu bersentuhan, sebuah cahaya timbul dan bunga-bunga sakura hitam jatuh berguguran di sekitar. Tak berselang lama dari sentuh sejenak itu, akhirnya Anila dapat membuka mata dengan sempurna. Gadis itu terkejut. Berusaha sesegera mungkin memahami situasi. Tubuhnya terasa memilih dengan cepat. Sentuhan singkat tadi meningkatkan kekuatan keduanya. Anila melepas genggaman Aldrich. Matanya berkaca-kaca dan berlari memeluk Pangeran dengan erat. “Gata, selama ini aku mencarimu ....” Gadis itu mendadak menangis. “Kau kemana saja, Gata? Apakah kamu tidak tahu betapa kesepiannya aku tanpa dirimu? Betapa hampanya segala kehidupanku, sekolahku dan aku tidak peduli, tidak membutuhkan semua itu jika tanpa dirimu. Kemana saja kamu selama ini, hah? Kemana saja, Gata? Jawab aku. Huft, huft!” Air mat
"Bagus, Sayangku! Berikan!” Tangan Aurora terulur memberikan guci transparan itu pada sang ratu. “Lepaskan dia Aurora!” Ini pertama kalinya markhlor berseru sekencang itu. Seluruh yang hadir pada ruang pertemuan menutup telinga, bangunan megah itu bergetar. Putri pemilik kekuatan salju itu menoleh. Matanya dengan pahit menatap Markhlor penuh ambisi. “Kenapa?” “Sekali lagi ... anggap ini permintaan, jangan berikan guci itu pada Ratu.” Markhlor merendahkan suaranya. "Jadi kau peduli pada guci ini? Atau sesuatu yang berada di dalamnya?” “Aurora, tolong ....” “Kenapa aku harus menolongmu, bahkan jika itu untuk permintaan terakhir, aku bahkan tidak peduli. Bukankah demikian yang kau lakukan kepadaku empat belas tahun yang lalu?” “Situasinya berbeda Aurora, kamu harus memahami hal itu.” “Apa? Paham? Kenapa aku harus selalu memahami semua orang, sedang tidak ada yang mau berusaha memahamiku?” “Kau tidak bisa menikah dengannya Aurora, untuk apa kau mencoba menyakiti nyawa yang tida