Bagian 10Saat itu, masih acara penampilan peserta yang lain, dan masih tersisa cukup banyak, sembari menunggu Kania mengajakku untuk makan dulu.“Kamu lapar nggak? Kita makan dulu yuk?” ajaknya.“Tapi acaranya?”“Ah sudahlah, masih lama. Kita menunggunya sambil ngisi perut. Ayok!’’ Kania menarik tanganku. Namun sebelumnya، aku diminta mengganti baju, setelah itu kami menuju tempat makan. Di kesempatan makan bersama itu, kami saling bertukar cerita tentang pengalaman hidup. Kania terlihat terkejut saat ku ceritakan kisah kehidupanku.“Apa? Jadi gadis sombong itu benar benar ponakan mu?”Aku mengangguk. “Sudahlah Ka, kejadiannya sudah berlalu, lagi pula aku sudah memaafkan dia dan mantan suamiku.’’“Kami yang sabar ya Tih, aku yakin kamu akan sukses di pekerjaan ini. Oya kamu mau gak gabung di salon dan butik aku? Sekaligus jadi model ku lagi?” “Kania, bukan aku menolak bantuan mu, tapi saat ini aku ingin membalas kebaikan Bu Neni padaku selama ini.”“Siapa Bu Neni?”“
BAGIAN 11Kami kembali ke tempat duduk semula, sembari menunggu pembagian hadiah. “Wiih, Ratih terbang ke Perancis Ka,” ucap Lili dengan wajah berbinar.“Iya, Li, beruntung sekali dia. Kita aja yang setiap tahun hadir ke acara ini belum pernah dapat kesempatan itu, lah dia, niatnya nonton doang, eh tau-tau nya dapat rejeki nomplok.”Kania dan Lili tertawa bahagia. Sungguh ini seperti mimpi indah untuk ku, aku sendiri pun tak pernah menduga akan berada di posisi ini. Aku tak mampu berkata-kata, Allhamdulillah... Allah memberiku jalan dengan pertemuan ini. Dari kejauhan aku melihat Helen datang menghampiri ku dengan nafas tersengal senggal, terlihat terburu-buru. “Bibi! Kalau mau menang jangan curang. Bisanya kalian main mistis.” Teriaknya dengan nada bicara menggebu-gebu.Kami bertiga menatap heran kedatangan Helen. Dengan cepat Kania pasang badan di hadapannya.“Hei, gadis sombong! Apa maksud kamu bicara seperti itu? Hah?”“Apa kalian pikir gue gak tau? Kalian memasang
BAGIAN 12Aku terhenyak mendengar permintaan anak lelaki ku. Ku tatap dia kembali, rasanya baru kemarin aku menggendongnya dan selalu menasehatinya, sekarang anak itu sudah bisa berpikir jauh lebih dewasa dari aku. “Kamu mau ibu pakai hijab Nak?” tanyaku kembali sembari membelai rambutnya. Hanif pun menganguk.“Wajah ibu cantik, tapi ibu harus menutup rambut ibu. Bu, kemauan ini bukan Hanif yang suruh. Tapi Allah yang menyuruh ibu menutup aurat.”Seketika aku tertunduk malu saat mendengarnya bicara seperti itu. Aku menganggukan kepala, meskipun belum ada niat untuk memakai hijab, namun aku harus mempertimbangkannya. Karena banyak tawaran kerja yang menuntut ku tak boleh memakai hijab.“Nak, ibu pulang dulu ya? Ibu Neni takutnya sudah ada di rumah. Kamu baik-baik ya disini.”Hanif mengangguk dan mencium tanganku. Sebelum berlalu meninggalkannya, Hanif kembali memanggil ku.“Ibu...”“Ya Nak?.”“Jangan khawatir kan tentang rizki Bu, Allah menggantinya jika ibu meninggal
Bagian 13Malam hari pun tiba, Pak Ridho benar saja meneleponku, aku tak tau apa yang akan dia bicarakan. Aku pikir dia akan membicarakan hal penting, tapi nyatanya kami hanya bicara hal hal yang ringan saja. “Ratih, aku tau banyak tentang kamu, Helen telah menceritakan semuanya.”Aku terkejut mendengar penjelasan Pak Ridho, sebenarnya apa yang telah Helen sampaikan tentang aku ke Pak Ridho?“Helen bilang apa Pak?”“Bilang semuanya, semuanya tentang kamu.”“Maaf pak. Helen hanya ponakan aku yang hanya tau sebagian kecil dari masalah ku, selebihnya dia tak tau apa-apa.”“Oh begitu ya? Sudahlah lupakan ya, hari ini dan hari esok adalah milikmu, kamu harus punya harapan, harapan untuk lebih baik.”“Iya Pak.”Waktu semakin cepat berlalu, pihak panitia meminta data diri untuk pengurusan visa , aku menyerahkannya dengan cepat. Hingga tak sabar aku menghitung hari demi harinya. Aku ingin tau bagaimana indahnya negara lain selain negara yang ku tempati ini, bagaimana menara Eiffel
