Part 17"Hanum, kakakmu tidak bisa dihubungi. Bagaimana ini?" Aku mendengar suara itu, tapi aku tidak bisa berpikir apapun. Mereka pasti tahu, bagaimana cara menanganiku. Masalah tidak ada keluarga yang mendampingi, tak mengapa. Aku sudah merasakan yang jauh dari sekedar merasa hidup sendiri. "Pembukaan sudah tujuh," kata bidan yang memeriksa. Rasanya semakin sakit saja. Kontraksi hanya berselang beberapa detik. Tidak sampai setengah jam setelah pembukaan tujuh, rasanya seperti ingin buang air besar. "Tahan, jangan mengejar! Dicek dulu pembukaan berapa. Hasna, dokter ada 'kan?" ujar salah satu orang. Aku sudah tidak terlalu tahu itu siapa. Dalam hati terus berdzikir menyebut namaNya. Allah, Allah, Allah, Allah, Allah. Hanya itu yang terus terucap. Air mata sesekali jatuh membasahi pipi ini. Dengan tanganku sendirilah aku mengusap. "Pembukaan lengkap.""Keluarganya belum datang?""Gak ada yang bisa dihubungi,""Terus bagaimana ini?""Ya harus dilahirkan. Masa dibiarkan di dalam
Part 18Empat puluh hari sudah terlewati, kini keadaanku sudah lebih baik dari semula. Lelah. Berjuang sendirian mengatasi hati dan pikiran yang koyak. Seperti ini ternyata rasanya tertekan. Untung saja aku masih waras dengan tidak melakukan hal-hal apapun terhadap Abhi, anakku yang sudah terlihat gemuk--seperti cerita kebanyakan wanita tertekan di luaran sana. "Kita jadi pindah ke rumah kita, 'kan?" tanya Mas Fahmi tepat setelah Abhi habis dicukur rambutnya."Aku masih mau di sini," jawabku. Ini adalah kali pertama aku berbicara padanya. "Kamu boleh kembali ke sana kalau mau. Aku tidak melarang.""Hanum, akhirnya kamu bicara denganku," kata Mas Fahmi bahagia. Aku kembali diam. Bermain dengan bayiku. Selama ini, Mbak Hani, juga Mbak Rima--istri kakak pertama--sebenarnya sering bertanya tentang keadaanku. Mengapa aku seperti berbeda. Namun, aku hanya menjawabnya dengan kalimat, aku lelah setelah hamil sembilan bulan. "Hanum, maaf, kamu ada uang?" tanya dia lagi. "Uang buat apa?"Ma
Part 19Aku melirik jam di tangan. Sudah pukul sebelas siang. Sudah terlalu lama keluar rumah. Namun, hal yang sudah dimulai harus dituntaskan. Aku harus kembali ke daerah dimana tadi menemui Ema. Karena rumah Ema tidak jauh dari tempatnya mengajar. Jika mengendarai motor dari sekolah Mas Fahmi, maka jaraknya tidak sejauh dari rumah kontrakannya. Sebuah rumah yang tidak mewah. Aku memarkir kendaraan di halaman yang tidak luas. Sebelumnya, telah membeli cemilan untuk oleh-oleh. Dengan hati berdebar, aku mengetuk pintu yang tertutup. Seorang wanita yang wajahnya mirip dengan Ema membukakan pintu."Cari siapa, Mbak?""Ah, saya cari Ema, Bu,""Ema belum pulang. Mau menunggu?""Iya. Bolehkah?" tanya Hanum sopan. "Boleh. Silahkan masuk, Mbak ...."Aku masuk dan mengamati ruangan yang sederhana itu. Ema bukan berasal dari keluarga berada. Secara ekonomi sepertinya lebih mending keluargaku. "Mbak ada perlu apa ya?" tanya ibu Ema. "Ah, mau main saja, Bu. Mau antar barang Ema yang ketingg
Part 20Malam itu Mas Fahmi tidak pulang. Aku menunggu dia datang dan marah-marah agar orang rumah tahu tanpa aku harus capek-capek menjelaskan dari awal. Namun nyatanya, batang hidung Mas Fahmi tidak kelihatan. Tidak ada lagi pesan marah-marah yang aku terima dari mereka berdua. Sesekali kutatap wajah polos Abhi yang terlelap. Sungguh aku pun tidak menginginkan hal ini terjadi. Bayi yang baru lahir yang seharusnya sedang mendapat perhatian dan kasih sayang dari banyak orang, tapi dia melalui hari dengan sendirian tanpa aku mengajaknya bermain. Pikiranku tersita dengan masalah Mas Fahmi juga Ema. Aku memeluknya erat. Merasakan detak jantungnya di dada ini. Seharusnya Abhi saat ini ditemani ibu dan ayahnya yang menimang dengan bahasa kasih sayang. Wahai Allah, apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua? Tunjukkanlah kebenarannya, agar aku tidak larut dalam situasi yang membingungkan seperti ini. *Tiga hari Mas Fahmi tidak pulang. Mbak Hani yang juga sudah curiga dengan keada
