“Mbak Tania!” Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil. Gibran terlihat berjalan menuju ke arahku.“Maaf, aku sengaja nungguin Mbak di lobby. Ada yang mau ku sampaikan.”Aku menautkan alis.“Mbak Tania boleh menemui Nasya, tapi jangan mengajaknya untuk mengobrol yang berat-berat dulu, ya, Mbak. Nasya mengalami benturan di bagian kepala pada saat kecelakaan itu. Jadi kalau bisa Mbak Tania jangan mengajaknya bicara serius dulu. Maaf, aku mengerti perasaan Mbak Tania, tapi aku juga harus menyampaikan ini sebagai tenaga medis.”Kutatap mata Gibran, ia memang terlihat iba padaku, tapi aku juga tak bisa mengabaikannya sebagai seorang dokter yang sedang melindungi pasiennya.“Baiklah, Gib. Mbak hanya ingin menegmbalikan barang-barang pribadinya ini. Mbak janji enggak akan bertanya macam-macam padanya.”Gibran mengangguk sambil tersenyum tipis, kemudian mempersilakanku berjalan mengikutinya ke arah ruangan di mana Nasya dirawat.Aku mengeryitkan keningku saat mendapati di dalam ruangan N
Di hari ketiga Mas Fahry dirawat, akhirnya Mas Fahry sudah diperbolehkan pulang dan menempuh perjalanan darat ke Jakarta. Belum ada penjelasan apa pun yang kudapat dari pria itu. Ia hanya terus nenerus membisikkan kata maaf ketika aku menyuapinya, menyeka tubuhnya ataupun membetulkan alat-alat medis di tubuhnya. Bukan tanpa sebab aku masih membiarkannya, tapi ayahku ternyata menolak untuk tidur di hotel dan justru memilih tidur di sofa rumah sakit, sehingga aku memilih menghindari bertanya ataupun meminta penjelasn pada Mas Fahry.Selain itu, aku juga ingin agar ia segera pulih dan kami semua bisa kembali ke Jakarta. Aku tak mau ibu mertuaku bertambah panik memikirkan putra bungsunya ini, juga aku sudah merasa kangen pada Khanza. Ini kali pertama aku berpisah dari putriku dan Mas Farhan itu.Sesekali Mas Fahry juga menanyakan Khanza dan memintaku untuk melakukan panggilan video padanya. Ya, untuk urusan kasih sayangnya pada Khanza, aku memang tak meragukannya. Meski kini rasa ragu itu
Sepanjang perjalanan Bandung-Jakarta, Mas Fahry terus menautkan jemarinya dalam genggamanku. Aku pun tak menolaknya karena sesekali ayahku melirik kami dari spion di atas kepalanya. Aku dan Mas Fahry memang duduk di belakang, sedangkan Nilam duduk di depan menemani ayah.Tak ada pembicaraan apapun di antara kami. Hanya sesekali terdengar suara Nilam menerima panggilan telepon di ponselnya, adikku satu-satunya itu kadang berbisik-bisik di telepon, membuat ayah sesekali menoleh heran padanya. Nilam juga memutar tape mobil untuk mengusir keheningan.Selama beberapa hari menunggui Mas Fahry di rumah sakit, aku tak pernah bisa tidur dengan baik. Selain karena harus terus menjaga dan menyiapkan apa saja yang dibutuhkan suamiku, pikiranku pun masih terganggu oleh kebersamaannya dengan Nasya. Rasa ngantuk menguasaiku di tengah perjalanan, sesekali kepalaku terkulai dengan sendirinya, sebelum akhirnya Mas Fahry menarik kepalaku ke dalam dekapannya. Aku ingin menghindar dan kembali menegakkan k
“Apa sebenarnya yang ingin kamu katakan, Mas. Jangan berbelit-belit! Mas Fahry ingin kembali padanya? Mas Fahry merasa terhalang oleh ikatan pernikahan kita?”“Enggak, Tania! Enggak! Aku enggak punya niat kembali padanya. Percayalah padaku, aku mencintaimu.” Lelaki itu kembali berusaha meraih tanganku.“Seandainya saja kamu tak terlibat kecelakaan bersamanya. Seandainya saja aku tak menemukan kebohonganmu yang berpamitan untuk bekerja tapi justru berada dalam satu mobil bersamanya. Seandainya saja tak ada barang-barang pribadi Nasya dan ponsel rahasiamu itu, mungkin aku akan percaya, Mas. Karena selama ini aku percaya bahwa kamu mencintaiku. Tapi maaf, semua yang terjadi telah menghapus semua kepercayaanku padamu. Jika memang Mas Fahry tak berniat kembali padanya, kenapa harus berbohong padaku? Kenapa terlibat dengannya? Kenapa mengantarnya ke Bandung hingga berniat merayakan ulang tahunnya? Kenapa harus punya ponsel khusus untuk menghubunginya? Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Mas?”
