“Dasar pembawa masalah! Belum juga genap satu tahun, udah bikin satu toko melayang. Dasar perempuan miskin!” pekik Mbak Silvi yang tiba-tiba datang.Aku melirik sekilas lalu kembali fokus memeriksa stok barang.“Eh, wanita kampung! Semua uang yang Mas Rafi keluarkan untuk membiayai pengobatan adik kamu itu hasil dari usaha yang dia bangun sama aku. Jadi jangan mentang-mentang kamu juga istrinya bisa seenaknya aja ngabisin uang Mas Rafi.” Mbak Silvi terus nyerocos dan mengikutiku mengitari rak.Aku terus saja berjalan tanpa berniat menjawab omongan Mbak Silvi. “Kamu budeg, ya! Di ajak bicara dari tadi malah diam aja.” Mbak Silvi menarik pundakku hingga aku berbalik.“Aku dengar, Mbak, tapi aku enggak mau ribut. Jadi lebih baik sekarang Mbak pulang,” ucapku halus."Tau, enggak? Kamu sama adikmu cuma jadi beban buat Mas Rafi.""Kalo bukan Mas Rafi yang memaksaku tidak bekerja, aku juga tidak mau membebani dia.""Dasar benalu.”Aku memilih meninggalkan Mbak Silvi. Aku memang tak punya al
“Jangan liatin aku kayak gitu.” Aku menutup wajah seraya berjalan melewati Mas Rafi.“Terus maunya kayak gini.” Mas Rafi meraih pinggangku dan mendekatkan wajahnya hanya beberapa senti di depan wajahku.Setelah kejadian tempo hari sikap Mas Rafi berubah menjadi sangat manis, hingga aku terkadang membuatku risih. Setelah hampir setahun akhirnya Mas Rafi berhasil mendapatkan haknya sebagai seorang suami. Walaupun ini bukan yang pertama untuk kami, tapi tetap saja berbeda karena sekarang kami adalah pasangan suami istri yang sah.Sebagai wanita normal, tentu saja aku merasa bahagia diperlakukan seperti itu. Bahkan sekarang aku tak segan mendekati dan bersikap manja pada Mas Rafi. Bibit-bibit pelakor juga perlahan tumbuh di hatiku, karena tak jarang aku berpikir untuk menghasut Mas Rafi agar meninggalkan istri pertamanya. Bak menjilat ludah sendiri, aku bahkan sudah benar-benar menjatuhkan hatiku kembali pada Mas Rafi. Rencana balas dendam yang semula kurencanakan sekarang hilang entah
"Kalo saja kamu bukan Ibu kandung Miko, sudah sejak lama kuusir dari sini," ucap Ibu, menarik bajuku."Ada apa ya, Bu?" "Sudah kuduga dari awal, wanita bodoh kayak kamu enggak bisa diandalkan buat ngelola usaha. Atau jangan-jangan kamu yang menghabiskan modal toko ini untuk keperluan pribadi kamu," cecar Ibu berkacak pinggang."Duduk dulu, Bu. Nanti darah tingginya kumat," jawabku santai."Kalo sampai toko ini benar-benar tutup kamu bertanggung jawab untuk membayar kerugian rafi.""Tenang dulu, Bu." Aku menarik kursi dan segera menuntun Ibu untuk duduk dan memberinya sebotol air mineral."Halah... sok perhatian," ketusnya namun tetap menerima air minum yang aku sodorkan.."Ibu pengin tahu apa yang bikin toko ini sepi?" tanyaku pada Ibu yang sudah sedikit tenang."Ibu lihat toko baru di depan yang sangat ramai itu?" Aku menunjuk toko kepunyaan Mbak Silvi di seberang jalan."Halah bilang aja kamu yang enggak becus.”“Selain lebih lengkap di sana semua barang didiskon tiga puluh sampai
Maksudnya kamu hamil?” sahut Ibu yang ternyata sudah berdiri di belakang kami.“Belum tahu, Bu. Belum di cek,” jawabku ragu.“Cepat cek! calon cucuku harus dapat asupan gizi terbaik dari perkembangan awalnya,” tekannya seraya berlalu menuju arah tangga.“I-iya, Bu.” Aku dan Vera terus memandang Ibu hingga ia sampai di lantai dua.Kuelus perlahan perutku yang masih rata. Apa aku benar-benar hamil? Betapa cerobohnya aku jika itu terjadi. Walaupun memiliki anak adalah dambaan setiap pasangan, tapi ini berbeda. Bahkan selama aku dan Mas Rafi menikah belum pernah sekalipun kami membahas masalah anak.Sebenarnya aku ingin menyembunyikan ini semua, sebelum tahu kebenarannya. Aku takut jika Mas Rafi belum siap memiliki anak lagi, apalagi saat ini kami tengah menghadapi masalah ekonomi. “Kamu udah damai sama Ibunya Mas Rafi?” tanya Vera menelisik.Aku menggeleng.“Kok kelihatannya dia perhatian banget sama kamu?”“Mungkin dia mengira aku benar-benar hamil. Ibu kan sayang banget sama cucunya.
"Oh, ternyata toko ini berubah jadi warung jajanan kuno," sindir Mbak Silvi sembari mengitari rak-rak yang berisi makanan ringan."Mantan kuli mana bisa diandalkan mengelola toko, yang ada bangkrut kayak gini. Kasihan keluarga Rafi yang sebentar lagi pasti toko ini di jual," imbuhnya.Aku memilih diam, dan terus menata brownis lumer di loyang."Emang jual kayak gini untung berapa, sih?" Mbak silvi mencomot brownis dengan topping keju dan menyendoknya sedikit."Itu harganya dua puluh lima ribu. Mbak," ujarku. "Oh, cuma dua lima, pantes aja rasanya aneh. Gulanya pasti pakai pemanis buatan, terasa banget di tenggorokan," cela Mbak Silvi namun terus memakannya."Lapar, Mbak?""Mubazir kalo enggak di habisin," ucapnya setelah menelan suapan terakhirnya."Kalo kurang, masih banyak varian kue yang lain kok, Mbak." Aku menunjuk beberapa macam kue yang ada di dalam etalase."Enggak, aku enggak bisa makan makanan sembarangan. Aku harus menjaga bentuk tubuhku biar tetap bagus.""Kalo gitu di k
“Arghhh...” Aku melempar kasar ponsel ke atas ranjang. Sepertinya aku sudah tahu siapa pengirim pesan itu. Laki-laki sama yang datang saat aku mengandung Miko dulu. Tak ingin memperpanjang urusan, aku segera memblokir nomor tersebut. Rasanya aku lagi enggak mau berpikir berat. Merasa bosan di kamar, aku beranjak turun ke lantai dua untuk memasak sarapan. Baru ingin mengambil bahan di kulkas, dari dalam perutku terasa sesuatu yang melesak ingin keluar. Aku segera lari ke wastafel pencuci piring dan keluarlah cairan tak sedap dari mulutku. “Mama sakit, ya?” tanya Miko sembari menarik-narik bajuku dari bawah.“Enggak sayang, mama cuma masuk angin.” Aku menoleh dan tersenyum pada Miko.“Aku telepon Ayah ya, Ma?”“Ayah kan lagi sibuk kerja,” ujarku beralasan.“Kerja kok enggak pulang-pulang.” Miko mengerucutkan bibir sambil berjalan menuju meja makan.Sudah hampir setengah jam aku dan Miko duduk di depan gerbang toko. Bukan tanpa alasan, kami sedang menunggu makanan yang aku pesan dari
"Kamu tega ajak aku ke kandang macan, Mas?" bentakku berusaha mencegas Mas Rafi yang terus saja memasukkan barang ke dalam koper."Maksudnya?" Mas Rafi menoleh."Kamu mau aku tinggal dengan orang-orang yang membenciku?""Jangan menilai kalo belum pernah merasakan. Aku tidak mau ambil resiko jika itu menyangkut anak dan istriku. Lagi pula aku lihat selama ini Ibu baik sama kamu.""Tapi bagaimana dengan toko ini?" "Kan ada karyawan, lagi pula kamu bisa datang kapan saja," jelas Mas Rafi.“Tapi, Mas!” Aku mengusap wajahku kasar."Ini bukan saatnya berdebat, Nita. Yang terpenting sekarang bagaimana kamu dan anak dalam kandunganmu selalu dalam pengawasan. Aku enggak bisa terus memantau, jika kalian tetap tinggal di sini."Walaupun selama ini Ibu tak pernah berbuat macam-macan, tapi tetap saja aku belum siap jika harus satu atap dengannya.Kalo boleh memilih, aku ingin tinggal di rumahku yang lama. Tapi setelah di pikir-pikir, aku tak mungkin kembali ke sana, apa lagi dalam keadaan hamil
“A-apa kabar, Desi?” tanyaku ragu. “Baik, Mbak. Nah gitu dong, sekali-sekali main di ke sini.” Desi menuntunku untuk duduk di kursi ruang tamu. Melihat sambutan baik dari Desi, rasa takutku perlahan hilang. Paling tidak kedatanganku ke rumah ini tidak di sambut dengan penolakan. “Mulai hari ini Nita dan Miko akan tinggal di sini,” ujar Mas Rafi yang sedang berjalan ke araku.“Kamu yakin, Mas? Apa enggak jadi masalah buat Mama dan Mbak Silvi?” tanya Desi.“Nita hamil, aku enggak mau ambil risiko dengan membiarkan mereka tinggal sendiri,” jelas Mas Rafi.“Mbak hamil?” Desi berbalik memandangku. Aku mengangguk ragu. “Ih, selamat. Udah berapa bulan Mbak?” Desi mengusap lembut perutku.“Baru empat minggu.”“Wah, lagi rawan-rawannya. Mbak harus banyak istirahat, enggak boleh kerja berat. Mulai sekarang kalo ada apa-apa bilang sama aku, ya. Aku enggak mau keponakanku kenapa-kenapa,” ujarnya memperingatkan sebelum berjalan masuk.Entah mengapa raut wajah Desi seketika berubah saat tahu ka
Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra
POV Anita"Hay, nyonya Rafi,” sapa Ario yang tiba-tiba duduk di hadapanku“Apa kabar Mas Ario?” tanyaku sopan. Walaupun aku tak terlalu suka dengan sikapnya, paling tidak aku harus menghormatinya karena dia telah ikut menyelamatkan Miko.“Mau minum apa, Mas?” tawarku.“Apa saja. Bagaimana kabar Miko?”“Baik, Mas. Hanya sedikit trauma.”“Rafi benar-benar beruntung. Punya istri dua pintar cari duit semua, cantik semua,” celetuknya.“Mas Ario bisa nambah istri kalo mau.”“Jangankan nambah, satu aja belum punya.”Aku tersenyum kecut mendengarnya. Dia pikir aku tak tahu kalo ia telah menikah tiga kali, pacarnya juga ada di mana-mana. Aku rasa teman-teman Mas Rafi semuanya buaya.“Kenapa kamu memilih menikah dengan Rafi? Bukankah itu sama saja menyakiti diri sendiri. Aku tahu menjadi istri ke dua enggak enak, apa lagi madunya orang kayak Silvi,” cerocos Ario sambil menggigit pie susu yang baru saja di bukanya.“Itu bukan urusan anda.” Aku terus fokus pada kertas-kertas di depanku.“Mengapa
“Bercandamu enggak lucu.” Aku mencubit pipi wanita di sebelahku.“Aku serius, rasanya sudah tak tahan hidup penuh dengan musuh. Dari dulu musuhku Cuma Bu Yati yang setiap hari bikin dongkol.”Aku tertawa mendengar ucapan Anita, bagaimana bisa ia menganggap Bu Yati musuh, bukankah ia lumayan baik.“Kalo saja aku menerima tawaran Ibu waktu itu, mungkin semua enggak akan seperti ini.”“Tawaran Ibu? Memang Ibu menawarkan apa?” tanyaku“Kita bersama merawat Miko tanpa kita menikah. Tapi saat itu aku takut kalian berbohong, dan membawa Miko dariku,” ungkapnya.“Mama bilang begitu?” tanyaku heran. Mengapa aku tak tahu masalah ini.“Iya. Mungkin itu lebih baik.”“Kalo kita tak menikah, kamu akan menikah dengan orang lain?”“Mungkin.”“Tidak bisa! Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain, karena sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu. Ingat itu!” Kumatikan puntung rokok terakhir dan beranjak meninggalkan AnitaBagaimana bisa gara-gara penculikan Miko ia berpikir untuk berpisah
"Sialan kau, Ario!" "Sudahlah, Fi. Relakan saja Anita denganku, lagipula Miko telah menganggapmu mati," ejeknya.Aku mengusap rambut anak di pangkuanku, entah mengapa ada perasaan tak rela saat memdengar aku hanyalah ayah barunya. Namun ini semua salahku yang tak memperjuangkannya sejak dalam kandungan. Aku takut dia membenciku jika suatu saat tahu kalo ayahnya pernah tak mengakuinya."Maafkan ayah, Nak."Mobil yang di kendarai Ario melaju cepat di jalan yang sudah mulai lengang. Hari memang sudah menjelang tengah malam, waktu di mana sebagian besar orang tengah sibuk mengarungi mimpinya.“Miko,” pekik Anita yang sudah menunggu di luar rumah.Ia menghampiriku dan segera mengambil Miko dari gendonganku. Ia menciuminya berkali-kali tapi Miko sudah tertidur di gendongannya hanya menggeliat.“Jangan bikin mama khawatir ya, nak.” Anita terus mendekap buah hatinya itu.“Terima kasih, Mas Ario udah bantu nemuin Miko,” ucap Anita.“Its OK, apa sih yang enggak buat kamu.” Ario mengerlingkan