##BAB 38 Bersama CahayaTak sampai satu jam, Carissa sudah datang menjemputku. Setelah berpamitan untuk berbasa-basi karena membawa Cahaya, kami pun segera meluncur pulang ke rumah.Rosa tampak ayem-ayem saja. Wajahnya memancarkan aura bahagia yang mendalam. Mungkin dia benar-benar mencintai Mas Frengky, tapi kenapa dia tetap saja tak peduli pada Vano, yang merupakan putra kandungnya sendiri. Malahan dia begitu sayang dengan Cahaya, yang bukan siapa-siapa, bahkan tidak ada ikatan darah sedikitpun dengannya.Aku jadi merasa aneh, apa dia ada misi tersendiri sayang dan perhatian kepada Cahaya? Atau mungkin itu hanya sikapnya yang pura-pura?Aku tak mau ambil pusing, mending aku menikmati waktu bersama Cahaya. Mumpung putriku masih mau ikut denganku.Aku memilih duduk di jok belakang bersama Cahaya, biar Carissa dengan Gilang yang berada di depan. Aku sampai lupa menyadari, kenapa dua insan itu terlihat akrab? Seperti sudah lama saling mengenal.Dari pada aku penasaran, mending kutanyaka
##BAB 39 Tes Psikolog CahayaWaktu dua jam terasa sangat lama bagiku saat ini. Cahaya sampai terlelap setelah melahap burger. Tadi kami sempat mampir ke kedai makanan cepat saji untuk mengisi perut dan berharap bisa untuk membunuh waktu. Namun tetap saja, setelah kembali ke klinik, hasil belum juga keluar. Kami masih harus menunggu beberapa menit lagi.Aku jadi kasihan sama Gilang, pria itu sudah cukup banyak membantuku. Dia lelaki yang baik dan ikhlas, pasti akan menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab kelak untuk keluarga kecilnya.Carissa berjalan maju mundur sembari memainkan ponsel, kepalaku sampai bingung melihatnya yang enggan duduk.“Kamu ngapain sih, maju mundur udah kayak setrikaan, Mbak jadi puyeng. Sini, duduk!” ajakku menepuk kursi kosong di sebelahku.“Nggak, Mbak. Aku tambah kepikiran kalau duduk. Rasanya nggak tenang, kenapa tiba-tiba aku yang jadi deg deg an, ya?” tanya Carissa dengan sorot mata yang sendu.Aku pun hanya mengedikkan bahu, memang di sini hanya ka
##BAB 40 Kondisi CahayaSayup-sayup kudengar suara beberapa orang berbincang-bincang. Aroma minyak kayu putih pun mulai tercium nyengat di hidungku. Kurasakan kepalaku berdenyut, tubuhku lemas.Perlahan aku membuka mata, ada Carissa dan Bu Wak sedang menungguku.“Alhamdulillah, sudah sadar, Mbak!” seru Carissa seraya mengelus dada.“Jangan banyak pikiran, Nak. Serahkan semua ke Allah, pasrah dan ikhlas.” Bu Wak membelai lembut rambutku.Aku masih bingung, apa yang sudah terjadi denganku?Mencoba mengingat kembali kejadian demi kejadian yang aku alami tadi.Ah ... ya, bukankah tadi aku berada di rumah sakit? Lalu, kenapa sekarang sudah berada di rumah?“Mbak Nayla sudah enakan? Apanya yang sakit? Masih pusing?” tanya Carissa terlihat khawatir.“Ehm ... sudah mendingan. Kenapa aku sudah di rumah?” kataku balik bertanya.“Iya, waktu Mbak Nayla pingsan tadi, aku bergegas memanggil Gilang. Akhirnya Mbak digotong deh masuk ke dalam mobil dan dibawa pulang sama kita. Mbak tenang aja, udah Ca
##BAB 41 OperasiSesampainya di rumah sakit, Carissa sedang memarkirkan mobil. Aku beranjak turun untuk segera masuk ke dalam Rumah Sakit. Sesampainya di sana, aku menuju ke ruang IGD. Di sana sudah ada Bu Wak yang sedang menggendong Vano, Bu RT dan suami, serta dua orang tetanggaku yang lain.Alhamdulillah ya Allah, aku masih dikelilingi orang-orang yang baik seperti ini.“Bagaimana, Wak kondisi Cahaya?” tanyaku kepada Bu Wak dengan khawatir.“Masih diperiksa, Nak. Tadi ada Dokter umum yang kebetulan jaga, sedang memeriksa kondisi Cahaya, tapi setelahnya dia juga memanggil Dokter Spesialis lain untuk membantunya. Semoga Cahaya tidak kenapa-napa,” jawab Bu Wak tak kalah sedih.“Mbak Nayla yang sabar, Cahaya pasti akan baik-baik saja,” ujar Bu RT mengelus pundakku. “Makasih banyak ya, Bu RT, Pak RT, Mbak Mira dan Mas Alif, saya nggak tahu harus bagaimana jika tak ada kalian,” ujarku sedikit tenang.“Iya, sama-sama. Mira nggak tahu kalau Bu Wak ini asisten Mbak Nayla. Mira lagi cari tu
##BAB 42 Tindakan“Bagaimana?” tanya Dokter Eko kembali memastikan.“Baik, Dok. Saya setuju, segera lakukan tindakan operasi.” Aku mengangguk pasrah, menyetujui semua tindakan Dokter demi kebaikan Cahaya.Dokter Eko tampak menuliskan sesuatu di atas filenya.“Operasi akan dilaksanakan besok pagi dan berlangsung selama kurang lebih dua jam, saya beserta tim akan berusaha semaksimal mungkin.”Setelah selesai, aku dan Carissa keluar dari ruangan dan memilih menunggu di ruang tunggu.Carissa kembali berjalan mondar-mandir sambil sesekali meremas jarinya.“Mbak ...,” panggil Carissa.Aku hanya mendongak menanggapi panggilan Carissa.“Mbak sudah minta surat keterangan dari Dokter Ellen untuk dibuat bukti menjebloskan mereka?” tanya Carissa membuatku berpikir sejenak.“Iya ... Mbak sampai lupa. Saat ini kondisi Cahaya lebih penting, Mbak mau fokus terlebih dahulu untuk kesembuhan Cahaya,” jawabku tanpa ekspresi.“Lalu, bagaimana kalau mereka kabur?” tanya Carissa membuatku tercengang.Ah ..
##BAB 43 Menyusun Strategi“Kenapa Carissa tak kunjung kembali?” tanyaku lirih. Tiba-tiba saja aku jadi khawatir. Mendadak hatiku cemas, karena tak biasanya dia mengabaikan pesan maupun panggilan telefon dariku.Klek ... kriet ....Suara pintu terbuka dari luar, Carissa muncul dengan wajah lelah dan napasnya ngos-ngosan. Gilang berdiri di belakangnya dengan wajah serius.“Alhamdulillah, syukurlah kamu udah datang. Nggak kenapa-kenapa, kenapa mukamu tegang?” tanyaku penasaran.“Gawat, Mbak!” ujar Carissa masih dengan wajah tegang.“Gawat kenapa? Duduk, sini dulu. Yuk, minum!” ajakku meraih tangannya untuk duduk di sofa.“Ini siapa?” tanya Ayah menunjuk ke arah Gilang.“Oh, maaf, Pak. Perkenalkan nama saya Gilang, karyawan di Resto Mas Frengky,” ujar Gilang menyalami tangan Ayah sembari menunduk. Bibirnya mengulas senyum tipis, terkesan santun.“Oh, ya ... duduk!” kata Ayah menepuk pundak Gilang pelan.“Apa apa, sih?” tanyaku setelah memastikan Carissa sedikit lebih tenang.“Gawat, Mbak
##BAB 44 Operasi CahayaHari ini jadwal operasi Cahaya akan dilaksanakan, semoga saja hasilnya baik dan tak ada kendala serius. Aamiin, ya, Rabb.Ayah dan Gilang belum juga kembali dari kemarin, mereka juga tak memberi kabar apa pun. Aku jadi was-was memikirkan kondisi mereka.“Sarapan dulu, Mbak!” ujar Carissa membawa tiga bubur ayam di dalam sterefoam. Mungkin dia membelinya di kantin belakang.“Iya, Dek!” ujarku seraya beranjak dari kursi, menghampiri Carissa yang sedang asyik menikmati semangkuk bubur ayam di sofa.“Eh, Gilang belum kasih kabar?” tanyaku sambil membuka bubur ayam.Aroma khas membuat perutku keroncongan, nikmat sekali jika dilihat dari tampilannya yang begitu menggoda.“Belum, tuh. Terakhir kemarin kita chat, sih. Dia Cuma ngirimin ini, bentar,” kata Carissa seraya mengusap layar ponselnya dan mencari sesuatu.Dia menunjukkan ponselnya padaku, terpampang dengan jelas dua orang yang menjadi musuh bebuyutanku saat ini. Mas Frengky dan Rosa, tampak menunduk dan ketaku
##BAB 45 Nayla Terpuruk“Bagaimana kondisi putri saya, Dok?” tanyaku kepada Dokter.“Operasi sudah dilakukan, kami berhasil mengeluarkan darah yang membeku di kepalanya. Tapi, mohon maaf ....” Raut wajah Dokter terlihat tak lesu.“Kenapa, Dok? Anak saya baik-baik saja, kan?” tanyaku dengan panik.“Cahaya mengalami komplikasi, sebagian syarafnya sudah parah dan tidak bisa berfungsi sehingga menyebabkan lumpuh sebagian pada beberapa anggota tubuhnya. Kondisinya saat ini sedang kritis, kami harus melakukan perawatan secara intensif di ruang ICU. Tidak mungkin memindahkan Cahaya ke ruang kamar inap jika kondisinya belum sadar seperti ini. Ibu yang sabar, ya, banyak berdoa. Semoga ada mukjizat dari Allah untuk kesembuhan Cahaya.” Dokter menepuk pundak ku pelan, berusaha memberikan dorongan semangat kepadaku.“Apa tidak ada tindakan lain yang perlu dilakukan, Dok? Agar putriku bisa segera sadar dan kembali pulih seperti semula?” tanyaku dengan suara serak.“Mohon maaf, Bu. Bukannya kami ing
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d