Setibanya kami di rumah, ibu menyambut kami dengan wajah penuh kekhawatiran. Wanita renta itu bahkan meneteskan air matanya ketika melihat satu-satunya putranya yang tersisa turun dari mobil dengan menggunakan tongkat sebagai alat bantu. Aku membantu menopang tubuh Mas Fahry, lengannya melingkar sempurna di pundakku saat aku membantunya berjalan ke dalam rumah.Ayahku dan Nilam langsung pulang tak lama setelahnya, hingga kini tinggallah aku, Mas Fahry dan ibu di rumah kami. Rasa iba menelusup dalam hatiku ketika melihat ibu dengan lembutnya mengusap-usap bekas luka Mas Fahry, lalu menanyakan bagian tubuhnya yang mana yang sakit, sambil sesekali menyeka sudut matanya. Aku sangat mengerti perasaan ibu mertuaku, aku pun merasakan itu saat pertama kali mendengar kabar Mas Fahry kecelakaan. Rasa trauma kehilangan Mas Farhan dalam insiden kecelakaan di bengkel masih membekas dalam hati kami.Andaikan saja ibu tau jika Mas Fahry bersama Nasya saat kecelakaan, andaikan saja ibu tau jika sedan
“Aku berusaha menghindarinya dan memberi pengertian padanya, namun Nasya justru semakin nekat merobek sendiri pakaiannya. Ia mengancam akan berteriak jika aku menolaknya.”Hatiku semakin tak karuan menanti Mas Fahry melanjutkan ceritanya.“Sekuat tenaga aku membujuknya, menjelaskan jika ia adalah wanita baik-baik yang tak pantas merendahkan dirinya seperti itu. Aku juga menjelaskan padanya jika aku tak mungkin mengkhianati istriku, yaitu kamu, Tania. Hal itu membuatnya menangis meraung-raung sehingga membuatku terpaksa memeluknya untuk menenangkannya. Lalu ... lalu ia kemudian memintaku untuk menciumnya. Aku ... aku terbawa suasana. Hujan deras dan tangisan Nasya membuatku menuruti keinginannya. Kami berciuman. Hanya itu, Tania. Hanya sekali itu. Maafkan aku.”“Cihh! Wanita baik-baik mana yang menyerahkan tubuhnya dengan mudahnya pada suami orang? Dan kamu, Mas? Katamu tak mungkin mengkhianatiku? Lalu apa namanya semua ini jika bukan pengkhianatan!”“Aku sungguh tak bermaksud seperti
“Aku memang marah, Mas! Bahkan sangat marah, tapi bukan untuk masa lalu kelammu. Aku tak berhak menghakimimu atas masa lalumu. Yang kusesali adalah caramu menyikapi masa lalumu itu. Jika dulu kalian berdua bisa terlena hingga berbuat sejauh itu, lalu mengapa Mas Fahry justru mengulanginya lagi sekarang? Berduaan dengannya. Mengantarkan ke Bandung. Beduaan dalam mobilmu. Tidakkah Mas menyadari jika itu akan kembali membuka peluang untuk kalian mengulangi dosa yang sama?”Lelaki itu menatapku sendu.“Maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar tak menyangka jika akan terjadi seperti ini.”“Jika saja waktu itu kalian tak mengalami kecelakaan, apa Mas Fahry bisa menjamin tak akan terjadi apa-apa selama kalian berdua berada di Bandung. Kamu dan Nasya dua orang dewasa yang pernah punya hubungan yang sangat dekat, Mas. Lalu kalian merencanakan untuk pergi berdua dengan berbohong padaku. Coba saja Mas bayangin, jika tak ada insiden kecelakaan itu, apa yang akan kalian perbuat selama tiga hari di san
Seminggu setelah pulang dari Bandung, Mas Fahry masih diberi waktu untuk beristirahat di rumah, meski ia sering sekali menerima telepon dari bawahannya bahkan beberapa kali rekan kerjanya datang ke rumah kami untuk membahas masalah pekerjaan. Sesekali dalam percakapan mereka aku mendengar nama Nasya disebut. Aku tau, Nasya merupakan salah salah satu arsitek yang menjadi bawahan Mas Fahry, maka aku menganggap wajar namanya disebut-sebut dalam percakapan mereka. Meski Mas Fahry sesekali melirik padaku saat nama Nasya disebut.Hingga aku mendengar salah satu percakapan Mas Fahry dengan rekannya saat aku hendak mengantarkan minuman pada tamu Mas Fahry.“Lu beneran kecelakaan bareng Nasya di Bandung kemarin, Bro?”“Ssstt. Jangan nyaring-nyaring, aku enggak enak kalau istriku dengar.”“Yeile, jadi beneran. Lu belum bisa move on dari Nasya? Terus istri lu belum tau kalau lu ke Bandung bareng Nasya?”“Bukan gitu, Roy. Gue kemarin cuma niat mau ngantarin dia ke Bandung, enggak taunya malah ke
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep