Hubungan di antara Zidan, Daren, Kyro, dan Elric perlahan mencapai titik yang berbeda dari sebelumnya. Rasa curiga yang dulu sempat menghantui mereka—terutama dari Elric kepada Zidan—mulai memudar seiring dengan waktu yang mereka habiskan bersama dalam misi-misi berbahaya. Kepercayaan dan kekompakan mereka semakin tumbuh, tidak hanya sebagai teman satu tim, tetapi sebagai saudara seperjuangan. Setiap kali salah satu dari mereka terluka atau mengalami kesulitan, yang lain akan sigap memberikan bantuan. Daren, dengan sikap santainya, selalu berusaha menjaga semangat kelompok tetap tinggi. Kyro, yang penuh perhatian, sering kali menjadi perencana yang memastikan semua berjalan lancar. Elric, meskipun sering menyendiri, kini mulai lebih terbuka, bahkan menunjukkan rasa hormat kepada Zidan. Malam itu, saat mereka berkumpul di tenda setelah misi yang penuh tantangan, Daren membuka pembicaraan. "Aku tak pernah menyangka, kita bisa jadi sedekat ini. Awalnya aku pikir kita semua cuma akan
Malam itu, mereka masih berkumpul di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di halaman belakang barak pelatihan. Suasana terasa hangat, tidak hanya karena api yang menyala, tetapi juga karena rasa kebersamaan yang semakin erat di antara mereka. Daren memecah keheningan. "Hei, kalian tahu? Kalau kita terus seperti ini, aku yakin kita bisa jadi tim terbaik di akademi." Kyro tertawa kecil. "Tim terbaik? Kau serius, Daren? Kau bahkan masih kesulitan dengan gerakan dasar pedang." "Hei!" Daren menunjuk Kyro dengan garpu kayu yang sedang digunakannya untuk memanggang ubi. "Itu tidak adil! Setidaknya aku tidak tersandung saat mencoba menendang musuh!" Kyro mengangkat bahu, menahan tawa. "Itu cuma sekali, oke? Lagipula, aku langsung bangkit dan menebas mereka, ingat?" Elric, yang sejak tadi sibuk memoles bilah pedangnya, akhirnya angkat bicara. "Kalau kalian berdua mau jadi yang terbaik, mungkin kalian harus berhenti berdebat dan mulai berlatih lebih keras." "Ah, kau ini terlalu
Setelah serangan mendadak malam itu, akademi dikepung oleh suasana mencekam. Pagi harinya, para murid dikerahkan untuk misi baru. Para pelatih mengumumkan bahwa tim-tim kecil akan dikirim keluar akademi untuk menyelidiki asal serangan tersebut. Zidan, Daren, Kyro, dan Elric termasuk dalam salah satu tim yang dipilih. "Kita harus melacak jejak makhluk itu," perintah pelatih dengan nada tegas. "Misi ini penting untuk memastikan akademi tetap aman. Jangan ceroboh, dan ingat, kalian harus melaporkan setiap temuan tanpa melawan secara langsung." Saat mereka berempat berjalan menjauh dari akademi, Daren berbicara dengan nada penuh percaya diri. "Aku yakin kita bisa menyelesaikan ini dengan mudah. Kita sudah bekerja sama dengan baik selama ini." Kyro mengangguk, meskipun matanya tetap awas memperhatikan sekeliling. "Tapi kita tidak bisa meremehkan makhluk itu. Apa pun itu, tadi malam dia mengalahkan para penjaga dengan mudah." Elric tampak lebih tenang, namun pikirannya terus berputa
Setelah berhasil melarikan diri dari gua terlarang itu, Zidan dan teman-temannya kembali ke akademi dengan hati yang berat. Malam itu, suasana di kamar mereka dipenuhi oleh ketegangan. Elric, Daren, dan Kyro duduk melingkar di lantai, menatap Zidan yang berdiri di tengah ruangan dengan raut wajah serius."Baik," kata Zidan akhirnya, suaranya tenang tapi tegas. "Aku akan menjelaskan semuanya."Daren menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba memahami. "Kau seorang alkemis? Tapi bukankah itu... terlarang? Kenapa kau ada di sini? Apa kau memata-matai kami?""Tenang, Daren," ujar Kyro, meski dia sendiri terlihat ragu. "Kita beri dia kesempatan untuk menjelaskan."Zidan menarik napas panjang, lalu mulai berbicara. "Aku memang seorang alkemis, tapi aku bukan musuh kalian. Aku menyusup ke Arzan bukan untuk mendukung mereka, melainkan untuk menghentikan rencana besar yang sedang mereka persiapkan. Rencana yang akan menghancurkan lebih dari sekadar kerajaan kita masing-masing."Elric yang biasa
Elric berdiri tegak, meski jantungnya berdegup kencang. Pria berkerudung itu mempersempit matanya, jelas tidak terbiasa dengan perlawanan verbal dari seorang murid. Aula dipenuhi keheningan yang mencekam, hanya suara napas gugup para murid yang terdengar samar."Jangan mencoba menguji kesabaranku," kata pria itu dingin. "Penyusup yang kami cari adalah ancaman bagi kekaisaran. Kami tahu dia ada di sini. Jika tidak ada yang berbicara... maka hukuman akan dijatuhkan pada semua murid yang hadir."Zidan mengepalkan tangan di sisinya, tubuhnya sedikit gemetar. Dia tahu, jika dia tetap diam, teman-temannya akan menjadi korban. Namun, sebelum dia sempat berbicara, Daren melangkah maju dengan senyum lebar yang mencurigakan."Hei, aku rasa kalian salah," kata Daren dengan nada santai yang jelas dibuat-buat. "Kami semua hanya murid biasa. Siapa yang cukup bodoh untuk menyusup ke tempat ini? Bahkan latihan dasar di sini sudah seperti neraka."Beberapa murid tertawa kecil, meski jelas itu lebih ka
Elric merasa bahwa langkah selanjutnya tidak bisa diambil sembarangan. Tatapan dinginnya mengisyaratkan bahwa dia paham betul apa yang akan dihadapi oleh tim mereka. Harzan bukan hanya seorang pelatih keras, dia adalah mata-mata langsung dari kekaisaran, dan setiap langkah yang salah bisa berujung pada kehancuran mereka.Di salah satu ruangan asrama mereka yang sempit dan jauh dari pengawasan, Elric memulai diskusi. Dia duduk dengan serius, matanya memperhatikan tiga teman yang kini menjadi rekan sehidup semati."Kita tidak punya banyak waktu," kata Elric, suaranya tegas tapi pelan. "Harzan memberi kita peringatan, tapi aku yakin itu bukan peringatan biasa. Dia mungkin sedang menguji kita."Kyro, yang duduk bersandar di dinding, mengangguk perlahan. "Tapi apa sebenarnya yang dia maksud dengan 'jalan yang harus kita tempuh'? Apakah itu jebakan?"Daren menghela napas panjang. "Kita tahu Harzan adalah orang yang penuh rahasia. Tapi satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan kita berg
Malam yang Mencekam di Ruang ArsipPintu ruang arsip perlahan terbuka, menciptakan suara gemeretak kecil yang membuat Zidan dan Elric menahan napas. Cahaya obor menyinari ruangan yang sempit, menciptakan bayangan panjang di dinding. Dua penjaga masuk, matanya tajam menyapu setiap sudut."Sepertinya ada yang masuk," bisik salah satu penjaga, tangannya menggenggam erat tombak."Tidak mungkin. Ruang arsip ini selalu terkunci," balas yang lain, meskipun nada suaranya tidak begitu yakin. Dia melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, mengamati rak-rak yang penuh debu.Elric melirik Zidan, memberi isyarat untuk tetap diam. Mereka berdua meringkuk di balik tumpukan buku tua, menahan setiap gerakan agar tidak menciptakan suara. Zidan menggenggam peti kecil di tangannya erat-erat, seolah benda itu adalah kunci dari semua misteri yang mereka cari.Salah satu penjaga mendekat ke sudut tempat mereka bersembunyi. Langkahnya lambat, tapi penuh kewaspadaan. Jarak antara mereka kini hanya beberapa langka
Zidan menghela napas panjang saat mendengar suara Elric. "Aku tidak melarikan diri," katanya pelan, mencoba meredakan ketegangan. "Aku hanya mencoba mencari celah untuk keluar tanpa menarik perhatian. Ada seseorang di luar yang bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi di sini."Elric mendekat dengan langkah hati-hati, tatapannya penuh kecurigaan. "Seseorang? Kau berbicara tentang gurumu, bukan?"Zidan terkejut sejenak, tetapi dia tahu ini bukan waktu untuk menyangkal. "Iya," jawabnya jujur. "Kakek Suma. Dia mungkin satu-satunya orang yang tahu kelemahan Harzan dan rahasia kekuatan mengerikan ini. Kita tidak bisa bergerak buta, Elric."Elric terdiam, ekspresinya berubah dari curiga menjadi merenung. Akhirnya, dia berkata dengan nada dingin, "Kalau begitu, aku ikut. Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian."Zidan ingin menolak, tapi dia tahu bahwa Elric tidak akan menerima penolakan begitu saja. Lagipula, kehadiran Elric mungkin bisa menjadi pelindung tambahan jika se
Setelah melalui perjalanan panjang penuh darah dan pengorbanan, Zidan akhirnya berdiri di puncak kekuasaan. Dia tidak mendambakan tahta, tetapi takdir membawanya ke posisi itu. Sebagai pemimpin baru kerajaan Arzan, dia memikul beban yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.Hari-hari setelah kemenangan besar itu dipenuhi dengan pertemuan, keputusan, dan perubahan yang drastis. Zidan menyadari bahwa kerajaan yang baru harus dibangun dengan fondasi yang kokoh, bukan hanya dengan kekuatan alkemis, tetapi juga dengan keadilan dan kebijaksanaan yang benar-benar mengutamakan rakyat.Rakyat Arzan, yang dulu hidup dalam bayang-bayang ketakutan, kini mengangkat kepalanya. Di jalanan dan pasar, mereka menyebutnya dengan penuh hormat: Raja Zidan, meski ia lebih suka dianggap sebagai pelayan rakyat.Zidan berjalan menyusuri jalan-jalan kota Arzan, ditemani oleh beberapa pengawal dan anggota dewan penasihat. Di setiap sudut, warga menyapanya dengan hormat. Para ped
Zidan berdiri di tengah reruntuhan istana Arzan, menatap medan pertempuran yang kini mulai mereda. Udara masih dipenuhi debu, bau darah dan mesiu bercampur dengan angin malam yang dingin."Kyro, cari yang terluka dan kumpulkan mereka di pusat kota!" perintah Zidan, suaranya penuh kewibawaan meski kelelahan jelas terasa.Kyro mengangguk dan segera bergerak, bersama beberapa alkemis lain yang masih mampu berdiri."Asmar, periksa reruntuhan. Ada kemungkinan beberapa orang masih terjebak di bawah sana," lanjutnya.Asmar tanpa ragu mulai menggambar lingkaran alkemis di tanah. Dengan kekuatan alkeminya, batu-batu besar perlahan bergerak, membuka jalur bagi mereka yang mungkin masih hidup di bawah puing-puing.Di sisi lain, Kakek Suma memimpin pasukan alkemis yang tersisa, menahan sisa-sisa pengawal kerajaan yang menyerah. "Mereka yang menyerah, ikat dan kumpulkan. Kita akan menentukan nasib mereka nanti," katanya tegas.Zidan berjalan ke tengah kota yang porak-poranda. Beberapa warga sipil
Zidan menggenggam pedangnya erat, tubuhnya dipenuhi luka, tapi semangatnya tidak padam. Energi biru yang mengelilinginya berkobar semakin kuat, berdenyut seperti jantung yang penuh amarah.Makhluk bayangan itu menatapnya dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya mengangkat tangannya. Kabut hitam di sekelilingnya berputar seperti badai, membentuk tombak kegelapan raksasa."MATI!" raung makhluk itu, melemparkan tombak tersebut ke arah Zidan dengan kecepatan kilat.BOOM!Zidan melompat ke samping tepat sebelum tombak itu menghantam lantai, menciptakan kawah besar dan meruntuhkan sebagian dinding perpustakaan. Batu dan pecahan kayu beterbangan, menyelimuti medan pertempuran dengan debu tebal.Dari dalam kabut, makhluk itu melesat ke arah Zidan dengan kecepatan tak kasat mata!CLANG!Pedang Zidan bertemu dengan cakar hitam makhluk itu, menciptakan percikan energi yang menyilaukan. Tubuh Zidan terdorong ke belakang oleh kekuatan luar biasa, tapi dia tetap bertahan."Asmar! Beri dia dukungan!"
Zidan mengatur napasnya, darah mengalir dari luka di pelipisnya. Ia dan kelompoknya telah terpojok di dalam Perpustakaan Terlarang, dikelilingi oleh Zarif, Jenderal Morvath, dan pasukan kekaisaran. "Dinding mulai runtuh," bisik Kyro. "Kita tak bisa bertahan lama di sini." Asmar menekan luka di bahunya, matanya tajam mengamati Morvath. "Jadi ini rencana Kaisar? Menghapus seluruh jejak sejarah alkemis?" Morvath menyeringai. "Sejarah tidak lebih dari beban bagi yang lemah. Kaisar menginginkan kekuatan sejati." Zarif melangkah maju. "Tak perlu banyak bicara. Kita akhiri mereka sekarang." Zidan tidak menunggu. Dengan gerakan cepat, ia menjejak tanah, menciptakan gelombang energi yang menghantam lantai. Batu-batu berhamburan, menciptakan kabut debu yang menghalangi pandangan. "SEKARANG!" teriaknya. Kyro melemparkan bom asap, mempertebal kabut. Dalam kekacauan itu, Zidan berlari ke arah Morvath, mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tebasan itu hampir mengenai Morvath
Ruangan masih dipenuhi asap akibat ledakan. Zidan mengatur napasnya, matanya tetap waspada mengawasi tubuh Zarif yang tergeletak tak berdaya di lantai. Namun, ia tahu bahwa kemenangan ini hanya permulaan dari pertarungan yang lebih besar. "Asmar, kita harus pergi sekarang," ucap Zidan tegas. Asmar mengangguk. "Terowongan ini tidak akan bertahan lama. Kita harus menuju ke bagian terdalam istana sebelum pasukan lain datang." Mereka bergerak cepat melalui lorong bawah tanah, langkah mereka tergesa-gesa namun tetap berhati-hati. Zidan merasakan atmosfer yang semakin mencekam—seperti ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kegelapan. Saat mereka mencapai persimpangan lorong, suara langkah kaki mendekat dengan cepat. Zidan memberi isyarat agar semua berhenti. Dari kejauhan, terlihat sekelompok pengawal istana yang membawa obor, menerangi lorong yang remang. "Tidak ada jalan mundur," bisik Kyro, menggenggam belatinya erat. "Tidak," Zidan menggeleng. "Kita akan membuat mereka kehil
Dengan Asmar kini berada di sisi mereka, ketegangan semakin memuncak. Zidan tahu bahwa mereka sudah berada di ujung jurang—hanya dengan pergerakan cepat dan strategi yang cermat mereka bisa selamat. Namun, tantangan yang dihadapi tidak hanya fisik, tetapi juga banyak rahasia yang harus diungkap.Setelah mendiskusikan rencana mereka dengan Asmar, Zidan merasa seluruh beban tanggung jawab terletak di pundaknya. Kerajaan yang sudah begitu kuat dan pengkhianatan yang terjalin rapat membuat setiap langkah yang mereka ambil berpotensi menjadi jalan menuju kehancuran.Asmar mengisyaratkan agar mereka bergerak lebih cepat. "Pintu belakang sudah pasti telah dibuka. Kerajaan tidak akan lama lagi menyadari kita telah memasuki ruang bawah tanah ini. Kita harus menuju pusat kekuatan mereka—dan menemukan cara untuk menghentikan pertempuran alkemis yang telah mereka rencanakan."Zidan mengangguk dan dengan sigap memimpin kelompok menuju jalur yang lebih sempit dan
