Marry berdiri dekat pintu kamar, ia menguping pertengkaran kami.
Pertengkaran aku dan Nandean, ini memang tujuan mereka.Aku terus berjalan, melintasi dapur, menuju pintu keluar.Nandean menangkapku.Enam orang anak berbaris memperhatikan kami."Kau lihat Mama Tari kerepotan sendirian? Lalu kau masih mau pergi ?" Bentak Nandean."Itu bukan urusanku..!!!" Aku juga berteriak."Aku bisa mengurus anakku, tapi aku capek kalau harus mengurus delapan anak sekaligus..!!!" teriakku."Iya, itu memang urusanku!!! Aku tak memintamu mengurus anakku!!!" Teriak Rara."Tapi kenapa aku yang harus menyiapkan makanan mereka setiap hari..?" Tanyaku."Jadi kau keberatan???.. hah?" Tanya Nandean.Aku sempat melirik Marry dan Lily yang tersenyum simpul.Tiba-tiba Bapak muncul."Ada apa sih..??" Tanyanya."Gak tau.. ribut aja!!" Marry bersungut-sungut."bikin malu..!!" timpal Lily."Diam kau..!" bentak Bapak pada keduanya."Jangan kau tambah-tambah keributan disini.."Lily dan Marry diam."Kau, Rara.. kenapa kau marah-marah, teriak-teriak di rumahku?" Tanya Bapak."Aku capek, pak! Kerja seharian, Anakku di rumah kelaparan!" Jawab Rara tak kalah keras suaranya."Itu urusanmu! Kenapa pula kau marah-marah disini?" gerutu bapak."Siapa pula yang nyuruh kau taruh anakmu disini..?" tanya Bapak lagi."Lily dan Marry yang nyuruh aku nitip anak-anak disini, biar aku bisa kerja..!" jawab Rara."Ini rumah saya, sudah izin kau sama saya..?" tanya Bapak.Rara terdiam."Bukan haknya Lily dan Marry mengatur orang-orang ini. Saya yang berhak ngatur di rumah ini, paham kau..??""Bodohnya kau, diatur-atur adikmu.."Diam-diam Lily dan Marry meninggalkan ruangan."Kau juga, Nandean.. kenapa pula kau marah-marahi si Naya..?""Dia pergi seharian.." jawab Nandean."Sudah kau tanya kenapa dia pergi?" Tanya Bapak lagi."Dia capek ngurus anak-anak ini.." kata Nandean. "Iya kan..?" Tambahnya lagi kepadaku."Macam mana dia tak capek. Sudah capek pun dia urus bayimu, dia urus urusan rumah ini, ditambah pula urusan anak si Rara. Wajar kalau dia capek. Dia bukan ibu asrama, bukan ibu panti asuhan." Kata Bapak."Naya, kau masuklah.. istirahat di kamarmu.." ujar bapak kepadaku."Kau, Nandean.. jangan kau marah-marahi istrimu karena urusan orang lain..""Dan kau, Rara.. tak pantas kau marah-marah di rumah ini, marah-marah pada menantu kami. Kurang ajarnya kau ini. Pulang ke rumahmu sana, bawa semua anakmu. Jangan kau merecoki rumah tangga orang lain..!" Aku masuk ke kamar. Mendekap anakku erat-erat.Nandean masuk, memelukku.Ku dengar Rara memanggil anak-anaknya.Lalu rumah sepi. Mereka pulang.=000=
Keesokan harinya Lily dan Marry menghampiriku saat aku menyapu halaman.
"Puas kau ya.. sudah membuat keluarga orang berantakan..!!" Seru Marry sambil menjambak rambutku. Aku meringis kesakitan. "Kalau tidak mau mengurus orang rumah ini, sana cari kontrakan! Gak usah tinggal disini..!" Kata Lily, matanya membelalak."Nanti aku bicarakan dengan bapak, aku akan pergi dari sini.." jawabku."Bapak.. Bapak.. itu Bapak kami, bukan Bapakmu!" Kata Marry, telapak tangannya mendorong keras pipiku.Aku masuk ke rumah. Mengemasi pakaian anakku."Mau kemana..?" Tanya Nandean. Dia dari kamar mandi, tidak tahu keributan di depan tadi."Kita pindah saja.." jawabku. Tak bisa kutahan air mata."Mama belum pulang, " kata Nandean." Kita cari dulu saja kontrakannya.." jawabku.Aku sudah tak tahan lagi. Mereka sudah menggunakan kekerasan fisik.Nandean ke luar kamar. Tak lama ku dengar teriakan mereka bersahutan. Bertengkar. Aku tak ingin tahu isi pertengkaran mereka, aku hanya ingin secepatnya pergi dari rumah ini."Ayo, kita pergi.." ajak Nandean saat ia kembali masuk kamar.Aku menggendong Leang, Nandean membawa perlengkapan bayi.Seharian itu kami mencari rumah kontrakan. Menjelang malam, kami menemukan sebuah rumah petak kecil. Nandean langsung membayar biaya sewa untuk satu bulan. Kami putuskan untuk langsung bermalam disana malam itu.
Seorang tetangga di rumah petak sebelah meminjamkan tikar untuk kami tidur. Bahkan kami hanya memakai pakaian yang melekat di badan. Esok harinya Nandean pulang dan kembali ke kontrakan membawa beberapa helai pakaian.
Seminggu kemudian, Mama mertuaku pulang. Kami kesana, berpamitan, dan membawa pakaian yang tersisa.
"Kalian bilanglah sama Bapak.." kata Mama."Sudah bulat tekadmu mau keluar dari rumah ini..?" Tanya Bapak.Aku dan Nandean mengiyakan."Yah.. mau bagaimana lagi. Memang harus ada yang mengalah .." kata bapak."Saudara-saudara mu ini belum menikah, maka mereka masih menjadi tanggungjawab saya. Kalian pun sudah punya tanggungjawab sendiri.." katanya lagi."Kalau memang dirasa baik untuk pindah, silakan pindah, belajar mandiri.. itu juga bagus.." kata bapak."Baik-baik dengan tetangga disana ya, Nay.." pesan mama.Aku mengangguk. Menyalami kedua orangtua itu dengan hormat.Sejak itu aku hanya sesekali berkunjung ke rumah mertuaku, saat hari raya atau hari tertentu jika Mama meminta kami datang. Lily dan Marry masih menampakkan permusuhan. Terutama Marry, bahkan dia sudah membanting pintu saat melihat aku memasuki halaman rumah.
Anakku, Leang, tumbuh semakin besar, sehat dan lincah. Ia selalu ketakutan melihat Marry. Aku pernah melihat Marry menyalakan api di sepotong kayu dan mendekatkankannya ke wajah Leang, untung saat itu aku segera datang. Dia langsung melempar potongan kayu itu ke jalan. Tapi itu membuatku jadi lebih berhati-hati saat membawa Leang ke rumah kakek dan neneknya.
Suatu hari kami berkunjung kesana. Leang berumur dua tahun. Dia sudah berlari cepat dan tak bisa diam. Aku dan mama mengobrol di teras depan. Leang bermain di halaman.
Tak lama Marry keluar dari kamar.
"Aku mau pergi, ma..!!" Dia berteriak kepada Mama "Gerah aku di rumah ini kedatangan anak setan..!!" Katanya.Aku dan mama hanya diam, tidak menanggapi.Dia berjalan ke arah pintu pagar, membuka pagar lebar-lebar.
"Jangan lebar-lebar, nak.. ada anak kecil ini, nanti dia lari ke jalan.." kata Mama mengingatkan, sambil bangkit hendak menutup pintu pagar."Biar saja! Biar mati ketabrak mobil sekalian!!" Jawab Marry keras.Leang berlari cepat ke arah pintu pagar yang terbuka. Aku berlari mengejar anakku. Tapi Leang sudah keluar pagar, berlari ke arah jalan.
Di saat bersamaan sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Tak bisa menghindar dari Leang yang berlari. Tubuh kecilnya terlempar ke udara lalu jatuh beberapa puluh meter mengenai ujung mobil yang juga sedang melintas di jalur lain. Leang tergeletak di aspal.
Aku menjerit. Berlari menubruk tubuh Leang, darah mengalir dari mulut, hidung, dan telinganya. Matanya tertutup.
"Leeeaaaaaaangng....!!!!!" Teriakanku mengangkasa menyebut namanya. Orang-orang ikut menjerit.Aku melihat ke arah Marry tadi pergi. Ia masih terlihat, belum jauh berjalan. Kuletakkan tubuh Leang dan bangkit berlari mengejar Marry.
