Jam istirahatku tiba begitu cepatnya. Sepanjang jam kerja, tak ku lihat El keluar dari ruangannya dan tak mengganggu ataupun menjahiliku. Dia begitu profesional dalam bekerja, pantaslah usaha yang ia kelola melaju dengan pesat.Denting ponsel pertanda pesan masuk mengalihkan perhatianku. Rupanya El yang mengirimkan pesan.[Makan di luar yuk?]Aku tersenyum melihat pesannya, aneh saja. Di sini pun menyediakan menu makan siang lengkap kenapa malah ngjak keluar? Dan lagi jam istirahatku hanya 30 menit saja karena harus gantian sama yang lain. Belum lagi, sebentar lagi jam makan siang, kafe pasti mulai ramai. [Gaklah! Lain kali saja.]Balasku menolaknya, gegas aku mengambil makanan dan mencari tempat bersama Rika di sudut pantry. Beruntungnya, semua karyawan di sini bebas makan apapun yang menjadi menu di kafe ini. Jadi, tak payah keluar hanya untuk cari makan. Dan baiknya lagi semuanya gratis. Jadi, gaji tetap utuh meski tak banyak."Zahra! Tu ada yang nyariin kamu?" ujar Aldi tiba-tiba
Hari berlalu begitu cepatnya, hari ini adalah hari terakhir El berada di kota ini. Kami sepakat untuk menjalani hubungan jarak jauh yang kata orang benar-benar sulit dan penuh tantangan. Tapi, bagiku dengan begini adalah caraku menyakinkan diri dan menguji kesetiaan. Bukan hanya kesetiaannya padaku melainkan kesetiaanku juga padanya.Selepas jam kerja, El memintaku mengantarkannya ke bandara untuk dia bertolak kembali ke Batam. Dia sengaja mengambil penerbangan paling akhir yaitu di jam 9 malam."Sayang, jaga dirimu baik-baik ya! Aku gak bisa janjikan apapun, tetapi akan aku usahakan bulan depan aku akan kembali lagi sama Kakek untuk melamarmu pada keluargamu!" ucapnya penuh kesungguhan. Wanita mana yang tak melayang dengan kata kesungguhan begitu. Termasuk aku pun tersenyum senang mendengarnya.Sepulang mengantar El, aku segera pulang ke rumah dengan menaiki mobil grab. Terdengar keributan saat kaki ini melangkah menuju teras."Apa ini?! Jawab!" suara Raka terdengar nyaring di gendan
Satu alamat lengkap masuk melalui chat yang Ibu Hanum kirimkan setelah aku berhasil berbicara dengan beliau. Tak bisa aku jelaskan bagaimana perasaanku saat ini. Bahagia dan takut bersamaan kala ingat akan ucapan Bu Hanum tadi."Kondisi Pak Herman sekarang kurang baik, Mbak. Sudah satu bulan ini beliau sakit dan kondisinya semakin menurun." Ya Allah, aku mohon beri kesehatan untuk Ayah, dan aku mohon beri kesempatan untuk kami saling berpelukan erat. Aku harus segera ke sana! Aku tak mau kehilangan kesempatan yang sudah aku nantikan sepanjang hidupku.Segera aku menghubungi El untuk meminta pendapatnya. "Halo, Sayang! Tumben mau telepon!" sapanya dengan lembut di seberang sana."El, ada kabar baik mengenai keberadaan Ayah! Tapi, kondisi beliau saat ini kurang baik. Aku harus segera ke sana!" jelasku langsung pada intinya."Sungguh? Dimana, Sayang?" tanyanya sedikit terkejut.Aku menyebut sebuah kota di Kalimantan Tengah lengkap dengan alamatnya. Aku sedikit ragu, pasalnya aku sama s
Lemas tubuhku kian terasa manakala nomor ponsel Bu Hanum tak bisa dihubungi, aku coba kirim pesan chat juga centang 1. Ya Tuhan, lelucon macam apa ini? Aku nampak seperti orang bodoh, aku terlalu gegabah hingga tak memikirkan segala kemungkinannya. Tega sekali orang yang dengan sengaja mempermainkanku seperti ini.Tanpa dikomando, air mata meluncur dengan bebasnya membasahi kedua pipiku. El membawaku ke dalam pelukannya, tangisku kian menjadi dalam pelukannya. Ku rasakan usapan di kepalaku menenangkan.Cukup lama larut dalam isakan, akhirnya El membawaku meninggalkan rumah itu. Berat dan tak rela, tapi aku bisa apa? Yang ku cari pun tak ada di sana, bahkan menurut cerita pemilik rumah tak ada satupun bernama Herman di kawasan ini.Kami berjalan bersisian dengan menarik koper kami masing-masing. Menyusuri jalanan hingga dampai di ujung gang tempat pangkalan ojek berada."Bang, mau tanya? Sekitar sini ada gak penginapan atau hotel gitu?" tanya El pada beberapa tukang ojek."Hotel? Ada B
Kami serempak menoleh ke kiri dan mendapati seorang wanita cantik berpakaian khas tenaga kesehatan nampak berjalan dari arah garasi sepertinya."Hanan! Jadi bener kamu Hanan? Ngapain di sini?"ucap wanita itu girang."Ayu?" gumam El memastikan."Iya! Ya ampun! Kamu masih inget aku?" senyum wanita bernama Ayu itu mengembang. Lantas ia menjabat tangan El masih dengan senyum mengembang."Loh, Ujang sudah kenal sama Non Tyas?" sahut Pak Kardi. "Iya, Pak! Hanan ini teman kuliah saya waktu di Batam. Gak nyangka sekarang ketemu lagi di sini?" jawab wanita itu. Aku heran dibuatnya, tadi Ayu sekarang Tyas, mana yang benar?"Iya, aku juga gak nyangka. Ternyata dunia sesempit ini." sahut El."Oh iya, kenalin! Ini Zahra, calon istri aku!" kenal El membuatku turut tersenyum mendengarnya mengenalkanku sebagai calon istrinya."Oh, hai! Saya Ayu Ning Tyas, boleh panggil Ayu, boleh Tyas!" kenalnya dengan senyum ramah."Zahra!" aku turut tersenyum dan membalas jabatan tangannya."Ngomong-omong, ngapai
Satu minggu sudah kami di Kalimantan Tengah, tepatnya di sebuah kota di Kabupaten Sukamara. Selama satu minggu itu pula, kondisi Ayah semakin baik dan terus membaik. Bahkan, sore ini Ayah sudah diperbolehkan pulang.Aku begitu bahagia dan bersyukur dengan kondisi Ayah yang kian membaik. Tak hanya aku, keluarga Pak Indarto dan keluaraga Bu Hanum pun demikian. Setiap hari Pak Supri dan Pak Indarto mengunjungi Ayah di rumah sakit tepatnya di kamar rawat Ayah, karena rupanya rumah sakit ini adalah milik putra ketiga beliau yang merupakan suami Ayu. Itulah mengapa, Ayu tak mengijinkanku menebus obat Ayah menggunakan uangku sendiri, satu kalipun.Selama di sini segala kebutuhan dan keperluanku benar-benar terjamin. Ayu menempatkan Ayah di ruang VVIP dengan kualitas kamar yang sangat mewah. Segalanya sudah tersedia di sini, sedangkan untuk makanku, hampir setiap hari Bu Hanum mengirimkan aneka masakannya untukku juga untuk El. Sungguh aku sangat bersyukur akan segala kemudahan yang Allah b
Ada pertemuan, ada pula perpisahan. Kini keluarga Pak Indarto melepas kepergian kami di bandar udara Iskandar Pangkalan Bun untuk kami bertolak ke Semarang, kembali ke kampung halaman.Tangis haru Pak Indar melepas Ayah, setelah lebih dari 20 tahun bekerja tanpa sekalipun pergi dari rumah beliau. Namun, kini beliau harus melepas Ayah untuk tak kembali lagi ke rumah beliau.Tak kalah haru dengan sang majikan, Pak Supri yang sudah bekerja dengan Ayah selama 8 tahun lamanya pun turut menangis haru sebab harus merelakan teman ngopi di kala senggangnya untuk pergi meninggalkan kota yang penuh dengan kenangan itu.Hari ini, tepat 5 hari setelah Ayah keluar dari rumah sakit. Kami harus bertolak ke Semarang, meninggalkan kota penuh kenangan bagi Ayah dan juga bagiku ini. Dalam hati aku berjanji, jika ada umur panjang suatu hari nanti aku pasti kembali ke kota ini.El telah lebih dulu bertolak ke Batam dua hari yang lalu, setelah memastikan rumah yang akan aku dan Ayah tempati di Semarang siap
