Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 9.***"Maaf, Ayah! I-itu hanya salah paham." Semakin gelabakan Mas Arifin di hadapan mertuanya. Suasana sudah memanas, aku pun membisikkan Salman untuk membawa makanannya ke dalam kamar. Putraku itu selalu menurut, tak pernah aku berkata dua kali padanya."Ayah, sudahlah! Apa pun yang Mas Arifin coba katakan pada Mbak Nia, itu hanya untuk menenangkan Mbak Nia saja. Mas Arifin tidaklah bersungguh-sungguh dalam ucapannya," papar Nia.Wah, maduku ini memang luar biasa. Dia masih bersikeras membela Mas Arifin.Aku semakin yakin, bahwa pernikahan mereka memang sudah direncanakan."Diam! Masalah ini bukan masalah sepele. Kalian sudah mempermainkan kejujuran. Jika Lita tak ridho maka pernikahan ini diselesaikan saja," sambung Bunda Nia.Aku cukup terharu. Ternyata keluarga Nia tak seperti yang kubayangkan."Nak Lita, maafkan kami. Sebenarnya memang kami meminta Arifin untuk menggantikan pernikahan Nia yang batal. Namun, sebelumnya kami juga menyu
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 10.***Nia tersenyum senang mendengar ucapan mertua. Sedangkan aku semakin geram."Bukankah Mama sendiri, memilih bercerai dari pada dimadu?" Aku sengaja mengungkit masalah rumah tangga Mama. Karena beliau pun sudah mengalami, bagaimana rasanya diduakan. Lalu sekarang, bisa-bisanya Mama meminta aku menerima Nia."Jangan mengungkit luka lama, Lit. Mama tak mau mengingat hal itu lagi," ucap Mama."Kenapa, Ma? Sakit ketika mengingatnya? Lalu bagaimana dengan perasaanku saat ini?"Mertuaku bergeming, matanya berkaca-kaca. Sepertinya ucapanku berhasil mengahantam hatinya."Mbak Lita ini memang keterlaluan! Bisa-bisanya, Mbak membuat Mama bersedih dengan ucapan lancang Mbak itu!" hardik Nia.Oh, maduku ingin mencari muka.Baiklah, aku akan ikuti permainannya."Tak apa, Nia. Lita berhak bicara begitu. Mama memang pernah mengalaminya. Namun, ini beda."Beda pula dibilangnya. Ah, mertuaku ini lama-lama jadi menyebalkan juga."Bedanya?" tanyaku singk
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 11***Hari berganti ....Pagi ini Nia keluar dengan membawa koper miliknya. Kira-kira mau ke mana Nia?"Lit, Mas minta izin untuk mengantar Nia pindah ke rumah barunya, ya."Oh, ternyata Nia sudah membeli rumah."Hem, iya Mas. Akhirnya hilang juga ulat bulu di rumah ini," sindirku."Ya, iyalah. Mana betah aku tinggal lama-lama di rumah yang kecil begini. Kalau Mbak sih betah-betah saja. Toh tidak punya duit buat beli rumah mewah."Aku berdehem pelan. Jika disinggung masalah harta, biarkan saja. Aku tak mau menunjukkan uang yang berhasil aku tabung dari pekerjaanku sendiri.Semua itu ada waktunya."Hus, jangan bicara begitu, Nia! Rumah yang kamu hina ini adalah milik Mas." "Eh, maaf Mas. Ayo kita pergi sekarang."Nia dan Mas Arifin berlalu. Aku hanya memperhatikan. Setelah ini pastinya Mas Arifin bisa dengan bebas bersenang-senang dengan Nia. .Siang berganti malam ....Benar saja, Mas Arifin belum juga pulang. Aku tak peduli dengan kehadi
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 12.***Menyerocos mulut Nia tanpa henti. Bahkan Mas Arifin seperti seeokor tikus yang siap diterkam kucing.Menununduk dan tak berani mengangkat wajah lagi. Ini giliranku beraksi."Jadi ternyata yang Nia katakan adalah benar, Mas? Pernikahan kalian memang sudah direncanakan? Mas keterlaluan, pendusta dan mata keranjang," ucapku dengan memainkan nada suara agar terdengar sedih."Suami seperti Mas Arifin ini tidak akan puas dengan satu atau dua istri. Aku ingin memberi pelajaran pada senjatanya agar tak berani nakal di luaran lagi," sambung Nia.Mataku melotot tak percaya, mendengar ucapan Nia.Dari tadi aku terus menahan tawa. Nia selain mudah dimanfaatkan, ternyata dia juga kejam.Aku semakin bersemangat. Kulipat kedua tangan di dada, kini tinggal duduk manis menyaksikan adegan bak film drama rumah tangga."A-ampun!"Mas Arifin lari terbirit-birit ke dalam kamar. Dikuncinya dan tak bisa Nia masuk.Aku turut mengahmpiri untuk memberikan kunci
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 13.***Aku berbelanja ditemani Eza. Namun, tak begitu lama. Karena sosok Eza sangat menjaga pandangan orang lain terhadapnya. Apa lagi Eza tahu, kalau statusku sudah berkeluarga.Setelah selesai semua yang aku beli, kini aku bergegas pulang. "Mbak Lita!" teriak seseorang.Aku menoleh, dan ternyata itu adalah Nia.Sedang apa dia di pasar? "Mbak Lita, tadi aku sempat melihat lelaki yang bersamamu itu. Siapa dia? Pacar baru Mbak Lita, ya?" Nia mengedip-ngedipkan matanya sambil bicara."Bukan, dia teman sekolahku dulu," jawabku seadanya."Wah, dia tampan juga Mbak. Walau tak setampan Mas Arifin," ucap Nia pula.Aku hanya berdehem pelan, sembari menjauh. Kulihat wajah Nia kesal, mungkin karena aku yang tak terlalu meresponnya.Bagiku basa-basi begitu hanya membuang waktu saja..Sampai di rumah, ternyata ada Mas Arifin.Besar juga nyali suamiku ini. Ya, sekarang statusnya masih suamiku."Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku sinis."Santai dong,
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 14.***Setelah selesai membuat rencana dengan Tante Misna. Kini aku bergegas pulang. Tak lupa aku membelikan makanan untuk Ayah dan Salman. Karena tadi aku belum masak, pasti sekarang Salman sudah pulang..Sampai di rumah."Bu, dari mana?" tanya Salman cemberut."Beli makanan kesukaan Salman," jawabku sembari memarkan dua kresek belanjaan."Asyik!" teriaknya yang seketika jadi girang.Kami bertiga makan bersama. Di setiap nasi yang masuk dalam tenggorokanku, betapa tak terasa nikmatnya. Hatiku tengah panas, bukan karena Mas Arifin sudah menyetujui perpisahannya denganku. Melainkan, aku geram dengan segala hinaannya."Lit, kenapa Nak?" Ayah sepertinya peka dengan perasaanku."Gapapa, Yah""Jangan menutupi dari Ayah," ucapnya pula.Aku berdehem pelan, kemudian berkata. "Mas Arifin, dia bilang jika Lita tak mampu menghidupi Salman, maka dia akan mengambil Salman dari Lita. Mas Arifin sombong sekali, Lita mau membuktikan padanya, kalau Lita b
Judul: Undangan pernikahan suamiku. Part: 15. *** Aku semakin fokus menyaksikan pertengkaran Nia dan Melda. Dua wanita yang perangainya tak jauh beda.Sudah tahu status Mas Arifin beristri tapi masih juga dipertahankan. Menyedihkan, seperti tak ada pria lain saja di dunia ini."Beraninya kau menghina saya! Apa kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?! Setelah ini saya pastikan kau akan segera membusuk di sel tahanan. Saya akan melaporkanmu!" hardik Nia sambil mengancam.Asisten rumah tangga Nia tampak gelisah dan bingung. Sedari tadi ia terlihat mondar-mandir ingin menengahi, tapi seperti ragu-ragu."Kamu kira saya takut? Sadar diri dong, ngaca itu muka. Kalau duitmu banyak, harusnya buat gigimu itu masuk ke dalam," cibir Melda lagi.Nia semakin geram, detik berikutnya Nia maju ke arah Melda dan menarik kasar rambutnya."Argh!" jerit Melda terseret karena tarikan Nia yang begitu kencang."Rasakan, kau jal*ng! Beraninya membangunkan srigala di dalam rumahnya sendiri!"Plak!Pla
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 16.***Kukirim sebuah video Melda dengan Mas Arifin yang sedang bergandengan di mall kemarin. Aku juga meminta bukti chat Mas Arifin dari Melda. Semua sudah terkumpul.Keterlaluan, Arifin itu! Tante akan segera memberitahu pada suami Tante.Aku tersenyum puas. Selanjutnya tinggal menunggu kabar dari mereka semua..Selesai memasak, kini kami semua langsung makan siang. Tak bisa menunda waktu, karena pekerjaan masih banyak.Aku harus semangat menjalani rutinitas ini demi Salman. Akan kubuktikan pada Mas Arifin, bahwa aku bukan wanita lemah yang hanya bergantung pada uang suami.Hidup menjanda bukan suatu ancaman untukku. Malah membuatku semakin tertantang..Di toko, datang seseorang yang kudengar ingin mengambil kue pesanan. Dari suaranya aku seperti kenal. Mengintip aku ke depan, dan ternyata Eza.Keningku berkerut, seingatku tak ada Eza memesan kue. "Apa sudah jadi pesanan Adik saya?" tanya Eza pada Tuti.Aku masih mengintip dari balik s
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 17.***POV Dinda.Aku terdiam mendapati pertanyaan sensitif dari Mas Ridwan. Ada rasa mau bercampur bahagia. Ingin aku teriak menyatakan aku mencintainya. Namun, bibir ini sungguh kaku."Jawab, Din!" perintah Mas Ridwan.Aku tersenyum dan mengangguk dengan malu-malu.Mas Ridwan mengangkat daguku dengan tulunjuk tangannya. "Benarkah?""Benar, Mas." Pelan aku menjawab pertanyaan itu.Mas Ridwan sontak memelukku. Sungguh aku terpaku dan tak menyangka dengan hal ini. Debaran di dadaku memburu. Air mataku menetes karena bahagia. Apa aku sedang bermimpi?"Dinda, saya berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," lirihnya di telingaku.Aku membalas pelukan itu. Lalu hubungan suami istri yang selama ini belum terlaksana, akhirnya terpenuhi sekarang.Aku dan Mas Ridwan memadu cinta dengan begitu indahnya.--Hari berikutnya, aku keluar membeli sesuatu. Tak disangka aku bertemu lagi dengan Mas Andi."Dinda, tolong dengarkan aku dulu! Kembalilah pad
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 16.***POV Ridwan.Hari ini aku akan menjemput si kembar. Saat aku sedang bersiap-siap, Dinda pun menghampiri."Mas aku boleh ikut?" tanya-nya.Aku bergeming. Jujur aku lebih nyaman pergi sendirian. "Mas," lirih Dinda lagi."Iya, Din. Boleh kok," sahutku.Dinda tersenyum. Sebenarnya hatiku terasa teduh saat melihat senyum wanita yang sekarang sah menjadi istriku itu. Namun, aku sendiri masih bingung. Cintaku pada Mawar membuat aku enggan memikirkan wanita lain, walaupun itu istriku sendiri saat ini..Di perjalanan suasana membisu. Aku tak mengajak Dinda bicara, pun sebaliknya.Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu. Aku menyalakan musik agar tak begitu kaku.Sesekali aku menoleh ke arah Dinda. Ia tampak cuek dengan tatapan lurus ke depan. Tak seperti biasanya.Aku jadi resah. Apa benar Dinda tak bahagia?Kemarin, saat mantan suaminya datang dan bicara di depan halaman rumah, aku mengintai dari balik jendela.Aku mendengar semuanya. Saat itu
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 15.***Selesai berlatih berenang, aku dan Mas Ridwan masuk kembali ke kamar.Suasana menjadi canggung. Dadaku masih saja berdebar hebat. Sedangkan Mas Ridwan tampak buru-buru ke dalam kamar mandi..Malam harinya, kami sekasur dan saling menatap. "Din, seharusnya semalam kita tak melakukannya, tapi saya sungguh tak mengingat kejadian itu," ucap Mas Ridwan."Mau diapakan, Mas. Nasi sudah jadi bubur," sahutku dengan memasang wajah serius.Mas Ridwan memalingkan wajahnya dan membelakangiku. Entah apa yang ia rasakan, tapi aku cukup senang.Ibu mertua memang paling mengerti. Rasanya aku tak mau pulang ke rumah.--Hari berganti, kini tiba waktunya kami pulang.Sepanjang perjalanan Mas Ridwan hanya diam. Mungkin ia menyesali kejadian yang sebenarnya tak pernah terjadi itu.Hatiku sedikit kecewa. Nanti aku akan menceritakan semuanya dengan jujur.Saat ini, sepertinya suamiku belum siap menjalani rumah tangga normal bersamaku.Tak apa. Aku masih lag
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 14.***Pagi harinya, aku masih enggan menyapa Mas Ridwan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal sejak ia mengatakan kalimatnya semalam.Sebagai seorang istri, aku merasa Mas Ridwan sama sekali tak menginginkan aku. Lalu, kenapa ikatan pernikahan ia coba ikrarkan?"Din," lirihnya.Aku hanya menoleh sekilas, kemudian aku melanjutkan sarapan."Din, kamu marah?" tanya-nya pula.Aku menggeleng."Din, tolong bicaralah!""Aku tidak marah, dan apa hakku untuk marah?""Hem, baiklah. Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, Din. Saya cuma ....""Cukup, Mas. Tidak perlu dibahas!" Suasana pagi ini jadi tegang. Mas Ridwan tampak gelisah. Sedangkan aku sengaja bersikap sedikit tegas. Jika, Mas Ridwan memang tak bisa menerima aku, pun tak masalah. Namun, aku juga tidak akan kembali pada Mas Andi.Hidup sendirian bukanlah suatu perkara besar, tapi pernikahan ini juga bukan mainan. Selagi aku mampu mempertahankan, maka akan tetap aku pertah
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 13.***POV Dinda.Setelah sah menjadi istri dari Mas Ridwan. Aku tetap merasa ada jarak antara kami.Dan benar, malam ini ia mengutarakan ungkapannya yang ternyata belum siap menjalani hubungan layaknya suami istri.Aku sebisa mungkin mencoba tersenyum dan berlapang dada. Bibirku berkata memahami, tapi hatiku terasa sembilu.Jika, cinta itu tak ada untukku kenapa harus menikahiku?Aku bisa menjagakan putri-putrinya. Kalau sudah begini, aku bagai tak dianggap.Suara dengkuran Mas Ridwan terdengar begitu keras. Ia tidur di atas sofa. Sementara aku memeluk lututku sendiri di atas kasur empuk yang dulu miliknya bersama Mbak Mawar.Entah sejak kapan rasa cintaku hadir, yang jelas saat ini hatiku sakit menerima penolakannya.Mas Ridwan sosok yang sempurna. Bahkan untuk berkata hal menyakitkan itu saja ia menggunakan kalimat lembut hingga membuat aku tak berkutik.Malam ini hujan pun turun menemani kesedihanku. Pintu jendela kamar terbuka dan tertutup
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 12.***POV Ridwan.Weekend ini aku berniat membahagiakan Anak-anak. Kami melepas rasa bosan dengan berenang.Kedua putri kecilku sudah siap menggunakan baju pengaman agar tetap terapung.Kami bermain air sembari bercanda riang. Namun, tiba-tiba saja terdengar bunyi dentuman.Sepertinya ada yang melompat ke kolam renang. Dasar menyebalkan. Anak-anakku sampai kaget."Tolong!"Suara teriakan itu sepertinya tidak asing di telingaku. Di kolam yang sama, terlihat seseorang sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.Mataku membesar saat mengetahui Dinda yang tenggelam. Ternyata dia tidak bisa berenang.Dengan gerakan cepat, aku langsung menuju ke arahnya. Telapak tangan Dinda berhasil aku genggam, kemudian dengan terpaksa aku menyentuh bagian pinggang agar ia dapat aku naikan ke permukaan."Tolong bantu angkat ke atas," pintaku pada penjaga kolam.Dinda akhirnya berhasil selamat. Namun, ia pingsan. Sementara Cika dan Tika sudah menangis karena ke
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 11.***POV Dinda.Seminggu setelah Mbak Mawar tiada. Aku semakin besar memberikan perhatian untuk si kembar. Namun, aku tak lagi tinggal serumah dengan mereka. Karena aku segan.Sehabis isya aku pulang ke kontrakan yang letaknya bersebelahan dengan rumah Almarhumah Mbak Mawar. Seperti malam ini, aku berpamitan pada Mas Ridwan."Saya ingin bicara sesuatu, Din. Bisakah kamu menunda sebentar lagi kepulanganmu?" tanya-nya.Aku mengangguk sembari duduk kembali ke sofa."Ingin bicara soal apa, Mas?" "Sebenarnya ini sangat berat. Saya sendiri tak mampu mengatakannya. Namun, amanah ini tetap harus saya sampaikan," ujar Mas Ridwan.Aku sedikit gugup menunggu kalimat apa yang akan diucapkan Mas Ridwan."Din, Almarhumah istri saya menginginkan kamu untuk terus menemani Anak-anak," lanjutnya.Aku mengukir senyum tulus. Sejujurnya aku sangat menyayangi Tika dan Cika. Menjaganya menurutku tugas yang paling membahagiakan."Aku berjanji, Mas. Mbak Mawar pun
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 10.***POV Ridwan.Istriku mawar menyusul aku ke kamar. Ia menjelaskan perkataannya yang tadi sempat aku dengar."Mas, tolong jangan marah. Aku hanya berani bicara seperti itu pada Dinda saja. Karena aku sangat mempercayainya.""Tetap saja aku tidak suka. Masalah kesepian ataupun kesedihan diriku tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, sayang. Kamu juga tahu, aku sangat mengupayakan kesembuhanmu," paparku.Istriku bergeming. Air matanya mengalir deras. Detik berikutnya aku memeluk penuh cinta.Tubuh indah itu kini mulai lemah. Namun, sedikitpun rasa cintaku tak pernah sirna.Ia adalah cinta pertama dalam hidupku, dan akan menjadi cinta terakhir..Hari berganti, keadaan Mawar semakin memburuk. Aku dan yang lain mengantarkan ke rumah sakit. Namun, kondisinya terus saja melemah. Hingga aku meminta Dinda membawa Anak-anak keluar. Tak tega jika Tika dan Cika melihat kesakitan Mamanya."Mas, sepertinya aku tidak akan bisa mendampingimu lebih l
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 9.***Hari berganti. Harusnya saat ini adalah menjadi momen terindahku. Namun, pernikahan telah aku batalkan, walau undangan pada kerabat dekat sudah disebarkan.Mas Andi juga masih berusaha membujukku agar mau kembali rujuk. Akan tetapi hatiku sudah bulat menolaknya.Lelaki seperti Mas Andi tidak akan pernah berubah. Ia hanya bisa lembut ketika merasa sepi dan sendiri. Namun, disaat ada pilihan lain, maka dia pun akan mulai bertingkah."Din, aku mohon kali ini saja! Ayolah berikan aku kesempatan itu," ujarnya melalui panggilan suara."Tidak, Mas. Keputusanku tidak bisa lagi diganggu gugat," sahutku dengan intonasi suara menekan.Deheman keras terdengar bagai orang yang putus asa. Detik berikutnya aku langsung memutuskan panggilan telepon dengannya.Cukup sudah hatiku dipermainkan. Aku tak mau lagi ada kesakitan yang tercipta oleh lelaki yang sama..Seperti biasa, aku mengurus Tika dan Cika. Setelah selesai, aku pun segera memberikan obat ruti