Baik! Saya akan melanjutkan cerita dengan lebih banyak ketegangan dan intrik. Berikut kelanjutannya:Zidan mengatur napasnya dengan hati-hati saat ia dan teman-temannya bersembunyi di balik bayangan dinding benteng Arzan. Mereka tahu bahwa setiap gerakan ceroboh bisa menarik perhatian pengawal yang berjaga ketat. Elric melirik ke arah Zidan, matanya penuh tanda tanya."Apa rencanamu sekarang?" bisik Elric.Zidan menghela napas, berpikir cepat. "Kita harus menciptakan gangguan. Jika kita hanya menunggu, kita akan terjebak di sini selamanya."Kyro mengangguk, matanya berbinar penuh keberanian. "Aku bisa membuat suara ledakan kecil dengan batu api dan bubuk mesiu yang kubawa. Itu bisa mengalihkan perhatian mereka cukup lama."Daren tersenyum tipis. "Baiklah, begitu mereka terpancing, kita harus bergerak cepat. Tapi bagaimana kita tahu jalur mana yang paling aman?"Zidan merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan secarik kertas peta yang ia dapatkan dari seorang informan sebelumnya. "Ada jalu
Zidan melangkah dengan hati-hati, matanya menyapu sekeliling lorong gelap yang dipenuhi bayangan. Nafasnya ditahan, mendengar langkah-langkah kaki yang mendekat. Ia merapat ke dinding, menunggu hingga suara itu menjauh sebelum melanjutkan perjalanan. Harzan telah mencurigainya, dan setiap gerak-geriknya kini dalam pengawasan. Namun, ia tak bisa mundur sekarang.Setelah bertemu Kakek Suma dan mendapatkan petunjuk penting, ia tahu bahwa keberadaannya di Akademi Arzan bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang melibatkan kekuatan tersembunyi yang bisa mengancam keseimbangan kekaisaran. Namun, sebelum ia bisa bertindak, ia harus memastikan keselamatan Daren, Kyro, dan Elric. Mereka bertiga mungkin belum tahu sepenuhnya bahaya yang mengintai, tetapi mereka adalah orang-orang yang bisa ia percayai.Di dalam kamar mereka, keheningan menggantung saat Zidan menceritakan apa yang ia ketahui. Daren duduk dengan ekspresi serius, sementara Kyro berkacak ping
Mereka berjalan mengikuti para prajurit dengan hati-hati. Meskipun berhasil lolos dari reruntuhan, Zidan merasa bahwa bahaya yang mengintai mereka belum selesai. Setiap langkah yang mereka ambil semakin terasa berat, seakan ada sesuatu yang menunggu di ujung lorong.Elric melirik ke arah Zidan. “Apa kau yakin mereka tidak mencurigai kita?” bisiknya pelan.Zidan menggeleng tanpa menjawab. Ia tidak bisa memastikan. Para prajurit ini mungkin terlihat netral, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa mereka bukan bagian dari rencana yang lebih besar?Saat mereka semakin dekat dengan pintu keluar, salah satu prajurit berhenti dan menoleh ke arah mereka. “Sebelum kalian pergi, aku harus melaporkan keberadaan kalian kepada atasan. Tidak ada murid yang seharusnya berada di sini.”Kyro mengepalkan tangannya. “Kami hanya tersesat, apakah itu benar-benar perlu?”Prajurit itu menatap Kyro dengan dingin. “Aturan tetap aturan.”Zidan bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Jika mereka dilaporkan