Setelah tantangan individu itu selesai, hubungan mereka semakin erat. Daren dan Kyro terus memuji Zidan atas ketenangannya di arena, sementara Elric yang biasanya sinis kini lebih sering diam, seolah merenungi sesuatu. "Sepertinya kau punya bakat alami untuk bertahan hidup, Zidan," ujar Kyro sambil menepuk bahu Zidan dengan penuh semangat. "Tapi aku penasaran, kau belajar dari mana semua itu?" Zidan hanya tersenyum tipis. "Aku banyak mengamati, itu saja." Namun, malam itu, ketika mereka sedang berkumpul di kamar, Elric akhirnya mengutarakan pikirannya. "Zidan, aku ingin bertanya," katanya dengan nada serius. Semua orang terdiam. Daren dan Kyro berhenti bercanda, menyadari bahwa pertanyaan ini mungkin penting. "Apa sebenarnya tujuanmu di sini?" Elric melanjutkan, matanya tajam menatap Zidan. "Kau tampak terlalu terlatih untuk seseorang yang berasal dari klan bawah." Zidan merasakan detak jantungnya meningkat. Namun, ia sudah mempersiapkan diri untuk momen seperti ini. "Tuju
Hubungan di antara Zidan, Daren, Kyro, dan Elric perlahan mencapai titik yang berbeda dari sebelumnya. Rasa curiga yang dulu sempat menghantui mereka—terutama dari Elric kepada Zidan—mulai memudar seiring dengan waktu yang mereka habiskan bersama dalam misi-misi berbahaya. Kepercayaan dan kekompakan mereka semakin tumbuh, tidak hanya sebagai teman satu tim, tetapi sebagai saudara seperjuangan. Setiap kali salah satu dari mereka terluka atau mengalami kesulitan, yang lain akan sigap memberikan bantuan. Daren, dengan sikap santainya, selalu berusaha menjaga semangat kelompok tetap tinggi. Kyro, yang penuh perhatian, sering kali menjadi perencana yang memastikan semua berjalan lancar. Elric, meskipun sering menyendiri, kini mulai lebih terbuka, bahkan menunjukkan rasa hormat kepada Zidan. Malam itu, saat mereka berkumpul di tenda setelah misi yang penuh tantangan, Daren membuka pembicaraan. "Aku tak pernah menyangka, kita bisa jadi sedekat ini. Awalnya aku pikir kita semua cuma akan
Malam itu, mereka masih berkumpul di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di halaman belakang barak pelatihan. Suasana terasa hangat, tidak hanya karena api yang menyala, tetapi juga karena rasa kebersamaan yang semakin erat di antara mereka. Daren memecah keheningan. "Hei, kalian tahu? Kalau kita terus seperti ini, aku yakin kita bisa jadi tim terbaik di akademi." Kyro tertawa kecil. "Tim terbaik? Kau serius, Daren? Kau bahkan masih kesulitan dengan gerakan dasar pedang." "Hei!" Daren menunjuk Kyro dengan garpu kayu yang sedang digunakannya untuk memanggang ubi. "Itu tidak adil! Setidaknya aku tidak tersandung saat mencoba menendang musuh!" Kyro mengangkat bahu, menahan tawa. "Itu cuma sekali, oke? Lagipula, aku langsung bangkit dan menebas mereka, ingat?" Elric, yang sejak tadi sibuk memoles bilah pedangnya, akhirnya angkat bicara. "Kalau kalian berdua mau jadi yang terbaik, mungkin kalian harus berhenti berdebat dan mulai berlatih lebih keras." "Ah, kau ini terlalu
Setelah serangan mendadak malam itu, akademi dikepung oleh suasana mencekam. Pagi harinya, para murid dikerahkan untuk misi baru. Para pelatih mengumumkan bahwa tim-tim kecil akan dikirim keluar akademi untuk menyelidiki asal serangan tersebut. Zidan, Daren, Kyro, dan Elric termasuk dalam salah satu tim yang dipilih. "Kita harus melacak jejak makhluk itu," perintah pelatih dengan nada tegas. "Misi ini penting untuk memastikan akademi tetap aman. Jangan ceroboh, dan ingat, kalian harus melaporkan setiap temuan tanpa melawan secara langsung." Saat mereka berempat berjalan menjauh dari akademi, Daren berbicara dengan nada penuh percaya diri. "Aku yakin kita bisa menyelesaikan ini dengan mudah. Kita sudah bekerja sama dengan baik selama ini." Kyro mengangguk, meskipun matanya tetap awas memperhatikan sekeliling. "Tapi kita tidak bisa meremehkan makhluk itu. Apa pun itu, tadi malam dia mengalahkan para penjaga dengan mudah." Elric tampak lebih tenang, namun pikirannya terus berputa
Setelah berhasil melarikan diri dari gua terlarang itu, Zidan dan teman-temannya kembali ke akademi dengan hati yang berat. Malam itu, suasana di kamar mereka dipenuhi oleh ketegangan. Elric, Daren, dan Kyro duduk melingkar di lantai, menatap Zidan yang berdiri di tengah ruangan dengan raut wajah serius."Baik," kata Zidan akhirnya, suaranya tenang tapi tegas. "Aku akan menjelaskan semuanya."Daren menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba memahami. "Kau seorang alkemis? Tapi bukankah itu... terlarang? Kenapa kau ada di sini? Apa kau memata-matai kami?""Tenang, Daren," ujar Kyro, meski dia sendiri terlihat ragu. "Kita beri dia kesempatan untuk menjelaskan."Zidan menarik napas panjang, lalu mulai berbicara. "Aku memang seorang alkemis, tapi aku bukan musuh kalian. Aku menyusup ke Arzan bukan untuk mendukung mereka, melainkan untuk menghentikan rencana besar yang sedang mereka persiapkan. Rencana yang akan menghancurkan lebih dari sekadar kerajaan kita masing-masing."Elric yang biasa
Suara kaki kuda begitu ramai, sebuah pasukan dari kerajaan datang menyerang desa teratai, Zidan yang saat itu sedang berlatih membuat pil pemulihan bersama sang Ayah segera lari ke rumah, sayangnya semua rumah yang ada di desa itu langsung di bakar, jika ada yang keluar dai rumah, orang itu langsung dibunuh oleh pasukan kerajaan tampa belas kasihan. “Ayah ayo kita keluar,” ucap Zidan yang tahu ia pasti akan terbakar jika terus di dalam rumah. Namun ia juga tak bisa keluar karena ada pasukan kerajaan, kebingung terus membuat Zidan panik. “Jika keluar sekarang pasukan kerajaan akan langsung membunuhmu,” ucap sang Ayah yang juga terlihat gelisah, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. “Tapi ayah, jika kita tetap disini, kita juga pasti akan mati,” ucap Zidan yang tak atah lagi api yang membakar rumahnya semaki terasa panas. Belum sempat Zidan dan ayahnya keluar suara sang ibu berteriak membuat Zidan kaget dari luar rumah pasukan itu membunuh adik dan ibunya, sang Ayah terpukul hin
Zidan dengan cepat berbalik untuk lari, rasa takut menguasai hatinya. Ia tidak tahu siapa yang baru saja meraih tangannya, namun bayangan akan pasukan kerajaan membuatnya panik. Langkahnya yang terseok-seok akibat luka-luka di tubuhnya tak menghalanginya mencoba melarikan diri. Namun tangan yang kuat itu berhasil menangkapnya. Dia membeku. Nafasnya tertahan saat mendengar suara tua dan serak berkata, “Kau mau kemana, dengan tubuh penuh luka seperti itu?” Suara itu berasal dari seorang kakek tua yang sekarang berdiri di hadapannya.Zidan terpaku, tidak berani bergerak. Ingin rasanya ia melarikan diri, tapi tangan kakek itu memegangnya dengan kuat. Perlahan-lahan, Zidan memutar tubuhnya, berbalik untuk melihat siapa yang telah menghentikannya. Matanya bertemu dengan sosok seorang kakek berusia lanjut, rambutnya memutih, wajahnya penuh kerutan, namun ada kelembutan yang terpancar dari senyumannya. Senyum itu, entah bagaimana, mengusir sebagian rasa takut di hati Zidan."Kau takut padaku?
