“Benar-benar enggak waras. Apa jangan-jangan kamu dalang semua ini?” Aku menyelidik.“Aku tidak akan mengotori tanganku dengan hal-hal yang tidak penting seperti itu. Kalaupun aku mau, pasti kubawa keduanya, enggak Cuma anaknya.” Sanggah Ario.“Tolonglah, aku kesini mau minta bantuan bukan berdebat.”“Baiklah.” Ario menepuk punggungku sambil tertawa mengejek.Kulihat Ario mengambil ponselnya di dalam saku dan menghubungi seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan yang jelas aku sangat berharap orang-orang Ario bisa menemukan Miko secepatnya.“Ikut aku, kita jemput Miko,” ajak Ario.“Apa sudah ketemu?” Aku seakan tak percaya dengan apa yang Ario katakan, secepat itukah dia menemukan Miko? Atau memang dia yang menculik Miko?“Jangan buruk sangka, sudah kukatakan bukan aku yang membawa Miko. Aku sudah bertindak sejak kamu mengirim pesan di grup tadi siang,” ucapnya santai.“Kalo kamu sudah tahu, kenapa enggak bilang dari tadi?” “Kamu pikir nyari orang itu gampang. Aku juga baru dapat in
"Sialan kau, Ario!" "Sudahlah, Fi. Relakan saja Anita denganku, lagipula Miko telah menganggapmu mati," ejeknya.Aku mengusap rambut anak di pangkuanku, entah mengapa ada perasaan tak rela saat memdengar aku hanyalah ayah barunya. Namun ini semua salahku yang tak memperjuangkannya sejak dalam kandungan. Aku takut dia membenciku jika suatu saat tahu kalo ayahnya pernah tak mengakuinya."Maafkan ayah, Nak."Mobil yang di kendarai Ario melaju cepat di jalan yang sudah mulai lengang. Hari memang sudah menjelang tengah malam, waktu di mana sebagian besar orang tengah sibuk mengarungi mimpinya.“Miko,” pekik Anita yang sudah menunggu di luar rumah.Ia menghampiriku dan segera mengambil Miko dari gendonganku. Ia menciuminya berkali-kali tapi Miko sudah tertidur di gendongannya hanya menggeliat.“Jangan bikin mama khawatir ya, nak.” Anita terus mendekap buah hatinya itu.“Terima kasih, Mas Ario udah bantu nemuin Miko,” ucap Anita.“Its OK, apa sih yang enggak buat kamu.” Ario mengerlingkan
“Bercandamu enggak lucu.” Aku mencubit pipi wanita di sebelahku.“Aku serius, rasanya sudah tak tahan hidup penuh dengan musuh. Dari dulu musuhku Cuma Bu Yati yang setiap hari bikin dongkol.”Aku tertawa mendengar ucapan Anita, bagaimana bisa ia menganggap Bu Yati musuh, bukankah ia lumayan baik.“Kalo saja aku menerima tawaran Ibu waktu itu, mungkin semua enggak akan seperti ini.”“Tawaran Ibu? Memang Ibu menawarkan apa?” tanyaku“Kita bersama merawat Miko tanpa kita menikah. Tapi saat itu aku takut kalian berbohong, dan membawa Miko dariku,” ungkapnya.“Mama bilang begitu?” tanyaku heran. Mengapa aku tak tahu masalah ini.“Iya. Mungkin itu lebih baik.”“Kalo kita tak menikah, kamu akan menikah dengan orang lain?”“Mungkin.”“Tidak bisa! Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain, karena sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu. Ingat itu!” Kumatikan puntung rokok terakhir dan beranjak meninggalkan AnitaBagaimana bisa gara-gara penculikan Miko ia berpikir untuk berpisah
POV Anita"Hay, nyonya Rafi,” sapa Ario yang tiba-tiba duduk di hadapanku“Apa kabar Mas Ario?” tanyaku sopan. Walaupun aku tak terlalu suka dengan sikapnya, paling tidak aku harus menghormatinya karena dia telah ikut menyelamatkan Miko.“Mau minum apa, Mas?” tawarku.“Apa saja. Bagaimana kabar Miko?”“Baik, Mas. Hanya sedikit trauma.”“Rafi benar-benar beruntung. Punya istri dua pintar cari duit semua, cantik semua,” celetuknya.“Mas Ario bisa nambah istri kalo mau.”“Jangankan nambah, satu aja belum punya.”Aku tersenyum kecut mendengarnya. Dia pikir aku tak tahu kalo ia telah menikah tiga kali, pacarnya juga ada di mana-mana. Aku rasa teman-teman Mas Rafi semuanya buaya.“Kenapa kamu memilih menikah dengan Rafi? Bukankah itu sama saja menyakiti diri sendiri. Aku tahu menjadi istri ke dua enggak enak, apa lagi madunya orang kayak Silvi,” cerocos Ario sambil menggigit pie susu yang baru saja di bukanya.“Itu bukan urusan anda.” Aku terus fokus pada kertas-kertas di depanku.“Mengapa
