Seperti biasa setiap pagi aku akan menyiapkan keperluan Miko dan mengantarnya sekolah terlebih dulu sebelum berangkat kerja. Sebagai Ibu tunggal aku harus bekerja keras untuk memenuhi segala keperluan Miko. Walaupun kadang aku merasa sangat lelah, tapi aku harus bertahan.
Kadang aku merasa iri setiap aku melihat teman-temanku yang telah menikah. Mereka mempunyai suami yang bisa menafkahi sekaligus menjadi teman untuk berkeluh kesah.“Mbak, apa Mas Rafi masih sering ke sini?” tanya Ari sambil mencomot gorengan yang baru saja kuangkat.“Enggak, Ri! Udah jarang sekarang,” jawabku.Kebetulan hari ini Ari libur kerja jadi kami bisa sarapan bersama. Bekerja di sebuah pusat perbelanjaan membuat Ari jarang mendapatkan jatah libur.“Duduk, Mbak! Aku mau ngomong sebentar.”“Mau ngomong apa?” “Sebelumnya aku minta maaf. Apa Mbak Nita masih mengharapkan Mas Rafi?” tanya Ari serius.“Kenapa kamu tanya begitu?”“Jangan pernah berpikir untuk kembali, Mbak! Aku enggak mau Mbak kecewa seperti dulu lagi.”“Aku enggak pernah berpikir untuk kembali pada Mas Rafi.”“Lalu kenapa Mbak menerima semua pemberian Mas Rafi? Aku juga tahu sekarang Mas Rafi sering menghubungi Mbak,” beber Ari.“Aku terpaksa, Ri! Soalnya setiap kukembalikan pasti di kirim lagi. Aku berhubungan lewat ponsel juga karena dia janji enggak akan menemui Miko lagi,” jelasku.“Aku peringatkan ya, Mbak! Jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Pikirkan berapa besar pengorbanan Bapak buat menerima dan mendukung Mbak sampai saat ini.” “Iya, Ri! Mbak tau,” lirihku.Mendengar kata ‘Bapak’, ingatanku seketika menerawang jauh. Dia adalah satu-satunya orang yang tak pernah menyalahkan atas kejadian yang menimpaku. Dia selalu meyakinkanku bahwa ini hanya sebuah takdir yang harus aku jalani. Ditinggalkan Ibu saat Ari berumur 5 tahun, Bapak menjadi sosok orang tua yang lemah lembut tapi sangat tegas. Dia dengan sabar dan telaten mengurus kami serta bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Setelah aku dan Ari dewasa, seharusnya Bapak bisa beristirahat sembari menikmati masa tuanya.Tapi pada kenyataannya bukanlah kebahagiaan yang ia dapatkan. Aku malah memberikan aib yang sangat mencoreng nama baik Bapak. Tapi bukannya marah, Bapak malah menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpaku. Bapak merasa dia kurang perhatian hingga aku memilih jalan yang salah. Di saat-saat terburukku, Bapak tak henti-hentinya menasihatiku untuk selalu kuat. Dia juga berpesan jika anak yang aku kandung bukanlah aib namun anugerah dari Tuhan. Benar saja, Bapak adalah satu-satunya orang yang berbahagia saat aku melahirkan Miko. Dia bahkan yang mengurus Miko saat aku masih dalam keadaan kacau.Aku selalu berpikir untuk mengakhiri hidup saat itu, rasanya tak bisa membayangkan gambaran masa depan yang akan kulalui. Jika saat hamil saja aku sudah menjadi gunjingan orang apalagi kalo anakku sudah lahir. Benar saja setelah Miko lahir, aku menjadi salah satu bahan gosip bak seorang artis. Mungkin tak ada satu pun orang yang tak tahu kisah hidupku. Tapi Bapak selalu memintaku untuk bersabar menghadapi semua ini dan meyakini bahwa semua akan indah pada waktunya.Sayangnya Bapak tak bisa melihat Miko tumbuh besar. Dia harus berpulang secara mendadak satu tahun yang lalu. Pasti Tuhan tahu Bapak sudah terlalu lelah dalam hidupnya dan ingin Bapak bahagia di sana.“Bapak... aku merindukanmu, semoga Bapak sudah bahagia bersama Ibu. Maafkan anakmu ini, Pak!” batinku.“Miko berangkat dulu ya, Ma! Di antar Om Ari.” Ucapan Miko seketika membuyarkan lamunanku. Kulihat Miko sudah rapi dan siap berangkat sekolah. Seperti biasa setiap Ari libur kerja. Pasti dia dengan sigap membantuku mengurus keperluan Miko, termasuk mengantar dan menjemput sekolah.“Iya, sayang! Miko belajar yang rajin, ya! Mama juga mau berangkat kerja,” ucapku pada Miko sambil mencium kedua pipinya.“Jangan cium, Ma! Miko udah gede,” protesnya.Aku hanya tersenyum melihat tingkah Miko.**“Makan yuk, Nit!” ajak Vera---teman kerjaku saat jam istirahat tiba.“Duluan aja, Ver! Aku lagi tanggung, Nih!” jawabku.Hari Senin adalah hari yang melelahkan untuk seorang karyawan sepertiku. Sebagai bagian administrasi gudang, ada saja perkerjaan yang harus dilakukan dan segera di selesaikan. Seperti sekarang ini, aku hampir melewatkan jam istirahat untuk mengecek barang yang baru saja datang.“Belum istirahat, Nit?” tanya seseorang yang tiba-tiba merangkulku.“Belum, Pak!” jawabku sambil melepas tangan Pak Doni---kepala bagian gudang.“Enggak usah sok jual mahal, Nit! Aku tahu siapa kamu,” sindirnya.“Maaf ya, Pak! Bersikaplah yang sopan,” tekanku.“Santai aja, Nit! Kayak sama siapa.”Doni adalah teman sekolahku. Dulu kami juga sempat dekat karena rumah kami satu jalur dari sekolah. Namun sekarang dia adalah atasanku jadi mau tak mau aku memanggilnya dengan embel-embel ‘Pak’.“Oh, iya! Cowok yang kemarin sering nyariin kamu kok udah enggak pernah datang? Dia pasti ayah dari anak kamu, kan?”“Itu bukan urusan Bapak!” bentakku.“Udah di kasih berapa lagi kamu sama dia?”“Maaf ya, Pak! Kalo enggak ada yang penting, silakan Bapak pergi, aku masih banyak kerjaan,” usirku.“Oke, kalo kamu kekurangan uang bilang aja sama aku. Aku kasih berapa pun asal kamu mau sama aku”“Maaf ya, Pak! Aku bukan wanita murahan.”“Oh, iya! Kamu kan wanita mahal. Anak kamu aja harganya lima puluh juta. Apa lagi mamanya, bisa ratusan juta.”Aku memilih pergi dan tak menanggapi perkataan Doni. Entah sudah berapa lelaki berkata seperti itu padaku. Memang sebutan ‘wanita mahal’ sudah sangat melekat padaku, yang membuatku semakin membenci diriku sendiri. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir. Rasa-rasanya aku ingin segera menuntut balas pada orang-orang yang telah menyematkan sebutan ‘wanita mahal’ padaku. Walaupun tak bisa membersihkan namaku, paling tidak aku bisa merasa puas dengan kehancuran mereka.“Apa aku masih punya kesempatan, Nit?” tanya Rendi yang saat ini tengah mengunjungi rumahku.“Aku sudah bilang jangan tanyakan itu lagi,” bentakku.“Tapi sampai kapan, Nit?”“Entahlah, Ren!”Entah mengapa Rendi tiba-tiba berbicara serius seperti itu. Padahal ia mengaku datang ke sini hanya untuk menemui Miko. Tapi Miko malah di ajak teman-temannya main bola di halaman.Aku dan Rendi adalah sahabat sejak kecil. Hampir setiap hari kami bersekolah dan bermain bersama tentu saja dengan teman-teman yang lain. Tak ada yang spesial di antara kami selain hubungan pertemanan pada umumnya.Setelah lulus SMA, Rendi memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di kota sebelah. Mulai saat itu hubungan kami semakin renggang. Hanya sesekali bertegur sapa lewat media sosial dan bertemu hanya ia libur atau saat hari raya.Rendi kembali ke rumah setelah ayahnya meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di sekitar sini agar bisa menemani Ibunya. Mulai saat itu kami mulai sering bertemu. Saat itu aku se
“Mirip dari mananya? Orang beda gini, kok!” kata Mas Rafi cuek lalu kembali sibuk dengan ponselnya. “Jelas beda dong, Tante! Miko kan item beda sama Omnya!” candaku. Aku mencoba ikut berbicara agar Silvi tidak terlalu memperhatikan kemiripan Miko dan Mas Rafi. Sembari makan, kami berbicara banyak hal. Silvi juga menanyakan tentang kehidupanku sepeninggal ayah Miko. Akhirnya aku sedikit bercerita, tentu saja tidak termasuk Mas Rafi di dalamnya. Sebenarnya aku hanya ingin memberi sedikit pelajaran untuk Mas Rafi. Biar dia tahu rasanya tak di anggap.“Terima kasih atas semuanya, Mbak! Kami pulang dulu.” Aku berpamitan setelah selesai makan. “Bilang terima kasih sama tante, Nak!” perintahku pada Miko. "Terima kasih, Tante! Miko pulang dulu," ucap Miko sambil mencium tangan Mbak Silvi. Mbak Silvi menyejajarkan tubuhnya dengan Miko lalu memeluk Miko. Aku terharu melihat perlakuan Mbak Silvi, pasti dia sangat merindukan seorang anak dalam hidupnya. Tadi ia bercerita sangat menyukai anak
[Selamat malam, apa benar ini nomornya Mbak Anita, Mamanya Miko. Ini Silvi, Mbak.]Aku kaget saat membaca sebuah pesan yang baru saja masuk. Dari mana Mbak Silvi tahu nomor ponselku? Apa dia juga ikut bersekongkol dengan Mas Rafi dan Bu Fitri? Kalo iya, berarti aku yang tertipu kemarin.[Benar, Mbak! Ini Mamanya Miko. Mbak kok bisa tau nomorku?]Balasku dengan ragu-ragu. Aku penasaran apa tujuan Mbak Silvi menghubungiku.[Kemarin aku ke tempat kerja Mbak Anita, tapi Mbak sudah pulang, makanya aku minta nomor Mbak sama temennya.]Aku lega membaca balasan yang Mbak Silvi kirim. Semoga saja semua itu benar. Aku memang sempat memberi tahu tempat kerjaku kemarin saat kami bertemu.[Mbak, bolehkan aku ketemu Miko lagi?]Sebuah pesan dari Mbak Silvi masuk lagi[Tentu saja, Mbak boleh]Akhirnya kami janji akan bertemu besok minggu di sebuah taman kota. Aku juga memintanya untuk tak mengajak Mas Rafi dengan alasan agar Miko tidak salah paham lagi. Dan Mbak Silvi pun menyetujuinya.Sebenarnya
“Eh, Nita! Jadi orang penting sekarang kamu, ya! Tiap hari ada yang nyariin, bermobil pula,” kata Bu Yati yang tiba-tiba datang ke rumah.Aku yang sedang sibuk menjemur pakaian hanya melirik sekilas tak berniat menanggapi. Pasti Bu Yati akan mengataiku macam-macam seperti biasanya. Dia memang seperti CCTV yang selalu memata-mataiku. Tidak ada satu pun kejadian di rumahku yang tidak diketahui Bu Yati. Dan itu sudah terjadi sejak aku hamil Miko dulu. Sampai sekarang dia masih saja setia dengan pekerjaan itu. Padahal kalo dipikir-pikir semua itu enggak ada untungnya buat dia. “Heh, ditanyain malah diem aja,” bentak Bu Yati yang sadar aku tak menanggapinya.“Oh, Bu Yati tanya, ya! Emm... memangnya kenapa kalo banyak yang nyariin, Bu? Yang penting bukan buat nagih utang,” jawabku tanpa menoleh.“Udah kasih aja si Miko sama mereka. Toh nanti kamu bakal di kasih duit banyak. Jangan ngimpi lagi dapet bapaknya Miko, nanti di buang lagi baru tau rasa.”“Nanti kalo aku banyak duit, Bu Yati kepa