Kakek itu terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Dunia ini tak sesederhana itu, Nak. Tidak semua orang setuju dengan kerajaan. Kadang kita harus menolong seseorang, bukan karena apa yang mereka lakukan, tapi karena mereka membutuhkan pertolongan. Dan kau, Nak, jelas membutuhkan pertolongan.”Zidan terdiam. Kata-kata kakek itu begitu dalam dan penuh makna. Untuk pertama kalinya sejak tragedi di desanya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya tanpa memperdulikan siapa dia atau apa yang telah terjadi. Dia hanya seorang bocah yang terluka, dan kakek ini hanya ingin menolongnya.“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Zidan pelan.“Tak perlu berkata apa-apa,” jawab kakek itu. “Sekarang istirahatlah, dan biarkan tubuhmu sembuh.”Zidan mulai memejamkan mata rasa nyaman membuatnya ingin sekali beristirahat, hari-hari kemarin begitu berat, kini ia bisa sedikit lega, karena ia bisa bersembunyi dalam hutan. Meski masih banyak pertanyaan tentang siapa kakek itu sebenarnya,
Setelah berhasil melarikan diri dari gua terlarang itu, Zidan dan teman-temannya kembali ke akademi dengan hati yang berat. Malam itu, suasana di kamar mereka dipenuhi oleh ketegangan. Elric, Daren, dan Kyro duduk melingkar di lantai, menatap Zidan yang berdiri di tengah ruangan dengan raut wajah serius."Baik," kata Zidan akhirnya, suaranya tenang tapi tegas. "Aku akan menjelaskan semuanya."Daren menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba memahami. "Kau seorang alkemis? Tapi bukankah itu... terlarang? Kenapa kau ada di sini? Apa kau memata-matai kami?""Tenang, Daren," ujar Kyro, meski dia sendiri terlihat ragu. "Kita beri dia kesempatan untuk menjelaskan."Zidan menarik napas panjang, lalu mulai berbicara. "Aku memang seorang alkemis, tapi aku bukan musuh kalian. Aku menyusup ke Arzan bukan untuk mendukung mereka, melainkan untuk menghentikan rencana besar yang sedang mereka persiapkan. Rencana yang akan menghancurkan lebih dari sekadar kerajaan kita masing-masing."Elric yang biasa
Setelah serangan mendadak malam itu, akademi dikepung oleh suasana mencekam. Pagi harinya, para murid dikerahkan untuk misi baru. Para pelatih mengumumkan bahwa tim-tim kecil akan dikirim keluar akademi untuk menyelidiki asal serangan tersebut. Zidan, Daren, Kyro, dan Elric termasuk dalam salah satu tim yang dipilih. "Kita harus melacak jejak makhluk itu," perintah pelatih dengan nada tegas. "Misi ini penting untuk memastikan akademi tetap aman. Jangan ceroboh, dan ingat, kalian harus melaporkan setiap temuan tanpa melawan secara langsung." Saat mereka berempat berjalan menjauh dari akademi, Daren berbicara dengan nada penuh percaya diri. "Aku yakin kita bisa menyelesaikan ini dengan mudah. Kita sudah bekerja sama dengan baik selama ini." Kyro mengangguk, meskipun matanya tetap awas memperhatikan sekeliling. "Tapi kita tidak bisa meremehkan makhluk itu. Apa pun itu, tadi malam dia mengalahkan para penjaga dengan mudah." Elric tampak lebih tenang, namun pikirannya terus berputa