Pagi ini, tak tenang rasa hatiku setelah mendengar langsung apa rencana Ibu dan kedua anak kesayangannya itu terhadap rumahku. Siang ini mereka akan membawa calon pembeli rumahku."Yah, siang ini Zahra gak pulang ya! Ada banyak hal yang harus Zahra selesaikan di kafe." ijinku saat aku dan Ayah selesai sarapan. Tentunya aku berbohong, karena sejatinya aku akan pulang ke rumah lamaku."Jadi, nanti siang, Ayah makan sendiri dulu gak papa ya?" lanjutku lagi."Iya, gak papa! Tapi, kamu jangan sampai lupa makan juga!" pesannya disertai senyum mengembang."Pasti, Yah! Yaudah, Zahra berangkat ya, Yah!" pamitku seraya bangkit berdiri. Segera meraih tangan Ayah dan menciumnya takzim, setelahnya segera pergi menggunakan taxi online yang sudah ku pesan sebelumnya.Hari masih jam 10 pagi, artinya masih punya waktu sekitar 1 jam dari sekarang untuk sampai di rumah dan menemui orang yang akan membeli rumahku itu. Aku memutuskan untuk datang ke kafe lebih dulu, disamping memang aku belum pamit secara
"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
Di sinilah kami sekarang, di depan bangunan toko yang nyaris tak pernah aku kunjungi selama ini karena sudah dikelola oleh Ibu.Kondisi toko lumayan ramai, meski tak sebesar toko yang di kelola Mbak Idah. Nampak beberapa pengunjung datang silih berganti, memang lokasi toko ini cukup strategis karena berada di tepi jalan kota yang ramai."Gimana, Yang, Yah?" tanya El sebelum kami memutuskan turun."Ayah, gugup!" jawab Ayah menatap lurus pintu kaca toko yang tertutup itu."Zahra juga, Yah! Tapi, kita tetap harus masuk ke dalam!" yakinku lagi.Setelah beberapa saat, kami akhirnya turun dan segera masuk ke dalam. Tak ku jumpai Raka di sana, hanya ada seorang kasir yang waktu itu sempat di pekerjakan Ibu di toko pusat. Aku memutuskan untuk bertanya saja padanya dan meninggalkan El serta Ayah di dekat pintu."Kamu-" ucapnya seperti tengah mengingat-ingat."Raka dimana?" tanyaku langsung dan mengabaikan tebakannya."Ada di atas ada perlu apa?" tanyanya sedikit ketus dan menatapku tak suka.A
Dua minggu berlalu dari acara resepsi super mewah itu. Siang ini, kami berencana pulang ke Semarang. Awalnya Kakek meminta kami untuk tinggal saja di sini tetapi dengan sungkan aku menolak karena masih ada Ibu yang menanti kedatanganku.Kakek, Tante Mayang, Damar dan Anggi melepas kami di bandara Hang Nadim untuk kembali ke Semarang.Tepat pukul 2 siang, pesawat lepas landas dan semakin meninggi meninggalkan kota kecil yang mengenalkanku kepada teh obeng ini.Batam, kota kecil dengan segala keindahannya. Sungguh aku jatuh cinta padanya dan suatu hari nanti aku akan putuskan untuk menetap di sini tapi tentu setelah tugasku selesai. Itu sudah aku bicarakan dengan suamiku dan tentu saja dia sangat mendukung.Selama di pesawat sudah tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Ibu dan memeluk tubuhnya. Pun dengan Ayah, yang wajahnya kian berseri sejak pagi tadi. Beliau pun tak sabar untuk bertemu dengan sang ratu yang menghuni hatinya.Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu
Seluruh rangkaian acara resepsi pernikahan kami digelar begitu mewahnya, aku terkagum sekaligus masih tak menyangka akan jadi sebegitu mewah dan meriahnya acara ini.Awalnya aku pikir, resepsi ini hanya sekedar resepsi biasa layaknya resepsi yang pernah aku datangi kala di kampung. Namun rupanya, jauh dari bayanganku. Pesta ini tak kalah mewah dengan pesta resepsi artis dan youtuber ternama yang beberapa waktu lalu aku lihat di televisi.Sekali lagi aku lupa, siapa suamiku dan keluarga besarnya. Dan itu membuatku semakin tidak percaya diri, aku merasa asing di sini. Hanya ada Ayah, Mbak Ika, dan Bang Aksa, dari pihak keluargaku.Ribuan undangan berasal dari kalangan orang ternama, mulai dari pengusaha, artis ibu kota, petinggi Bank swasta, politisi bahkan nampak hadir pula putra bungsu orang nomor satu di negeri ini. Aku bagai mimpi berdiri di sini."Woy, Bro! Selamat, akhirnya berani juga melepas masa lajang!" ucap lelaki bertubuh kekar ini sembari memeluk tubuh suamiku. Aku yang ber
Bias cahaya yang pernah hilang perlahan kembali meski masih samar, suara berdenging memekakkan membuatku menutup telinga dengan kedua tangan.Sesak di dalam dada kian menghimpit jiwa, entah apa yang terjadi denganku, aku pun asing dengan jiwaku. Tak kutemukan siapapun di tempatku berdiri, tak ada apapun untuk dapat ku gapai, tak ada bias lain selain pendar cahaya yang berkilau.Suara tangis bayi kian jelas terdengar, membawaku menyeret langkah mendekat, meski membawa beban berat di pundakku. Bayi, ya, bayi! Jauh di sudut pandang kulihat bayi merah tergeletak dan menangis. Namun, semakin cepat langkah ku bawa, semakin jauh pula untuk ku gapai dia.Apa ini? Ada apa dengan semua ini? Batin bertanya dan terus bertanya, kaki telah lelah melangkah namun tak jua sampai padanya. Siapa dia? Kenapa dia di sini, namun tak bisa ku gapai?Terduduk lesu bertumpu kedua kakiku, aku ada dimana?Kulihat bayi merah itu kian tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Mulai dari dia tengkurap, merangkak, duduk, j
Mataku mengerjap beberapa kali, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku menggeliat dan tak ku temukan suamiku di sebelahku, ingatanku kembali ke beberapa saat yang lalu dimana kami pulang dari kafe dan aku mendadak muntah-muntah.Aku kembali tersenyum kala ingat tebakan suamiku bahwa aku tengah hamil, tetapi setelah dilakukan tes hasilnya masih negatif.Cklek,Bunyi handle pintu kamar mandi menarik perhatianku, rupanya suamiku baru saja dari dalam sana. Wajahnya sudah basah dan terlihat semakin tampan saja."Sayang udah bangun?" tanyanya sembari melangkah mendekat. Lalu duduk di sampingku."Masih pusing?" tanyanya lagi nampak khawatir dengan menempelkan punggung tangannya di keningku."Udah mendingan tapi masih lemes." jawabku pelan. Menaikkan kepalaku ke pangkuannya."Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku, Yang!" ucapnya sembari mengusap kepalaku."Gak papa, Yang! Maaf ya, udah bikin kamu khawatir. Aku hanya-" jawabku tertahan di tenggorokan. Ah, rasanya tak sampai hati aku mengucap
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele