Mereka sampai di depan rumah Anna. Rumah di gang sempit yang hanya cukup di lalui satu mobil. Membuat Aslan harus memarkir mobilnya di depan gang saat berkunjung ke rumah Anna.Aslan kembali menatap gadis yang masih terlelap di sebelahnya. Perasaan iba tiba-tiba menjalari pikirannya memandang gadis selugu Anna harus berjuang melawan keluarga kakeknya. Mengingat kedua orang tuanya sudah tiada dan hanya keluarga kakeknya lah yang ia punya saat ini.Perasaan Aslan kembali menyelam ke dalam lubuk hatinya. Ia yang awalnya hanya merasa iba pada gadis itu akhirnya benar-benar dibuat jatuh hati olehnya. Karena sikapnya yang mandiri dan tegas, mampu membuat Aslan berdecak kagum oleh wajah cantik yang menawan itu.Aslan menghembuskan napas pelan. Ia berusaha mengatur perasaannya lagi agar bisa terkontrol lebih baik lagi. Ia tidak ingin menghancurkan perasaan yang dengan indah ia selami hanya karena nafsu lelakinya yang sangat menyiksa baginya.Aslan memegang pundak Anna lalu mengoyaknya. Namun
Anna menggeleng pelan. Hati kecilnya turut menjerit saat ia mencoba melawannya sendiri. Rasa sakit rupanya mulai menusuk jiwanya yang selama ini sudah ia paku agar tetap tegar ketika menghadapi hal buruk apapun."Maaf, aku tidak bisa sepertimu, Lan." Kalimat Anna membuat Aslan terkesiap."Why?" Lama Anna terdiam, ujung jemarinya ia gunakan untuk menyeka air mata yang masih menetes."Hubungan kekeluargaan kita, aku tidak mau menghancurkannya karena ego." Anna berbisik pelan."Tidak ada yang menghancurkannya, juga tidak ada yang akan hancur, Ann..." Senyum miris terukir dari sudut bibir Aslan. Seolah lidahnya kelu sendiri saat mengingat silsilah keluarga aslinya."Kau tahu kita terikat hubungan apa?" Anna menaikkan nada bicaranya untuk meyakinkan Aslan."Bahkan kau sendiri yang datang kemari untuk mengingatkanku jika aku adalah sepupumu?" Anna mengernyitkan kening.Aslan masih terdiam lama. Terlihat ekspresi frustasi dari raut wajahnya. Ia menghembuskan nafas pelan. Lalu menatap Anna d
Mereka sampai di depan rumah Anna. Ternyata benar, suara ketukan itu masih terdengar hingga teras rumah Anna. Tak ada pintu yang masih terbuka di sekitar rumah sederhana gadis itu. Karena ini sudah hampir tengah malam. Lagi pula tetangga Anna juga sedang pergi ke tanah suci melakukan ibadah umroh. Bersama rombongan pak ustadz yang menjadi takmir masjid di komplek Anna."Masuklah, aku tidak berani." Anna mengernyitkan kening. Ia memposisikan diri di belakang Aslan.Aslan menghembuskan nafas pelan. Dengan tenang ia memasuki rumah Anna yang selama ini seakan haram dimasuki olehnya. Karena Anna selalu menerima tamu laki-laki di teras rumah, kecuali jika ada sesuatu yang urgent seperti ini.Aslan melewati ruang tamu lalu melangkah ke ruang tengah yang lurus menuju dapur. Rumah itu di dalamnya ternyata luas, pikir Aslan. Karena dari arah luar jika dipandang hanya tampak seperti perumahan modern yang sederhana dengan dua kamar seperti yang marak ada dalam promo kredit rumah akhir-akhir ini.
