Pintu diketuk pelan dan berkali-kali saat Anna sedang dalam perjalanan ke ambang pintu. Anna yang sudah bersiap sejak pagi membuka pintu dengan antusias. Bukan Aslan yang bertamu ke rumahnya, melainkan pria muda yang putih dan tampan, dengan kaos hitam dan celana jeans, tidak seperti supir, pikir Anna. Ia mengamati pria di hadapannya lama dan sedikit kecewa mendapati ia ternyata bukan pria yang diharapkan."Selamat pagi nona Anna. Saya ditugaskan untuk menjemput anda sekarang." Sapaan sopan pria itu sedikit melunturkan rasa kecewa yang sempat menyerang Anna."Anda ditugaskan Mr Aslan? Dan anda tidak bawa motor?" Anna mencerca pria itu dengan pertanyaan sembari kepalanya menoleh ke segala arah berharap pria itu membawa motor kesayangannya."Saya utusan Mr Aslan. Dan mengenai motor anda, maaf nona saya hanya membawa mobil. Motor anda masih tersimpan rapi di garasi." Mendengar jawaban pria itu, raut kecewa tampak kembali dari muka cantik gadis itu."Lantas aku harus mengambilnya kesana?
Semua mata tertuju pada gadis yang masih terpaku di ambang pintu. pandangan semua orang dengan senyum yang hangat sekaligus dingin menyelimuti Anna. Ia yang masih tercekat tidak percaya dengan kondisi di hadapannya membuat keringatnya semakin deras. karena Anna sedang gugup dan mematung, sebagai respon spontan tubuh saat mengalami kejutan mendadak. Hadi Suryadinata yang sejak tadi duduk memimpin acara kini berdiri dengan tatapan teduh dan penuh haru. Sangat berbeda dengan awal Anna mengenalnya lewat tragedi troli di ruang dapur perusahaan kala itu."Kemarilah nak, duduklah di samping kakek." suara serak Hadi Suryadinata membuat Anna terkesiap dari kondisinya barusan.Ia mulai menyadari bahwa ia sengaja dibawa kemari untuk menghadiri pertemuan ini. Anna mulai mengulas senyum yang sangat ia paksakan ke semua orang. Terutama ke arah Aslan, pria yang sejak tadi berdiri dengan memasang senyum terindah dengan kedua tangan di saku celana. Berpose cool sekali.Anna masih mematung di tempat y
Catherine, Ibu Aslan yang juga sebagai menantu tertua mengambil napas dalam sebelum akhirnya mengeluarkan pendapat yang sejak tadi ia tahan dalam hatinya."Sudahlah, itu kejadian sekitar 24 tahun silam. Kita harus berusaha mengikhlaskannya. Jangan sampai masa lalu menghancurkan ego kita masing-masing. Lagipula Anna hanya anak gadis yang tidak seharusnya disangkut pautkan pada kejadian silam. Bahkan saat tragedi itu terjadi, ia masih dalam perut ibunya. Lihatlah dia tidak bersalah, dan tidak seharusnya ia mendapat cercaan demi cercaan seperti saat ini." Suara Catherine sangat menenangkan hati Anna."Tapi lihat kak, dengan memandang wajahnya saja ia mengingatkanku pada kejadian silam. Dan untuk itu maaf aku masih belum bisa menerimanya." Kinanti, anak ke empat Hadi Suryadinata tetap kekeh pada pendiriannya. Ia menatap Anna dengan padangan sinis penuh kebencian."Cukup!! Aku mengumpulkan kalian disini bukan untuk mencela cucuku seperti ini. Tanpa kalian sadari, kalian sudah menyakiti hat
