Saat itu aku bahkan masih merangkul Kang Dadan. Katanya, ia kesakitan, entah benar atau tidak. Namun, ketika wanita itu menangis terisak, aku refleks melepaskan lenganku di pinggangnya.
Lalu mencoba membangunkan wanita itu.
“Bangun! Jangan merendahkan dirimu!”
Sayangnya wanita itu malah tetap mempertahankan posisinya. Sekarang ia malah menyentuh kadua kakiku.
“Hiks, aku mohon Mbak, jangan begini!”
“Jangan begini kenapa sih? Kamu datang nangis-nangis, aku mana mengerti?”
“Kang Dadan udah nalak aku. Kami bahkan baru menikah beberapa hari yang lalu.”
Saat itu ada ayah dan ibu di ruang tamu, tetapi mereka hanya menatapku dan Kang Dadan tanpa berkata apa pun.
“Kamu bisa ‘kan bicara sambil duduk di kursi!”
“Aku enggak mau, sebelum Mbak minta sama Kang Dadan untuk menarik kata-katanya.”
“Talak mana bisa ditarik.”
“Atau Mbak memang sengaja ya, minta Kang Dadan buat menceraikanku.”
“Jaga bicaramu
“Memangnya aku peduli!” ucap Kang Dadan.Pria itu lantas berbalik. Entah kenapa juga dengannya yang menggunakan kematian untuk mengancam demi sebuah kebersamaan? Rasanya seperti diingatkan kembali denganku yang melakukan hal serupa, tetapi untuk tujuan sebaliknya, aku meminta untuk ditinggalkan.Tepat saat Kang Dadan sudah mau kembali duduk di sampingku. Nining kembali mengangkat cutter kecil andalannya itu.“Aku serius Kang, kalian pasti panik ‘kan sekarang?”“Mati, ya mati aja Ning.”Ah, Kang Dadan kenapa dia terlalu to the poin. Ayah dan ibu bahkan langsung menatap menantunya itu dengan tatapan tak percaya. Nining pikir mungkin ancamannya kali ini akan membuahkan hasilnya. Nyatanya, ia malah dipermalukan seperti ini.Kang Dadan bahkan tak peduli dengan nyawanya.Di saat kami semua ternganga dengan sikap tak acuh suamiku. Wanita yang duduk di sebelah Nining itu mengambil ke
“Kok malah ketawa, Sayang? Akang serius! Sumpah Akang enggak pernah tidur bareng sama Nining. Sekamar aja enggak. Kami pernah serumah pun Akang tidurnya di ruang tamu.”Ia bahkan sampai menarik tanganku. Apakah aktingku sangat bagus sampai ia menduga aku benar-benar marah?“Aku percaya kok sama Akang.”“Kalau kamu percaya kenapa tadi sampai nangis segala?”“Memangnya aku harus bagaimana lagi? Istri kedua Akang betah banget di sini. Sudah diusir pakai cara halus sampai kasar dia malah makin menjadi.”“Ya Allah jadi semua itu Cuma pura-pura?”“Ck, iya.”Yang tak pernah aku sangka adalah pria itu seketika menarik tubuhku ke pelukannya. Padahal di belakang kami masih ada ibu dan ayahMalu sekali rasanya. Apa lagi dia melempar pakaiannya ke arah mereka.“Akang..., lepas dulu pelukannya!” bisikku.“Kenapa memangnya? Akang tuh senen
“Buka, woy!”Orang-orang itu malah berteriak. Sungguh mengapa mereka suka sekali melakukan perbuatan yang anarkis. Setiap kali aku melihat ke arah layar CCTV rasanya jantungku seperti akan meledak. Berpacu begitu cepat, sampai rasanya dadaku ikut sakit, karenanya.Apa lagi saat mereka malah berusaha melempari CCTV dengan pot bunga gantung yang berada di halaman.Tepat saat mereka bersiap memanjat. Warga setempat yang tidak lain adalah para tetangga kami, tampak menghampiri mereka. Sungguh mereka terlihat seperti orang-orang yang tak beradab.Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi orang-orang itu sepertinya tak terima dinasihati.Saat itu bukan hanya satu dua orang yang menghamiri rumah kami ada sekitar 10 orang yang mendampingi Nining. Namun, warga juga tak mau kalah, keributan itu membuat semakin banyak orang yang mendekat.Di tengah mereka yang sudah mulai terpojok. Polisi juga datang ke sana. Entah siapa yang melapor.
Kalau memang benar, mertuaku dalang di balik kekacauan ini. Hal apa yang Nining janjikan padanya, sehingga gadis itu mau-mau saja melakukan hal yang bahkan mengancam keselamatannya.“Mana mungkin Nining mau mencelakai diri sendiri? Enggak mungkin, kamu bicara seperti ini, sengaja ‘kan? Cuma buat cari pembenaran.”“Saya dengar dari mulut Nining sendiri. Dia yang bilang semuanya.”“Enggak mungkin, dia enggak mungkin sekonyol itu!”Juragan Asep sampai mengentakkan tongkatnya dengan cukup keras, rahangnya juga mengeras. Seiring dengan sorot matanya yang memerah.“Tolong ambil kembali uang ini! Saya enggak butuh uang Anda!” ucap Ayah.“Sombong sekali! Di polisi aja masih minta ganti rugi!”“Orang-orang Anda merusak rumah saya, wajar saya minta ganti. Coba saja mereka datang baik-baik, bukan merusak dan teriak-teriak seperti orang-orang yang tidak beradab saja. Saya jug
“Kenapa Dek? Ngomong sama siapa malam-malam gini?”Pria itu baru saja bangun, tetapi ia bahkan menatapku dengan penuh curiga.“Apa sih Akang, ini yang nelepon Teh Nadia. Katanya ibu kesurupan?”“Hah, kok bisa?”“Jangankan aku, Teh Nadia aja heran. Ini Akang diminta nelepon, katanya barangkali bisa bantuin rukiah.”“Aduh, mana bisa Akang yang begitu, Yas.”Ia lantas menghubungi Teh Nadia kembali. Namun, tidak langsung diangkat.“Mungkin masih di jalan, katanya tadi lagi cari ustaz. Jam segini, susah juga Kang nyari yang mau direpotin.”Dari pada panik, pria itu malah terlihat seperti orang yang kebingungan. Entah, karena efek bangun tidur atau hal lain. Kang Dadan malah hanya menggaruk tengkuk sambil meringis ke arahku.“Ih, orang ibunya kesurupan, kok malah mesem-mesem begitu?”“Ya, aneh aja Yas. Seumur-umur enggak pernah ibu
“Kok bisa Nining keluar, Kang?”Kami tak mungkin salah lihat, jelas-jelas itu Nining dan Juragan Asep. Namun, kenapa mereka bisa berkeliaran dengan bebas.Perhatian kami mendadak teralihkan begitu melihat 1 orang dengan setelan kemeja mengikuti di belakang ayah dan anak itu.“Oh, pengacara, pantas saja, tapi mungkin hanya ditangguhkan. Kalaupun bebas. Nining juga akan jadi tahanan rumah atau tahanan kota. Kasusnya kompleks jadi enggak mungkin dia bebas tanpa syarat.”Jika Nining benar tahanan kota, itu artinya ia akan tinggal di tempat ini selama masa tahanannya. Ah, sangat menyebalkan.“Bagaimana kalau dia datang dan berulah?”“Enggak akan berani, ‘kan kalau kamu lapor, pasti dia enggak akan bisa dapat keringanan hukum lagi.”Kalau memang begitu, setidaknya aku merasa lebih tenang.“Seharusnya Akang tadi bawa hp, sekarang jadi enggak bisa hubungin pihak kepolisian. Ua
Usai membaca pesan yang dikirim Juragan Asep pada ibu, Kang Dadan hanya diam sambil meremas ponsel itu. Rahangnya mengeras, bahkan kini tatapannya menjadi begitu tajam ke arah hotel.“Kang….”“Enggak bisa dibiarin Dek, mereka semakin semena-mena! Ibu pasti ketakutan sekarang.”Siapa yang tidak takut diancam seperti itu. Ibu pasti berpikir untuk melarikan diri. Entah ke mana ia akan pergi.Aku yang masih termenung, seketika bangkit melihat Kang Dadan yang mengambil langkah lebar, menyeberangi jalah, lantas masuk ke hotel. Aku yang memanggilnya sejak tadi bahkan tak dihiraukan sama sekali. Pria itu malah semakin mempercepat jalannya.Aku sudah kuawalahan, mengikuti langkahnya yang lebar dan panjang.Sampai ia berhenti di meja resepsionis dengan keadaan yang masih emosi pria itu menanyakan keberadaan Juragan Asep.Ia jelas tahu, setiap hotel punya kebijakan tersendiri dalam melindungi privasi pelanggannya.
Aku tidak tahu benar atau salah membiarkan ibu tinggal di sana. Namun, suami Teh Arum yang merupakan pemilik toko matrial bangunan, memang kerap kali memanfaatkan tenaga ibu yang berkunjung ke rumahnya.Parahnya di rumah, di mana dia seharusnya beristirahat usai lelah bekerja. Ibu masih juga direpotkan dengan anak-anak Teh Arum. Aku bahkan melihatnya sendiri. Sehingga ibu juga tidak betah lama-lama di tempat anaknya.Kami bukannya tidak mau menegur, tetapi apa yang dikatakan Teh Arum saat itu justru sangat menohok.“Kamu pikir siapa yang betah diomelin setiap jam. Ada aja yang dikomplen. Biarlah dia gantiin aku di toko. Aku juga capek,” keluh Teh Arum.Begitulah ia yang setiap kali diegur untuk memperlakukan ibu dengan baik, malah kami yang disalahkan. Ia merasa tindakannya juga benar, karena ibu terlalu cerewet. Sebenarnya aku juga tak menampik, jika ia keberatan. Faktanya anak-anak tak suka nasihat yang terkesan menggurui, kami buth teman ya