Kantor masih sepi ketika Anna mengecek galon di setiap ruangan. Sesekali ia mendapat sapaan dari para karyawan yang melewatinya saat baru memasuki ruangan. Anna selalu bersikap hangat pada siapapun dan ini membuat ia dikenal ramah oleh setiap karyawan."Bukankah kamu.. Anna?" Sebuah suara membuatnya menoleh seketika saat akan mengangkat galon ke dispenser."Galih?" Anna turut heran menatap sepupunya. Sepagi ini ia sudah berdiri di sana."Kamu bekerja di sini?" Mata Galih menatap Anna dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia seakan terkejut dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya."He'em, seperti yang kau lihat." Anna mengangkat kedua tangannya setengah badan mengiyakan pertanyaan Galih."Why? Inikan, perusahaan..." "Suryadinata Grup?" Anna sengaja menyela ucapan Galih sembari melihat sekitar jika saja ada banyak karyawan yang melihatnya.Galih menautkan alis semakin heran saat menatap sepupunya dengan pakaian cleaning servis seperti itu. "Kau benar-benar bekerja sebagai office
"Dimana Anna?" Aslan memasuki dapur ruangan dan hanya disambut oleh Vero, salah satu rekannya."Dia sedang nganter kopi, Sir. Ada apa, Pak?" Vero balik bertanya kepada Aslan."Oh, nanti kalau dia sudah kembali suruh ke ruangan saya." Aslan memberi arahan tegas.Vero terdiam sejenak, mungkin ia sedang berpikir tentang penggilan mendadak Aslan. Lalu dengan cepat ia menganggukkan kepala mengiyakan arahan Aslan."Baik, Pak. Akan saya sampaikan."Aslan lalu meninggalkan ruangan. Ia meninggalkan Vero yang masih dilanda sebuah tanda tangan besar. Hingga akhirnya telepon di dapur ruangan berdering. "Dapur perusahaan." Sapa Vero."Tolong antarkan teh ke lantai dua ya.." Vero terlihat menghembuskan napas kasar sembari mengangguk pelan. Setelah telepon ditutup, ia menggerutu pelan sembari membuat minuman. Lalu pergi ke lantai dua dengan membawa trolly berisi minuman pesanan karyawan.****Saat jam makan siang Anna dan Rani sedang menyantap bekalnya di kantin perusahaan seperti biasa. Namun Anna
Aslan berdiri hampir saja ia bergerak memutari meja. Saat Anna dengan sigap melirik setiap gerak gerik pria itu. Anna harus berjaga-jaga saat mereka sedang berduaan di dalam ruangan seperti saat ini. Tepatnya sedang dalam posisi yang memaksanya berdua saja dengan Aslan. Anna tidak mau emosinya tidak terkontrol ketika berhadapan dengan Aslan seperti di kediamannya kemarin.Aslan tersenyum menggoda saat mengetahui gerak refleks Anna untuk menjauh ketika dirinya mulai mendekati gadis itu. " Ada apa?"Anna menggeleng cepat. "Tidak ada. Hanya berjaga-jaga."Aslan mengangkat sebelah alisnya sambil memiringkan kepala mengamati ekspresi Anna."Ada apa?" Anna ganti menanyakan tatapan Aslan yang mengintimidasi dirinya."Kau gadis yang sangat naif," Gumam Aslan."Terima kasih." "Jangan bersikap seperti itu di hadapanku!" Aslan mendengus kesal. "Karena akan membuatku semakin mencintaimu." "Semakin kesini, aku semakin tidak percaya dengan pernyataan cintamu. Karena kau bahkan masih menjalin hubu
