Kemana Popok Bayiku?
Loh … lemarinya kok kosong?" ucapku terkejut ketika melihat isi dalam lemari bayiku sudah tak ada lagi. Kemana semua popok dan baju bayiku? Jangan-jangan ….
Aku bergegas berlari ke luar kamar mencari Bang Faiz.
"Bang … Bang Faiz!" teriakku memanggil Bang Faiz.
"Hei … Ratna, baru sampai sudah teriak-teriak. Ada apa?" tanya Mama mertuaku ketus.
"Ratna mencari Bang Faiz, Ma. Mama melihatnya?" Mama hanya mengangkat bahu dan mencebikkan bibirnya.
"Untuk apa mencari Bang Faiz? Bukankah dari tadi dia bersama Kakak?" ucap Maya dari bang pintu kamarnya.
"Ada apa, Ratna? Abang ambil minum di dapur." Bang Faiz keluar dari dapur.
"Itu Bang, kemana semua popok-popok dan baju-baju bayi yang kusimpan di lemari? Lemarinya kosong!" ucapku panik.
"Oo … itu. Eeee … anu—"
"Mama sumbangkan ke panti asuhan." Mama memotong ucapan Bang Faiz.
"Mama menyumbangkannya? Kok gak ngomong dulu sama Ratna, Ma? Itukan punya Ratna, Ma." Aku kesal pada Mama yang lancang mengambil barang milikku.
"Untuk apa disimpan-simpan lagi, Ratna? Bayimu sudah tidak ada. Kau harus terima kenyataan," ucap Mama lantang. Dadaku naik turun menahankan emosi. Aku tak menyangka Mama selancang itu.
"Walau bagaimana pun, seharusnya Mama izin dulu padaku," ucapku tak kalah lantang.
"Woww … baru beberapa bulan tinggal di rumah orang tuamu, kau sudah berani mengatur-atur Mama, ya! Uang siapa yang kau pakai untuk membeli popok itu, hah? Uang Faiz, bukan? Jadi, jangan atur-atur apa yang harus Mama lakukan! Faiz! Ajari istrimu bersopan santun pada Mama." Mama melirik ke arah Bang Faiz, lalu meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya.
"Sudahlah, Sayang. Biarlah popok-popok itu disumbangkan ke panti asuhan. Lebih bermanfaat dari pada kita simpan, lama-lama di dalam lemari, mubazir, malah jadi dosa, kan?" Bang Faiz mencoba menenangkanku.
"Tapi, Bang. Mama tak menyisakan sehelai pun," gerutuku.
"Sudahlah, nanti kita beli lagi. Yang penting, usaha kita tidak berhenti untuk mencari keberadaan putri kecil kita." Bang Faiz mengajakku masuk ke dalam kamar.
"Ada yang ingin kutanyakan pada Abang," ucapku sembari meletakkan bobotku di tepi ranjang.
"Hemmm, apa itu, Dek?" Bang Faiz menatap sendu wajah ini. Kukeluarkan benda pipih berukuran 5 inci dari saku gamisku. Kubuka foto yang kemarin dikirimkan Vera kepadaku.
"Ini, Bang, bisa Abang jelaskan tentang foto ini? Ada hubungan apa Abang dengan Cintya?" tanyaku penasaran. Bang Faiz menatap lekat ke arah layar gawaiku.
"Oohh … itu, ya, kemarin Abang memang bertemu dengan Cintya. Dia sedang berbelanja dan barang belanjaannya banyak sekali. Jadi Abang bantu mendorong kereta bayinya sampai ke parkiran," ucap Bang Faiz tenang. Dari sorot matanya, aku tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Apakah Bang Faiz jujur dengan ucapannya?
"Tapi … kenapa harus kereta bayinya yang Abang dorong, bukan membawakan belanjaannya saja?" tanyaku kesal. Bang Faiz tersenyum.
"Abang rindu pada anak kita, makanya begitu melihat anak Chintya Abang serasa melihat putri kecil kita. Jadi, Abang minta izin pada Chintya untuk mendorong kereta bayi itu. Percaya pada Abang ya, Sayang! Abang sangat mencintaimu, tak mungkin Abang berkhianat." Bang Faiz lagi-lagi menjawab dengan tenang.
Aku mencerna kata-kata Bang Faiz. Ada benarnya juga apa yang dikatakannya. Mungkin aku saja yang terlalu curiga padanya.
