“Dasar pelakor, bisa-bisanya kamu minta di nikahi Mas Rafi!” Aku menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar suara keras Mbak Silvi di seberang sana. Dari nada bicaranya dia pasti dalam keadaan sangat marah.“Mau gimana lagi, Mbak! Orang Mas Rafi ngejar-ngejar aku terus. Aku jadi kasihan dong,” jawabku dengan nada sombong.“Kan aku udah bilang sama kamu kemarin, jauhi Mas Rafi. Bilang aja kamu pengen apa, pasti aku kasih kok.”“Tapi aku pengennya menikah sama Mas Rafi, Mbak! Lagian kan Mbak enggak bisa kasih anak, kalo enggak nikah sama aku bisa saja dia nikah sama yang lain.”“Gila kamu, ya!” “Aku waras, Mbak! Kan aku masih baik sama Mbak, jadi Cuma minta jadi istri kedua bukan istri satu-satunya.” Aku segera mengakhiri panggilan dan kembali melempar ponselku ke atas ranjang.Aku harus mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini jika nanti aku benar-benar menikah dengan Mas Rafi. Aku sadar tidak ada wanita yang benar-benar ikhlas jika suaminya menikah lagi. Tapi mau bagaimana lagi,
"Ayah Miko sebenernya ... " Aku tak tahu harus menjawab apa, yang jelas aku tak mungkin mengatakan bahwa Mas Rafi adalah ayah kandungnya. "Pasti bukan keduanya ya, Ma! Kan Ayah Miko udah meninggal," lanjut Miko.Aku bernafas lega karena selamat dari pertanyaan keramat seperti itu. "Tapi kata Bude Yati, Om Rafi Ayah Miko.""Emang kapan Bude Yati bilang?" tanyaku penasaran."Udah lama, sih!" Miko meletakka telunjuknya di dagu seperti orang sedang berpikir."Bude Yati bilang apa aja sama Miko?""Cuma bilang gitu aja, sih! Palingan tanya udah di kasih apa aja sama Om Rafi dan Om Rendi. Sering tanya-tanya lah pokoknya," jelas Miko.Dasar Bu Yati, anak kecil aja di tanyain macam-macam. Sebegitu pentingkah informasi tentang aku bagi dia. Awas aja kalo dia bilang yang tidak-tidak sama Miko."Ya udah enggak apa-apa. Sekarang Miko tidur, ya!"Aku menarik selimut hingga menutupi sebatas perut Miko."Ma!" panggil Miko lagi."Kenapa, Sayang!” Aku mendekap dan mengelus rambut Miko.“Kalo Mama
“Miko sekarang jajannya yang mahal-mahal, ya!” kata Bu Yati yang melihat Miko sedang memegang susu UHT dan makanan ringan berukuran besar ditangannya.“Kan Ayahnya sering datang, kemarin neneknya juga datang. Apalagi Om kesayangan Mamanya, enggak pernah absen. Pasti uang Mamanya sekarang banyak, dong!” timpal Bu Lusi.Kalo bukan karena gas di rumah tiba-tiba habis, aku jarang sekali mengunjungi toko ini. Bukannya tak mau membeli di warung tetangga, tapi aku hanya menghindari mulut julid Bu Yati dan kawan-kawannya.“Semua berapa, Bu?” tanyaku pada Bu Sumi-pemilik toko ini.“Totalnya seratus kurang dua ribu, Mbak!” jawabnya sambil menyodorkan nota.Aku segera membuka dompet dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna biru lalu menyerahkannya pada Bu Sumi-pemilik toko ini.“Kembalinya, Mbak Nita!"“Sekarang uang dua ribu mah kecil ya, Nit?” celetuk Bu Yati saat melihatku memasukkan uang kembalian pada salah satu kotak amal yang berderet di meja kasir.“Alhamdulillah, Bu! Bisa beramal walau
"Jadi kapan kamu akan menikah?" tanya Vera di sela-sela kesibukan kami."Belum tahu, Nit! Lagian Mas Rafi belum menjawab setuju atau tidaknya.""Aku yakin dia akan setuju, dia pasti tak ingin melewatkan kesempatan untuk menjadi Ayah Miko.""Mungkin.""Besok kalo kamu butuh bantuan tinggal hubungi aku, oke!" ucap Vera sambil menunjukkan ibu jarinya."Makasih ya, Ver! Tapi kayaknya aku enggak perlu persiapan apapun, aku hanya menikah di KUA. Lagian aku enggak akan ngundang siapa-siapa." “Jangan gitu dong, Nit! Paling tidak ngundang teman kerja lah. Masa iya selama ini kamu kondangan doang tapi enggak mau di kondangani," tanya Vera serius“Enggak, Ver! Aku cuma ngundang kamu sama beberapa keluarga aja.”Aku memang sengaja tak memberitahu siapa pun tentang pernikahan ini selain Vera dan keluarga juga tetangga dekat. Walaupun kami akan menikah secara resmi tapi menjadi istri ke dua tetap saja dianggap sebagai hal yang memalukan untuk sebagian orang.“Pak Doni udah tahu kamu mau nikah?”“B