Mereka masih terhanyut dalam perasaan masing-masing. Perasaan yang sekuat tenaga berusaha mereka halau berubah menjadi rasa nyaman saat tubuh mereka saling bertaut dalam pelukan. Anna semakin membenamkan tubuhnya di balik tubuh Aslan. Wajahnya ia benamkan dalam-dalam dalam dada bidang pria itu, membuat kemeja yang Aslan gunakan basah karena air mata Anna yang masih belum bisa terbendung.Anna merasa ia menemukan sosok ayahnya yang telah hilang. Pelukan ini, kehangatan ini, dan rasa nyaman ini mirip sekali seperti saat ia dekat dengan sang ayah. Air matanya semakin mengucur deras mengingat kerinduan yang selama ini berusaha ia tutupi di hadapan semua orang.Sedangkan Aslan, ia semakin merapatkan lingkaran lengannya saat menyadari tangis gadis itu semakin keras. Dalam hati ia sangat menyesal karena telah membawa Anna kepada keluarga Suryadinata yang belum bisa menerimanya. Tangannya yang lain mengusap pelan kepala hingga punggung Anna untuk menenangkan gadis itu. Aslan memperlakukan Ann
Mereka sampai di ruang keluarga dimana sudah ada para sepupu. Vionica, sepupu paling ramah yang sedang asyik menikmati dessert dari Galih mempersilahkan Anna duduk di sampingnya. Juga ada yang berkaraoke ria sambil jingkrak-jingkrak seperti bocah kecil yang berbahagia karena dibelikan sekotak permen gulali. Ada juga yang sibuk dengan game di ponsel miringnya. Para sepupu Anna meyambutnya dengan hangat. Berbeda dengan bibinya yang bernama Kinanti, juga paman-pamannya yang mirip dengan Kinanti saat memperlakukan Anna seperti putri pencuri.Galih menghampiri Anna dan Aslan dengan dua kotak kue coklat berlapis krim dan selai di atasnya. Dari bentuknya, sangat menarik selera untuk mencicipinya. Kue itu berukuran sebesar telapak tangan laki-laki dewasa. Cukup kenyang sesuai porsi dessert pada umumnya."Hmmm... mantap!! Kau dapat resep dari mana?" Sambut Anna dengan memejamkan mata saat mencicipi dessert Galih yang memang cocok di lidah Anna."Emm... anu.. aku kan lulusan koki." Galih terke
Anna berhenti tepat di depan pintu garasi yang masih tertutup. Ia menghela napas kasar karena merasa dipermainkan Aslan dengan alasan memberinya tumpangan lagi mengingat motornya masih berada di dalam garasi dan tidak bisa keluar.Ia menendang kasar pintu garasi yang terbuat dari gavalum itu. Menghasilkan suara seperti koyak karena pintu itu berbentuk gelombang."Aku akan mengantarmu." Aslan menyela dari dari samping Anna saat melihatnya menendang pintu garasi.Anna melirik pria itu dengan enggan."Keluarkan motorku. Jika tidak, aku akan menunggu disini. Meskipun sampai besok." Anna menekankan kalimatnya. Ia berusaha bersikap dingin seperti Aslan biasanya.Senyum simpul terukir dari sudut bibir Aslan. Ia melihat gestur sikap Anna justru sebagai sesuatu yang lucu."Kau tidak pantas bersikap sok dingin seperti itu. Bukan keahlian mu." Aslan terkekeh pelan sembari membulatkan jemarinya di depan bibir."Aku serius!""Sama. Aku juga serius akan mengantarmu." Aslan masih sedikit tersenyum m
Mereka sampai di depan rumah Anna. Rumah di gang sempit yang hanya cukup di lalui satu mobil. Membuat Aslan harus memarkir mobilnya di depan gang saat berkunjung ke rumah Anna.Aslan kembali menatap gadis yang masih terlelap di sebelahnya. Perasaan iba tiba-tiba menjalari pikirannya memandang gadis selugu Anna harus berjuang melawan keluarga kakeknya. Mengingat kedua orang tuanya sudah tiada dan hanya keluarga kakeknya lah yang ia punya saat ini.Perasaan Aslan kembali menyelam ke dalam lubuk hatinya. Ia yang awalnya hanya merasa iba pada gadis itu akhirnya benar-benar dibuat jatuh hati olehnya. Karena sikapnya yang mandiri dan tegas, mampu membuat Aslan berdecak kagum oleh wajah cantik yang menawan itu.Aslan menghembuskan napas pelan. Ia berusaha mengatur perasaannya lagi agar bisa terkontrol lebih baik lagi. Ia tidak ingin menghancurkan perasaan yang dengan indah ia selami hanya karena nafsu lelakinya yang sangat menyiksa baginya.Aslan memegang pundak Anna lalu mengoyaknya. Namun
