“Bisa jadi Kang Dadan terpaksa nikahin Nining, karena enggak mau ngelihat kita celaka. Aku bukannya berada di pihak Kang Dadan, tujuanku bicara begini juga bukan maksud mendukung perbuatannya. Aku cuma pengen Mbak tahu, kalau Kang Dadan juga enggak diam aja.”
Andai kamu tahu apa yang aku lakukan selama pernikahan kami berlangsung, aku hanya sudah lelah. Ini seperti puncak masalah, jadi ada pun kali ini ia memperjuangkan pernikahan kami, biarkan saja. Aku sudah tidak punya keinginan untuk menjalaninya lagi.
“Ibu sama ayah sudah datang. Sudahlah lain kali saja kita bahas.”
“Tapi, Teh.”
“Zam, aku tahu kita mungkin berhutang budi, tapi kukira semuanya impas. Jadi enggak perlu merasa harus membalasnya dengan tetap mempertahankan pernikahan. Aku enggak ingin jadi alasan dia berbuat zalim. Menahan hak istrinya yang lain hanya demi menjaga perasaanku. Aku juga enggak yakin akan diam saja ketika harga diriku diinjak-injak.
Pernikahan itu bukan tentang siapa yang kalah dan menang. Inilah yang kutakutkan. Meski aku membenci setengah mati padanya, rasanya berbahagia di atas derita orang lain, seperti beban moral bagiku. Aku tak menampik, ada sedikit rasa bangga ketika melihat pria itu lebih memilihku di banding istri mudanya. Namun, apa gunanya kebahagiaan semu ini pilihannya terlalu banyak, mungkin dulu akulah yang terlalu sombong. Memberikan pria itu pilihan harus memilihku atau ibunya, lalu ketika Tuhan menghadirkan satu perempuan lagi, aku baru tahu rasanya menjadi pilihan.Sakit sekali, sampai-sampai aku merasa tercekik karenanya.~Aku memutuskan untuk pergi ketika aku baru sadar jika Kang Dadan malah semakin mendekat ke tempat di mana aku berdiri sambil mencuri dengar pembiacaraan mereka. Aku mempercepat jalanku, jangan sampai di sadar kalau sejak tadi aku berada di dekatnya.Sungguh aku belum siap untuk bertemu dengannya.Akhirnya aku sampai ke mobil. Ayah dan ibu sudah menunggu di sana. Rupanya y
“Bukan cuma kamu yang sakit Yas, aku juga sama. Sakit sekali melihatmu seperti ini, tapi enggak bisa melakukan apa-apa. Kamu pikir Akang juga baik-baik aja? Enggak, Yas.”“Tapi, Akang jahat. Akang tega duain aku.”“Kasih Akang waktu Yas, sebulan aja. Akang janji secepatnya bakal mengakhiri semua ini dan tolong jangan hukum Akang dengan cara seperti ini. Akang enggak bisa hidup tanpa kamu.”“Sekarang bilang enggak bisa, aku yakin kalau kembali ke Sukabumi beda lagi ceritanya. Akang aja sanggup nikah diem-diem. Memang apa lagi yang enggak bisa Akang lakukan?”“Makanya dari itu Akang ke sini mau memperbaiki semuanya.”“Enggak ada yang bisa diperbaiki, Kang. Aku bahkan udah kehilangan kepercayaan sama Akang.”“Yas kita pasti bisa melewati ini, asalkan kamu dukung Akang, semuanya pasti akan kembali ke semula.”“Aku bahkan melihat Ibu sangat bahagia sa
Enggak semudah itu membalikkan keadaan. Tidak bisa kamu pergi dan datang semaunya.“Akang juga enggak akan gila hanya karena berpisah denganku. Sudahlah lupakan saja semuanya! Aku juga sudah enggak berminat untuk membangun rumah. Kebetulan juga kita ketemu di sini, aku malah berniat buat mengembalikan uang itu.”“Apa-apan sih Sayang, itu uang buat kamu kok.”“Bukannya Akang menganggur sekarang?”“Akang masih bisa cari uang sendiri. Itu sudah jadi hak kamu, pantang meminta kembali uang yang sudah ada di tangan sendiri.”“Aku cuma enggak mau ada omongan enggak enak ke depannya, bilang aku serakah dan zalim, gara-gara uang hasil penjualan toko aku gunakan sendiri.”“Memangnya siapa yang berani bilang begitu, wajarlah istri pakai uang suaminya.”“Kalau istrinya cuma satu ya wajar sekarang ‘kan udah beda cerita. Kurasa setelah ini akan makin banyak orang ya
“Jaga dedeknya baik-baik ya, enggak boleh lari-lari kayak tadi.”“Kang, ini bukan saatnya bicara seperti itu.”“Yas, Ibu mau ke kamar dulu! Kalau sudah selesai tutup pintunya, ya!”“Iya, Bu.”“Tuh, lihat Akang sudah diusir!” katanya sambil terkekeh.Sungguh hatiku bahkan sedikit mendengarnya.“Memangnya Akang sekarang mau ke mana?”“Ke hotel, sambil cari kerjaan paling.”“Terus urusan Nining, Akang beneran sudah menalaknya?”Pria itu mengangguk cepat, sambil mengangguk cepat.“Kapan?”“Sebelum ke sini. Akang sempat bicara dengan Nining, kalau Akang enggak bisa melanjutkan pernikahan ini.”“Terus dia terima gitu aja?”“Enggak.”“Orang tuanya juga pasti enggak terima Kang, bagaimana coba kalau mereka mengancam kita?”“Ya b
Saat itu aku bahkan masih merangkul Kang Dadan. Katanya, ia kesakitan, entah benar atau tidak. Namun, ketika wanita itu menangis terisak, aku refleks melepaskan lenganku di pinggangnya. Lalu mencoba membangunkan wanita itu. “Bangun! Jangan merendahkan dirimu!” Sayangnya wanita itu malah tetap mempertahankan posisinya. Sekarang ia malah menyentuh kadua kakiku. “Hiks, aku mohon Mbak, jangan begini!” “Jangan begini kenapa sih? Kamu datang nangis-nangis, aku mana mengerti?” “Kang Dadan udah nalak aku. Kami bahkan baru menikah beberapa hari yang lalu.” Saat itu ada ayah dan ibu di ruang tamu, tetapi mereka hanya menatapku dan Kang Dadan tanpa berkata apa pun. “Kamu bisa ‘kan bicara sambil duduk di kursi!” “Aku enggak mau, sebelum Mbak minta sama Kang Dadan untuk menarik kata-katanya.” “Talak mana bisa ditarik.” “Atau Mbak memang sengaja ya, minta Kang Dadan buat menceraikanku.” “Jaga bicaramu
“Memangnya aku peduli!” ucap Kang Dadan.Pria itu lantas berbalik. Entah kenapa juga dengannya yang menggunakan kematian untuk mengancam demi sebuah kebersamaan? Rasanya seperti diingatkan kembali denganku yang melakukan hal serupa, tetapi untuk tujuan sebaliknya, aku meminta untuk ditinggalkan.Tepat saat Kang Dadan sudah mau kembali duduk di sampingku. Nining kembali mengangkat cutter kecil andalannya itu.“Aku serius Kang, kalian pasti panik ‘kan sekarang?”“Mati, ya mati aja Ning.”Ah, Kang Dadan kenapa dia terlalu to the poin. Ayah dan ibu bahkan langsung menatap menantunya itu dengan tatapan tak percaya. Nining pikir mungkin ancamannya kali ini akan membuahkan hasilnya. Nyatanya, ia malah dipermalukan seperti ini.Kang Dadan bahkan tak peduli dengan nyawanya.Di saat kami semua ternganga dengan sikap tak acuh suamiku. Wanita yang duduk di sebelah Nining itu mengambil ke
“Kok malah ketawa, Sayang? Akang serius! Sumpah Akang enggak pernah tidur bareng sama Nining. Sekamar aja enggak. Kami pernah serumah pun Akang tidurnya di ruang tamu.”Ia bahkan sampai menarik tanganku. Apakah aktingku sangat bagus sampai ia menduga aku benar-benar marah?“Aku percaya kok sama Akang.”“Kalau kamu percaya kenapa tadi sampai nangis segala?”“Memangnya aku harus bagaimana lagi? Istri kedua Akang betah banget di sini. Sudah diusir pakai cara halus sampai kasar dia malah makin menjadi.”“Ya Allah jadi semua itu Cuma pura-pura?”“Ck, iya.”Yang tak pernah aku sangka adalah pria itu seketika menarik tubuhku ke pelukannya. Padahal di belakang kami masih ada ibu dan ayahMalu sekali rasanya. Apa lagi dia melempar pakaiannya ke arah mereka.“Akang..., lepas dulu pelukannya!” bisikku.“Kenapa memangnya? Akang tuh senen
“Buka, woy!”Orang-orang itu malah berteriak. Sungguh mengapa mereka suka sekali melakukan perbuatan yang anarkis. Setiap kali aku melihat ke arah layar CCTV rasanya jantungku seperti akan meledak. Berpacu begitu cepat, sampai rasanya dadaku ikut sakit, karenanya.Apa lagi saat mereka malah berusaha melempari CCTV dengan pot bunga gantung yang berada di halaman.Tepat saat mereka bersiap memanjat. Warga setempat yang tidak lain adalah para tetangga kami, tampak menghampiri mereka. Sungguh mereka terlihat seperti orang-orang yang tak beradab.Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi orang-orang itu sepertinya tak terima dinasihati.Saat itu bukan hanya satu dua orang yang menghamiri rumah kami ada sekitar 10 orang yang mendampingi Nining. Namun, warga juga tak mau kalah, keributan itu membuat semakin banyak orang yang mendekat.Di tengah mereka yang sudah mulai terpojok. Polisi juga datang ke sana. Entah siapa yang melapor.