"Ibu terlalu sulit mengikhlaskanmu, meski Ibu tak mungkin memintamu kembali," lirih Ibu Ana hampir tak terdengar. Zia tersenyum kecut. Apa jadinya jika dia sampai kembali dengan Aiman, melihat Aiman masih menyimpan rasa padanya saja, Sintia sampai mengamuk. Pikir Zia. "Doakan saja, Bu, semoga Sintia bisa menjadi istri yang baik, menjadi menantu yang baik untuk Ibu. Bukankah, kita tak pernah tahu tentang masa depan?!" Zia berusaha menyemangati. Ibu Ana menggeleng pelan. "Mereka bahkan sudah berpisah, Zi."Kilimat lirih bernada sesal itu berhasil membuat Zia tersentak. Ada sedikit kekhawatiran di sudut hatinya."Apa maksud Ibu?" tanya Zia seolah tak paham. "Iya, Zi. Semalam Aiman ke sini, dan mengatakan jika mereka sudah berpisah." Ibu Ana memperjelas kalimatnya. Aiman menunduk, tangan kanannya menutup wajah seolah tengah menahan malu pada Zia, meski kenyataannya Zia sama sekali tak melihat keberadaannya. Zia memaksa bibirnya untuk tersenyum. Nafsu manusianya ingin sekali menertaw
Mata sayu Ibu Ana kini berkaca-kaca, membuat Zia tak sanggup lagi menolaknya. "Bu …," panggil Zia lembut. "Ibu ikhlas kalau Zia memanfaatkannya untuk umat?" lanjutnya dengan suara pelan. Senyuman terbit di bibir yang mulai ditumbuhi keriput. Hatinya lega mendengar pertanyaan Zia barusan. "Ikhlas, Zi. Bahkan sangat ikhlas. Ibu berharap kau bisa memanfaatkannya dengan baik, Nak." Bulir bening itu luruh di pipi Ibu Ana. "Baiklah, Bu. Sebagian akan Zia belikan mushaf qur'an untuk dibagikan kepada para santri di tempat Zia mengajar, sekaligus untuk tambahan biaya renovasi ruang kelasnya juga. Dan insya Allah akan Zia niatkan pahalanya untuk Ibu dan Ayah juga almarhum orang tua Zia." Zia menunduk. Bulir bening berjejalan ke luar. Ia bersedih karena belum mampu beramal lewat harta lebih banyak lagi untuk kedua orang tuanya. Selama ini hanya do'a yang mampu ia kirimkan lewat senyapnya malam, atau gemericik hujan. Ibu Ana merangkul Zia, membawanya dalam pelukannya. Hatinya luruh mendengar
Matanya tak henti menelisik setiap garis wajah Zia. Ia begitu rindu untuk membelai wajah lembut dengan mata teduh itu. Ia rindu menatap senyum dari bibir tipis itu. Ia rindu semua tentang mantan istrinya itu. "Satu hal yang harus kau tahu, Zi, hati ini tak pernah bisa melupakanmu. Hati ini masih saja menginginkanmu untuk kembali, kembali menyatu dalam rasa yang sama. Terserah apa yang akan kau katakan tentangku, Zi. Namun yang pasti, rasa itu masih tetap ada hingga saat ini."Zia tersenyum hambar, sehambar rasanya untuk mantan suaminya itu. "Maaf, kumohon jangan mengulang lagi sesuatu yang telah lalu. Bahkan berada dalam jarak sedekat ini saja mampu membuatku kembali merasa terluka."Zia menggigit bibir bawah cukup kuat, hatinya terlalu sakit mendengar kata demi kata dari bibir Aiman yang tertuju padanya. Kenapa malam itu dirinya seolah begitu tak berharga di mata laki-laki itu, sehingga dengan entengnya Aiman mentalaknya. Namun setelah mereka berpisah, Aiman kembali memohon agar ia
Tak ada lagi air mata yang ke luar, air matanya seolah mengering seiring kerapnya luka yang Wisnu ciptakan untuknya. Jika saja bukan karena anak-anak, maka sudah sejak awal ia pergi dari kehidupan laki-laki yang enam tahun lalu resmi menjadi suaminya. "Apa dengan perempuan bernama Sintia?" tanya Lusi dengan nada datar. Bukan, bukan karena ia tak peduli, hanya saja ia tengah berusaha menekan gejolak di dada yang seakan ingin segera meledakkan amarah. "Iya." Wisnu terdengar mantap. Lusi berpikir sejenak, mencari syarat yang tepat agar ia bisa bebas dari laki-laki tak berperasaan seperti Wisnu dengan hati tenang. "Silakan. Aku tak akan menghalangimu, dengan syarat, kau bisa menganggap aku dan ketiga putraku telah mati."Wisnu mematung di tempat, berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. Lusi bahkan tak lagi menyebutnya dengan panggilan seperti biasanya. Ya, mereka memang sepakat untuk tetap menampakkan kemesraan mereka di depan anak-anak. Hati Wisnu berdesir, bagaimana pun baj