Anna menggeleng pelan. Hati kecilnya turut menjerit saat ia mencoba melawannya sendiri. Rasa sakit rupanya mulai menusuk jiwanya yang selama ini sudah ia paku agar tetap tegar ketika menghadapi hal buruk apapun."Maaf, aku tidak bisa sepertimu, Lan." Kalimat Anna membuat Aslan terkesiap."Why?" Lama Anna terdiam, ujung jemarinya ia gunakan untuk menyeka air mata yang masih menetes."Hubungan kekeluargaan kita, aku tidak mau menghancurkannya karena ego." Anna berbisik pelan."Tidak ada yang menghancurkannya, juga tidak ada yang akan hancur, Ann..." Senyum miris terukir dari sudut bibir Aslan. Seolah lidahnya kelu sendiri saat mengingat silsilah keluarga aslinya."Kau tahu kita terikat hubungan apa?" Anna menaikkan nada bicaranya untuk meyakinkan Aslan."Bahkan kau sendiri yang datang kemari untuk mengingatkanku jika aku adalah sepupumu?" Anna mengernyitkan kening.Aslan masih terdiam lama. Terlihat ekspresi frustasi dari raut wajahnya. Ia menghembuskan nafas pelan. Lalu menatap Anna d
Pertemuan Gina dan Aslan tidak begitu lama. Aslan akhirnya memaksa Gina untuk segera kembali ke rumah setelah melihat pemandangan yang sama sekali tidak ia harapkan. "Ada apa sih Bi, kau menyuruhku cepat pulang?" Gina bertanya dengan polos saat mereka sudah berada di depan restoran. Tentu saja Gina tidak mengetahui keberadaan Anna yang datang bersama Galih. Jika Gina mengetahuinya, pastilah akan beda lagi ceritanya."Aku akan menyuruh Pak Budi mengantarmu pulang. Kau pulanglah duluan! Aku masih ada urusan penting." Ucap Aslan datar sembari memainkan ponsel menghubungi seseorang."Kau tidak mau mengantarku?" Gina seolah tidak percaya dengan ucapan Aslan.Namun Aslan tetap fokus pada ponselnya. Ia seakan tidak peduli dengan ekspresi Gina."Aslan! Aku sedang bertanya padamu!" Gina menaikkan nada suaranya saat mendapati Aslan sama sekali tidak menghiraukan dirinya."Apa kau tidak mendengar ucapan ku tadi?" Aslan kembali bertanya dengan lebih lembut. Membuat Gina yang sedang tersulut menj
Wanita itu, wanita yang kini sedang duduk di hadapan Aslan tidak lain adalah Gina, kekasihnya. Bukankah itu hal yang wajar jika Aslan mengajak Gina ke tempat yang elit seperti ini? Namun tidak untuk hati Anna. Ia merasa tindakan Aslan kali ini sangat tidak bisa dimengerti.Mendengar pernyataan cintanya seminggu yang lalu, ia bahkan sudah berjanji untuk melepas Gina. Dan apa yang ada di hadapan Anna sekarang berbeda dengan ucapan pria yang sangat dipercaya oleh Anna itu.'Tidak, pasti Aslan mengajak Gina kesini untuk mengakhiri segalanya.' Hati dan pikiran Anna seolah memberontak hebat melawan pandangannya saat ini.Anna bahkan tidak sudi memutar kepala menghadap mereka berdua. Dalam hati kecilnya sungguh ia tidak sanggup menghadapi kenyataan yang mulai mengusik hati dan pikirannya kini. Anna semakin terdiam. Ingin rasanya ia beranjak dari tempat ini agar pikiran buruk yang menghantuinya sirna begitu saja.Galih yang mengamati perubahan sikapnya secara diam-diam mulai mengalihkan pembi