"Lain kali jangan dorong-dorong kereta bayi wanita lain ya, Bang," ucapku sembari mengerucutkan bibir ini. Bang Faiz tertawa lalu memelukku erat.
"Ya sudah, Abang balik ke toko, ya!" Bang Faiz segera beranjak dari kamar.
Aku melangkah menuju dapur, berharap ada sesuatu yang dapat dimakan, karena tadi siang aku hanya makan sedikit. Pikiranku yang tak menentu membuat aku tak bersela untuk makan.
"Cari apa, Kak?" Aku terkejut dengan suara Maya yang lumayan tinggi. Baru saja aku mengangkat tudung saji.
"Kakak lapar, May. Tadi hanya makan sedikit," jawabku.
"Enak ya, datang-datang langsung mau makan. Kalau mau makan, Kakak masak dululah. Di sini tak ada pembantu yang bisa melayani, Kakak," ucap Maya sembari melangkah meninggalkanku di ruang makan. Adik Bang Faiz itu memang tak punya sopan santun terhadapku, Kakak iparnya.
Aku berjalan menuju kamar Mama untuk menanyakan apa yang harus dimasak untuk makan malam nanti.
"Untuk apa dia kembali lagi ke rumah ini. Bikin repot saja." Aku sedang berdiri di depan pintu kamar Mama. Pintu itu tak tertutup dengan rapat. Kutajamkan pendengaranku, sepertinya Mama sedang membicarakan diri ini.
"Iya, Ma. Kita harus bisa memaksa Bang Faiz untuk menceraikannya." Ternyata Mama dan Kak Intan mempunyai rencana jelek terhadapku dan Bang Faiz.
"Kau benar, Intan. Mama sangat ingin Faiz bercerai dari Ratna. Biar Chintya bisa bahagia bersama Faiz."
Tes!
Air mata menetes dari kedua kelopak mata ini. Sebenci itukah Mama padaku? Apa salahku? Sakit rasanya hati ini, dadaku sampai terasa sesak menahan tangis. Kupikir dengan berbakti pada keluarga ini, aku akan mendapatkan tempat di hati Mereka. Nyatanya, mereka tetap tak menganggapku sebagai istri Bang Faiz. Aku harus kuat. Aku harus berjuang untuk keutuhan rumah tanggaku.
Aku berbalik dan kembali ke dalam kamar. Rasa lapar yang sedari tadi menerpa, hilang seketika. Aku jadi tak bernafsu untuk makan.
Sebaiknya, aku menyusul Bang Faiz ke toko. Aku bisa minta belikan nasi padang pada Bang Faiz. Mungkin seleraku akan kembali muncul.
Aku beranjak keluar dari kamar sembari memesan ojek. Tak lama aku menunggu di tepi jalan, ojek yang kupesan datang dan segera menghantarkan ke toko Bang Faiz.
"Loh … kok ke sini, Dek?" tanya Bang Faiz ketika melihatku turun dari ojek.
"Iya, Bang. Di rumah suntuk," jawabku singkat. Amu masuk dan duduk di kursi kerja Bang Faiz.
"Kenapa gak telepon, kan, bisa Abang jemput," ucap Bang Faiz sembari membuka-buka buku kecil tapi tebal di hadapannya.
"Adek gak mau ngerepotin, Abang." Aku tersenyum menatapnya. "Adek lapar, Bang. Adek mau makan nasi padang," ucapku cengengesan. Tiba-tiba rasa lapar yang tadi mendera muncul kembali.
"Ooo … istri Abang lapar. Memang di rumah gak ada makanan? Sampai harus jauh-jauh ke sini minta makan?" Bang Faiz terkekeh sembari beranjak untuk membeli nasi padang yang berada di seberang jalan.
Kunikmati nasi padang yang dibeli Bang Faiz. Sesekali Bang Faiz menyuapkan nasi ke dalam mulutku. Aku bahagia sekali. Semoga kebahagian ini tak hanya sementara. Aku ingin menua bersama Bang Faiz.
Setelah selesai makan dan perutku terasa kenyang. Aku pulang diantar orang kepercayaanBang Faiz, karena Bang Faiz masih sibuk mengurus toko yang sudah dua hari ditinggalkannya.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam.
"Waduuuh … ada maling, masuk rumah tak memberi salam," ucap Kak Intan yang sedang menonton televisi bersama Chika. Putri Kak Intan satu-satunya.
Aku hanya melirik saja pada kak Intan, tak menanggapi ucapannya, lalu melangkah masuk ke kamar.
"Hei … Ratna. Saya ngomong sama kamu, kok kurang aj*r begitu? Lihat baju-baju kotor Faiz, sudah menggunung. Kalau tak dicuci hari ini, besok Faiz tak pakai baju." Kak Intan setengah berteriak. lagi-lagi tak kutanggapi ucapannya. Tanpa disuruh pun aku akan mencuci baju Bang Faiz.
Kulihat ke dalam keranjang, memang banyak baju Bang Faiz yang kotor. Apa mereka tak mencucikan Baju Bang Faiz, sampai sebanyak ini yang kotor.
Kukeluarkan satu per satu baju-baju kotor itu dari dalam keranjang. Sampai di baju paling akhir, aku terkejut melihat sehelai kain kecil yang tersisa di dasar keranjang. Ada sebuah celana bayi yang sudah kotor di situ.
Mencari InformasiKukeluarkan satu per satu baju-baju kotor itu dari dalam keranjang. Sampai di baju paling akhir, aku terkejut melihat sehelai kain kecil yang tersisa di dasar keranjang. Ada sebuah celana bayi yang sudah kotor di situ."Celana bayi? Milik siapa ini?" ucapku lirih. Pikiranku kembali berkelana ke foto yang dikirimkan Vera waktu itu. Aku yakin, Bang Faiz menyimpan sebuah rahasia. Aku harus mencari tahu hal ini.Setelah mencuci semua baju-baju kotor Bang Faiz. Aku meletakkan baju-baju yang sudah dicuci di sudut ruangan di dapur. Mataku kembali menemukan sesuatu yang tak lazim ada di rumah ini. Ya … sebuah gantungan untuk menjemur baju-baju bayi. Milik siapa? Tak mungkin milik Kak Intan, Chika saja sudah kelas 2 SD.Sepeninggalku waktu itu, aku tak pernah memakai gantungan seperti itu untuk menjemur. Karena yang mencuci baju kotor di rumah ini adalah aku. Kecuali baju Kak Intan sekeluarga, dia sering mengantarkannya ke laun
Bayi Chintya"Wow, seru nih! Oya, sebelum ke inti pembicaraan kita. Aku ingin tau gimana ceritanya bayimu bisa hilang. Ceritain donk, penasaran!" Vera memelas."Ya gitu! Waktu aku melahirkan di klinik bersalin itu memang tak begitu banyak orang. Aku melahirkan secara normal, tapi … ari-arinya gak mau keluar. Lengket di dalam. Setelah satu jam dilakukan tindakan oleh bidan, ari-ari tetap gak mau keluar. Darah sudah banyak keluar, sampai aku lemes gitu.""Truuuuss!" Vera sangat penasaran.""Trus, Bang Faiz minta agar aku dibawa ke rumah sakit. Akhirnya aku dibawa ke rumah sakit yang di jalan Gambir. Bayiku tinggal di klinik. Mama mertua dan Kak Intan yang menjaga. Sementara Bang Faiz menemaniku di rumah sakit. Kata Bang Faiz, saat aku belum sadar sehabis di kuret di dalam ruang tindakan, Mama menelepon dan mengabarkan kalau bayi kami hilang," terangku lagi."Bang Faiz diem aja? Gak ngelakuin apa-apa?" tanya Vera lagi."Ya Bang Fai
Fakta Baru Tentang Chintya Dalam beberapa detik, Keysha langsung diam dan tak menangis lagi. Kumasukkan kembali susu yang ada di dalam botol ke mulut mungil Keysia. Dia menghisapnya dengan lahap. Ketiga orang di hadapanku saling melempar pandangan. Aku tak tau maksud di balik pandangan mereka itu. Aku hanya mulas seuntai senyum menyaksikan pemandangan di hadapanku. "Akhirnya, Keysha tertidur," ucapku pelan. "Udah, sini … sini!" ucap Chintya sembari mengambil paksa Keysha dari tanganku. Bayi itu kembali menangis, membuat Chintya mengurungkan tindakannya. "Tidurkan Keysha di dalam kamar Mama," titah Mama. Aku menuruti saja. Kubawa Keysha masuk ke kamar Mama dan membaringkannya di atas ranjang. Ketiga orang itu mengikutiku dari belakang. "Sudah, kau keluar saja, Ratna! Kerjakan apa yang harus kau kerjakan! Sedari tadi pergi dari rumah, pasti ada pekerjaanmu yang terbengkalai." Kali ini Kak Intan yang memberikan perintah. "Kak
Penyelidikan 1"Bang Faiz!" teriakku. "Abang mau kemana?" Bang Faiz menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat ke arahku."Ini … anu …." Bang Faiz menggaruk kepalanya yang tak gatal."Anu apa, Bang?" tanyaku heran."Abang mau bantu Chintya membawakan tasnya. Lihatlah, dia kerepotan!" jawab Bang Faiz, semakin menambah kecurigaanku. Harusnya dia bisa menelepon Mbak Surti untuk membantunya, kan? "Tak perlu repot, Bang. Biar aku saja yang membantunya," aku berlari melewati Bang Faiz, lalu membantu Chintya membawakan tasnya.Aku tak boleh memberi kesempatan pada Bang Faiz dan Chintya berduaan. Sekuat-kuatnya iman Bang Faiz, kalau terus digoda, aku takut dia luluh juga. Semakin kuat iman seseorang, godaan yang datang pun akan semakin kuat pula. Bukankah, semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin yang menerpanya?Setelah sampai di kamar tempat Chintya menginap. Seorang wanita paruh baya langsung menyambut da
Penyelidikan 2Air mata seketika membasahi kedua pipi ini. Perih rasanya. Sekian lama merajut kasih, membina mahligai rumah tangga. Haruskah berakhir karena hadirnya orang ketiga? Aku tak rela, sungguh ini tak adil bagiku. Tega Abang mengkhianati perkawinan kita.*** Malam menjelang. Tepat jam sepuluh malam, Mama, Maya dan Kak Intan sekeluarga tiba di rumah. "Assalamualaikum! Ratna ... Ratna! Buka pintu!" teriak Mama sembari mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Aku buru-buru membuka mukena, karena baru saja selesai melaksanakan shalat Isya dan mengadukan nasibku pada Sang Khaliq.Aku berlari menuju pintu lalu memutar pegangan pintu. Pintu terbuka. "Lama amat sih, Ratna! Ngapain aja di dalam? Molor? Jam segini udah tidur.' Ketus mama"Ratna baru selesai shalat, Ma," ucapku pelan"Alaaah ... alasan!" Ucap Kak Intan menimpali. Matanya membulat menatapku."Sudah ayo masuk! Mama capek, mau istirahat!
Fakta yang menyakitkanKucoba menetralisir gemuruh di dalam dada ini. Mungkin saja lelaki yang menyahut itu adalah suaminya. Pintu megah dan berukuran tinggi itu terbuka.Jantungku seperti berhenti berdetak. Darahku rasanya berhenti mengalir. Jantungku tak mampu lagi memompa oksigen ke seluruh aliran darah. Tubuhku terasa lemas. Aku hampir tak mampu berdiri, menyaksikan pemandangan di hadapanku sekarang. Bang Faiz berdiri tegak menyambut kedatangan kami. Matanya membulat menatap kami. "Ra—Ratna!? ucapnya pelan."Bang Faiz!?" Bibirku bergetar mengucapkan namanya. Seketika netra ini dipenuhi butiran-butiran bening yang siap meluncur dengan bebas.Kutekan berkali dada ini, rasanya sesak sekali. Tenggorokanku seperti tercekat. Aku tak mampu berkata-kata lagi."Siapa yang datang, Bang?" Tiba-tiba seorang wanita muncul di belakang tubuh Bang Faiz. "Kok nggak disuruh ma—," kata-katanya terputus begitu melihat kehadiranku.
PertengkaranTerakhir dia datang kemarin bersama anaknya. Ternyata ... anak itu anak hasil perselingkuhannya dengan Bang Faiz. Ya, Allah bodohnya aku. Tapi, mengapa hati ini begitu tersentuh ketika melihat anak itu menangis, bahkan aku merasakan rindu yang teramat padanya dan ingin selalu melihat dan memeluknya. Mungkin karena anak itu seumuran dengan anakku. Semoga kelak anakku bisa kembali ke pelukanku."Ayok, Rat, turun!" Ajakan Vera membuyarkan lamunanku. "Iy—iya, Ver."Kami bergegas turun dari taxi, lalu masuk ke dalam kos-kosan Vera. Kami mengemas barang-barang yang akan kami bawa ke rumah Vera. Setelah semuanya beres, aku melaksanakan salat maghrib sejenak, karena waktu salat telah tiba. Vera sedang libur, dia sedang datang bulan.Setelah dirasa semua baramg masuk ke dalam tas. kami segera beranjak meninggalkan kos-kosan itu dan menuju terminal bus.Sekitar 15 menit menunggu, bus yang akan kami tumpangi tiba di terminal. Kami segera naik ke dalam bu
Menghindar dari Bang FaizMengapa air mata ini mengalir lagi? Sudah seharian aku menangis, namun, setiap aku mengingat Bang Faiz, bulir-bulir bening itu semakin deras dan semakin banyak yang keluar. Beginikah rasanya dikhianati? Beginikah rasanya dibohongi? Sakit sekali ya, Allah. Rasanya, bagaikan luka yang disiram oleh air cuka. Ya, Bang faiz telah menyiramkan cuka itu ke atas lukaku. Luka itu bertambah dalam dan perih. Sampai subuh menjelang, semenit pun mata ini tak mau terpejam. Kejadian siang tadi terus menari-nari di pelupuk mata ini. Entah bagaimana aku dapat menyembuhkan luka ini. Luka kehilangan bayiku belum lagi sembuh, kini, hati ini tergores lagi oleh Bang Faiz. Kutarik napas dalam-dalam lalu kukeluarkan perlahan, semoga dengan begitu sesak di dada ini semakin berkurang. Kulirik Vera di sebelahku, dia masih tertidur pulas. Azan subuh sudah berkumandang. Aku bergegas beranjak dari atas ranjang lalu menuju kamar mandi untuk mandi
PamitEnam bulan kemudian. Entah kemana perginya Bang Faiz. Sudah enam bulan dia tak menjenguk Keysha dan Zidan. Dia hanya melakukan panggilan video dengan kedua anaknya itu. Pernah aku membawa Keysha dan Zidan ke rumahnya, karena mereka sangat rindu dan ingin bertemu dengan ayah mereka. Tepatnya sebulan yang lalu. Tapi, kata penghuninya, Bang Faiz dan keluarganya sudah pindah, dan tak tau dimana alamat mereka sekarang. Sampai sekarang Bang Faiz belum menghubungi lagi.Apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Bang Faiz? Mengapa mereka menghilang tanpa kabar. Lalu, siapa yang melanjutkan usaha mereka? Apakah usaha itu juga sudah tak dijalankan oleh Bang Faiz lagi? "Mbak, Zidan demam! Suhu tubuhnya tinggi." seruan Mirna menyadarkanku dari lamunan. "Kok bisa? Barusan sebelum tidur, Zidan main mobil-mobilan, kan?" tanyaku sembari menyusul langkah Mirna menuju kamar Zidan."Gak tau, Mbak. Tadi waktu bangun Zidan nangis, dan ternyata badannya panas." ujar Mirna sedih."Ya, sudah! Kit
POV MamaSetelah keluar dari penjara. Aku berharap Faiz dan Chintya dapat bersatu layaknya satu keluarga yang utuh. Namun, kenyataan yang kuterima, Faiz menolak kehadiran Chintya. Padahal, dia sudah berpisah dengan Ratna untuk waktu yang cukup lama. Entah apa yang menyebabkan Faiz masih saja mengharapkan Ratna. Kalau dilihat dari penampilan, Chintya masih lebih menarik dari Ratna, secara dia selalu merawat penampilannya karena dia mempunyai banyak uang. Kecillah baginya kalau hanya sekedar perawatan kecantikan. Sedangkan Ratna, hanya gadis kampung yang kebetulan bernasib baik bisa menikah dengan Faiz. Berbagai cara sudah kulakukan untuk menyatukan Faiz dengan Chintya, tapi bukannya bersatu malah Faiz menjatuhkan talak pada Chintya tepat sehari setelah Chintya keluar dari penjara. Padahal, mereka sudah memiliki seorang anak. Selama Chintya di penjara, Faizlah yang merawat anak itu. Tapi, entah apa sebabnya, kini Faiz tak mau lagi merawat anak itu. Bahkan, Faiz mengusir Chintya dan
Pembelaan Dari Bang FaizBang Faiz berhasil menangkap tubuh Zidan, tetapi dia terpeleset oleh tumpahan air tersebut. Bang Faiz terjatuh bersama Zidan. Kepalanya membentur sudut meja. Kepala Bang Faiz berdarah, dan sepertinya dia tidak sadarkan diri. Semua orang di ruangan menjerit. Lalu berlari menghampiri Bang Faiz dan Zidan. Darah di kepala Bang Faiz mengalir cukup deras. "Bawa ke rumah sakit saja, Rat!" ucap Vera panik."Iya, kamu benar Ver. Ayo, kita angkat Faiz ke mobil," seru Andi kepada beberapa orang laki-laki yang siap membantu Andi.Bang Faiz diangkat ke mobil, lalu dibawa ke rumah sakit. Gegas aku meminta kepada pembawa acara untuk menutup acara. Tak lupa aku mengucapkan permohonan maaf atas kejadian barusan. "Kita susul ke rumah sakit, ya, Ver!" ujarku kepada Vera setelah tamu-tamu pulang semuanya."Iya, kita harus segera berangkat, Rat. Anak-anak di rumah saja. Biar Mirna yang jaga."Aku dan Vera segera melaju dengan mobil yang dikendalikan oleh Vera. Di tengah perjala
Musibah Di Acara Ulang TahunKring!Ponselku berdering. Segera kuraih benda pipih yang tergeletak di atas meja rias itu, lalu mengangkat dan menempelkannya di telinga."Halo, Ver, kangen tau! Gitu ya, mentang-mentang pengantin baru, susah dihubungi," cercaku kesal. Semenjak menikah Vera sudah jarang mengunjungiku di sini. Bahkan di telepon pun susahnya minta ampun."Bukan gitu. Maafkan diriku, Sayang! Masih sibuk kemarin ngurus pindah rumah. Aku kan istri yang baik, jadi harus ikut kemana pun suamiku pergi, ya, kan?" "Iya, lah, yang pengantin baru. Paham kok, paham! Hahaha!""Jadikan besok acaranya? Aku baru baca chat darimu tadi kemarin pagi. Maaf, ya! Tapi besok, aku usahain untuk datang. Janji deh!""Gitu dong. Janji, ya! Keysha nungguin loh. Kangen Tante Vera katanya. Kami tunggu loh, ya!" "Iya, iya. Salam sama Keysha ya, besok Tante Vera datang. Assalammualaikum." Panggilan telepon dengan Vera berakhir. Empat tahun sudah berlalu. Keysha dan Zidan sudah semakin besar. Keysha se
Perceraian"Ma—maafkan, Abang, Rat. Abang tak ingin melanjutkan gugatan itu. Abang menunggu persetujuanmu. Abang mohon, berilah kesempatan kepada Abang untuk menebus semua kesalahan Abang kepadamu. Izinkan Abang merawat anak-anak kita bersamamu. Abang menyesal, Rat. Sungguh, Abang sangat tersiksa dengan semua ini. Abang ingin kita seperti dulu lagi."Aku diam dan mencoba mencerna kata demi kata yang telah diucapkan oleh Bang Faiz. Apa katanya tadi? Dia ingin kembali? Dia ingin aku menerimanya lagi? Dia minta kesempatan itu? Sudah hilangkah rasa malunya?"Maaf, Bang. Aku rasa, aku sudah cukup memberimu kesempatan dulu. Aku sudah memohon kepada Abang agar mencari tau dulu tentang kebenarannya. Tapi apa? Abang tak mau percaya kata-kataku. Abang tak memperdulikan permohonanku. Abang tetap kekeh d ngan tuduhan Abang," ujarku sedih. Aku masih ingat setiap jengkal kejadian itu. Luka karenanya masih menganga lebar dan terasa peri."Abang tau, Rat. Abang sudah menyadari kesalahan itu. Abang be
Keysha Sakit."Mungkin sebaiknya, Faiz tidur di sini untuk malam ini. Aku khawatir, nanti Keysha terbangun dan mencari papanya lagi," ujar Vera memberi saran. Bang Faiz menatap ke arahku meminta persetujuan.Aku sebenarnya ragu memberi izin kepada Bang Faiz untuk menginap di sini. Tapi, kasihan juga d ngan Keysha. Kalau dia terbangun tengah malam dan mencari papanya, bagaimana? "Kalau Bang Faiz mau, aku tidak keberatan. Kasihan Keysha, mungkin dia rindu pada papanya," jawabku setuju. Biarlah Bang Faiz menginap di sini untuk malam ini. Toh, di rumah ini aku tidak sendiri. Ada Mbak Mirna dan Vera. "Makasih ya, Rat," sahut Bang Faiz."Iya, Bang. Kami ada di luar, kalau Keysha bangun panggil aku ya!" pesanku kepada Bang Faiz. Aku dan Vera beranjak meninggalkan kamar Keysha. Lalu tidur di sofa ruang tamu yang tak jauh dari kamar itu.Sebenarnya aku ingin sekali tidur di samping Keysha, menemaninya sembari merawatnya. Namun ada rasa tak nyaman di hati ini kalau bersama-sama dengan Bang
Rumah Baru"Wow! Rumahnya besar juga, ya, Mbak. Taman bunganya masih tertata dengan rapi," ujar Mirna. Kami sedang berada di depan sebuah rumah yang baru kubeli dua hari lalu."Ya, Mir. Mudah-mudahan kita betah di rumah ini, ya!" sahutku dengan senyum penuh bahagia. Akhirnya aku bisa membeli rumah dengan hasil keringatku sendiri."Kelihatannya rumah ini sangat nyaman, Mbak," ucap Mirna lagi."Mudah-mudahan begitu. Ini semua untuk Keysha dan calon adiknya nanti," ujarku sembari mengusap perutku yang sudah mulai membuncit.Aku memutuskan untuk membeli sebuah rumah yang letaknya tak begitu jauh dengan ruko konveksi. Kondisiku yang sudah tak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh, bolak-balik dari rumah Bapak ke sini, mendorongku untuk membeli rumah ini.Ya, perutku sudah semakin membesar. Rasanya sudah semakin berat untuk ke sana kemari. "Kita masuk, yuk!" ajak Mirna sembari menggendong Keysha. Aku mengikuti langkah kaki Mirna dari belakang. Kubuka pintu rumah ini dengan mengucap
Chintya POV"Apa? Bang Faiz menikahi gadis kampung itu?" ujarku ketika Kak Intan mengabarkan lewat panggilan telepon, kalau Bang Faiz akan menikahi Ratna, gadis kampung itu. "Iya, Chin! Kami gak bisa melarangnya lagi. Faiz mengancam akan pergi dari rumah kalau kami menghalanginya," sahut Kak Intan. Hatiku serasa hancur. Semua angan dan mimpiku untuk menikah dengan Bang Faiz kandas sudah. Bang Faiz lebih memilih Ratna. Gadis kampung yang sok lugu itu. Padahal, kalau secara fisik, aku lebih dari Ratna. Aku juga berasal dari keluarga kaya, dan tentunya sepadan dengan keluarga Bang Faiz. Susah payah aku menuruti semua kata-kata Tante Mayang dan Kak Intan. Semua sudah kulakukan. Namun apa? Bang Faiz tetap menikahi dia."Pokoknya, aku tak terima, Bang Faiz harus jadi milikku!" Aku berkata sendiri sembari mengepalkan tangan ini lalu memukulkannya ke meja rias di depanku.*Diawal pernikahan Bang Faiz dengan Ratna, tante Mayang seperti menghilang. Aku tak mendapat kabar apa-apa. Mungkin T
Ratna POVKabar baik baru saja kuterima dari Bik Surti. Lukman, adik Bik Surti sudah bersedia menemui Bang Faiz dan menceritakan kejadian sebenarnya kepada Bang Faiz. Aku tak tau bagaimana pendapat Bang Faiz. Entah dia percaya atau tidak, yang penting kebenaran itu telah disampaikan kepadanya. Dan aku sebagai pemilik nama yang dituduhkan telah berbuat tidak senonoh ternyata hanyalah korban dari sebuah fitnah keji yang telah disusun oleh Mama mertuaku sendiri bersama maduku, istri ke dua suamiku. Untung saja Lukman itu mata duitan. Tidak seperti Bik Surti yang menolak materi dan rela kehilangan pekerjaan karena rasa perikemanusiaannya. Lukman ternyata sangat mudah berkhianat. Dengan tawaran satu kali lipat dari bayaran yang diberikan Chintya kepadanya, dia berpaling dan mengkhianati Chintya. Dia mau jujur atas perbuatannya kepada Bang Faiz. *Hari ini aku dapat bernafas dengan lega. Perempuan itu yang telah merebut Bang Faiz dariku dan menorehkan luka yang begitu dalam di hati in