Part 5
Usia kandunganku sudah menginjak tujuh bulan sekarang. Sesuai adat orang Jawa, akan diadakan tasyakuran mitoni. Keluarga Mas Fahmi yang mengurus semuanya. Namun, acara akan dilangsungkan di rumah ibuku. Jika di rumah kontrakan kami jelas tidak akan cukup. Karena tempatnya sangat sempit.
Setelah perdebatan ku dengan Mas Fahmi tempo hari, aku tidak menemukan kejadian yang membuat curiga. Saat ke rumah keluarganya, semua bersikap biasa saja. Ia empat bersaudara. Kakak pertamanya Mas Wahyu. Kedua Mbak Santi, Mas Fahmi nomer tiga dan terakhir Dewi yang seumuran denganku dan sudah menikah serta memiliki anak. Aku lebih sering bertemu dengan saudara perempuannya.
“Nduk, apa tidak sebaiknya kamu pulang kesini saja? Kandunganmu sudah besar itu lho. Lagipula, kamu ini ‘kan kerjanya lebih dekat kalau dari rumah Ibu,” ucap Ibu saat aku mampir ke rumah ketika pulang kerja.
“Tidak, Bu. Aku gak mau ngerepotin Ibu,” tolakku halus. Karena yang sebenarnya adalah Mas Fahmi tidak mau jika tinggal bersama keluargaku.
Ibu terlihat kecewa. “Ya, tapi kalau kamu sudah lahiran atau mau lahiran, kamu pulang, ya?” kata Ibu lagi.
Aku tersenyum dan mengangguk. Berharap jika Mas Fahmi mau tinggal di sini untuk sementara waktu. Sore hari pamit pulang. Saat sampai rumah, Mas Fahmi sudah pulang juga.
“Kamu kemana saja?” tanyanya cemas. “Aku menunggumu,” lanjutnya lagi.
“Ke rumah Ibu,” jawabku singkat. “Tadi pulang jam berapa?” Aku balik bertanya karena hari ini hari Sabtu. Jadwal dia berdagang. Tadi saat aku berangkat jam delapan untuk piket pagi, dia belum pulang.
“Aku pulang jam sepuluh. Mampir ke rumah ibuku dulu, bahas acara tujuh bulanan kamu. Mandi dan makanlah! Aku mau bicara hal yang penting sama kamu,” katanya lagi.
Aku mengangguk saja karena lelah sudah mendera. Selesai mandi, berbaring sofa depan televisi. Punggung sudah terasa pegal. Tidur terlentang juga sudah mulai sulit. Mas Fahmi duduk di karpet yang ada di bawah sofa. Tangannya mengelus perutku dan menciumnya berkali-kali.
“Hanum, selama ini aku tidak pernah merepotkan kamu. Aku selalu memikirkan kebutuhan kita sendiri. Tapi, ada masanya juga aku membutuhkan bantuanmu. Jika aku butuh bantuan kamu, apa kamu mau membantu?” tanyanya terdengar sangat hati-hati.
“Kamu mau bilang apa?” tanyaku lirih.
“Untuk biaya tujuh bulanan, aku boleh pakai uang kamu? Soalnya bisnis lagi sepi. Permintaan barang menurun.”
“Permintaan barang menurun tapi kamu sibuk terus kalau hari Jumat. Gak pernah kamu pulang cepat. Sekarang malah seringnya menginap. Jadi, menginap dimana selama ini?” Kecurigaan yang sudah sirna, kini muncul kembali.
“Aku tetap harus berusaha. Untuk menginap dimananya, kamu sudah tahu. Aku selalu menginap di tempat pelanggan,”
‘Iya kali,” sahutku ketus.
“Hanum, kalau kamu memang tidak mau memberi uang, tidak apa-apa. Tapi tolong, aku pernah bilang sama kamu. Jangan pernah memancing perdebatan.”
“Mas, aku mau kasih kamu uang. Tapi dengan satu syarat,”
Mas Fahmi yang semula hampir emosi, kini memandangku dengan rasa penasaran. “Syarat apa? Sama suami kok pakai syarat segala,” katanya.
“Iya. Kamu harus ada di sampingku setelah pulang mengajar. Jika waktunya tidak berangkat karena tidak ada jam, aku ingin kamu di rumah saja. Sampai anak kita lahir. Tidak masalah jika kamu tidak kasih uang bulanan untukku. Bisa pakai uangku untuk kebutuhan kita. Kamu tidak perlu berdagang lagi. Ziarah ke makamnya berhenti dulu. Bukankah lebih penting siaga di rumah saat istri melahirkan?”
Mas Fahmi menggigit bibirnya berkali-kali. Nampak bimbang. Selama ini aku memang tidak bisa mengorek kehidupan ataupun rahasianya karena ia orang yang tertutup dengan siapapun. Namun, jika memang dia menyembunyikan sesuatu hal, suatu ketika akan terbongkar juga. Kalau setelah ini Mas Fahmi menurutiku, maka aku akan percaya padanya sepenuhnya.
“Baik.” Jawaban yang dikeluarkan Mas Fahmi membuatku sedikit lega.
“Kalau begitu, untuk acara tujuh bulanan, uangnya biar kuserahkan sama Ibu. Aku mau bilang itu dari Mas. Biar Ibu yang belanja, supaya keluarga Mas tinggal datang,” kataku setelah terjadi kesepakatan.
“Jangan! Itu namanya keluargaku seolah tidak menghormati keluarga kamu. Datang gak bawa apa-apa.” Mas Fahmi tidak setuju. “Uangnya biar aku yang bawa, ya? Aku kasih ke ibuku buat belanja. Nanti, pas siang acaranya semakan Al Qur’an, ‘kan? Lha pada saat itu keluargaku akan datang bawa-bawa jajan dan makanan buat tahlil sore harinya.”
Meski sempat bimbang, akhirnya aku menyetujuinya. Entah kenapa, sejak saat itu Mas Fahmi terlihat murung. Jika kutanya, dia hanya menjawab sedang sedih karena bisnisnya tidak berjalan lancar.
Hari tujuh bulanan tiba. Aku sudah menginap di rumah Ibu sehari sebelumnya. Sementara Mas Fahmi, dia di rumah ibunya untuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa.
Jam sembilan rombongan datang tanpa Mas Fahmi. Aku bertanya pada Dewi dimana keberadaannya. Dia bilang mendadak ada pesanan kain jadi harus mengantar sebentar. Kerabat Mas Fahmi membuat rujakan di teras samping, sedangkan kerabatku memasak daging yang dibawa mereka.
Aku berada di ruangan yang bersebelahan dengan teras saat mendengar mereka berbincang.
“Ini kamu yang belanja bahan rujakan, Wi?” tanya seseorang.
“Bukan,” jawab Dewi lirih tapi masih bisa terdengar. Kini, ku pertajam telinga agar bisa mendengar obrolan mereka.
“Mbak Santi?”
“Kalau dagingnya sih yang beli Mbak Santi. Tapi kalau jajan-jajan, Mas Fahmi bawa sendiri tadi pagi. Sudah siap di mobil pick up. Sama ini bahan rujakan juga. Gak tahu, padahal dia anti belanja,” jawab Dewi.
“Apa mungkin Hanum yang beli terus dibawa Fahmi ke rumah?”
“Gak mungkin. Mbak Hanum sibuk bekerja. Temannya kali yang belanjakan. Atau pesan bisa jadi. Soalnya Mas Fahmi sejak kemarin gak datang ke rumah. Dia baru datang tadi pagi bawa jajan itu. beli daging juga pakai uang Mbak Santi.”
“Lha kok bukan Mbak Santi sekalian yang beli?”
Tiba-tiba mereka diam. Hatiku mulai panas. Mas Fahmi sudah berbohong tentang keberadaannya tadi malam.
Part 6Aku bukan tipe orang yang cepat emosian. Meluapkan kekesalan dengan teriak-teriak. Bagiku, jika hal itu masih bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik, maka tidak perlu adu mulut. Maka, kuputuskan untuk meredam kesal karena bagaimanapun sedang ada acara yang berlangsung untuk selamatan calon bayi.Namun, tetap saja, hati rasanya tidak tenang. Apalagi, Mas Fahmi belum pulang sampai detik ini. Menunggu saat yang tepat dan sepi untuk berbicara empat mata dengan Dewi, rasanya susah sekali. Tamu datang silih berganti. Mereka umumnya teman Ibu yang mengembalikan sumbangan. Seperti itulah adat di tempat kami.Kamar kututup rapat. Aku benar-benar sudah gelisah karena hampir zuhur, Mas Fahmi tidak kunjung datang. Tiba-tiba, terlintas dalam benak, kenapa aku tidak membawa Dewi masuk ke kamar saja. Lalu, kaki ini melangkah keluar mencari keberadaan Dewi. Kenapa dia, bukan Mbak Santi yang kucari? Karena usia kami seumuran. Aku merasa lebih leluasa jika berbicara dengan dia.“Wi,” panggilk
Part 7 “Hanum, jangan membatasi gerakku, tolong! Aku ini lelaki. Apakah setiap usahaku untuk mencari rezeki harus aku ceritakan sama kamu? Aku malu, Hanum. Aku malu sampai meminta uang pada kamu untuk acara mitoni ini. Makanya, semalam aku berusaha mencari bantuan kemanapun. Mencari usaha baru pada teman-teman. Aku hanya bisa menggunakan waktu malam tadi karena kamu sudah mengijinkan aku untuk keluar. Kamu mau tahu aku dimana? Baiklah. Aku akan menelpon temanku. Kamu bicara sama dia, ya? Kamu tanya semalam aku ada dimana.”Mas Fahmi mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang. Aku masih belum melarangnya. Aku ingin tahu, apa dia berkata jujur tentang keberadaannya tadi malam.Telepon tersambung. Mas Fahmi berbicara pada orang yang ditelpon. “Tolong katakana pada istriku, Hanum, kalua semalam aku ke rumahmu untuk membahas bisnis baru,” katanya lalu menyerahkan ponsel padauk.Aku langsung menerimanya dan orang itu menjelaskan jika Mas Fahmi semalam ada di sana. Bersama orang itu juga is
Part 8Tanpa terasa tangan ini meremas benda pribadi milik perempuan yang aku pegang. Kulihat Mas Fahmi sudah tertidur pulas. Aku meletakkan dengan hati-hati, bra dan juga celana dalam di atas bantal guling. Harapanku, saat bangun nanti Mas Fahmi kaget dan mengetahui jika benda-benda itu sudah ketemu oleh aku. Setelahnya, aku memilih tidur di kamar lain yang masih kosong. Tidak lupa, sebelum tidur, aku membaca Surah Yusuf. Selama hamil, setiap malamnya aku membaca surah Yusuf dan Surah Maryam secara bergantian. Setelah membaca Al-Quran, hati terasa lebih tenang. Sejenak aku memandangi tembok yang ada di hadapan. "Ya Allah, jika memang aku salah, tunjukkan kesalahanku. Jika memang aku benar, maka tunjukkanlah kesalahan suamiku. Aku tidak ingin terus hidup dalam kecurigaan ini," ujarku lirih. Dulu, aku bukan orang yang mudah emosi. Namun, sejak hal-hal yang berhubungan dengan Mas Fahmi terasa janggal, aku jadi lebih sensitif. Apa karena aku sedang hamil? Meski lelah melanda, sulit
Part 9“Kamu mau makan apa?” tanya Mas Fahmi berbisik.Aku hanya diam saja enggan menanggapi.“Hanum,” panggilnya lirih.“Aku mau sendiri. Tolong tinggalkan aku,” jawabku lirih.“Kamu kenapa?” bisiknya mesra di telinga. Jika tidak dalam keadaan marah, tentu saja aku akan tergoda."Ada apa sebenarnya, Hanum?" tanya ibuku yang tiba-tiba masuk ke ruang dimana aku dirawat.Kata dokter, setidaknya aku harus dirawat paling tidak semalam. Untuk mengobservasi keadaan."Hanum terlalu lelah dan banyak pikiran sepertinya," jawab Mas Fahmi yang langsung berdiri. "Ibu mau ambil makanan yang ketinggalan di motor dulu, ya?" kata Ibu kemudian. Kami berdua kembali di ruangan yang hanya berisi pasien aku seorang saja. "Pergilah, Mas! Aku sama Ibu. Barangkali kamu sudah ada yang menunggu di tempat lain. Aku tidak mau membatasi gerakmu sekarang," kataku sambil menitikkan air mata."Hanum, kamu bicara apa? Dokter sudah bilang jangan banyak pikiran! Kamu terlalu stress dan terbebani dengan prasangka kam
Part 10 Saat mendengar langkah kaki mendekat, aku pura-pura tidur. Namun, sesekali mengamati gerak-gerik Mas Fahmi dengan membuka kelopak sedikit. Saat ini, aku merasa buntu sekali untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi. Namun, mengingat kondisi yang sedang hamil dan ada bayi yang harus kujaga, maka memilih berpikir positif saja. Bukan karena bodoh, bukan karena lemah, tapi, keselamatan bayi yang tengah ku kandung yang menjadi alasan. 'Mas Fahmi tidak punya selingkuhan! Mas Fahmi suami yang bertanggung jawab. Mas Fahmi adalah calon ayah yang baik.' Hatiku terus menekan kalimat itu. Kalaupun itu terjadi, maka aku akan tetap bertahan. Untuk anakku. Jika benar mereka selingkuh, Ema hanyalah pacar di masa lalu. Ia tidak boleh memiliki suamiku. * Malam itu, aku mendekati Dewi yang tengah bersantai duduk di teras samping rumah. Dia tersenyum saat aku duduk di sampingnya. "Sudah baikan, Mbak?" tanyanya. "Sudah, Alhamdulillah. Anakmu sudah tidur?" "Sudah, Mbak ...." Aku d
Part 11 Semalaman Mas Fahmi murung. Ia pelit jadi bicara, padahal sebelumnya dialah yang selalu mengajakku berbincang. "Apa kamu sedih tidak bisa menemui seseorang?" tanyaku tanpa basa-basi. "Kamu bicara apa? Aku sedang merasa tidak enak karena sudah menggunakan uang kamu," katanya. "Kemarin saat mitoni juga pakai uangku. Kamu biasa saja, Mas. Kamu tidak sedih, tidak juga murung. Kamu malah semangat mempersiapkan acara itu. Beli apapun kamu yang mempersiapkan. Apa karena saat itu, aku masih mengijinkan kamu pergi? Atau karena yang belanja semua persiapan acara adalah orang lain yang aku tidak kenal sama sekali?" Sambil tersenyum getir, kuucapkan segala rasa kesal. "Hanum, jangan mulai! Kamu mulai ngelantur. Bukankah aku sudah menjelang semuanya sama kamu? Aku sudah menyuruhmu untuk menelpon temanku juga istrinya. Kurang apa lagi? Jangan memancing perdebatan! Nanti kamu bisa sakit lagi." "Kalau begitu, kamu juga ikut menjaga kondisi emosiku! Jangan aku saja yang harus menjagan
Part 12 "Mbak Hanum ...." Dewi memanggil. Aku tidak peduli. Tetap mengemasi barang-barangku, memasukkan ke dalam tas. Suara lantunan orang mengaji yang saling bersahutan menambah pilu hati ini. Sampai detik ini, Mas Fahmi tidak menyusulku. "Kamu tahu hubungan mereka 'kan, Dewi?" tanyaku. "Mbak Ema hanya datang karena Bapak meninggal, Mbak." "Dari mana dia tahu kalau Bapak meninggal? Siapa yang memberitahu?" Dewi diam. Aku menghentikan aktivitas dan menatapnya. "Kamu yang memberitahu?" tuduhku. Dewi menggeleng cepat. "Tidak, Mbak. Tidak sama sekali. Bukan aku yang kasih tahu." "Mbak Santi?" Aku menuduh lagi. "Mbak Santi dari tadi sibuk menenangkan Ibu," jawab Dewi. "Mungkin Mas Fahmi sendiri yang kasih tahu." "Itu artinya mereka berhubungan. Kamu tahu itu, 'kan?" "Mbak, aku tidak--" "Aku tidak tahu lagi harus percaya siapa, Dewi. Aku mau pulang dulu. Daripada di sini, akan membuat suasana hati semakin sakit. Lihat, Mas kamu tidak juga menyusulku ke sini, 'kan?" "Mba
Part 13Mas Fahmi selalu terlihat murung saat pulang ke rumah Ibu. Namun, aku tidak mau menanyakan apa penyebabnya. Karena pasti berhubungan dengan uang, pekerjaan dan alasan lain yang sudah tidak lagi kupercaya. Ibu sedikit curiga karena hingga hari ke tujuh, aku tak kunjung ke rumah mertuaku. "Tidak sopan dan tidak etis lho, Hanum. Masa iya, mertuamu meninggal kamu hanya di sana sehari saja. Datanglah ke sana malam ini, ya? Ibu yang malu kalau kamu tidak datang. Itu sungguh tidak patut. Ini, Ibu sudah membeli gula dan teh buat kamu bawa." Bimbang. Aku sebenarnya tidak ingin sekali menginjakkan kaki di rumah Mas Fahmi. Masih trauma dan bayangan dia yang mengaji di dalam kamar bersama Ema, masih menghantui pikiran. Namun, demi harga diri Ibu, akhirnya aku mau saja. Nanti malam tepat selamatan tujuh hari Bapak Mertua. Sejak aku di rumah Ibu, Mas Fahmi hanya pulang ketika malam hari. Kini, tak ingin lagi aku mempertahankan dia di sampingku. Sekuat tenaga dan juga banyak taktik kulaku
Tangis bayi membuatku membuka mata perlahan. Meski terasa berat, aku memaksakan diri untuk bangkit. “Aww,” pekikku saat menyadari perutku sakit. “Jangan bangun! Kamu habis dioperasi.” Sayup terdengar seseorang menjawab. Itu suara Bapak. Kepalaku pusing, bumi seakan berputar karena terkena gempa. Pikiran melayang seperti aku terbang di atas taman bunga. Aku berpikir apakah aku akan mati? Lalu aku kembali lupa. Saat terbangun lagi, keadaan sudah lebih baik. Ternyata apa yang kurasakan tadi hanyalah efek bius. “Mas Fahmi mana, Pak?” tanyaku saat melihat bapak duduk di samping ranjang. “Fahmi belum datang,” jawab bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku hanya bisa menunduk sedih, ingat kalau sejak pertama kontraksi, Mas Fahmi tidak mendampingi. Selama menikah beberapa bulan dengannya, aku hanya didatangi ke rumah kontrakan berapa hari sekali saja. Sering menjalani kehamilan seorang diri tanpa ada suami yang mendampingi, membuatku merasa kalau pernikahan dengan Mas Fahmi tidak membuat ap
Part 45Pagi itu, Rahmi kembali sehabis membeli sayuran pada tukang sayur keliling. Wajahnya nampak kemarahan yang menyala-nyala.“Kamu kenapa?” tanya Herman saat istrinya sampai di rumah.“Orang-orang menggunjing Ema, Pak,” jawabnya.Herman yang berada di depan mesin jahit menghentikan aktivitas kerjanya. “Apa kita mengalah saja, menemui Fahmi ke rumahnya dan meminta pertanggungjawaban darinya?” ucapnya pelan. Ada rasa tidak ikhlas yang melanda hati saat mengucap kalimat demikian.Rahmi diam di tempat duduknya. “Tidak ada pilihan lain, Pak. Kita tidak bisa membiarkan Ema menanggung semuanya sendiri. Bagaimanapun, anak yang dikandungnya butuh seorang ayah,” katanya seolah setuju dengan apa yang diusulkan oleh Herman.Ema sudah berkali-keli menghubungi Fahmi. Akan tetapi, pria itu sama
Part 44Plak!Sebuah tamparan keras mengenai pipi Ema saat ia baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Untung saja satu tangannya dengan sigap memegang tembok sebagai tempat bertumpu. Satu tangan yang lain memegang pipi yang terasa panas.“Dari mana saja kamu, anak nakal?” tanya ayahnya dengan wajah yang merah padam penuh kemarahan.“Ema, apa yang kamu lakukan berhari-hari ini? Kemana kamu pergi?” tanya ibunya tidak sedikitpun berminat menolong anak perempuannya yang terlihat kesakitan menahan tangis.“Kalau aku pergi, apa kalian akan peduli?” Alih-alih menjawab pertanyaan dari orang tuanya, Ema malah balik bertanya dengan suara yang sedikit tinggi. Pertanyaan yang seolah menyudutkan orang tua yang sedari dulu tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Fahmi.“Kalau beg
Part 43 (Ekstra Part 1)POV HANUMTidak mudah menjalani hari setelah bercerai dengan Mas Fahmi. Kenangan indah, kenangan buruk, datang silih berganti menorehkan sejuta luka. Aku selalu mengatakan pada saudara-saudaraku jika hati ini bahagia dan lega dengan keputusan yang telah kuambil.Namun, tentu saja aku berbohong.Hati wanita mana yang tidak sakit bila harus mengalami kenyataan pahit menjadi seorang selir? Ibarat sebuah sayatan pisau di tubuh yang menancap dalam, tentu saja tidak bisa sembuh dengan seketika. Butuh waktu yang lama, butuh obat yang banyak untuk bisa sembuh, meski setelahnya tetap saja menorehkan bekas.Bak sebuah sayatan tadi, ketika sembuh tetap ada bekas lukanya bukan?Cinta tidak akan hilang begitu saja dalam sekejap, meski orang yang kita cintai telah berbuat hal yang menyakitkan.Perceraian tentu juga
Part 42 (ENDING)Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki
Part 41Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki itu telah bersalah. Siapapun yang berad
Part 40 Satu hari menjelang sidang, Hanum yang sudah mulai berangkat bekerjadan hendak pulang--didatangi Fahmi. Lelaki itu benar-benar tidak mau bercerai darinya. “Kasihan Abhi, Hanum. Pikirkanlah sekali lagi! Jangan egois hanya mengambil keputusan berdasarkan dengan pandangan kamu dan juga saudara-saudaramu saja. Siapapun anaknya, dia pasti ingin ayah dan ibunya bersatu. Apa yang akan kamu jelaskan kelak jika Abhi dewasa, Hanum? Apa kamu ingin dia mentalahkan kamu karena menceraikan ayahnya?” tanya Fahmi yang masih duduk di atas kendaraan. “Pikirkan sekali lagi, Bunda! Jangan gegabah,” katanya lagi. Dahi Hanum mengernyit. ‘Bunda?’ Begitu pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya. Selama ini, Fahmi tidak pernah memanggilnya dengan panggilan yang spesial. Kali ini adalah kali pertama Hanum mendengar panggilang yang begitu manis. ‘Dia pikir aku akan luluh hanya karena dipanggil seperti itu?’ kata Hanum dalam hati. “Apa yang akan terjadi di masa depan, itu adalah urusanku, Mas. Ak
Ema masih tetap bertahan dalam beberapa hari di rumah Fahmi, meskipun mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Hanya ibu Fahmi yang sesekali masih menawarinya makan. "Aku tidak nafsu makan, Bu," jawab Ema selalu menolak. Siang itu, sudah seminggu lebih Ema berada di rumah Fahmi. Berkali-kali kepala sekolahnya menelpon menanyakan keberadaan nya mengapa tidak berangkat. "Saya sedang ada masalah, Bu. Izinkan saya menyelesaikan masalah ini. Setelah selesai, saya pasti akan ke sekolah dan bercerita sama Ibu. Maaf jika saya tidak bisa bercerita sekarang," kata Ema melalui sambungan telepon. Siang itu, Ema menemui Santi di rumahnya. Tatapan tidak suka langsung diarahkan padanya begitu ia masuk. "Ema, kenapa kamu kesini? Warga sudah banyak yang bergosip tentang kamu, Ema. Aku mohon, pulanglah! Jika kamu mau menyelesaikan masalah ini, maka cukup sama Fahmi. Jangan libatkan kami! Kami sudah cukup pusing dengan banyak sekali akibat yang ditimbulkan dari perbuatan kalian. Maka, tolong,
AHS 38Ema terbaring lemah diatas tempat tidurnya. Berhari-hari tidak ada makanan yang bisa masuk ke perut. Setiap kali memaksa makan, maka ia akan memuntahkannya."Kamu hamil?" tanya ibunya. "Jawab saja dengan jujur, Ema!" tekan sang ibu lagi saat masuk ke kamar putrinya.Ema hanya menangis dari balik selimut yang menutup tubuh."Bukankah dia sudah menikah, Ema? Dia menikah dengan orang lain dan kamu sekarang hamil?" Kesal, ibunya sedikit meninggikan nada suara. Meski masih dalam batas yang wajar karena tidak mau jika terdengar keributan oleh para tetangga.Isakan Ema semakin jelas terdengar."Jika dulu Ibu tidak melarangku, maka aku tidak akan mengalami semua ini. Jika saja Ibu dan Bapak mengakui pernikahan kami, aku pasti yang menjadi istri dah Mas Fahmi," kata Ema lirih."Kenapa kamu mau dimad