Anna celingukan mencari seseorang di dalam restoran ternama ini. Ia nampak canggung saat memasuki restoran Tivolly, karena ini baru pertama kalinya ia menginjakkan kaki di restoran ternama ini. Restoran ini merupakan tempat makan elit yang biasa dikunjungi oleh orang-orang berkelas menengah ke atas. Tentu saja bagi Anna memasuki restoran Tivolly adalah hal yang tidak wajar. Mengingat ia tidak biasa dan bahkan tidak begitu mengerti pergaulan para orang kaya. Ia lihat para wanita dengan tas bermerek ratusan juta rupiah, sesuatu yang jelas mendominasi ruangan ini. Membuatnya harus menyembunyikan rapat-rapat tas selempang hitam di balik tangannya.Mata hazelnya berbinar saat menangkap sosok pria yang sejak tadi ia cari. Galih sudah duduk di meja nomor dua belas sedang melambai ke arahnya. Anna lalu berjalan ke arahnya dengan menundukkan kepalanya. "Kau baru sampai?" Tanya galih saat Anna sudah berada di depan mejanya."Lumayan sih. Aku cukup lama berdiri mencari keberadaanmu." Anna menj
Aslan berdiri hampir saja ia bergerak memutari meja. Saat Anna dengan sigap melirik setiap gerak gerik pria itu. Anna harus berjaga-jaga saat mereka sedang berduaan di dalam ruangan seperti saat ini. Tepatnya sedang dalam posisi yang memaksanya berdua saja dengan Aslan. Anna tidak mau emosinya tidak terkontrol ketika berhadapan dengan Aslan seperti di kediamannya kemarin.Aslan tersenyum menggoda saat mengetahui gerak refleks Anna untuk menjauh ketika dirinya mulai mendekati gadis itu. " Ada apa?"Anna menggeleng cepat. "Tidak ada. Hanya berjaga-jaga."Aslan mengangkat sebelah alisnya sambil memiringkan kepala mengamati ekspresi Anna."Ada apa?" Anna ganti menanyakan tatapan Aslan yang mengintimidasi dirinya."Kau gadis yang sangat naif," Gumam Aslan."Terima kasih." "Jangan bersikap seperti itu di hadapanku!" Aslan mendengus kesal. "Karena akan membuatku semakin mencintaimu." "Semakin kesini, aku semakin tidak percaya dengan pernyataan cintamu. Karena kau bahkan masih menjalin hubu
"Dimana Anna?" Aslan memasuki dapur ruangan dan hanya disambut oleh Vero, salah satu rekannya."Dia sedang nganter kopi, Sir. Ada apa, Pak?" Vero balik bertanya kepada Aslan."Oh, nanti kalau dia sudah kembali suruh ke ruangan saya." Aslan memberi arahan tegas.Vero terdiam sejenak, mungkin ia sedang berpikir tentang penggilan mendadak Aslan. Lalu dengan cepat ia menganggukkan kepala mengiyakan arahan Aslan."Baik, Pak. Akan saya sampaikan."Aslan lalu meninggalkan ruangan. Ia meninggalkan Vero yang masih dilanda sebuah tanda tangan besar. Hingga akhirnya telepon di dapur ruangan berdering. "Dapur perusahaan." Sapa Vero."Tolong antarkan teh ke lantai dua ya.." Vero terlihat menghembuskan napas kasar sembari mengangguk pelan. Setelah telepon ditutup, ia menggerutu pelan sembari membuat minuman. Lalu pergi ke lantai dua dengan membawa trolly berisi minuman pesanan karyawan.****Saat jam makan siang Anna dan Rani sedang menyantap bekalnya di kantin perusahaan seperti biasa. Namun Anna
Kantor masih sepi ketika Anna mengecek galon di setiap ruangan. Sesekali ia mendapat sapaan dari para karyawan yang melewatinya saat baru memasuki ruangan. Anna selalu bersikap hangat pada siapapun dan ini membuat ia dikenal ramah oleh setiap karyawan."Bukankah kamu.. Anna?" Sebuah suara membuatnya menoleh seketika saat akan mengangkat galon ke dispenser."Galih?" Anna turut heran menatap sepupunya. Sepagi ini ia sudah berdiri di sana."Kamu bekerja di sini?" Mata Galih menatap Anna dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia seakan terkejut dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya."He'em, seperti yang kau lihat." Anna mengangkat kedua tangannya setengah badan mengiyakan pertanyaan Galih."Why? Inikan, perusahaan..." "Suryadinata Grup?" Anna sengaja menyela ucapan Galih sembari melihat sekitar jika saja ada banyak karyawan yang melihatnya.Galih menautkan alis semakin heran saat menatap sepupunya dengan pakaian cleaning servis seperti itu. "Kau benar-benar bekerja sebagai office
Mereka sampai di depan rumah Anna. Ternyata benar, suara ketukan itu masih terdengar hingga teras rumah Anna. Tak ada pintu yang masih terbuka di sekitar rumah sederhana gadis itu. Karena ini sudah hampir tengah malam. Lagi pula tetangga Anna juga sedang pergi ke tanah suci melakukan ibadah umroh. Bersama rombongan pak ustadz yang menjadi takmir masjid di komplek Anna."Masuklah, aku tidak berani." Anna mengernyitkan kening. Ia memposisikan diri di belakang Aslan.Aslan menghembuskan nafas pelan. Dengan tenang ia memasuki rumah Anna yang selama ini seakan haram dimasuki olehnya. Karena Anna selalu menerima tamu laki-laki di teras rumah, kecuali jika ada sesuatu yang urgent seperti ini.Aslan melewati ruang tamu lalu melangkah ke ruang tengah yang lurus menuju dapur. Rumah itu di dalamnya ternyata luas, pikir Aslan. Karena dari arah luar jika dipandang hanya tampak seperti perumahan modern yang sederhana dengan dua kamar seperti yang marak ada dalam promo kredit rumah akhir-akhir ini.
Anna menggeleng pelan. Hati kecilnya turut menjerit saat ia mencoba melawannya sendiri. Rasa sakit rupanya mulai menusuk jiwanya yang selama ini sudah ia paku agar tetap tegar ketika menghadapi hal buruk apapun."Maaf, aku tidak bisa sepertimu, Lan." Kalimat Anna membuat Aslan terkesiap."Why?" Lama Anna terdiam, ujung jemarinya ia gunakan untuk menyeka air mata yang masih menetes."Hubungan kekeluargaan kita, aku tidak mau menghancurkannya karena ego." Anna berbisik pelan."Tidak ada yang menghancurkannya, juga tidak ada yang akan hancur, Ann..." Senyum miris terukir dari sudut bibir Aslan. Seolah lidahnya kelu sendiri saat mengingat silsilah keluarga aslinya."Kau tahu kita terikat hubungan apa?" Anna menaikkan nada bicaranya untuk meyakinkan Aslan."Bahkan kau sendiri yang datang kemari untuk mengingatkanku jika aku adalah sepupumu?" Anna mengernyitkan kening.Aslan masih terdiam lama. Terlihat ekspresi frustasi dari raut wajahnya. Ia menghembuskan nafas pelan. Lalu menatap Anna d
Mereka sampai di depan rumah Anna. Rumah di gang sempit yang hanya cukup di lalui satu mobil. Membuat Aslan harus memarkir mobilnya di depan gang saat berkunjung ke rumah Anna.Aslan kembali menatap gadis yang masih terlelap di sebelahnya. Perasaan iba tiba-tiba menjalari pikirannya memandang gadis selugu Anna harus berjuang melawan keluarga kakeknya. Mengingat kedua orang tuanya sudah tiada dan hanya keluarga kakeknya lah yang ia punya saat ini.Perasaan Aslan kembali menyelam ke dalam lubuk hatinya. Ia yang awalnya hanya merasa iba pada gadis itu akhirnya benar-benar dibuat jatuh hati olehnya. Karena sikapnya yang mandiri dan tegas, mampu membuat Aslan berdecak kagum oleh wajah cantik yang menawan itu.Aslan menghembuskan napas pelan. Ia berusaha mengatur perasaannya lagi agar bisa terkontrol lebih baik lagi. Ia tidak ingin menghancurkan perasaan yang dengan indah ia selami hanya karena nafsu lelakinya yang sangat menyiksa baginya.Aslan memegang pundak Anna lalu mengoyaknya. Namun