Malam itu, mereka masih berkumpul di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di halaman belakang barak pelatihan. Suasana terasa hangat, tidak hanya karena api yang menyala, tetapi juga karena rasa kebersamaan yang semakin erat di antara mereka. Daren memecah keheningan. "Hei, kalian tahu? Kalau kita terus seperti ini, aku yakin kita bisa jadi tim terbaik di akademi." Kyro tertawa kecil. "Tim terbaik? Kau serius, Daren? Kau bahkan masih kesulitan dengan gerakan dasar pedang." "Hei!" Daren menunjuk Kyro dengan garpu kayu yang sedang digunakannya untuk memanggang ubi. "Itu tidak adil! Setidaknya aku tidak tersandung saat mencoba menendang musuh!" Kyro mengangkat bahu, menahan tawa. "Itu cuma sekali, oke? Lagipula, aku langsung bangkit dan menebas mereka, ingat?" Elric, yang sejak tadi sibuk memoles bilah pedangnya, akhirnya angkat bicara. "Kalau kalian berdua mau jadi yang terbaik, mungkin kalian harus berhenti berdebat dan mulai berlatih lebih keras." "Ah, kau ini terlalu
Hubungan di antara Zidan, Daren, Kyro, dan Elric perlahan mencapai titik yang berbeda dari sebelumnya. Rasa curiga yang dulu sempat menghantui mereka—terutama dari Elric kepada Zidan—mulai memudar seiring dengan waktu yang mereka habiskan bersama dalam misi-misi berbahaya. Kepercayaan dan kekompakan mereka semakin tumbuh, tidak hanya sebagai teman satu tim, tetapi sebagai saudara seperjuangan. Setiap kali salah satu dari mereka terluka atau mengalami kesulitan, yang lain akan sigap memberikan bantuan. Daren, dengan sikap santainya, selalu berusaha menjaga semangat kelompok tetap tinggi. Kyro, yang penuh perhatian, sering kali menjadi perencana yang memastikan semua berjalan lancar. Elric, meskipun sering menyendiri, kini mulai lebih terbuka, bahkan menunjukkan rasa hormat kepada Zidan. Malam itu, saat mereka berkumpul di tenda setelah misi yang penuh tantangan, Daren membuka pembicaraan. "Aku tak pernah menyangka, kita bisa jadi sedekat ini. Awalnya aku pikir kita semua cuma akan
Setelah tantangan individu itu selesai, hubungan mereka semakin erat. Daren dan Kyro terus memuji Zidan atas ketenangannya di arena, sementara Elric yang biasanya sinis kini lebih sering diam, seolah merenungi sesuatu. "Sepertinya kau punya bakat alami untuk bertahan hidup, Zidan," ujar Kyro sambil menepuk bahu Zidan dengan penuh semangat. "Tapi aku penasaran, kau belajar dari mana semua itu?" Zidan hanya tersenyum tipis. "Aku banyak mengamati, itu saja." Namun, malam itu, ketika mereka sedang berkumpul di kamar, Elric akhirnya mengutarakan pikirannya. "Zidan, aku ingin bertanya," katanya dengan nada serius. Semua orang terdiam. Daren dan Kyro berhenti bercanda, menyadari bahwa pertanyaan ini mungkin penting. "Apa sebenarnya tujuanmu di sini?" Elric melanjutkan, matanya tajam menatap Zidan. "Kau tampak terlalu terlatih untuk seseorang yang berasal dari klan bawah." Zidan merasakan detak jantungnya meningkat. Namun, ia sudah mempersiapkan diri untuk momen seperti ini. "Tuju
Misi pengintaian yang diberikan pelatih Gerdan ternyata jauh lebih menantang dari yang mereka bayangkan. Tim Zidan, Elric, Daren, dan Kyro diberi tugas untuk mengumpulkan informasi di perbatasan hutan lebat yang memisahkan wilayah akademi dengan salah satu markas kecil Arzan. Hutan itu terkenal dengan jebakan alami dan rumor tentang makhluk buas yang berkeliaran di malam hari.Saat mereka memulai perjalanan, Elric terlihat lebih pendiam dari biasanya. Sikapnya membuat Daren tak tahan untuk menggodanya. "Hei, Elric, kau takut dengan hutan ini? Jangan khawatir, ada aku di sini!" katanya dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.Elric hanya meliriknya, kemudian menghela napas. “Aku tidak takut pada hutan, Daren. Aku hanya berpikir... tugas ini terlalu berisiko untuk murid seperti kita.”Zidan, yang berjalan di depan, menoleh. “Itu benar. Tapi kita tidak punya pilihan selain menyelesaikannya.”Kyro menepuk bahu Elric. “Hei, kita akan baik-baik saja. Kau lupa siapa yang ada di tim
Hari-hari berlalu, dan keadaan Elric perlahan membaik. Wajahnya yang sebelumnya pucat kini mulai memerah kembali, dan kekuatan tubuhnya mulai pulih. Zidan, Daren, dan Kyro terus memberikan perhatian penuh, bahkan di luar jadwal latihan mereka. Mereka membagi tugas: Daren memastikan Elric makan dengan cukup, Kyro mengurus obat dan ramuan sederhana, sementara Zidan diam-diam mencari cara agar mereka bisa tetap melindungi Elric tanpa menarik perhatian pelatih atau murid lain.“Kalian benar-benar merepotkan diri untukku,” ujar Elric pada suatu pagi, ketika mereka sedang berkumpul di kamar. Suaranya terdengar tulus, meski masih ada sedikit rasa bersalah.“Kau itu bagian dari tim kami,” balas Kyro dengan senyum lebar. “Kalau kau tidak ada, siapa lagi yang akan menjawab soal-soal teori sulit itu?”Daren tertawa, menepuk bahu Elric dengan penuh semangat. “Dan siapa lagi yang akan menjadi pengingat bahwa kita tidak boleh terlalu banyak bermain-main?”Elric tersenyum kecil. Ia merasa diterima,
Latihan hari berikutnya berjalan lebih keras dari biasanya. Pelatih utama, seorang pria berusia paruh baya bernama Gerdan, terkenal dengan metode latihannya yang brutal. Tidak ada toleransi untuk kesalahan, tidak ada belas kasih bagi yang lemah. Para murid dihadapkan pada serangkaian latihan fisik yang menguras tenaga, disertai ujian teknik bertarung tanpa henti. Elric, meskipun dikenal cerdas, sering kali kesulitan menghadapi tekanan fisik yang ekstrem. Pagi itu, ia menjadi sasaran kemarahan Gerdan. "Elric!" panggil Gerdan dengan nada tajam, matanya menatap tajam ke arah murid itu. "Apa kau pikir ini tempat untuk bersantai? Gerakanmu lambat, seperti orang yang baru belajar berjalan!" Elric mencoba mengabaikan hinaan itu. Dengan pedang di tangannya, ia berusaha menunjukkan teknik terbaiknya dalam duel latihan melawan murid senior. Namun, lawannya terlalu kuat, dan Elric terjatuh beberapa kali. "Apa ini? Lemah sekali!" Gerdan melangkah maju, mengayunkan tongkat kayu panjangnya. "Ba
Zidan memegang erat pedangnya, bersiap menghadapi serangan pertama yang pasti akan datang. Kyro dan Daren berdiri di sampingnya, masing-masing menyiapkan senjata mereka. Elric tampak tidak begitu terkejut, namun tatapan matanya tetap tajam, mempersiapkan diri untuk apa pun yang mungkin terjadi. Seorang pembunuh dari Bayang Pelindung maju lebih dekat, matanya yang tajam penuh dengan ancaman. “Kalian tidak punya tempat untuk lari. Menyerahlah dan kalian akan cepat mati,” katanya dengan suara dingin, seolah sudah terbiasa mengakhiri hidup orang dengan sekejap. Zidan tahu bahwa waktu tidak lagi berpihak pada mereka. Ia tidak bisa membiarkan mereka bertahan hidup atau membiarkan mereka menyebarkan informasi tentang mereka. Dalam sekejap, Zidan mengayunkan pedangnya dengan cepat, mengarah ke salah satu pembunuh yang berada di depan. Gerakan Zidan begitu halus dan cepat, membuat lawannya tidak sempat menghindar. Namun, pembunuh itu dengan cekatan menghindar, melompat mundur dan menurunk