"Positif thinking saja Ma. Mungkin dia gatal," timpal Manda."Gatal kok cari wanita lain. Kalau gatal yang digaruk lah. Begitu saja repot," komentar Bu Yosi.Amanda terkekeh kecil."Beda versi mungkin Ma. Santai saja. Yang penting Manda tidak apa apa."Bu Yosi menoleh. Menatap Amanda dengan tatapan trenyuh."Manda, kalau mereka bisa, kamu juga harus bisa ya.""Iya. Manda juga sudah bisa move on. Manda tidak menyesali apa yang terjadi. Tapi Manda merutuk kebodohan Manda, kok bisa dibohongi sampai seperti itu," keluh Manda Namun Bu Yosi menggeleng dengan pelan."Bukan. Bukan itu maksud Mama, Manda."Amanda mengernyitkan alisnya."Lalu maksut Mama bagaimana?""Kalau mereka bisa cari wanita lain. Mestinya kamu juga harus begitu."Amanda tersenyum kecil. Laki-laki lain? Rasanya tidak semudah itu. Ia bukan wanita yang mudah sekali jatuh cinta. Rasa trauma dengan Agam, juga menjadi sejarah tersendiri dalam hidupnya."Do'akan saja ya Ma. Semoga bisa menemukan laki laki yang benar-benar baik.
Neni sempat melotot. Namun setelah itu tiba tiba tawanya pecah. Aisyah semakin risih."Kamu waras bukan? Ada ada saja kalau menghalu. Calon suami saya itu berasal dari keluarga terhormat. Bukan Abal Abal. Mana mau dia dengan wanita seperti kamu?" oloknya.Nafas Aisyah naik turun."Tapi anda tau bukan status seorang Agam?"Neni mengangguk."Iya. Dia duda bukan? Tak masalah. Asal belum punya anak. Dan aku yang akan menggantikan istri dengan Nafkah seratus juta perbulan itu. Ah aku semakin tidak sabar."Aisyah geram. Ia meremas baju bagian bawahnya. Ia masih tau diri untuk sekedar membuat keributan di tempat ini."Mbak Neni bilang Mas Agam tidak punya anak? Dia balita yang saya bawa ini anaknya Mas Agam. Tanya Bu Melisa kalau tidak percaya," jawab Aisyah dengan kesal.Neni sempat menatap kedua anak yang dibawa Aisyah. Ya dari penampilan mereka, memang sangat berbeda. Aisyah sederhana. Tetapi dua anaknya, sangat jelas sekali merupakan anak yang terawat. Bahkan kedua anak itu memakai perhi
Seharusnya memang Aisyah menyambut hangat niat baik Manda itu. Karena tak jarang akan ada wanita yang baik hati, yang mau membantu wanita yang notabene adalah istri dari mantan suaminya."Kenapa diam Sah? Kamu tidak berkenan?" tanya Manda.Aisyah menoleh. Menatap Manda dengan tatapan nanar."Apa aku bisa Mbak? Aku tidak sekuat Mbak Manda. Kalau mungkin ekonomi, bisa aku usahakan. Tapi anak anakku bagaimana nasibnya Mbak? Aku sebatang kara hidup di dunia ini. Tak ada rasanya manusia yang bisa aku mintai tolong," jawab Aisyah.Amanda kini yang bergantian menghela nafas panjang."Lalu sampai kapan kamu akan diam saat tertindas seperti ini Syah?"Aisyah menggeleng."Aku juga tidak tau sampai mana batas kuatku Mbak. Andai aku ditanya, sebenarnya aku juga tidak kuat," keluh Aisyah, sembari bersimbah air mata lagi.Amanda bingung. Ia mencoba memahami keadaan Aisyah saat ini, meskipun jiwa ibanya terus meronta."Ini apartemen kamu?" tanya Amanda. Ya dia tau betul harga sewa apartemen ini yang
"Dasar sinting," olok Manda. Namun itu hanya gurauan semata."Manda," tegur sang papa dengan tegas."Tidak apa apa Tuan. Saya sudah biasa bercanda dengan Nyonya Manda. Justru saya lebih nyaman bisa seperti itu," kata Kata llham menengahi."Tak apa Ilham. Jika Manda berbuat sesuatu hal yang tidak baik, segera lapor kepada saya. Manda adalah tanggung jawab saya," pesan sang papa."Tenang saja Tuan. Nyonya Manda itu baik hati dan akan selalu baik. Bukankah begitu Nyonya?""Stop stop. Jangan panggil saya Nyonya. Seperti saya ini adalah orang yang sudah tua saja," protes Manda."Baiklah kalau begitu saya panggil sayang bagaimana? Eh salah Mbak Manda maksutnya," jawab Ilham"Yang mana? Yang sayang?"Amanda melotot."Eh iya Mbak Manda maksutnya."Amanda mengangguk."Mbak Manda mau kemana hari ini? Dua puluh empat jam saya siap," kata Ilham lagi."Saya mau tidur. Capek.""Oh ke pulau kapuk. Kalau begitu bisa setir sendiri bukan Mbak?"Amanda hanya sedikit mencibir. Lalu melangkah masuk ke dal
"Ma sudah ma. Ayo lanjut jalan lagi saja," perintah Agam.Bu Melisa mengangkat tangannya."Sebentar. Mama ada urusan dengan wanita ini," jawabnya.Nampak Agam kesal. Apalagi di sampingnya ada Neni, wanita yang bakal dinikahinya. Ia takut Neni justru cemburu.Sementara Manda masih berdiri dengan beraninya. Raut wajahnya justru seolah menantang mantan mertuanya."Alah belum laku saja, sombong. Lihat nih anak saya Sudah mau menikah. Lah situ? Pasti belum bisa move on," olok Bu Melisa.Amanda sengaja menutup mulutnya dengan kedua tanganya. Seolah olah dia kaget."Wah mau menikah lagi?"Bu Melisa mengangguk dengan mantap."Cepat amat. Itu bukan karena laku, Nyonya Melisa. Karena gatal saja. Betul apa betul?" tanya Manda.Agam semakin geram. Apalagi mendengar tertawa cekikikan Manda sembari berjalan.Agam mendorong pelan tubuh sang Mama untuk segera ke tujuanya"Nanti dulu Ma. Kasihan Arsy," kata Agam mencoba mengalihkan perhatian sang mama"Tau gitu aku pulang saja," ucap Neni tiba tiba.
Wajah Bu Melisa merah padam mendengar perlawanan dari Amanda. Namun upaya Aisyah yang ingin mengambil anaknya kembali membuat perhatianya beralih."Jangan ambil cucuku," bentaknya."Kalau calon menantu mama tidak bisa menerima anak saya, tak apa Ma. Saya bisa menjaganya sendiri," elak Aisyah."Aisyah benar. Dia ibunya dan dia lebih berhak atas anaknya," bela Amanda."Mbak Manda, saya tidak apa apa, lebih baik Mbak Manda pulang saja. Saya takut justru Mbak Manda sakit hati dengan mereka. Tak apa mereka menyakiti saya. Yang pasti mereka pasti tidak akan pernah menyakiti anak anak saya," ucap lirih Aisyah.Amanda menoleh ke arah Ilham. Dan Ilham mengangguk."Kalau kalian sampai macam macam dengan Aisyah, saya tidak akan segan segan melaporkan kalian ke polisi. Ingat itu," ancam Amanda. Ia pergi meskipun berat dan tidak tega."Sudah pergi saja dengan sopir idamanmu itu." olok Bu Melisa tak mau kalah.Rombongan keluarga Bu Melisa masuk ke dalam mobil. Tak terkecuali Aisyah yang ikut serta.
Wajah Ilham merah padam. Seolah ia tak perduli dengan pertanyaan Amanda."Tapi Tante. Eh Nyonya. Saya harus pulang. Ada keperluan," kata Ilham mendesak."Tidak bisa Ilham. Kenapa tidak bicara sedari awal? Saya belum cari ganti untuk bantu bantu Mang Jaja," tolak Bu Yosi."Iya. Sedari tadi kamu juga santai saja. Kenapa sekarang begini? Aneh."Amanda ikut berkomentar. Ilham masih sama. Masih berdiri dengan muka anehnya."Ham, kamu kebelet buang air besar?" tanya Amanda lagi, sembari menaikan nada suaranya.Ilham menggeleng pelan."Sudah. Kamu segera ke halaman. Menemui Mang Jaja. Untuk membantu dia. Nanti saya pasti akan kasih kamu bonus," perintah Bu Yosi Ilham terpaksa berbalik. Langkahnya berat seperti robot."Salah makan apa dia Nda?""Entah Ma. Apa dia keracunan?""Setelah ini kita panggil psikiater saja. Siapa tau dia ada masalah.""Panggil dukun saja Ma. Siapa tau juga dia kena sihir," kata Manda yang mendapat pukulan kecil di lengannya.Ilham mendekati Mang Jaja yang sedang men
Semua sontak menoleh ke arah sumber suara. Ya suara Ilham. Tak ada angin tak ada apa, tiba tiba Ilham langsung memeluk Bu Hartono. Manda dan kedua orang tuanya tentu kaget bukan main."Kenapa kalian tidak bilang jika Yoga ada disini? Saya sudah mencarinya ke berbagai kota. Bahkan saya juga menyebar berita ke luar negeri.""Yoga? Ini Ilham. Sopir kami, Bu," jawab Bu Yosi.Perlahan Bu Hartono melepas pelukannya dengan Yoga. Dia bergantian menatap ke arah keluarga Manda."Enak sekali anakku dibilang sopir. Tidak. Aku tidak terima," elak Bu Hartono."Sebentar sebentar. Mari kita luruskan. Jadi Ilham ini adalah Yoga yang menyamar begitu?" tanya Papa Manda.Ilham mengangguk."Maafkan saya Om. Saya tak ada maksut apa apa. Tak ada maksut menipu atau apapun itu. Nama saya Ilham Yoga Sebastian. Nama kecil saya adalah Yoga. Orang lain mengenal saya dengan nama itu. Sekali lagi saya minta maaf." kata Yoga dengan tak enak hati.Papa Manda mengangguk mengerti.Bahkan ia menepuk pundak Yoga dengan p
Agam melongo. Apakah nasibnya akan seperti sang Mama? Terbaring di rumah sakit seperti ini?Bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal istri dan sekarang harus kehilangan satu satunya sumber penghasilan.Belum usai, seorang dokter keluar dari ruang rawat mamanya. Masih dengan wajah sedih bercampur bingung, ia menghadap sang dokter."Keluarganya Bu Melani?"Agam mengangguk"Iya. Saya anaknya," jawab Agam"Ibu anda terserang stroke. Dan mungkin harus selalu didampingi ya Pak. Karena tubuhnya sulit untuk digerakan.""Dok, tapi mama saya sebelumnya tidak punya penyakit darah tinggi. Mana mungkin mama saya terkena stroke tiba tiba?" tanya Naya masih tak percaya. Ia tak bisa membayangkan mamanya yang semula bisa beraktivitas tiba tiba harus berubah tak bisa untuk apa apa"Penyakit stroke bisa menyerang siapa dan dengan latar belakang apapun Mbak. Lagipula umur ibu anda sudah tidak muda lagi. Mungkin sebelumnya ada berita yang mengagetkan. Bisa jadi itu memacu tekanan darah beliau
Neni menoleh kanan kiri dengan suara tersebut "Aku disini Mbak," ucap suara itu.Berapa terkejutnya Neni saat mengetahui Naya ada dibelakangnya. Lidah Neni saat itu terasa kelu."Kenapa Mbak? Biasa saja wajahnya. Tidak usah kaget," lanjut Naya dengan senyum mengejeknya."Nay, kenapa kamu ada disini?"Lagi lagi Naya tersenyum penuh remeh"Memangnya kenapa Mbak? Ini tempat umum. Bukan milik Mbak Neni. Jadi wajar aku ada disini," lawan Naya."Untuk apa kamu di ATM? Kamu pasti sengaja ngikutin aku ya?""Tak perlu aku jelaskan bukan apa fungsi ATM. Lagipula bukan hanya Mbak Neni kok yang punya uang. Aku juga punya. Uang halal malahan. Percuma kan uangnya banyak, bisa beli barang branded ternyata uang dari simpanan. Upps." kata Naya lagi Ng dengan sengaja menyindir Neni."Memangnya kenapa? Itu juga karena kesalahan Abang kamu. Tidak bisa mencukupi kebutuhan istrinya." sengit Neni tak mau kalah.Naya menggeleng walau tak percaya. Ternyata ada iblis di balik polos dan cantiknya wajah seorang
Tak ada perlawanan dari Bu Melisa, kecuali menurut untuk turun dari panggung."Ini yang mau Mama cela? Lihatlah bahkan lebih dari Mas Agam," kata NayaBu Melisa hanya melengos. Ya mau bagaimana memang Yoga lebih mapan adanya.Sementara Neni tak perduli. Mau suaminya kalah dengan suami Manda sekalipun, ia tak perduli. Toh ia sudah ada yang baru.Baru saja hendak menyuapkan satu suapan ke mulutnya, Bu Melisa mendapatkan telepon dari salah satu anak buahnya bahwa salah satunya rumah makan mereka yang ada di pusat, yang paling terbesar kebakaran.Bu Melisa tentu shock bukan main. Satu sendok di tanganya gagal masuk ke mulut. Bahkan sekedar untuk memberi tau anak anaknya pun lidahnya terasa kelu.Bu Melisa hanya mampu menepuk bahu Naya yang ada di sampingnya"Ada apa Ma?"Bu Melisa masih diam. Sulit sekali untuk berucap. Karena merasa aneh, Bata mengambil alih handphone mamanya. Dan ia mendengar sendiri bahwa rumah makan mereka sedang kebakaran.Tak banyak tingkah, Naya segera mungkin memb
"Neni bekerja Nay. Dia itu model beberapa baju temannya," bela Agam.Naya hanya melengos. Ia menghela nafas dengan kasar"Gaji dari model baju bisa untuk membeli baju branded seperti itu ya Mas? Mbak Neni bukan artis dengan bayaran fantastis. Artis saja mungkin berfikir berkali kali untuk membeli barang semewah itu. Coba Mas Agam lebih perhatikan Mbak Neni. Lebih tepatnya selidiki. Percaya boleh. Tapi dibodohi jangan mau mas. Jangan hanya menerima begitu saja." kata Naya lagi.Agam hanya mengangguk. Ya Naya memang baru tau hanya pakaian yang diberikan kepada Mama. Belum pakaian yang kemarin. Yang bahkan sempat dibelikan untuk dia.Sepulang dari rumah Mama, Agam mengutarakan rasa penasarannya juga karena aduan dari Naya tersebut."Neni, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Agam dengan pelan"Langsung tanya saja kenapa sih Mas.""Gaji kamu berapa jadi model Nen?"Neni yang ada di sebelah Agam langsungenoleh tajam menatap sang suami."Kenapa Mas Agam tanya seperti itu? Tumben. Aneh. Dan pe
"Tumben sekali. Apa kamu tidak mengajakku untuk turut serta Nen?" tanya Agam sembari menikmati makanan."Duh, bagaimana ya Mas. Teman temanku tidak ada yang membawa suami. Jadi aku tidak enak kalau membawa suami sendiri. Ka.u dirumah saja ya. Ehm sebagai gantinya nanti aku belikan oleh oleh yang mahal tentunya dari hasilku menjadi model baju. Bagaimana?" tawar Neni.Agam mengangguk."Bolehlah."Neni tentu tersenyum penuh kemenangan.'Dasar kere. Disogok pakai barang mahal langsung nurut begitu saja,' gumam Neni."Oh iya Nen. Aku sudah bercerai dengan Aisyah," ucap Agam tiba tiba."Oh iya? Baguslah kalau begitu." jawab Neni dengan santai."Kok responmu biasa saja Nen? Bukankah ini yang kamu harapkan dari dulu?"Neni sedikit salah tingkah."Bukan begitu Mas. Tapi aku sadar, aku sudah bersuami. Itu artinya aku juga harus lebih dewasa dari sebelumnya. Lalu mau Mas Agam aku harus bagaimana? Jingkrak jingkrak begitu? Yang ada ditertawakan ayam mas," elak Neni. Padahal dalam hati juga Neni b
Tentu Manda kebingungan dengan Naya yang ada dihadapannya tersebut."Nay, tenang dulu. Ada apa?"Naya mengusap air matanya."Romi, Mbak."Mendengar itu, Manda yang justru gemetar."Iya benar. Harusnya dari awal aku harus hati hati. Menyelediki di setiap sisinya. Di hari pertunangan, justru dia baru mengaku bahwa menikahiku untuk dijadikan istri ke tiganya. Aku malu Mbak. Malu sekali kepada Mbak Manda,"Manda masih mengggenggam tangan Naya."Tidak perlu malu Nay. Aku juga tidak akan mengolokku. Pak Romi adalah tetanggaku. Jadi aku tau,"Mendengar itu justru tangis Naya semakin pecah."Nay, sudah. Itu artinya Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal yang salah. Kamu tidak perlu malu. Tidak perlu menyesal. Tapi kamu harus bersyukur," pesan Manda.Naya hanya mengangguk kecil."Aku juga minta maaf ya Mbak. Atas topengku. Atas kemunafikan ku. Terutama keluargaku."Manda mengambil nafas panjang. Sejenak netranya terpejam."Iya." jawab Manda singkat."Berat ya Mbak? Iya dan aku sudah merasakanya.
"Darimana saja kamu Neni. Di telfon lebih dari sepuluh kali tapi tidak kamu angkat?" gerutu Agam saat sang istri baru pulang.Neni sudah lelah. Ia hanya meletakan sebuah kantong plastik di meja."Nih makan. Ini resto milik artis yang baru buka itu Mas. Rame banget," jawab Neni, mimik wajahnya terlihat senang.Agam masih lurus menatap Neni. Tangannya dilipat di dada."Aku tanya apa, jawabmu apa?" sengit Agam.Neni yang biasanya akan membentak balik saat dibentak Agam hanya tersenyum. Karena apalagi kalau tidak karena hatinya sedang senang saat ini."Mas, aku sudah bilang, aku dari rumah Mama. Kamu sudah lupa? Atau pura pura lupa?" tanya balik Neni dengan tenang.Namun sepertinya jawaban Neni tersebut tidak member rasa puas untuk Agam."Lalu kenapa kamu justru pergi ke restoran artis itu?"Neni sedikit salah tingkah."Tidak. Ini tadi saudaraku yang membelikan. Makanlah mas. Kamu sedari tadi belum makan bukan? Pasti keluargamu sibuk karena huru hara ditipu calon suami," kata Neni.Tak me
Plakk..Tangan Bu Melisa mendarat dengan sempurna di pipi Romi. Sempat ada pembelaan dari Naya. Meskipun air mata telah membanjiri pipi."Kamu kira, kamu itu siapa? Hah? Enak sekali menjadikan anak saya sebagai istri ketiga? Tidak. Saya tidak akan memberi restu. Saya tidak gila dengan harta kamu," jawab Bu Melisa dengan berapi api.Seorang wanita tampak maju mendekati Romi. Ia memeriksa sang suami. Apakah baik baik saja atau tidak. Sepertinya ia adalah salah satu istri Romi juga.Melihat itu tentu hati Naya menjadi sakit bukan main.Romi tetap tenang menghadapi kemarahan keluarga Naya."Yakin tidak gila harta? Buktinya apartemen anda dibeli dengan uang siapa?" tanya Romi dengan pelan namun penuh dengan tatapan sinis.Agam yang ada di belakang Mamanya pun tidak terima. Seolah Romi mempermainkan keluarganya saat itu."Ambil saja apartemen itu. Kami tidak butuh," sengit Agam dengan geram.Para tamu saling berbisik. Pak Anton yang melihatnya dari kejauhan hanya tersenyum simpul. Karena i
Aisyah melihat lembaran uang dari Manda di tanganya itu. Tawaran Papa Manda tempo hari juga terngiang ngiang di kepalanya. Bisa saja ia pergi saat ini juga. Tapi bukankah itu namanya adalah seorang pengecut?Dan dengan uang ditanganya itu, bisa saja ia membayar kontrakan. Bahkan mungkin sisa, walau tak seberapa. Namun untuk bulan depan? Bagaimana jika Agam masih tetap saja tidak memberi nafkah? Ia tak tau harus bagaimana bukan? Ia pun tentu sungkan bahkan malu jika harus meminta tolong Manda kembali.Entah mengapa, sisa uang yang tidak seberapa itu, Aisyah berfikir untuk menjual jajan atau es saja di depan rumah kontrakannya. Lagipula banyak sekali anak kecil di kawasan kontrakan ini. Barangkali bisa untuk membantu ekonominya tanpa selalu bergantung kepada Agam.*"Aku pakai baju yang mana untuk lamaran Naya esok hari Mas?" tanya Neni yang kebingungan di depan lemari."Lihatlah baju baju kamu itu sudah banyak sekali. Kenapa masih saja bingung Nen?""Tapi ini semua sudah pernah aku pa