Kutarik pakaiannya. Tenagaku berlipat ganda. Kutinju wajahnya, kudorong tubuhnya, kuinjak-injak perutnya, dadanya. Ia berteriak-teriak. Orang-orang berusaha memegangi aku. Tapi aku sudah kerasukan setan. Aku terus menendangnya.
Kulepaskan diri dari pegangan orang-orang. Aku benar-benar kalap. Kulihat sebuah batu besar di pinggir jalan. Kuangkat dan kulemparkan ke arah kepala Marry yang sedang dibantu duduk oleh beberapa orang. Mereka berteriak, tapi aku tak perduli.Terbayang tubuh anakku yang bersimbah darah. Aku pun ingin melihat dia bersimbah darah. Kuambil lagi batu tadi, kuhantamkan berkali-kali ke kepala Marry. Orang-orang menjerit. Darah muncrat dari kepalanya, mengalir membasahi jalan...Sirine dua ambulans meraung-raung beriringan membelah jalan kota, bersaing dengan raunganku yang mendekap Leang.Aku menyebut nama putraku dan nama Tuhan berganti-ganti. Aku mengiba, memohon, agar Tuhan memberikan keajaiban bagi anakku.Leang tak bergerak, kesadarannya telah lenyap, nafasnya yang lambat terdengar seperti dengkuran halus, matanya terpejam rapat, detak jantungnya yang kurapatkan ke dada adalah harapan terbesarku agar ia terus terpompa dan mendenyutkan na
Aku sendiri heran, mama dan bapak begitu baik, begitu santun, mengapa anak-anaknya memiliki temperamen dan karakter yang jauh berbeda.Kami kembali ke ruang tunggu IDM, kulihat ayah dan ibuku sudah datang. Mereka terlibat pembicaraan dengan Bapak, Nandean, dan Pak Syam, seorang tetangga yang kebetulan ikut ke Rumah Sakit karena menangani pertolongan Leang saat kejadian."Saya sedang berdiri di depan pagar rumah saya. Tiba-tiba pintu pagar Pak Regar terbuka lebar, suaranya keras. Saya agak terkejut. Saya lihat Marry yang membuka sambil marah dan entah mengatakan apa. Leang kecil melesat lari keluar, dikejar oleh ibunya, namun ada mobil lewat ngebut tak sempat menghindar. Saya dan beberapa orang yang kebetulan melihat menjerit, pak... Ngeri kami melihat tubuh kecil itu terpental dan terlempar lagi oleh mobil lain..." Pak Syam menceritakan kronologi kejadian.Ayah dan ibuku tercengang."Ibunya Leang menjerit sambil memeluk anaknya.." lanjut si Bapak.&
Namun jika menurut Tuhan kami tak layak untuk menjaga dan merawatnya lagi, maka aku mohon Tuhan memberikan kesabaran yang panjang dan keikhlasan yang tebal dalam jiwa kami agar mampu menerima takdir terbaikNya.Tak kuhiraukan Rara, Lily, Naura, Anggun, dan Rossy, yang kasak kusuk, mondar mandir tak jelas. Aku hanya fokus menguatkan hatiku agar siap menghadapi segala kemungkinan. Berharap yang terbaik, bersiap yang terburuk."Makan, Nay." Ajak Mama.Aku menggeleng."Makanlah walau sedikit, nanti kau sakit." bujuk Bapak."Makan, Nay." Nandean menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.Aku mengunyah pelan.Pepatah yang mengatakan nasi dimakan terasa sekam air diminum terasa duri ada benarnya, kini aku merasakannya sendiri.Betapa sulit aku menelan makanan ini.Aku menyerah di suapan kedua."Minum, kak." Rossy menghampiriku, membawakan satu cup es jeruk."Terimakasih" Ucapku pelan.Lily melirik benci.
"Mama dan bapak juga tahu, sudah bertahun-tahun kau sabar menghadapi kelakuan Marry." Lanjut mama.Air mataku mengalir lagi.Terimakasih, Tuhan, Kau berikan aku mertua sebaik ini."Leang, nenek keluar dulu yaaa. Mau beli jus untuk Leang. " pamit mama sambil tersenyum."Jus jambu ya, nek. Eang mau dua." kata Leang.Mama mengiyakan.Seorang perawat menghampiri kami."Ibu, kamar untuk Leang sudah siap. Kita pindah yaa. " Katanya ramah."Oh, iya mba." Jawabku.Beberapa perawat lain dengan sigap memindahkan Leang ke tempat tidur lain dan mendorongnya keluar.Suamiku sudah berdiri di depan pintu."Ibu, ini mobilan ya? Panjang tapi gak ada atap dan kacanya." tanya Leang.Para perawat yang mengantar tertawa."Iya, dek. Kaca dan atapnya belum dipasang." jawab salah satu dari mereka.Aku melihat Lily dan anggun di ruang tunggu. Mereka mendekat."Leang." Sapa Anggun"Heiii..." Sapa Lily"Mau pi
"Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham."Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.Kedua kakakku bangkit.Aku harus menunggui Leang di kamar."Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang."Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.Mereka berlalu.Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku.Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku.Menghargai atau malah memusuhi?Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga.Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara
Kami memilih tempat di sebuah sudut halaman parkir yang agak rindang untuk bermusyawarah. Bapak mulai membuka rundingan, menyampaikan hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis yang harus dilakukan termasuk estimasi biaya."Jadi Saya mengumpulkan kalian untuk memusyawarahkan bagaimana kita akan mengatasi masalah ini. Setiap orang harus berpendapat, supaya nanti tidak ada saling iri dan saling menyalahkan. Kita semua mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Marry." Kata Bapak."Yang membuat Marry sakit lah yang bertanggungjawab." Celetuk Rara yang langsung diperingatkan oleh Bang Ishaq, suaminya."Apaan sih" katanya pelan."Aku setuju sama Rara." Kata Lily."Kalau gak mau tanggungjawab, kita laporkan ke kepolisian, kasus penganiayaan." Lanjutnya.Nandean mendehem."Kalau menurut aku sih kita bisa sumbangan semampu kita, jika masih kurang nanti dicarikan jalan lainnya." Kata Naura yang diiyakan oleh Tanto, suaminya.
"Kalau begitu kau dengan si Lily sama gilanya." Gerutu Bapak."Coba Ishaq, kau didiklah bagaimana seharusnya istrimu itu." Kata Bapak kepada Ishaq.Kulihat wajah Bang Ishaq memerah."Si Rossy, umurnya paling muda diantara kalian tapi isi pikirannya lebih baik." Ucap Bapak lagi."Coba sih dijaga bicaramu, Rara, Lily, terutama di depan besan kami. Bukan kau yang dianggap kurang ajar, tapi aku, Bapakmu yang dipandang orang kurang ajar akibat perbuatanmu. Terutama kau, Rara. Macam tak punya otak kau kulihat. Malu saya kau buat didepan Pak Ikram, kalian minta mereka membayar biaya si Marry. Si Naya ini menantu kami, dunia akhirat dia sudah jadi bagian keluarga ini, kalian masih anggap dia dan keluarganya seperti orang lain. Lagipula yang terjadi pada Marry bukan sepenuhnya kesalahan Naya, salah si Marry bikin gara-gara." Bapak bicara panjang lebar."Lily yang nyuruh aku ngomong." Rara membela diri."Mana ada aku nyuruh kau ngomong." Elak Lily
Aku tahu ayah sedang menegurku dengan cara halus. Aku memang bersalah, aku lepas kontrol hingga membuat Marry dalam keadaan koma hingga kini.Meski aku punya alasan, aku memilih diam.Aku tak ingin mendebat orang yang telah mengajariku berbicara.Kefasihan ayah bicara, kebijakan kata-katanya, ketajaman analisanya, semua terwarisi oleh kami anak-anaknya.Tapi di hadapan ayah, kami tak pernah mendebat. Jika pun harus memberikan argumen maka argumen itu kami sampaikan dengan cara yang sopan dan tidak menyakiti orang tua kami."Ayah mestinya mengatakan itu pada kakaknya Nandean." Kata Kak Ilham dengan santai.Ayah tersenyum."Yang ada ayah langsung diusir siapa itu namanya? Lily? Ya Lily!" Ledek kak Irfan.Mereka pun tertawa."Bagaimana hasil rundingan keluarga Pak Regar tadi?" Tanya Ayah padaku."Mengumpulkan sumbangan dari tiap anggota keluarga." Jawabku.Ayah mengangguk-angguk."Berapa yang terkum
Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil
Sebulan sudah Lily dan Antar berada di rumah Bapak. Nandean sering bercerita bahwa Bapak sering mempertanyakan mengapa Antar bisa meninggalkan pekerjaannya lebih dari sepuluh hari, padahal cuti maksimal yang bisa didapatkan seorang karyawan maksimal cuma 10 hari."Mungkin dia berniat mencari pekerjaan lain, pak," jawab Nandean."Sudah sebulan ini dua orang itu makan-tidur, makan-tidur di rumah saya," gerutu Bapak."Tak ada basa-basinya menambah uang belanja Mamamu atau membantu pekerjaannya di rumah. Saya lihat Mamamu kerepotan sendiri di rumah," kata Bapak lagi."Bapak bilanglah kalau bapak keberatan," saran Nandean."Sudah pernah saya tanya, alasannya tunggu proses mutasi si Lily," jawab Bapak."Tunggu proses kan tidak harus disini, bisa tunggu di kampungnya sana," ujar Nandean."Seminggu yang lalu si Marry lihat si Antar membuka-buka laci buffet di ruang depan katanya. Waktu ditanya, dia bilang sedang cari gunting. Si Lily ada di kamarnya, Mamamu sedang di belakang." Bapak bercerit
"Aku mau pakai mobil," katanya."Terus?""Bawa sini mobil Bapak!""Mau aku pakai!""Kau kan punya mobil sendiri,""Itu mobil mertuaku, mau dipakai anaknya!""Biasanya Naya tidak bawa mobil,""Sekarang disuruh ayahnya bawa mobil, karena setiap pagi dia mengantarkan Leang ke rumah mertuaku,""Kau sajalah yang mengantarkan mereka!""Naya berangkat lebih pagi dari aku,""Rempong amat sih!""Kau yang rempong! Tak punya mobil tapi ingin pakai mobil! Naik motor saja kalau belum punya mobil,""Sok kaya kau!""Jangan lupa, motor yang kau pakai itu juga punyaku! Baca nama di STNK nya baik-baik!"Klik! Panggilan diputus.Nandean tertawa."Kapan lagi aku bisa mengerjai mereka, kalau tidak sekarang." Dia bicara sendiri."Nanti kau berubah jadi seperti mereka, Pak," sahutku."Ya, tidaklah! Aku kan hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan, sekaligus memberi pelajaran pada Lily sedikit demi sedikit.
Sebulan kemudian Lily dan Antar kembali ke rumah Bapak."Aku tak mau pindah kamar, Pak!" Marry protes kepada Bapak."Lalu kakakmu tidur dimana nanti?" tanya Bapak."Di kamar belakang lah! Kan kosong!" Marry berkeras."Memangnya aku pembantu?" ujar Lily emosi."Dulu kau yang bilang, kalau sudah menikah tidak boleh menempati kamar yang ada di depan, harus di belakang," jawab Marry."Kapan aku bilang?" debat Lily."Waktu Nandean dan Naya tinggal disini!" jawab Marry keras."Ooo... Jadi kau anggap aku dan istriku pembantu waktu tinggal disini ya?" tanya Nandean sambil tertawa."Aku tidak bilang begitu," gumam Lily."Tadi kau bilang, 'memangnya aku pembantu?' seolah yang ada dalam pikiranmu hanya pembantu yang pantas tidur di kamar belakang," cecar Nandean."Konsisten dong, Ly, konsisten. Apa yang pernah kau ucapkan, kau ajarkan pada adik-adikmu, harus kau laksanakan." Nandean bicara sambil menahan tawa."Kau dengar
"Tapi jangan main-main dengan saya, kalau ada yang berniat jahat pada keluarga saya, akan saya balas lebih jahat!" lanjutnya sambil tertawa.Lily menangis terisak-isak. Antar hanya diam.Setelah semua siap, kami pun berangkat. Kembali menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, melewati pasar-pasar desa, dan memasuki jalan lintas provinsi.Tiba-tiba Bapak tertawa, "saya rasa cocok si Lily bertemu mertua seperti Mamak si Antar ini. Sama-sama beringas dan bermulut pedas," ujarnya.Mama ikut tertawa."Semoga ke depannya jadi baik semua, Pak," ujar Nandean."Yang masih mengganggu pikiran saya, apa motif si Antar waktu berniat kabur kemarin itu ya?" tanya Bapak."Sebab orangtuanya orang baik-baik saya lihat," lanjut Bapak."Cuma si Antar lah yang tahu alasannya. Apa kita kembali lagi kesana, menanyakan langsung pada si Antar, pak?" tawar Nandean sambil tertawa.Bapak dan Mama tertawa kecil.Pikiranku melayang pada Lily. Membayan
"Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den
Bakul-bakul berukuran sedang berisi nasi diletakkan berselang seling dengan berbagai lauk, sayur, sambal, dan lalapan. Tidak ada sendok dan garpu. Sendok hanya diletakkan di mangkuk-mangkuk lauk dan sayur saja, bukan untuk makan. Mangkok-mangkok kecil berisi air disediakan sebagai tempat cuci tangan. Kami makan bersama, para ibu tak henti-hentinya berbicara meski mulutnya berisi makanan. Mereka membicarakan kelebihan dan kekurangan menantu masing-masing lalu saling membanding-bandingkan. Selesai makan para tamu pulang, beberapa masih tinggal dan membantu membereskan peralatan makan yang kotor dan membawanya ke belakang. Lagi-lagi Farida memanggil Lily."Jangan ngobrol disini!" Ujarnya, "kita ngobrol di belakang saja sambil cuci piring dan beres-beres yang lain," tangannya bergerak mengajak. "Aku ganti pakaian dulu," jawab Lily."Tak perlu ganti pakaian, pakai itu pun tidak masalah untuk ke dapur dan ke sumur, kan tidak mahal-mahal amat bajumu itu," celoteh Farida.Lily mengepalkan
Jam sepuluh kami kembali lagi ke rumah Pak Busthami, orangtua Antar. Kursi-kursi yang tadi kami duduki sudah dikeluarkan. Di ruang tamu dan ruang tengah rumah sudah dibentangkan tikar. Bapak masih terlibat perbincangan dengan Pak Busthami. Sepintas kudengar mereka sedang bercerita tentang sejarah hidup dan masa lalu masing-masing.Ibu Busthami kembali duduk menemani Mama di ruang tengah, kue-kue disuguhkan. Separuhnya adalah kue bawaan kami. Pembicaraan kami pun hanya seputar jenis kue dan resep-resep masakan. Ciri khas ibu-ibu."Sedang apa si Lily, Bu?" tanya Mama pada Bu Busthami."Sedang menggoreng ikan dia," jawab Bu Busthami."Disini menantu harus terlihat rajin, Bu. Biar tak malu kami pada tetangga," ujarnya lagi.Kami hanya tersenyum."Da, Farida!" Panggil Bu Busthami."Iya, Mak!" Farida menyahut. Beberapa detik kemudian sosoknya muncul."Suruhlah Lily mandi, biar bersiap dia. Tamu sebentar lagi datang," kata Bu Busthami."Pekerjaannya belum selesai, Mak," ujar Farida."Biar si
Orangtua Antar menyambut kami di depan."Cepat sekali kalian sampai," Ayah Antar menyambut kami dengan senyum lebar."Ayolah, masuk sini!" Ajak Mamanya Antar.Kami menyalami mereka."Farida! Farida! Adikmu sudah sampai, da!" Mama Antar berseru sambil berjalan ke dalam rumah.Seorang perempuan seusia Marry keluar, dengan kaos oblong warna biru dan sarung warna merah bermotif bunga."Selamat datang di kampung," ucapnya sambil tersenyum canggung pada kami.Kami duduk di ruang tamu dengan satu set kursi kayu yang terlihat masih baru. Jendela-jendela terbuka menampilkan pemandangan di luar rumah yang tampak hangat disirami cahaya matahari.Suguhan teh, kopi, goreng ubi, dan rebusan jagung memenuhi meja ruang tamu. Kami menikmati teh hangat tanpa harum melati sambil berbincang.Antar dan Nandean membuka bagasi, menurunkan koper-koper Lily dan memasukkannya ke dalam kamar yang ditunjukkan Mamanya Antar."Lily, kau bantulah kakak