Sejak itu Olla menjadi semacam 'dokter' yang bertugas menetralisir energi yang menempel di tubuh Angela agar tidak sampai mengganggu pikirannya. Orang mati yang dirias Angela energinya terbawa. Baik itu tentang kenangan baik, buruk dan yang paling sering adalah urusan yang belum terselesaikan.
"Kau merias jenazah putrinya Antoni Hakim, kan?" tanya Olla setelah selesai melakukan pembersihan di tubuh Angela.
"Iya. Kenapa?" Angela mengubah posisi duduknya menghadap Olla setelah sebelumnya membelakangi.
"Hati-hati. Firasatku tidak enak. Jangan melibatkan dirimu terlalu jauh." Olla menarik napas. "Aku melihat anak itu ... di … sini."
"Lily maksudmu?"
"Siapa lagi. Dia satu-satunya anak Antoni Hakim bukan? Orang yang terlibat dalam kematian anak itu bukan orang biasa. Kalau sampai mereka masuk penjara, kau dalam masalah besar, Angela."
"Aku tidak berpikir sampai sejauh itu. Aku hanya ingin membantu Lily mendapatkan keadilan."
"Kadang menjadi orang baik itu malah berefek tidak baik, An."
"Kalau begitu paham kita berbeda, Kawan. What comes around goes around. Aku percaya itu."
"Tapi datangnya tidak bisa kita minta kapan waktunya. Kadang saat dibutuhkan ia malah tidak datang."
"Itu urusan nantilah, La. Kita pesan makanan saja. Tolong ambilkan HPku di bawah bantal itu." Angela menunjuk bantal bersarung biru muda. Di sebelah kiri Olla.
Olla mengambil ponsel yang dimaksud. Belum sampai ke tangan Angela, ponsel itu bergetar.
"Antoni Hakim, An. Mau apa dia?"
Angela mengangkat kedua bahunya. "Mana kutahu."
"Ingat kataku tadi. Hati-hati." Olla mengingatkan seraya menyerahkan ponsel pada Angela.
Mengingat kesan pertama Angela pada Antoni Hakim, ia tidak antusias mengangkat telepon dari pengusaha kaya itu. Angela tidak banyak bicara. Menjawab hanya dengan kalimat-kalimat pendek. Tujuan utama papa Lily menelepon adalah meminta Angela datang ke acara pemakaman besok pagi. Akan ada mobil yang menjemput.
"Akan saya pikirkan. Terima kasih." Angela kemudian menekan tanda merah di layar ponselnya setelah Antoni Hakim membalas ucapan terakhir Angela itu.
"Aku ikut!" kata Olla duduk mendekat pada Angela.
"Aku belum mengiyakan, kok," sahut Angela tanpa melihat wajah Olla. Ia sedang membuka aplikasi dan memilih makanan yang akan dipesan.
"Kau tidak mengiyakan pun mobil jemputan akan datang. Percaya, deh!"
Angela menghentikan jarinya pada layar ponsel. "Kau serius, La?"
"Sepuluh rius, An. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Antoni Hakim adalah orang yang tidak boleh dibantah. Aku mendapatkan cerita ini dari orang yang bekerja di salah satu perusahaannya," terang Olla.
"Nanti sajalah kita bicarakan itu. Sekarang pesan makanan, kita nikmati waktu yang ada ini. Jarang-jarang, kan, kita bisa ketemu. Kau tidur sini saja. Buat jaga-jaga kalau ucapanmu barusan terbukti."
"Iya, iya. Aku mau martabak manis yang di Simpang tiga itu," kata Olla menghidupkan lampu kamar agar lebih terang. Selama proses pembersihan energi tadi hanya lampu tidur yang dinyalakan.
Mereka menghabiskan waktu bersenang-senang dengan memanjakan lidah. Menikmati makanan kesukaan mereka hingga lewat tengah malam. Setelah bekerja keras, membahagiakan diri sendiri itu juga diperlukan agar hidup tetap seimbang.
***
Angela bangun lebih dulu daripada Olla. Ia tidak tega membangunkan temannya itu, apalagi tidurnya terlihat sangat nyenyak. Ia membereskan pembungkus dan kotak bekas makanan mereka semalam.
Sembari melakukan itu, Angela memeriksa chat yang masuk ke ponselnya. Di bagian paling atas pesan dari Antoni Hakim yang dikirimkan kurang lebih satu jam lalu.
"Sopirku akan menjemput jam tujuh."
"Benar, kan, kataku," ujar Olla tiba-tiba.
"Kau ini mengejutkan saja. Ya, udah cepetan bangun. Ini masih ada martabak manis beberapa potong. Kita sarapan ini saja. Kau tahu, kan, aku tidak nyaman kalau harus sarapan dengan kakakku."
"Iya. Minta lima menit lagi, deh! Masih ngantuk."
"Kalau begitu aku pergi mandi duluan. Setelah selesai nanti kubangunkan," ucap Angela seraya meletakkan ponselnya di atas tasnya. Kemudian ia mengambil handuk yang masih terlipat rapi di dalam lemari.
Mandi sepagi ini bukan hal baru bagi Angela. Pukul berapa pun bila ia pergi dan bangun tidur setelahnya harus mandi. Walaupun jam kerjanya tidak teratur tetapi hidup dan kamarnya tertata rapi.
Mobil jemputan datang tepat waktu. Angela dan Olla sudah menunggu di beranda. Seorang laki-laki mengenakan safari memperkenalkan diri kemudian mempersilakan mereka masuk ke mobil dengan ramah.
Robby dan Rania terlihat mengintip dari jendela kaca rumah mereka. Gorden yang sedikit tersibak tidak bisa menutupi setengah wajah keduanya yang terus memperhatikan mobil hingga menghilang dari pandangan. Sepertinya Angela tahu apa yang ada di pikiran kakak dan iparnya itu.
Angela dan Olla tiba di lokasi pemakaman ditemani sopir menemui Antoni Hakim di sebuah ruangan yang disediakan khusus untuk keluarga. Konon biaya pemakaman di tempat ini adalah ratusan juta rupiah. Fasilitas dan pelayanan yang disediakan pihak pengelola pun setara dengan hotel bintang lima.
Di depan pintu ruangan yang masih tertutup di mana papa Lily menunggu, sopir yang mengantar mereka, Kardiman meminta Olla menunggu bersamanya di depan pintu. Yang diperbolehkan masuk hanya Angela.
"Tidak apa, An. Masuklah!" Olla menepuk lembut bahu Angela.
Kardiman membukakan pintu yang sebelumnya sudah diketuk tiga kali. Mungkin itu semacam kode atau tanda bahwa yang datang adalah sang sopir dan Angela.
"Terima kasih sudah mau datang Nona Angela," ucap Antoni Hakim setelah Kardiman menutup pintu.
"Iya. Saya sudah ada di sini, Tuan Antoni. Apa yang ingin Anda katakan?" tanya Angela pada pria yang berdiri membelakanginya.
"Saya menyesal Nona terlibat dalam urusan keluarga saya. Bila Miranda tidak tahu masalah ini maka Nona aman tapi bila sebaliknya, Nona dalam bahaya."
"Tidak perlu menyesali yang sudah terjadi Tuan Antoni. Apalagi yang membawa saya ke dalam urusan keluarga Anda adalah Lily. Saya bukan tipikal yang biasa mengabaikan orang yang sedang butuh pertolongan. Jadi, biarkan saja perputaran nasib membawa saya ke arah mana."
Antoni Hakim berbalik dengan gerakan pelan. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjang berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja putih, dasi hitam dan jas berwarna sama.
Angela menarik napas dalam. Menikmati udara yang masuk ke rongga penciumannya bersama aroma woody dari parfum yang digunakan Antoni Hakim. Sudah lama ia tidak mencium aroma itu yang dulu sempat menjadi parfum kesukaan seseorang yang mematahkan hatinya.
Kemarin Angela tidak begitu memperhatikan seperti apa wajah pengusaha tersebut. Wajahnya yang tirus dan tegas, serta kacamata berbingkai hitam menambah kesan cool dan susah ditebak.
"Keluarga saya berutang banyak pada keluarga Miranda. Merekalah yang membantu perusahaan keluarga kami bangkit. Tentu hal itu meninggalkan budi yang tidak tertulis tetapi harus dibayar.""Jadi Anda menikah dengan Miranda hanya karena balas budi, begitu?" Angela keceplosan. Ia baru menyadari pertanyaan itu bisa saja membuat Antoni Hakim tidak senang. Siapa tahu pria itu benar-benar menikah atas dasar cinta. "Kau benar, Nona. Saya terpaksa menikah dengannya demi menyelamatkan perusahaan yang sudah kepayahan." Antoni menarik napas cepat. "Walaupun saya tahu dialah yang menyebabkan Lily pergi. Saya harus bersikap seolah-olah tidak tahu.""Jadi Tuan tidak melaporkan dia ke polisi? Kenapa?!" tanya Angela geram. "Tidak. Saya akan membalasnya dengan cara saya sendiri. Bila saya melaporkan Miranda, perusahaan saya yang baru mau bangkit ini dipastikan jatuh terhempas. Habislah! Banyak orang yang akan jadi pengangguran. Kalau Nona pikir menjadi saya itu semuanya terlihat serba mudah. Nona sala
Wajah Pauli terbilang baik karena hanya terdapat sedikit jahitan di pipi, dagu dan kening. Pada bagian hidung dan matanya terdapat lebam. Kapas yang disumpalkan pada hidung dan telinga terlihat memerah. Angela mengganti dengan yang baru kemudian menempelkan plester agar kapas tersebut tidak terlepas. Baru saja diganti kapas di rongga-rongga tersebut, warnanya kembali memerah. Angela merasa perlu bicara pada Pauli. "Pauli cantik, warna merah memang bagus, menunjukkan keberanian. Terima kasih, Kakak jadi tahu kalau Pauli anak yang berani. Coba sekarang tunjukkan pada Kakak kebaikan dan rasa kasih di hati Pauli." Angela kembali mengganti kapas yang memerah dan sangat berharap darahnya akan berhenti kali ini. "Kata Kakak Pauli baik, tapi kenapa dua orang ini mengikat Pauli dengan kuat. Pauli tidak bisa bergerak." Akhirnya Pauli mau bicara. Angela mengangkat kepalanya sedikit lebih tinggi dari posisi sebelumnya. Ia merasakan hawa panas yang tidak biasa di seberang peti. Terlihat tiga
Di depan kios yang tutup itu, Angela memarkirkan motornya. Ia menitipkannya pada ibu penjual rokok di sebelah kios. Cukup ramai kendaraan yang lalu lalang di jalan raya di depan kios tersebut. Mata Angela langsung tertuju pada sebuah rumah makan besar yang tadi disebutkan Olla."Tuhan, tolong bantu saya," ucap Angela dalam hati seraya menyeberang jalan ke arah rumah makan itu. Sesampainya di depan rumah makan yang terkenal itu telinga Angela sebelah kiri tiba-tiba berdengung hebat hingga matanya terpejam dan keningnya berkerut menahan sakit. Memang ada yang tidak benar dengan tempat ini. Angela bersikap seperti pelanggan lain yang akan makan siang. Ia masuk dengan telinga yang semakin berdengung. Suara-suara lain semakin tidak terdengar. Berdasarkan petunjuk Olla bahwa Angela harus menemukan energi yang sama dengan Pauli. Tetapi Angela jadi bingung, karena panasnya di dalam rumah makan ini sudah sama. Lalu, di mana benda yang sedang dicarinya. Meja-meja yang tersedia hampir selur
Pegawai yang menolong Angela mengurungkan niatnya meminta nomor WA setelah dia tahu bahwa profesi Angela adalah perias jenazah. Padahal dia sudah sangat antusias sebelumnya. "Ada untungnya juga jadi perias jenazah," ujar Angela seraya tertawa kecil saat keluar dari rumah makan mengerikan itu. Makanan yang ia pesan tidak sedikit pun ia makan. Angela berjalan cepat ke sisi rumah makan di mana ia melemparkan bonekanya tadi. Namun, sial sisi kanan dinding itu adalah sebuah rumah besar yang pasti tidak bisa sembarang orang memasukinya. Apalagi orang yang tidak dikenal seperti Angela. Sejenak Angela berdiri di depan rumah besar bercat kuning gading itu. Memikirkan bagaimana caranya agar bisa masuk. Tetapi otaknya seperti buntu tidak bisa berpikir. Ia menyeberang, kembali ke kios bapaknya Pauli. "Maaf, Bu, saya agak lama," kata Angela pada ibu penjual rokok di samping kios."Tidak apa-apa, Mbak. Saya belum pernah melihat Mbak. Apa bukan orang sini?" tanya ibu penjual rokok ramah. "Iya,
Angela berdiri, kemudian menyalami lelaki gondrong di depannya. Olla lalu mengantar Angela sampai ke halaman. Ia menepuk-nepuk bahu Olla membesarkan hati temannya itu. Angela hanya tersenyum tipis. Hatinya belum bisa menerima kenyataan yang menurutnya masih bisa dirubah. Namun, apa daya. Awan-awan pembawa air mulai memenuhi hamparan langit kota. Angela memacu motornya lebih cepat. Ia tidak mau kehujanan di jalan karena air hujan yang dingin bisa memunculkan alergi di kulitnya. Dan itu akan mengganggu konsentrasi pekerjaannya. Tujuan Angela menjelang sore ini adalah sebuah rumah duka yang cukup terkenal. Berdiri sejak tiga puluh tahun lalu. Melayani berbagai kalangan sesuai kebutuhan. Tidak jarang rumah duka ini memberikan layanan gratis untuk keluarga yang tidak mampu. Termasuk untuk jasa rias yang dilakukan Angela. Hujan sedang berbaik laku, ia turun tepat setelah Angela tiba di rumah duka. Pak Topan, pemilik sekaligus pengelola rumah duka tersebut sudah menunggunya. Ada dua jenaz
Biasanya Agus dan Parman yang akan mendorong peti sampai ke ruang duka. Salah satu anggota keluarga akan lebih dulu melihat hasil riasan. Bila dianggap ada kekurangan Angela akan merubahnya sesuai permintaan. Bunyi kenop pintu ditekan kembali memacu detak jantungnya. Kedua rekan kerja Angela masuk bersama Budiman. Tatapan lelaki itu terus melekat pada Angela seperti singa mengawasi mangsa. "Bagaimana, Pak? Apa masih ada yang kurang?" tanya Angela bersikap profesional seolah mereka tidak saling kenal. "Cukup. Terima kasih." Budiman menjawab dengan intonasi datar dan dingin. "Terima kasih kembali. Saya turut berduka cita." Angela hanya menundukkan sedikit kepalanya. Biasanya dia menyalami anggota keluarga yang pertama melihat hasil riasannya. Budiman suatu pengecualian.Angela berdiri menunduk sampai peti benar-benar melewati pintu. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk jenazah. Jenazah selanjutnya seorang wanita tua yang meninggal sendirian tanpa pendamping
Matahari semakin turun ke langit barat. Angela melirik arlojinya. Sudah waktunya ia pulang. Tempat di mana semakin lama semakin terasa seperti bukan lagi rumahnya. "Kau sengaja tidak membaca pesanku, An?" tanya Rania menghadang Angela di ambang pintu depan. "Berarti aku lagi di jalan, Kak. Memangnya Kakak mengirim pesan apa?" Angela menurunkan standar samping motornya lalu menghampiri kakaknya. "Tidak ada apa-apa di rumah. Kau belilah sesuatu untuk makan malam," katanya enteng. "Baiklah. Aku mau ambil mantelku di kamar. Udara dingin seperti ini bisa bikin alergiku kambuh." Angela beralasan. "Ya, ya … terserah kau saja!" Rania tidak begitu peduli. Ia masuk ke kamarnya dengan langkah malas. Pakaian yang dikenakannya masih sama seperti kemarin. Dia pasti tidak mandi dari pagi tadi. Yang ada di otaknya hanya uang, makan dan rebahan saja.Angela memasukkan surat rumah, novel kesayangan ibunya dan beberapa potong pakaian untuk keperluan ganti beberapa hari. Tidak lupa kunci cadangan pi
Bu Tami lebih awal datang dari biasanya. Ia tampak buru-buru dan terkesan asal-asalan membersihkan kamar. Wajahnya pun terlihat murung. "Ibu kelihatan pucat, apa Ibu sakit?" tanya Angela setelah wanita itu menutup pintu kamar. "Itu sudah saya siapkan teh hangat untuk Ibu di meja depan. Diminum dulu," sambung Angela. "Terima kasih, tapi saya sedang buru-buru. Pak Topan minta disiapkan sarapan.""Minumlah dulu, Bu. Nanti bareng saya ke tempat Pak Topan. Gak apa-apa," bujuk Angela. Sebenarnya dia menahan Bu Tami karena ingin menanyakan tentang kamar yang mulai berisik itu. Bu Tami tidak kuasa menolak."An menyewa rumah sebesar ini sendiri? Saya tidak pernah melihat suami An," kata Bu Tami sembari menyeruput sedikit-sedikit teh di gelasnya. "Gratis, Bu. Tadinya saya mau di kosan bapak, tapi katanya di sini kosong. Jadi, diminta tinggal di sini saja," jelas Angela. "Anaknya saja tidak mau tinggal di sini apalagi orang lain," ujarnya santai meletakkan gelas tehnya lalu mengambil sepoton