Bagian 14“Hanif sakit?” tanya Pak Ridho dengan raut wajah panik.“Bukan Pak, tapi adiknya Hanif yang sakit.”“Bagaimana keadaannya sekarang?”“Masih di dalam Pak.”“Kamu yang sabar ya, insyaallah tidak akan terjadi hal buruk pada anakmu.”“Aamiin.”Pak Ridho menoleh ke arah Mas Adam yang sedari tadi memperhatikannya. “Maaf anda siapa?”tanya Mas Adam yang sedari tadi memperhatikan Pak Ridho. “Kenalkan, saya Ridho temannya Ratih.”Mas Adam menatap penampilan Pak Ridho dari atas sampai bawah.“Ooh.” Ia menanggapinya dingin.Tak ingin berlama -lama, aku bergegas menemui Rahma, Akhirnya, aku bisa berada di sampingnya suatu hal yang sangat menenangkan. Saat itu Rahma terlihat begitu lemah, matanya terpejam rapat, ia belum tersadar, aku tak bisa meninggalkannya. Tak terasa sudah tiga hari aku berada di rumah sakit menunggu Rahma, ada perubahan yang terlihat ia sudah bisa menggerakkan jemarinya, dan matanya yang mulai berkedip-kedip meskipun masih terlihat tertidur. Sampa
Bagian 15Penjelasan Rahma tentang susu itu membuktikan Helen melakukan kejahatannya terhadap dirinya. Aku ingin mengusut tuntas masalah ini, karena sekejam itu Helen akan mengorbankan nyawa anakku. Tapi apalah daya, aku tak memiliki bukti apapun, bahkan gelas susu pemberiannya ikut lenyap tak tersisa, Helen begitu apik menjalankan aksinya. Keadaan Rahma membaik, Ibu dan Mbak Yuli ikut menjenguk Rahma di rumah sakit. “Ratih, Ibu minta maaf, baru bisa menengok Rahma hari ini, kemarin ibu sakit kepala, bahkan untuk berdiri saja dunia ini rasanya muter-muter.”“Iya Bu, tidak apa-apa, yang terpenting Rahma sekarang sudah sehat lagi, ingat bu jangan terlalu lama menonton televisi, nanti vertigo ibu kambuh.”“Iya Ratih, akhir-akhir ini Ibu suka nonton film kesukaan ibu, jam tayangnya lumayan malam dan lama. Mungkin karena itu.”“Bisa jadi karena itu bu.”Mbak Yuli mendekati aku, seakan ada yang ingin ia sampaikan.“Ratih, Mbak mau tanya. Ko kamu bisa berubah seperti ini? Ngomong-n
Bagian 16“Oh, begitu ya Bu? Tidak Bu. Perasaan saya pada ayahnya anak-anak tidak ada yang spesial. Biasa saja.” Bu Neni melempar senyum padaku.Saat itu aku dilema, aku ingin dekat dengan anakku Rahma, tapi kalau mas Adam setiap hari menemuiku, rasanya aku tak nyaman juga. Ku tatap wajah mungil Rahma yang sedang bermain boneka seorang diri.“Rahma? Rahma betah di sini atau di rumah Ayah?”tanyaku sembari menatap mata bulatnya.“Disini sama ibu, Rahma mau di sini saja sama ibu.” “Oooh, kamu mau di sini ya?Anak itu menganggukan kepalanya dengan cepat.Bagaimana ini? Rahma pun merasa betah denganku, rasanya tak tega aku jika harus menyuruhnya kembali pada Ayahnya. Aku kembali bicara pada Bu Neni, meminta pendapatnya untuk jalan terbaik. “Saya mengerti perasaan mu Ratih, ya sudah nanti kalau Adam datang, bicara kan dengannya, agar dia tidak sering datang ke sini.”“Baik Bu. “Keesokan harinya, di siang hari menjelang sore,Terdengar bunyi klakson mobil Mas Adam. Saat a
Bagian 17 Aku tak bisa memarahi Mas Adam di depan Rahma, ku ajak anakku ke kamar dan ku tidurkan ia. Setelah Rahma tertidur aku langsung bicara dengan Mas Adam. “Mas, aku tidak suka kamu perlakuan begini, kamu pikir aku tidak kerja? Kamu pikir aku tidak punya perasaan?” “Ada apa Ratih? Kenapa kamu marah?” “Kenapa? Kamu belum juga mengerti ?” “Mas Adam kita sudah bukan suami istri lagi, kita sudah memiliki kehidupan masing-masing. Aku gak mau kamu memanfaatkan Rahma.”sambung ku. Aku bergegas ke luar rumah. Namun Mas Adam menahanku. “Ratih, tolong jangan pergi. Aku mohon kembalilah hidup di sini bersama kami. Kami sangat membutuhkan mu Ratih. Oke! Kamu jangan lihat aku, tapi lihat Rahma, dia masih kecil. Tolong mengerti...” Mas Adam memohon mohon padaku, raut wajahnya menampakan perasaan iba. Dulu dia yang menyuruh ku pergi, sekarang dia memintaku untuk kembali. Bagian 9. Aku melihat Mas Adam menangis tanpa suara di hadapan ku, terlihat dari gerakan bahunya. “Mas, aku minta
Ya, aku harus ikuti rencana ibu. Memang terpikir sangat ekstrim, dan beresiko. Tapi tak ada pilihan lain, aku tak mau mempunyai saingan. Tak ada pilihan lain.*****"Berapa bayarannya?" "Sepuluh juta. Gimana?""Gila, ini pekerjaan berat. Mana mau kalau gue cuma di bayar Sepuluh juta?""Tenang, lu gak bakal di penjara. Karena lu akan berperan sebagai orang gila yang masuk pesta.""Ogah! Gue mau tambahan."Heu! Sial. Ternyata tak mudah membujuk preman jalanan ini."Oke, lu mau berapa?""Dua puluh Lima juta. Gimana?""Apa?""Terserah lu, gue pastiin gak bakal ada yang mau kalau lu hanya bayar di bawah angka yang gue tawar.""Oke. Gue setuju. Ingat pesan gue. Sasaran lu pengantin yang memakai cadar.""Siaaaap gue paham."Begitulah percakapan ibu dengan orang suruhannya. "Beres Helen, sekarang kita tinggal tunggu waktunya saja. Kamu siapkan uangnya Dua Puluh Lima juta,"pinta ibu. Aku harus memutar otak untuk pengeluaran uang, takutnya Mas Adam menanyakan uangnya selama ini aku pegang.T
"Apa maksud kamu? Memuji wanita lain di depan aku? Kamu tau Mas, Ratih memakai cadar untuk menutupi wajahnya yang luka. Sok tau kamu bilang cantik."Aku begitu murka saat Mas Adam menyanjung mantan istrinya di depanku."Meskipun wajahnya tertutup, tapi aku bisa melihat dia lebih cantik dari yang dulu,"jawabnya sambil berlalu meninggalkan aku."Berani sekali kamu Mas bicara begitu di depanku? Kamu benar-benar tidak menghargai aku!"Seketika orang sekitar memandangi ku yang tengah memarahi Mas Adam."Sudahlah Helen, kenapa kamu harus marah-marah? Aku bicara apa adanya.""Tapi kamu nyinggung perasaan aku Mas!" Pertengkaran kami hingga ke rumah. Aku benar-benar tak bisa terima suamiku terus membela mantan istrinya. Jelas-jelas aku lebih cantik dan lebihj muda dari Si Ratih!"Kalian kenapa setiap hari bertengkar terus, apa tidak capek?"tanya ibu yang melihat wajahku penuh kekesalan. "Gimana aku tidak marah Bu, tadi kami bertemu Ratih, Mas Adam malah terus memuji kecantikannya. Aku gak su
Sebulan berlalu dari kejadian itu, aku telah resmi menjadi istri Mas Adam.Dia terlihat sangat mencintai ku, tapi lain dengan perasaan ku, aku belum bisa mencintai nya, apalagi harus menerima kehadiran anaknya. aku menikahinya hanya untuk menumpang hidup. Menikahiku adalah harapan Mas Adam dari dulu, jadi ia begituBahagia saat Ibu datang untuk menawarkan aku untuk nya. Dia suami penurut, gajinya aku yang pegang. Tak hanya itu, ku jadikan anak tiriku Rahma menjadi babu di rumah. Lumayan ngirit, gak perlu cari IRT. Meskipun awalnya susah ngajarin dia nyapu, dan nyuci yang bersih. Tapi Lambat laun dia akan menjadi gadis yang rajin.Seperti hari ini setelah Mas Adam berangkat kerja ku beri tugas dia mencuci baju. "Rahma gak bisa Bu. Ayah gak bolehin Rahma nyuci."ucapnya manja."Gak bisa, gak Bisa! Bisanya apa kamu? Makan? Jajan? Ngabisin duit? Hah? Ayahmu gak ngajarin kamu, sekarang di sini ada Ibu, jadi kamu harus nurut apa kata ibu. Paham?"Anak itu terdiam dengan wajah ketakutan."
Pov Helen... Aku merasa kecantikan ku begitu sempurna, berawal dari Mas Adam suami Bibi ku yang tajir namun kurang menyukai istrinya, sehingga ia lebih sering mengajakku ke acara-acaranya. Bukan hanya itu, Mas Adam pun memperkenalkan aku sebagai istrinya. Sebenarnya menurut ku itu berlebihan, tapi demi uang ku setujui permintaan dia.Entah mengapa semakin dekat dengan Mas Adam, semakin aku tak peduli dengan perasaan istrinya. Aku memang sedikit menyukai Mas Adam, hanya karena ia royal memperlakukan ku, dia selalu memberi berapa pun yang ku minta. Bagusnya lagi, ibu ku mendukung kedekatan ku dengan adik iparnya ini. Karena ibupun merasakan hasil dari kedekatan ku dengan Mas Adam. Hingga hari itu benar-benar tiba. Mas Adam menceraikan Bi Ratih, malang sekali wanita gendut itu, ia harus menghidupi anaknya tanpa tempat tinggal, karena Mas Adam telah mengusirnya. Ibu selalu membujukku agar menikah dengan Mas Adam, tapi aku tolak, karena aku masih penasaran dengan lelaki tampan yang
"Wajahkuuuu.... Bu, wajahku hancur Bu." aku terus menangis histeris, ingin meronta namun sia-sia, percuma meskipun aku teriak hingga kehabisan suaraku, wajahku tak akan kembali seperti semula dengan cepat. Bu Neni dan Mas Ridho terus menenangkan aku, dan menyemangati ku. Hingga akhirnya aku perlahan bisa menerima kenyataan ini. Luka bakar serius itu menyebabkan rambutku hilang sebagian, terpaksa aku harus memotongnya pendek.Kini aku menjalani pengobatan di rumah sakit, Mas Ridho begitu setia menemaniku siang dan malam, terkadang jika ia sedang sibuk Bu Neni yang akan bergantian menemani ku. "Ratih, apa kamu tidak curiga pada Mbak dan ponakan mu itu? Kenapa mereka tidak menolongmu? Mengapa mereka lari saat kamu meminta tolong?""Aku tidak tau Bu, waktu itu aku lihat Mbak Yuli terlihat gesit, tidak terlihat sakit. Mungkin karena ia panik Bu.""Seharusnya Tih, meskipun mereka panik, saat melihat kamu seperti itu mereka menolongmu. Aah, tega sekali mereka. Saya merasa curiga ini
Tiga hari sudah berlalu tanpa komunikasi dengan Mas Ridho. Kadang ingin sekali aku meneleponnya , namun ingat dengan perjanjian membuatku mengurungkan niat.Ting... Satu pesan di terima, dari Helen. "Bi, bisa kerumah tidak Bi, ibu sakit. Aku tidak bisa mengurusnya."Mbak Yuli sakit apa? Aku harus menjenguknya."Ibumu sakit apa Len? Baiklah Bibi akan ke rumahmu."Akupun segera menutup telepon dan bersiap-siap pergi."Ratih, kamu mau kemana?"tanya Bu Neni."Mau ke rumah Mbak Yuli Bu, katanya dia sakit.""Ibunya Helen sakit? Sakit apa? Ratih, biar saya temani kamu.""Tidak usah Bu, hari ini tidak ada jadwal kerja, jadi lebih baik ibu istirahat saja di rumah.""Tapi Tih, perasaan ibu, kenapa tiba-tiba saja gak enak. Kenapa ya?""Nah, itulah akibat ibu kurang istirahat. Sudah, ibu tenang saja, aku itu mau nengok Mbak kandung aku, bukan musuh aku Bu. Jadi ibu tidak perlu khawatir ya?'"Ya sudah, kamu hati-hati ya Tih.""Iya, Bu." Ku salami tangannya sebelum berlalu pergi. Satu jam lebih,
"Jadi kamu sudah pernah menikah?"Mas Ridho menganguk. "Kamu tidak kecewa kan?""Tidak Mas, aku hanya ingin kenal anakmu.""Hmmm, baik nanti akan aku pertemukan kamu dengan Anggara.""Namanya Anggara ya? Apa dia ikut bersama ibunya?""Ya, dia dengan ibunya.""Baiklah atur waktunya saja, aku juga mau kamu bertemu anakku Hanif yang sekarang sedang di pondok.""Baik Ratih, nanti kita atur waktunya ya, terpenting semuanya harus sudah beres sebelum acara pernikahan kita."Aku mengangguk setuju. **** "Siapa dia? Jadi dia pacar Papah?" teriak anak bertubuh gempal itu. tatapan matanya sinis melihat ke arahku."Angga, dia calon ibu baru mu. Sebentar lagi Papah dan Ibu Ratih mau menikah. Dan Papah harap kamu dan Mami bisa hadir juga ya sayang?""Tidak! Aku tidak mau datang! Papah jahat!" Anggara tetap dengan pendiriannya, ia seperti tak meyukaiku."Ada apa ini Mas?" tanya seorang wanita yang baru saja datang, ia memakai gamis dan berkerudung panjang menghampiri Mas Ridho."Aira, maaf. Aku da
"Jadi, wanita itu Ratih?" tanya Mbak Yuli menatap tajam mata Mas Ridho."Benar Bu.""Kalau saja dari awal saya tau dia orangnya. Gak sudi saya datang ke sini. Helen! Ayok kita pulang!" Mbak Yuli dengan cepat menarik tangan anaknya dan berlalu dari hadapan kami. Semua orang menyaksikan kekecewaan Mbak yuli dan Helen. Mas Ridho menatap keduanya berlalu dengan perasaan bersalah."Ratih, bagaimana ini? Mengapa mereka berdua terlihat marah dan langsung pulang?""Sudah Mas, jangan hiraukan mereka, lihat tamu tamu kamu di depan semuanya menunggu.""Oke guys, maaf ada masalah sedikit. Mereka memutuskan untuk pulang lebih dulu, mungkin ada acara yang lebih penting dari ini. Mari kita lanjutkan , disini saya akan sedikit menggombal pada wanita yang ada di depan saya ini. Boleh?""Boleeeeeeh...." jawab tamu undangan serentak.Mas Ridho menatap wajahku lekat, dengan perlahan ia mulai mengungkapkan perasaannya."Ratih, saya sangat mencintai, mengagumi, dan sangat menyayangi mu, dari awal kita be
Hari itu pun tiba, Mas Ridho menjemput ku dengan santai, sayangnya Bu Neni tidak bisa ikut, karena ada acara ku ini terlalu mendadak, dan Bu Neni sudah menjadwalkan ke tempat undangan lain. Meskipun begitu doa-doa terbaik untuk kami Bu Neni sampaikan sebelum ia meninggalkan kami. "Ya sudah ya Tih, saya berangkat ya. Kalian hati-hati di jalan.""Iya Bu," balas Mas Ridho. Aku segera bersiap untuk berangkat ke acara yang sudah Mas Ridho siapkan. "Ratih, kamu benar-benar cantik."pujinya. "Alhamdulillah, " jawabku tersipu malu. Akhirnya kami berlalu menuju gedung acara. Di dalam mobil kita isi dengan perbincangan ringan. Tiba-tiba ponsel Mas Ridho berbunyi."Si Helen telepon, sebentar ya sayang."Aku mengangguk. Memberi waktu padanya untuk mengangkat telepon dari Helen. Mas Ridho sengaja mengaktifkan speakernya, mungkin tujuannya agar tidak terjadi salah paham ."Ya hallo Len, dimana? Jadi kan datang?""Jadi dong pak. Ini sudah siap tinggal otw.""Bagus, kamu ajak sekalian ibumu ya