“Langsung saja, Mas! Enggak usah basa-basi,” jawabku sambil menyeruput sedikit minuman di depanku.Walaupun terpaksa sore ini aku memenuhi undangan Mas Rafi untuk bertemu. Aku tak mau Mas Rafi bertindak macam-macam apalagi sampai menculik Miko. “Silvi sudah mengetahui semuanya, bahkan sudah sejak lama,” kata Mas Rafi pelan.“Aku sudah tau soal itu. Aku rasa dia bukan wanita bodoh yang enggak mau tahu masa lalu suaminya.”“Dia memintaku menjauhimu dan Miko”“Harusnya kalian memang jauh-jauh dari kami.” “Aku enggak mau melakukan kesalahan yang kedua. Aku tak akan melepas kamu dan Miko lagi.”Mas Rafi berusaha meraih tanganku, tapi dengan cepat aku melepasnya.“Kalo begitu kamu sudah punya rencana apa, Mas?" tanyaku.“Belum tahu, yang jelas mulai sekarang aku akan berusaha untuk bisa bersama kamu dan Miko.” “Kamu yakin sudah mempunyai keberanian untuk menentang keluargamu dan istrimu?”“Pasti," jawabnya mantap.“Kalo begitu nikahi aku secara resmi. Kamu tahu syarat pernikahan kedua s
“Terima uang 50 juta ini. Kalian tidak bisa menikah.”Bak disambar petir, tubuhku seketika kaku mendengar perkataan wanita yang sekarang duduk di hadapanku yang tak lain adalah Ibunya Mas Rafi. Nafasku terasa begitu sesak hingga mulutku terasa kaku dan tak bisa mengeluarkan kata. Sejenak aku hanya terdiam. Apa dia bilang? Tak ada pernikahan? Otakku mulai mencerna kata-kata yang baru saja di dengar. Perlahan mataku mulai mengembun.“Ma...maksudnya bagaimana ya, Bu?” Dengan bibir bergetar aku memberanikan diri bertanya. Kuarahkan pandangan ke arah Mas Rafi yang duduk di sebelah Ibunya, berharap mendapatkan penjelasan, namun saat pandangan mata kami bertemu, ia malah menunduk. Bukankah kami di sini berencana membicarakan pernikahanku dengan Mas Rafi. Tapi mengapa malah berubah? Apa ini bagian dari prank yang Mas Rafi buat untuk mengerjaiku? Ah, banyak pertanyaan-pertanyaan tak jelas yang memenuhi otakku saat ini.“Rafi tidak bisa menikahimu.”“La...lalu bagaimana dengan anak ini?” tany
Perkenalanku dengan Mas Rafi dimulai saat motornya tak sengaja menyerempet motorku di depan kampus. Aku yang notabene dikenal sebagai mahasiswi urakan saat itu, tentu saja langsung marah-marah tak terima dan meminta ganti rugi. Karena kerusakan motor cukup parah, aku dan Mas Rafi jadi sering bertemu untuk membicarakan masalah itu. Walaupun Mas Rafi sempat menawarkan untuk mengganti motorku dengan yang baru, tapi aku menolak karena motor itu adalah motor peninggalan Ibu yang menurutku memiliki nilai sejarah yang tak bisa digantikan.“Heh, cewe aneh! Gara-gara ngurusin motor bututmu ini, aku diputusin pacarku,” kata Mas Rafi sambil menendang motor yang baru keluar dari bengkel ini.“Itu bukan urusanku ya, Mas!” jawabku cuek.“Jelas itu urusan kamu dong! Aku dituduh selingkuh gara-gara sering ketemu dan di telepon kamu.”“Kan aku telepon buat tanya motor, bukan ngerayu kamu. Palingan pacar kamu yang udah bosen sama kamu, jadi bikin alesan enggak jelas kayak gitu.”Memang sebulan ini aku
“Sopirmu udah nungguin tuh!” ucap Devi teman satu kosku.“Aku duluan, ya! Aku Pamit pada semua teman yang sedang berjalan bersamaku.“cie ... cie ... nempel teroos!” ledek Devi yang disambut oleh siulan beberapa temanku.Aku segera menghampiri Mas Rafi yang sudah bersiap di atas motor. Setelah memakai helm yang di berikan Mas Rafi, aku langsung naik dan melingkarkan tanganku ke pinggang Mas Rafi.“Siap?” tanya Mas Rafi sambil menghidupkan motornya.“Iya.”Mas Rafi segera melajukan motornya perlahan. Seperti biasa Mas Rafi akan mengajak makan sebelum mengantarkanku pulang ke tempat kos. Ramai suasana jalan khas sore hari membuat motor berjalan sedikit pelan. Aku mengeratkan pelukan dan meletakkan kepalaku di bahu Mas Rafi menikmati udara sore yang begitu dingin karena cuaca sedikit mendung. Walaupun hatiku sedikit ragu setelah bertemu keluarga Mas Rafi, pada nyatanya hubungan kami tetap berjalan seperti biasa. Bahkan saat ini kami sudah tak segan lagi mengumbar kemesraan di depan umum
Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra
POV Anita"Hay, nyonya Rafi,” sapa Ario yang tiba-tiba duduk di hadapanku“Apa kabar Mas Ario?” tanyaku sopan. Walaupun aku tak terlalu suka dengan sikapnya, paling tidak aku harus menghormatinya karena dia telah ikut menyelamatkan Miko.“Mau minum apa, Mas?” tawarku.“Apa saja. Bagaimana kabar Miko?”“Baik, Mas. Hanya sedikit trauma.”“Rafi benar-benar beruntung. Punya istri dua pintar cari duit semua, cantik semua,” celetuknya.“Mas Ario bisa nambah istri kalo mau.”“Jangankan nambah, satu aja belum punya.”Aku tersenyum kecut mendengarnya. Dia pikir aku tak tahu kalo ia telah menikah tiga kali, pacarnya juga ada di mana-mana. Aku rasa teman-teman Mas Rafi semuanya buaya.“Kenapa kamu memilih menikah dengan Rafi? Bukankah itu sama saja menyakiti diri sendiri. Aku tahu menjadi istri ke dua enggak enak, apa lagi madunya orang kayak Silvi,” cerocos Ario sambil menggigit pie susu yang baru saja di bukanya.“Itu bukan urusan anda.” Aku terus fokus pada kertas-kertas di depanku.“Mengapa
“Bercandamu enggak lucu.” Aku mencubit pipi wanita di sebelahku.“Aku serius, rasanya sudah tak tahan hidup penuh dengan musuh. Dari dulu musuhku Cuma Bu Yati yang setiap hari bikin dongkol.”Aku tertawa mendengar ucapan Anita, bagaimana bisa ia menganggap Bu Yati musuh, bukankah ia lumayan baik.“Kalo saja aku menerima tawaran Ibu waktu itu, mungkin semua enggak akan seperti ini.”“Tawaran Ibu? Memang Ibu menawarkan apa?” tanyaku“Kita bersama merawat Miko tanpa kita menikah. Tapi saat itu aku takut kalian berbohong, dan membawa Miko dariku,” ungkapnya.“Mama bilang begitu?” tanyaku heran. Mengapa aku tak tahu masalah ini.“Iya. Mungkin itu lebih baik.”“Kalo kita tak menikah, kamu akan menikah dengan orang lain?”“Mungkin.”“Tidak bisa! Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain, karena sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu. Ingat itu!” Kumatikan puntung rokok terakhir dan beranjak meninggalkan AnitaBagaimana bisa gara-gara penculikan Miko ia berpikir untuk berpisah
"Sialan kau, Ario!" "Sudahlah, Fi. Relakan saja Anita denganku, lagipula Miko telah menganggapmu mati," ejeknya.Aku mengusap rambut anak di pangkuanku, entah mengapa ada perasaan tak rela saat memdengar aku hanyalah ayah barunya. Namun ini semua salahku yang tak memperjuangkannya sejak dalam kandungan. Aku takut dia membenciku jika suatu saat tahu kalo ayahnya pernah tak mengakuinya."Maafkan ayah, Nak."Mobil yang di kendarai Ario melaju cepat di jalan yang sudah mulai lengang. Hari memang sudah menjelang tengah malam, waktu di mana sebagian besar orang tengah sibuk mengarungi mimpinya.“Miko,” pekik Anita yang sudah menunggu di luar rumah.Ia menghampiriku dan segera mengambil Miko dari gendonganku. Ia menciuminya berkali-kali tapi Miko sudah tertidur di gendongannya hanya menggeliat.“Jangan bikin mama khawatir ya, nak.” Anita terus mendekap buah hatinya itu.“Terima kasih, Mas Ario udah bantu nemuin Miko,” ucap Anita.“Its OK, apa sih yang enggak buat kamu.” Ario mengerlingkan