Anna celingukan mencari seseorang di dalam restoran ternama ini. Ia nampak canggung saat memasuki restoran Tivolly, karena ini baru pertama kalinya ia menginjakkan kaki di restoran ternama ini. Restoran ini merupakan tempat makan elit yang biasa dikunjungi oleh orang-orang berkelas menengah ke atas. Tentu saja bagi Anna memasuki restoran Tivolly adalah hal yang tidak wajar. Mengingat ia tidak biasa dan bahkan tidak begitu mengerti pergaulan para orang kaya. Ia lihat para wanita dengan tas bermerek ratusan juta rupiah, sesuatu yang jelas mendominasi ruangan ini. Membuatnya harus menyembunyikan rapat-rapat tas selempang hitam di balik tangannya.Mata hazelnya berbinar saat menangkap sosok pria yang sejak tadi ia cari. Galih sudah duduk di meja nomor dua belas sedang melambai ke arahnya. Anna lalu berjalan ke arahnya dengan menundukkan kepalanya. "Kau baru sampai?" Tanya galih saat Anna sudah berada di depan mejanya."Lumayan sih. Aku cukup lama berdiri mencari keberadaanmu." Anna menj
Wanita itu, wanita yang kini sedang duduk di hadapan Aslan tidak lain adalah Gina, kekasihnya. Bukankah itu hal yang wajar jika Aslan mengajak Gina ke tempat yang elit seperti ini? Namun tidak untuk hati Anna. Ia merasa tindakan Aslan kali ini sangat tidak bisa dimengerti.Mendengar pernyataan cintanya seminggu yang lalu, ia bahkan sudah berjanji untuk melepas Gina. Dan apa yang ada di hadapan Anna sekarang berbeda dengan ucapan pria yang sangat dipercaya oleh Anna itu.'Tidak, pasti Aslan mengajak Gina kesini untuk mengakhiri segalanya.' Hati dan pikiran Anna seolah memberontak hebat melawan pandangannya saat ini.Anna bahkan tidak sudi memutar kepala menghadap mereka berdua. Dalam hati kecilnya sungguh ia tidak sanggup menghadapi kenyataan yang mulai mengusik hati dan pikirannya kini. Anna semakin terdiam. Ingin rasanya ia beranjak dari tempat ini agar pikiran buruk yang menghantuinya sirna begitu saja.Galih yang mengamati perubahan sikapnya secara diam-diam mulai mengalihkan pembi
Pertemuan Gina dan Aslan tidak begitu lama. Aslan akhirnya memaksa Gina untuk segera kembali ke rumah setelah melihat pemandangan yang sama sekali tidak ia harapkan. "Ada apa sih Bi, kau menyuruhku cepat pulang?" Gina bertanya dengan polos saat mereka sudah berada di depan restoran. Tentu saja Gina tidak mengetahui keberadaan Anna yang datang bersama Galih. Jika Gina mengetahuinya, pastilah akan beda lagi ceritanya."Aku akan menyuruh Pak Budi mengantarmu pulang. Kau pulanglah duluan! Aku masih ada urusan penting." Ucap Aslan datar sembari memainkan ponsel menghubungi seseorang."Kau tidak mau mengantarku?" Gina seolah tidak percaya dengan ucapan Aslan.Namun Aslan tetap fokus pada ponselnya. Ia seakan tidak peduli dengan ekspresi Gina."Aslan! Aku sedang bertanya padamu!" Gina menaikkan nada suaranya saat mendapati Aslan sama sekali tidak menghiraukan dirinya."Apa kau tidak mendengar ucapan ku tadi?" Aslan kembali bertanya dengan lebih lembut. Membuat Gina yang sedang tersulut menj
Wanita itu, wanita yang kini sedang duduk di hadapan Aslan tidak lain adalah Gina, kekasihnya. Bukankah itu hal yang wajar jika Aslan mengajak Gina ke tempat yang elit seperti ini? Namun tidak untuk hati Anna. Ia merasa tindakan Aslan kali ini sangat tidak bisa dimengerti.Mendengar pernyataan cintanya seminggu yang lalu, ia bahkan sudah berjanji untuk melepas Gina. Dan apa yang ada di hadapan Anna sekarang berbeda dengan ucapan pria yang sangat dipercaya oleh Anna itu.'Tidak, pasti Aslan mengajak Gina kesini untuk mengakhiri segalanya.' Hati dan pikiran Anna seolah memberontak hebat melawan pandangannya saat ini.Anna bahkan tidak sudi memutar kepala menghadap mereka berdua. Dalam hati kecilnya sungguh ia tidak sanggup menghadapi kenyataan yang mulai mengusik hati dan pikirannya kini. Anna semakin terdiam. Ingin rasanya ia beranjak dari tempat ini agar pikiran buruk yang menghantuinya sirna begitu saja.Galih yang mengamati perubahan sikapnya secara diam-diam mulai mengalihkan pembi
Anna celingukan mencari seseorang di dalam restoran ternama ini. Ia nampak canggung saat memasuki restoran Tivolly, karena ini baru pertama kalinya ia menginjakkan kaki di restoran ternama ini. Restoran ini merupakan tempat makan elit yang biasa dikunjungi oleh orang-orang berkelas menengah ke atas. Tentu saja bagi Anna memasuki restoran Tivolly adalah hal yang tidak wajar. Mengingat ia tidak biasa dan bahkan tidak begitu mengerti pergaulan para orang kaya. Ia lihat para wanita dengan tas bermerek ratusan juta rupiah, sesuatu yang jelas mendominasi ruangan ini. Membuatnya harus menyembunyikan rapat-rapat tas selempang hitam di balik tangannya.Mata hazelnya berbinar saat menangkap sosok pria yang sejak tadi ia cari. Galih sudah duduk di meja nomor dua belas sedang melambai ke arahnya. Anna lalu berjalan ke arahnya dengan menundukkan kepalanya. "Kau baru sampai?" Tanya galih saat Anna sudah berada di depan mejanya."Lumayan sih. Aku cukup lama berdiri mencari keberadaanmu." Anna menj
Aslan berdiri hampir saja ia bergerak memutari meja. Saat Anna dengan sigap melirik setiap gerak gerik pria itu. Anna harus berjaga-jaga saat mereka sedang berduaan di dalam ruangan seperti saat ini. Tepatnya sedang dalam posisi yang memaksanya berdua saja dengan Aslan. Anna tidak mau emosinya tidak terkontrol ketika berhadapan dengan Aslan seperti di kediamannya kemarin.Aslan tersenyum menggoda saat mengetahui gerak refleks Anna untuk menjauh ketika dirinya mulai mendekati gadis itu. " Ada apa?"Anna menggeleng cepat. "Tidak ada. Hanya berjaga-jaga."Aslan mengangkat sebelah alisnya sambil memiringkan kepala mengamati ekspresi Anna."Ada apa?" Anna ganti menanyakan tatapan Aslan yang mengintimidasi dirinya."Kau gadis yang sangat naif," Gumam Aslan."Terima kasih." "Jangan bersikap seperti itu di hadapanku!" Aslan mendengus kesal. "Karena akan membuatku semakin mencintaimu." "Semakin kesini, aku semakin tidak percaya dengan pernyataan cintamu. Karena kau bahkan masih menjalin hubu
"Dimana Anna?" Aslan memasuki dapur ruangan dan hanya disambut oleh Vero, salah satu rekannya."Dia sedang nganter kopi, Sir. Ada apa, Pak?" Vero balik bertanya kepada Aslan."Oh, nanti kalau dia sudah kembali suruh ke ruangan saya." Aslan memberi arahan tegas.Vero terdiam sejenak, mungkin ia sedang berpikir tentang penggilan mendadak Aslan. Lalu dengan cepat ia menganggukkan kepala mengiyakan arahan Aslan."Baik, Pak. Akan saya sampaikan."Aslan lalu meninggalkan ruangan. Ia meninggalkan Vero yang masih dilanda sebuah tanda tangan besar. Hingga akhirnya telepon di dapur ruangan berdering. "Dapur perusahaan." Sapa Vero."Tolong antarkan teh ke lantai dua ya.." Vero terlihat menghembuskan napas kasar sembari mengangguk pelan. Setelah telepon ditutup, ia menggerutu pelan sembari membuat minuman. Lalu pergi ke lantai dua dengan membawa trolly berisi minuman pesanan karyawan.****Saat jam makan siang Anna dan Rani sedang menyantap bekalnya di kantin perusahaan seperti biasa. Namun Anna
Kantor masih sepi ketika Anna mengecek galon di setiap ruangan. Sesekali ia mendapat sapaan dari para karyawan yang melewatinya saat baru memasuki ruangan. Anna selalu bersikap hangat pada siapapun dan ini membuat ia dikenal ramah oleh setiap karyawan."Bukankah kamu.. Anna?" Sebuah suara membuatnya menoleh seketika saat akan mengangkat galon ke dispenser."Galih?" Anna turut heran menatap sepupunya. Sepagi ini ia sudah berdiri di sana."Kamu bekerja di sini?" Mata Galih menatap Anna dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia seakan terkejut dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya."He'em, seperti yang kau lihat." Anna mengangkat kedua tangannya setengah badan mengiyakan pertanyaan Galih."Why? Inikan, perusahaan..." "Suryadinata Grup?" Anna sengaja menyela ucapan Galih sembari melihat sekitar jika saja ada banyak karyawan yang melihatnya.Galih menautkan alis semakin heran saat menatap sepupunya dengan pakaian cleaning servis seperti itu. "Kau benar-benar bekerja sebagai office