"Mbak Nita!" panggil seorang wanita yang tengah berdiri di depan gerbang tempat kerjaku."Ya, cari siapa, Mbak?" tanyaku setelah berdiri di hadapannya."Bisa bicara sebentar, Mbak? Aku Rania, calon tunangan Mas Rendi," Dia menjabat tanganku."Oh, iya. Kita duduk di sini atau mau ke cafe depan?" tanyaku memberi pilihan.Walaupun agak deg-degan tapi aku mencoba bersikap biasa. Apa Rendi membuat ulah, sampai-sampai calon tunangannya menemuiku.Akhirnya kami duduk di bangku yang ada di pinggir tempat parkir karyawan."Ada apa ya, Mbak?" tanyaku memulai percakapan."Panggil Rania saja, Mbak!” jawabnya sopan.“Oke kalo gitu panggil aku Nita saja,” balasku.“Sebenanya kedatanganku kesini untuk menanyakan sesuatu, tapi sebelumnya aku minta maaf jika pertanyaanku nanti membuat kamu tersinggung.”“Mau tanya apa?”“Apa benar kamu kekasih Mas Rendi? Tolong jawab sejujur-jujurnya, Mbak!” Sudah kuduga, ini pasti ulah Rendi. Dia menjadikanku alasan untuk menolak perjodohan dengan Rania. Kenapa Rend
"Cium tangan," kata Mas Rafi sambil mengulurkan tangannya."Belum sah." Aku menggeleng lalu melewatinya begitu saja.Seperti janjinya tadi, Mas Rafi sore ini dia benar-benar datang ke rumah. Bahkan dia telah sampai sebelum aku dan Miko pulang. Kulihat dia tengah menunggu di teras saat Aku dan Miko sampai di rumah."Hay, Miko!" sapa Mas Rafi sambil melambaikan tangannya."Hay, Om!" balas Miko."Miko masuk dulu, ya! Nanti mama nyusul," perintahku.Miko mengangguk lalu berlari ke dalam, dia pasti tak sabar membuka mainan yang baru saja di beli. Setelah meletakkan barang bawaanku di ruang tamu, gegas aku keluar dan langsung duduk di kursi teras."Apa kamu udah punya jawabannya, Mas?" tanyaku."Kamu enggak nyuruh aku masuk?" Mas Rafi berbalik tanya."Ari enggak ada di rumah, Mas! Takut terjadi fitnah kalo aku nyuruh kamu masuk.""Miko kan ada," tunjuknya pada Miko yang terlihat asyik bermain di ruang tamu."Udah, deh! Enggak usah basa-basi. Apa jawaban kamu? Keburu sore, Miko belum mandi.
“Nit, diliatin Pak Doni, tuh!” bisik Vera menyenggol bahuku.Seketika aku menoleh pada Pak Doni yang ternyata sedang memandangku. Ia menjadi salah tingkah saat pandangan kami bertemu. Aku segera menunduk dan berpura-pura sibuk untuk menghindari suasana canggung ini. “Kamu udah izin sama HRD?”Aku terperanjat saat Pak Doni ternyata sudah berdiri di hadapanku.“Be-belum, Pak. Tanggalnya belum di tentukan," jawabku.“Doni!” sanggahnya.“Be-belum, Don. Maaf aku belum terbiasa.”“Setelah menikah kamu akan tetap bekerja, kan?” tanyanya lagi.“Masih, Don!”“Oke, semangat kerjanya, ya!” Mendapat sapaan dari Doni, membuat hatiku sedikit tenang. Ini adalah pertama kali Doni bicara denganku Setelah beberapa hari ia terlihat menghindar. Aku salut karena Doni kini sudah bisa bersikap profesional layaknya rekan kerja karena bagaimanapun kamj akan tetap bertemu selama kami masih bekerja di sini."Sebenarnya Pak Doni itu baik loh, sama kamu aja dia terlihat garang," ucap Vera saat Pak Doni keluar r
“Hai Miko, ini Tante sama Nenek.” Aku terkejut saat Ibu dan Adiknya Mas Rafi tiba-tiba datang. Bagaimana mereka bisa tahu kami ada di sini. Apa memang ini sudah direncanakan dengan Mas Rafi. Ternyata aku telah terjebak dengan permainan mereka.“Boleh kami duduk?” tanya Bu Fitri.“Si-silakan,” ucapku.Aku segera menarik Miko agar duduk lebih dekat denganku. Lagi-lagi perasaan takut itu muncul, takut mereka mengambil Miko.“Jangan takut, Anita! Kami datang kesini untuk bertemu kamu dan Miko,” ucap Bu Fitri yang sudah duduk di sebelah Mas Rafi.“Iya, Mbak! Lagian kan Mbak sebentar lagi akan jadi istri Mas Rafi,” timpal Desi.“Miko, ini nenek dan ini tante.” Mas Rafi menunjuk Bu Fitri dan Desi secara bergantian.“Sini salim sama nenek,” Bu Fitri melambaikan tangannya ke arah Miko.Seketika Miko langsung turun dan menyalami Bu Fitri juga Desi. Seketika suasana berubah riuh oleh obrolan antara Miko dan juga keluarga Mas Rafi. Sedangkan aku hanya memperhatikan dan sesekali menjawab jika di
Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra
POV Anita"Hay, nyonya Rafi,” sapa Ario yang tiba-tiba duduk di hadapanku“Apa kabar Mas Ario?” tanyaku sopan. Walaupun aku tak terlalu suka dengan sikapnya, paling tidak aku harus menghormatinya karena dia telah ikut menyelamatkan Miko.“Mau minum apa, Mas?” tawarku.“Apa saja. Bagaimana kabar Miko?”“Baik, Mas. Hanya sedikit trauma.”“Rafi benar-benar beruntung. Punya istri dua pintar cari duit semua, cantik semua,” celetuknya.“Mas Ario bisa nambah istri kalo mau.”“Jangankan nambah, satu aja belum punya.”Aku tersenyum kecut mendengarnya. Dia pikir aku tak tahu kalo ia telah menikah tiga kali, pacarnya juga ada di mana-mana. Aku rasa teman-teman Mas Rafi semuanya buaya.“Kenapa kamu memilih menikah dengan Rafi? Bukankah itu sama saja menyakiti diri sendiri. Aku tahu menjadi istri ke dua enggak enak, apa lagi madunya orang kayak Silvi,” cerocos Ario sambil menggigit pie susu yang baru saja di bukanya.“Itu bukan urusan anda.” Aku terus fokus pada kertas-kertas di depanku.“Mengapa
“Bercandamu enggak lucu.” Aku mencubit pipi wanita di sebelahku.“Aku serius, rasanya sudah tak tahan hidup penuh dengan musuh. Dari dulu musuhku Cuma Bu Yati yang setiap hari bikin dongkol.”Aku tertawa mendengar ucapan Anita, bagaimana bisa ia menganggap Bu Yati musuh, bukankah ia lumayan baik.“Kalo saja aku menerima tawaran Ibu waktu itu, mungkin semua enggak akan seperti ini.”“Tawaran Ibu? Memang Ibu menawarkan apa?” tanyaku“Kita bersama merawat Miko tanpa kita menikah. Tapi saat itu aku takut kalian berbohong, dan membawa Miko dariku,” ungkapnya.“Mama bilang begitu?” tanyaku heran. Mengapa aku tak tahu masalah ini.“Iya. Mungkin itu lebih baik.”“Kalo kita tak menikah, kamu akan menikah dengan orang lain?”“Mungkin.”“Tidak bisa! Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain, karena sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu. Ingat itu!” Kumatikan puntung rokok terakhir dan beranjak meninggalkan AnitaBagaimana bisa gara-gara penculikan Miko ia berpikir untuk berpisah
"Sialan kau, Ario!" "Sudahlah, Fi. Relakan saja Anita denganku, lagipula Miko telah menganggapmu mati," ejeknya.Aku mengusap rambut anak di pangkuanku, entah mengapa ada perasaan tak rela saat memdengar aku hanyalah ayah barunya. Namun ini semua salahku yang tak memperjuangkannya sejak dalam kandungan. Aku takut dia membenciku jika suatu saat tahu kalo ayahnya pernah tak mengakuinya."Maafkan ayah, Nak."Mobil yang di kendarai Ario melaju cepat di jalan yang sudah mulai lengang. Hari memang sudah menjelang tengah malam, waktu di mana sebagian besar orang tengah sibuk mengarungi mimpinya.“Miko,” pekik Anita yang sudah menunggu di luar rumah.Ia menghampiriku dan segera mengambil Miko dari gendonganku. Ia menciuminya berkali-kali tapi Miko sudah tertidur di gendongannya hanya menggeliat.“Jangan bikin mama khawatir ya, nak.” Anita terus mendekap buah hatinya itu.“Terima kasih, Mas Ario udah bantu nemuin Miko,” ucap Anita.“Its OK, apa sih yang enggak buat kamu.” Ario mengerlingkan