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra
POV Anita"Hay, nyonya Rafi,” sapa Ario yang tiba-tiba duduk di hadapanku“Apa kabar Mas Ario?” tanyaku sopan. Walaupun aku tak terlalu suka dengan sikapnya, paling tidak aku harus menghormatinya karena dia telah ikut menyelamatkan Miko.“Mau minum apa, Mas?” tawarku.“Apa saja. Bagaimana kabar Miko?”“Baik, Mas. Hanya sedikit trauma.”“Rafi benar-benar beruntung. Punya istri dua pintar cari duit semua, cantik semua,” celetuknya.“Mas Ario bisa nambah istri kalo mau.”“Jangankan nambah, satu aja belum punya.”Aku tersenyum kecut mendengarnya. Dia pikir aku tak tahu kalo ia telah menikah tiga kali, pacarnya juga ada di mana-mana. Aku rasa teman-teman Mas Rafi semuanya buaya.“Kenapa kamu memilih menikah dengan Rafi? Bukankah itu sama saja menyakiti diri sendiri. Aku tahu menjadi istri ke dua enggak enak, apa lagi madunya orang kayak Silvi,” cerocos Ario sambil menggigit pie susu yang baru saja di bukanya.“Itu bukan urusan anda.” Aku terus fokus pada kertas-kertas di depanku.“Mengapa
“Bercandamu enggak lucu.” Aku mencubit pipi wanita di sebelahku.“Aku serius, rasanya sudah tak tahan hidup penuh dengan musuh. Dari dulu musuhku Cuma Bu Yati yang setiap hari bikin dongkol.”Aku tertawa mendengar ucapan Anita, bagaimana bisa ia menganggap Bu Yati musuh, bukankah ia lumayan baik.“Kalo saja aku menerima tawaran Ibu waktu itu, mungkin semua enggak akan seperti ini.”“Tawaran Ibu? Memang Ibu menawarkan apa?” tanyaku“Kita bersama merawat Miko tanpa kita menikah. Tapi saat itu aku takut kalian berbohong, dan membawa Miko dariku,” ungkapnya.“Mama bilang begitu?” tanyaku heran. Mengapa aku tak tahu masalah ini.“Iya. Mungkin itu lebih baik.”“Kalo kita tak menikah, kamu akan menikah dengan orang lain?”“Mungkin.”“Tidak bisa! Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain, karena sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu. Ingat itu!” Kumatikan puntung rokok terakhir dan beranjak meninggalkan AnitaBagaimana bisa gara-gara penculikan Miko ia berpikir untuk berpisah
"Sialan kau, Ario!" "Sudahlah, Fi. Relakan saja Anita denganku, lagipula Miko telah menganggapmu mati," ejeknya.Aku mengusap rambut anak di pangkuanku, entah mengapa ada perasaan tak rela saat memdengar aku hanyalah ayah barunya. Namun ini semua salahku yang tak memperjuangkannya sejak dalam kandungan. Aku takut dia membenciku jika suatu saat tahu kalo ayahnya pernah tak mengakuinya."Maafkan ayah, Nak."Mobil yang di kendarai Ario melaju cepat di jalan yang sudah mulai lengang. Hari memang sudah menjelang tengah malam, waktu di mana sebagian besar orang tengah sibuk mengarungi mimpinya.“Miko,” pekik Anita yang sudah menunggu di luar rumah.Ia menghampiriku dan segera mengambil Miko dari gendonganku. Ia menciuminya berkali-kali tapi Miko sudah tertidur di gendongannya hanya menggeliat.“Jangan bikin mama khawatir ya, nak.” Anita terus mendekap buah hatinya itu.“Terima kasih, Mas Ario udah bantu nemuin Miko,” ucap Anita.“Its OK, apa sih yang enggak buat kamu.” Ario mengerlingkan