Part 21"Mau mengelak apa lagi kalian?" Dengan tertatih berusaha untuk berdiri, aku berkata demikian. "Ema, kamu datang sama siapa?" tanya Mas Fahmi. "Berhenti bersandiwara Fahmi! Aku muak!" kataku.Ema mematung di depan pintu yang sudah ditutup. "Benar apa yang dikatakan teman-temanku ternyata. Ada seorang perempuan yang sedang menunggu suamiku di ruangan ini. Perempuan murahan yang mengganggu suami orang. Perempuan gatel yang sepertinya sudah tidak laku lagi bila dijual. Perempuan yang tidak punya harga diri karena rela menjadi simpanan suami orang padahal dia masih perawan. Betulkan, Ema?" kataku sinis. Aku tahu, yang tadi terucap adalah bahasa yang sangat kasar. Namun, dengan hal ini barangkali Ema akan terpojok lalu berkata jujur. "Hanum! Jangan berkata seperti itu!" Mas Fahmi membentak. "Kenapa diam, Ema? Kamu mengakuinya 'kan? Kamu sadar bila kamu memang wanita murahan, wanita rendahan, perempuan tidak laku?" Aku masih membatasi volume suara karena takut terdengar dari l
Part 22 POV EMACinta itu buta, kiranya memang benar adanya. Karena banyak perempuan yang menjadi bodoh karena perasaannya itu terhadap seorang laki-laki. Lima tahun berpacaran tentu bukan waktu yang singkat untuk kami berdua saling tahu sikap dan sifat masing-masing. Mas Fahmi seorang lelaki playboy. Menjalani hubungan yang putus nyambung, aku tahu jika pria yang sangat kucintai itu memiliki pacar lain. Termasuk Hanum. Perempuan mapan yang berprofesi sebagai PNS di rumah sakit. Aku bisa menang apa dari Hanum? Aku hanya seorang guru honorer di TK yang bayarannya jauh dari kata cukup. Akan tetapi, nyatanya cinta Mas Fahmi lebih besar padaku ketimbang Hanum.Mas Fahmi orang yang sangat menarik. Itu sebabnya pacarnya banyak. Dia juga suka begadang di malam hari. Untuk keburukannya yang lain, biarlah aku saja yang tahu. "Aku ingin menikahi kamu," ucapnya suatu hari. Siapa yang tidak suka bila dilamar orang yang dicintai? Terlebih, kami pasangan yang serasi. Sama-sama masih menjadi gur
Part 23Mulut ini masih diam tidak bersuara sedikitpun. Badan tiba-tiba terasa dingin karena baju seksi yang kupakai, ditambah lagi dengan permintaan yang keluar dari mulut Mas Fahmi. "Ema, bagaimana? Apa kamu mengizinkan aku menikah? Orang tuaku sudah menuntut aku untuk menikah secepatnya karena dikejar umur. Mereka merasa malu karena aku belum juga menikah dan membina rumah tangga. Kamu paham 'kan posisi mereka?" tanya Mas Fahmi saat aku hanya diam. Kali ini aku menatapnya dengan netra yang sudah berair. "Lalu, kamu anggap aku perasaanku ini, Mas? Kamu anggap apa, aku ini di mata kamu? Apa kamu tidak memikirkan perasaanku? Kenapa kamu tidak mengakui saja jika kita sudah menikah. Lalu kita menikah secara resmi, toh aku sudah bilang, Bapak tidak akan pernah bisa menjadi wali nikah. Meskipun aku menikah dengan orang yang mereka setujui, tetap saja aku akan menikah dengan wali hakim. Jadi, tidak ada bedanya. Aku ingin, kamu mengakuiku di hadapan mereka, di hadapan keluarga kamu, Mas.
Part 24“Maafkan aku, Ema. Bisnisku sedang tidak baik-baik saja,” kata Mas Fahmi.Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimanapun, kehilangan anak adalah sesuatu hal yang menyedihkan meski hamil dalam keadaan tidak diakui oleh siapapun. Tidak ada sepatah katapun yang mampu terucap dari bibir ini. Mas Fahmi merawatku dengan penuh kasih sayang. Ia rela tidak berangkat ke sekolah. Tetapi, saat malam tiba, ia pasti meminta izin untuk pulang. “Aku tidak mau Hanum curiga,” katanya.“Mau sampai kapan seperti ini, Mas?” tanyaku memastikan.“Bersabarlah!”“Kenapa kamu mengambil pilihan ini? Jika kamu tidak mampu, kenapa kamu harus memiliki istri dua?”“Ema, ambil hikmahnya saja! Dengan seperti ini, aku tidak akan pusing dengan biaya anakku kelak dengan Hanum. Karena dia adalah wanita yang mapan.”“Aku bukan wanita mapan, tapi aku membiayai semuanya sendiri.”“Jangan banyak pikiran, ya? Nanti kamu bakalan tidak lekas pulih. Nanti kalau sudah sembuh, kita akan buat anak lagi,” goda Mas Fahmi. Malam i
Tangis bayi membuatku membuka mata perlahan. Meski terasa berat, aku memaksakan diri untuk bangkit. “Aww,” pekikku saat menyadari perutku sakit. “Jangan bangun! Kamu habis dioperasi.” Sayup terdengar seseorang menjawab. Itu suara Bapak. Kepalaku pusing, bumi seakan berputar karena terkena gempa. Pikiran melayang seperti aku terbang di atas taman bunga. Aku berpikir apakah aku akan mati? Lalu aku kembali lupa. Saat terbangun lagi, keadaan sudah lebih baik. Ternyata apa yang kurasakan tadi hanyalah efek bius. “Mas Fahmi mana, Pak?” tanyaku saat melihat bapak duduk di samping ranjang. “Fahmi belum datang,” jawab bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku hanya bisa menunduk sedih, ingat kalau sejak pertama kontraksi, Mas Fahmi tidak mendampingi. Selama menikah beberapa bulan dengannya, aku hanya didatangi ke rumah kontrakan berapa hari sekali saja. Sering menjalani kehamilan seorang diri tanpa ada suami yang mendampingi, membuatku merasa kalau pernikahan dengan Mas Fahmi tidak membuat ap
Part 45Pagi itu, Rahmi kembali sehabis membeli sayuran pada tukang sayur keliling. Wajahnya nampak kemarahan yang menyala-nyala.“Kamu kenapa?” tanya Herman saat istrinya sampai di rumah.“Orang-orang menggunjing Ema, Pak,” jawabnya.Herman yang berada di depan mesin jahit menghentikan aktivitas kerjanya. “Apa kita mengalah saja, menemui Fahmi ke rumahnya dan meminta pertanggungjawaban darinya?” ucapnya pelan. Ada rasa tidak ikhlas yang melanda hati saat mengucap kalimat demikian.Rahmi diam di tempat duduknya. “Tidak ada pilihan lain, Pak. Kita tidak bisa membiarkan Ema menanggung semuanya sendiri. Bagaimanapun, anak yang dikandungnya butuh seorang ayah,” katanya seolah setuju dengan apa yang diusulkan oleh Herman.Ema sudah berkali-keli menghubungi Fahmi. Akan tetapi, pria itu sama
Part 44Plak!Sebuah tamparan keras mengenai pipi Ema saat ia baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Untung saja satu tangannya dengan sigap memegang tembok sebagai tempat bertumpu. Satu tangan yang lain memegang pipi yang terasa panas.“Dari mana saja kamu, anak nakal?” tanya ayahnya dengan wajah yang merah padam penuh kemarahan.“Ema, apa yang kamu lakukan berhari-hari ini? Kemana kamu pergi?” tanya ibunya tidak sedikitpun berminat menolong anak perempuannya yang terlihat kesakitan menahan tangis.“Kalau aku pergi, apa kalian akan peduli?” Alih-alih menjawab pertanyaan dari orang tuanya, Ema malah balik bertanya dengan suara yang sedikit tinggi. Pertanyaan yang seolah menyudutkan orang tua yang sedari dulu tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Fahmi.“Kalau beg
Part 43 (Ekstra Part 1)POV HANUMTidak mudah menjalani hari setelah bercerai dengan Mas Fahmi. Kenangan indah, kenangan buruk, datang silih berganti menorehkan sejuta luka. Aku selalu mengatakan pada saudara-saudaraku jika hati ini bahagia dan lega dengan keputusan yang telah kuambil.Namun, tentu saja aku berbohong.Hati wanita mana yang tidak sakit bila harus mengalami kenyataan pahit menjadi seorang selir? Ibarat sebuah sayatan pisau di tubuh yang menancap dalam, tentu saja tidak bisa sembuh dengan seketika. Butuh waktu yang lama, butuh obat yang banyak untuk bisa sembuh, meski setelahnya tetap saja menorehkan bekas.Bak sebuah sayatan tadi, ketika sembuh tetap ada bekas lukanya bukan?Cinta tidak akan hilang begitu saja dalam sekejap, meski orang yang kita cintai telah berbuat hal yang menyakitkan.Perceraian tentu juga
Part 42 (ENDING)Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki
Part 41Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki itu telah bersalah. Siapapun yang berad
Part 40 Satu hari menjelang sidang, Hanum yang sudah mulai berangkat bekerjadan hendak pulang--didatangi Fahmi. Lelaki itu benar-benar tidak mau bercerai darinya. “Kasihan Abhi, Hanum. Pikirkanlah sekali lagi! Jangan egois hanya mengambil keputusan berdasarkan dengan pandangan kamu dan juga saudara-saudaramu saja. Siapapun anaknya, dia pasti ingin ayah dan ibunya bersatu. Apa yang akan kamu jelaskan kelak jika Abhi dewasa, Hanum? Apa kamu ingin dia mentalahkan kamu karena menceraikan ayahnya?” tanya Fahmi yang masih duduk di atas kendaraan. “Pikirkan sekali lagi, Bunda! Jangan gegabah,” katanya lagi. Dahi Hanum mengernyit. ‘Bunda?’ Begitu pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya. Selama ini, Fahmi tidak pernah memanggilnya dengan panggilan yang spesial. Kali ini adalah kali pertama Hanum mendengar panggilang yang begitu manis. ‘Dia pikir aku akan luluh hanya karena dipanggil seperti itu?’ kata Hanum dalam hati. “Apa yang akan terjadi di masa depan, itu adalah urusanku, Mas. Ak
Ema masih tetap bertahan dalam beberapa hari di rumah Fahmi, meskipun mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Hanya ibu Fahmi yang sesekali masih menawarinya makan. "Aku tidak nafsu makan, Bu," jawab Ema selalu menolak. Siang itu, sudah seminggu lebih Ema berada di rumah Fahmi. Berkali-kali kepala sekolahnya menelpon menanyakan keberadaan nya mengapa tidak berangkat. "Saya sedang ada masalah, Bu. Izinkan saya menyelesaikan masalah ini. Setelah selesai, saya pasti akan ke sekolah dan bercerita sama Ibu. Maaf jika saya tidak bisa bercerita sekarang," kata Ema melalui sambungan telepon. Siang itu, Ema menemui Santi di rumahnya. Tatapan tidak suka langsung diarahkan padanya begitu ia masuk. "Ema, kenapa kamu kesini? Warga sudah banyak yang bergosip tentang kamu, Ema. Aku mohon, pulanglah! Jika kamu mau menyelesaikan masalah ini, maka cukup sama Fahmi. Jangan libatkan kami! Kami sudah cukup pusing dengan banyak sekali akibat yang ditimbulkan dari perbuatan kalian. Maka, tolong,
AHS 38Ema terbaring lemah diatas tempat tidurnya. Berhari-hari tidak ada makanan yang bisa masuk ke perut. Setiap kali memaksa makan, maka ia akan memuntahkannya."Kamu hamil?" tanya ibunya. "Jawab saja dengan jujur, Ema!" tekan sang ibu lagi saat masuk ke kamar putrinya.Ema hanya menangis dari balik selimut yang menutup tubuh."Bukankah dia sudah menikah, Ema? Dia menikah dengan orang lain dan kamu sekarang hamil?" Kesal, ibunya sedikit meninggikan nada suara. Meski masih dalam batas yang wajar karena tidak mau jika terdengar keributan oleh para tetangga.Isakan Ema semakin jelas terdengar."Jika dulu Ibu tidak melarangku, maka aku tidak akan mengalami semua ini. Jika saja Ibu dan Bapak mengakui pernikahan kami, aku pasti yang menjadi istri dah Mas Fahmi," kata Ema lirih."Kenapa kamu mau dimad