Mereka sampai di depan rumah Anna. Ternyata benar, suara ketukan itu masih terdengar hingga teras rumah Anna. Tak ada pintu yang masih terbuka di sekitar rumah sederhana gadis itu. Karena ini sudah hampir tengah malam. Lagi pula tetangga Anna juga sedang pergi ke tanah suci melakukan ibadah umroh. Bersama rombongan pak ustadz yang menjadi takmir masjid di komplek Anna."Masuklah, aku tidak berani." Anna mengernyitkan kening. Ia memposisikan diri di belakang Aslan.Aslan menghembuskan nafas pelan. Dengan tenang ia memasuki rumah Anna yang selama ini seakan haram dimasuki olehnya. Karena Anna selalu menerima tamu laki-laki di teras rumah, kecuali jika ada sesuatu yang urgent seperti ini.Aslan melewati ruang tamu lalu melangkah ke ruang tengah yang lurus menuju dapur. Rumah itu di dalamnya ternyata luas, pikir Aslan. Karena dari arah luar jika dipandang hanya tampak seperti perumahan modern yang sederhana dengan dua kamar seperti yang marak ada dalam promo kredit rumah akhir-akhir ini.
Anna menggeleng pelan. Hati kecilnya turut menjerit saat ia mencoba melawannya sendiri. Rasa sakit rupanya mulai menusuk jiwanya yang selama ini sudah ia paku agar tetap tegar ketika menghadapi hal buruk apapun."Maaf, aku tidak bisa sepertimu, Lan." Kalimat Anna membuat Aslan terkesiap."Why?" Lama Anna terdiam, ujung jemarinya ia gunakan untuk menyeka air mata yang masih menetes."Hubungan kekeluargaan kita, aku tidak mau menghancurkannya karena ego." Anna berbisik pelan."Tidak ada yang menghancurkannya, juga tidak ada yang akan hancur, Ann..." Senyum miris terukir dari sudut bibir Aslan. Seolah lidahnya kelu sendiri saat mengingat silsilah keluarga aslinya."Kau tahu kita terikat hubungan apa?" Anna menaikkan nada bicaranya untuk meyakinkan Aslan."Bahkan kau sendiri yang datang kemari untuk mengingatkanku jika aku adalah sepupumu?" Anna mengernyitkan kening.Aslan masih terdiam lama. Terlihat ekspresi frustasi dari raut wajahnya. Ia menghembuskan nafas pelan. Lalu menatap Anna d
Mereka sampai di depan rumah Anna. Rumah di gang sempit yang hanya cukup di lalui satu mobil. Membuat Aslan harus memarkir mobilnya di depan gang saat berkunjung ke rumah Anna.Aslan kembali menatap gadis yang masih terlelap di sebelahnya. Perasaan iba tiba-tiba menjalari pikirannya memandang gadis selugu Anna harus berjuang melawan keluarga kakeknya. Mengingat kedua orang tuanya sudah tiada dan hanya keluarga kakeknya lah yang ia punya saat ini.Perasaan Aslan kembali menyelam ke dalam lubuk hatinya. Ia yang awalnya hanya merasa iba pada gadis itu akhirnya benar-benar dibuat jatuh hati olehnya. Karena sikapnya yang mandiri dan tegas, mampu membuat Aslan berdecak kagum oleh wajah cantik yang menawan itu.Aslan menghembuskan napas pelan. Ia berusaha mengatur perasaannya lagi agar bisa terkontrol lebih baik lagi. Ia tidak ingin menghancurkan perasaan yang dengan indah ia selami hanya karena nafsu lelakinya yang sangat menyiksa baginya.Aslan memegang pundak Anna lalu mengoyaknya. Namun