Di dalam kamarnya, Farid menghabiskan hari minggunya dengan tiduran. Rindu yang tak mampu ia bendung membuatnya hanya berdiam diri meratapi hati yang tak kunjung berlabuh. Beberapa kali laki-laki berkulit putih dengan alis bertaut itu merubah posisi baringnya di tempat tidur. Sebentar terlentang, beberapa saat kemudian berbaring miring, hingga beberapa menit selanjutnya menjadi terlungkup. Suasana hatinya sangat tak nyaman. Rindunya pada perempuan bermata teduh itu kian menyiksanya. Meninggalkan rasa yang tak mampu ia ceritakan selain pada Rabb-nya. Zia, nama yang tak pernah bosan ia sebut dalam setiap do'a-do'anya. Nama yang selalu ia pinta pada Tuhan-nya untuk dapat membuka hati atas segala rasa yang ia miliki. Nama yang selalu ia langitkan untuk kesembuhan hatinya. Sesuai permintaan sang adik, Farid kini berusaha memantaskan diri untuk perempuan berwajah lembut dengan mata teduh itu. "Sampai kapan, Zi? Sampai kapan kau akan membuka hati untuk menerima lamaranku?" Farid menceng
"Zi … sebenarnya, Ustadzah manggil kamu ke sini ada sesuatu yang ingin Ustadzah sampaikan." Ustadzah Khofifah memulai kalimatnya dengan senyum penuh makna. Zia menautkan alis, menatap heran pada istri pimpinan yayasan tempatnya bekerja. Wajah lembut itu semakin terlihat manis saat menampilkan wajah herannya. "Boleh Zia tahu, Ustadzah?" tanya Zia santun. Beberapa saat Ustadzah Khofifah hanya diam, mencari kata yang tepat untuk melanjutkan kalimat yang sudah ia mulai. "Zi, apa kau sudah memiliki calon pendamping?" tanya Ustadzah Khofifah pelan.Deg. Degub jantung Zia berpacu lebih cepat. Kepalanya sibuk mencerna kelanjutan kalimat Ustadzah Khofifah yang baru saja menembus gendang telinganya. Mata teduh itu menatap takzim Ustadzah Khofifah. Detik ini ia merasa jadi serba salah. Sulit baginya menjawab pertanyaan yang keluar dari bibir perempuan di hadapannya kini. "Zi, kau tak perlu ragu. Saya tidak akan memaksamu untuk mengatakan tidak atau sebaliknya." Perempuan bertubuh lebih ber
"Kau mau ke mana?" tanya Wisnu setelah puas menatap perubahan pada diri sang istri. "Ke luar, ada acara ultah temen," jawab Lusi jujur. Perempuan itu tak biasa berbohong meski dengan laki-laki tak berhati di hadapannya itu. "Kenapa acaranya jam segini? Setengah jam lagi magrib, trus nanti kalau anak-anak nyariin gimana?" Wisnu seperti keberatan. Ia tak rela ada laki-laki lain yang akan tertarik dengan istrinya itu meski kini ia telah memiliki Sintia lagi. "Magrib 'kan bisa numpang sholat di masjid atau di mana aja. Kalau masalah anak-anak semuanya udah kelar. Tinggal berangkat." Lusi berucap ringan dengan alis naik turun seolah tak ada beban pada kalimatnya. "Bilang saja kalau mau cari laki-laki penggantiku di luar sana." Wisnu mulai naik darah mendengar jawaban Lusi barusan. Lusi tersenyum sinis. Jika selama ini ia hanya diam dengan memendam luka, namun tidak untuk kali ini. Setelah Wisnu meminta untuk berpisah dan akan menikah dengan Sintia, keberanian di hati perempuan yang bia
Mata teduh dengan bulu lentik itu menelisik bagian luar map. Hatinya masih bimbang untuk membukanya. Namun, ia tetap tak ingin mengecewakan nasihat Ustadzah Khofifah sore tadi. Baginya, semua nasihat perempuan lembut nan tegas itu benar adanya. Dengan hati berdesir, tangan kanan Zia mulai membukanya. Menatap lembaran dengan deretan huruf abjad yang tertata rapi dalam satu ukuran. Lidah Zia terasa kelu bersamaan dengan desir yang terasa tak biasa di relung sana, manakala pandangannya tertuju pada deretan huruf sebagai perangkai nama laki-laki yang berniat mengkhitbahnya. "Miftah Farid Maulana." Zia tersenyum manis. Ada getar yang tiba-tiba menjalar di relung sana saat tahu siapa pengirim CV yang kini membentang di hadapannya. Foto laki-laki dengan koko kurta putih itu terlihat begitu sempurna. Rambut tebal hitam pekat Farid dengan wajah tirus dan bibir tipisnya, membuat Zia memalingkan pandangan pada deretan huruf-huruf di lembaran lainnya. Tak sanggup rasanya lebih lama lagi mena
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti