Zia bangkit untuk duduk. Mendengar kabar dari Tiara barusan membuat jantungnya berdetak lebih cepat. "Ya Allah, jadi kau sebenarnya yang menjadi incarannya, Ti?" tanya Zia dengan wajah berubah panik. Sekarang bukan lagi rasa panik karena mendengar berita nahas itu, melainkan kabar dari Tiara yang menyebutkan jika laki-laki itu tertusuk karena berusaha menghalanginya dari penusukan. Artinya Tiara-lah sasaran utama si penusuk. "Iya, Kak," jawab Tiara singkat. Suaranya masih terdengar bergetar. Ketakutan yang sebelumnya menderanya kini masih belum seutuhnya hilang. "Sekarang kamu di mana, Ti?" tanya Zia khawatir. "Di Rumah Sakit Kasih Ibu, Kak.""Sekarang bagaimana keadaan temanmu?" tanya Zia masih dengan nada cemas. "Syukurnya nggak sampe kena perut bagian dalamnya, Kak. Karena dia nubruk tubuhku yang menjadi sasaran si penusuk akhirnya pisaunya Mengenai lengan dan bagian rusuknya, Kak. Sekarang masih di UGD mungkin sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang rawat.""Baiklah, nanti Ka
Rintik hujan sudah berhenti, menyisakan aspal yang masih menghitam serta aroma tanah basah yang menguar. Dengan kecepatan sedang Farid melajukan kendaraan roda empatnya menuju rumah sakit tempat Tiara berada. Farid fokus mengemudi sedangkan Zia terlihat sibuk melafadzkan dzikir, dengan jari-jemari terus memutar bulir tasbih berwarna hitam di tangannya. "Mau mampir beli sesuatu untuk dibawa?" tawar Farid pada Zia. Zia mengangguk. Tak lama setelahnya mobil Farid berhenti di sebuah mini market. Zia membeli satu botol air mineral kemasan besar, satu liter jus jambu kemasan, serta dua bungkus roti tawar serta selai coklat dan blueberry untuk ia bawa ke rumah sakit. Sepuluh menit berselang mobil Farid memasuki pelataran rumah sakit yang dimaksud. Lalu turun setelah mobil terparkir sempurna. Farid meraih bungkusan yang tadi mereka beli, menentengnya dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya menggandeng tangan Zia. Keduanya berjalan melewati lorong rumah sakit dengan tangan saling
Tiara beranjak dari duduknya setelah kedatangan keluarga Miko, pun dengan Zia. Ibu Rinda—ibunya Miko menghambur ke arah sang anak tanpa peduli pengunjung lainnya. Kekhawatirannya dengan keadaan sang anak membuat Ibu Rinda seolah tak melihat keberadaan yang lain di ruangan itu. Ibu Rinda sendiri tak tahu bagaimana keadaan Miko karena saat menelpon Miko hanya mengatakan dirinya mengalami kecelakaan kecil dan terluka sedikit. Namun, naluri seorang ibu tetaplah khawatir, terlebih keberadaan Miko yang sedang berada di rumah sakit. Dalam benak Ibu Rinda keadaan Miko pasti parah karena dilarikan ke rumah sakit. Syukurnya ia bisa sedikit lebih tenang karena melihat perban hanya pada lengan kanan dan dada Miko saja. Rahma sempat melihat keadaan Miko lalu memilih bertegur sapa dengan pengunjung ruang rawat Miko beberapa saat. Terlebih ia mengenal Zia dengan baik dan juga kenal Tiara meski belum terlalu lama. Tiara nampak diliputi tanya saat melihat Rahma bersama Ibu Rinda. "Mungkinlah Us
"Aku bicara jujur," ucap Miko dengan senyum mengembang. Kali ini ia merasakan sikap angkuh Tiara yang biasa ia lihat musnah, menyisakan nada suara yang terasa hangat. Tiara tersenyum kecut. Kagum dan iba bercampur menjadi satu di sudut sana. Sesaat kemudian ia tertunduk dalam. Matanya menatap jari-jemari miliknya yang kini saling bertaut. "Harusnya akulah yang berterima kasih. Jika tak ada kamu tadi … ah entahlah. Aku bahkan tak sanggup membayangkannya." Tiara menunduk. Ada rasa tak nyaman pada laki-laki baik itu. Mata Tiara tertumpu pada jari manisnya yang kini terselip cincin Aiman. Jika saja cincin ini belum melingkar di sana mungkin ia tak akan merasa sebersalah ini. Pelan ia menghela napas dalam. Mengangkat wajahnya kembali menatap Miko. Entah ke mana wajah menyebalkan itu pergi. Kini yang Tiara lihat adalah wajah tulus nan teduh. Miko menatap sendu wajah perempuan yang telah membuat hatinya seolah terkurung. Tiara memang tak terlalu cantik di matanya, tapi sikap tenang dan
Ingin rasanya ia mengatakan jika bersama Aiman hidup Tiara terlalu berisiko, tapi lagi-lagi kalimat itu hanya menggumpal di kepalanya. Miko memejamkan mata beberapa saat. Berusaha menguatkan hatinya agar bisa berlapang dada menerima kenyataan di depan matanya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk memperjuangkan rasanya pada Tiara. Hatinya belum siap kehilangan Tiara saat ini. Perempuan itu kini tertunduk. Menatap getir kedua lututnya dengan hati berdesir, desir yang membuatnya tak nyaman. "Aku pun tak tahu harus bagaimana," lirih Tiara dengan suara tercekat di tenggorokan. Hening. Tak ada lagi percakapan antara mereka. Masing-masing sibuk dengan isi kepala masing-masing. Miko merasakan Tiara menyembunyikan sesuatu darinya. Hingga ia memilih diam karena tak ingin hatinya lebih terluka lagi dengan kalimat-kalimat Tiara yang akan membuatnya lebih merasa kehilangan. Jika saja hati bisa memilih ke mana akan berlabuh, maka sudah pasti laki-laki itu tak akan mau ditakdirkan meja
Sinar matahari pagi baru saja menampakkan semburat kekuningan di ufuk timur. Zia mematung dengan mata membulat saat membaca pesan Tiara. Ia memang baru saja menghidupkan kembali sinyal ponselnya setelah semalam ia matikan. Pesan yang Tiara kirim sejak pukul sepuluh malam. Mengabarkan jika dua orang penusuk yang dibayar untuk mencelakai Tiara sudah tertangkap dan dalangnya pun sudah diketahui, Sintia. Persis kecurigaan mereka, jika Sintia-lah yang menjadi pelaku utama kejadian nahas yang mengakibatkan Miko masuk rumah sakit. Pesan selanjutnya membuat Zia merasakan persendiannya melemah, hingga tubuhnya terduduk lemas di lantai. Tiara mengirimkan video kecelakaan sebuah sedang berwarna merah dengan sebuah truk. Nampak mobil sedan terlihat ringsek dengan bagian depan mobil hancur tak berbentuk. Zia merasakan tubuhnya semakin lemas ketika mengingat mobil yang ada dalam video persis dengan mobil Sintia. Namun, berusaha ia menolak pikirannya sendiri karena ia sendiri tak hafal plat mob
"Do'akan saja yang terbaik bagi Sintia, serta do'akan semoga segera mendapat hidayah." Farid berucap serius. Jauh di relung hatinya kalimat terakhir yang ia ucapkan akan menjadi doa yang diijabah. Agar tak ada lagi korban hati maupun fisik yang disebabkan Sintia. Zia hanya mengangguk pelan. Empat puluh menit berselang mobil Farid dan Tiara memasuki parkiran rumah sakit daerah tempat Sintia berada. Ketiganya turun hampir dalam waktu bersamaan. Tiara sengaja tidak mengabari Aiman. Menurutnya ini bukan saat yang tepat untuk datang bersama laki-laki itu. Tiara melangkah di depan, sedangkan Farid dan Zia mengekor di belakang. Ketiganya melangkah menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU, tempat di mana Sintia berada. Tiara sengaja berjalan sebiasa mungkin dan tidak terburu-buru. Bukan karena tak panik, tapi ia tak ingin Zia ikut mengejar langkahnya. Khawatir membahayakan keadaan Zia. Kurang dari lima menit mereka berjalan dari parkiran kini di depan sana nampak ruang ICU rumah sak
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti