"Oh, jadi kamu salah orang? Bagaimana bisa Gilang memberikan informasi yang salah pada Papa!" keluhnya.
"Pah, kenapa tidak katakan saja padaku, maksud Papa berikan bunga mawar itu pada Lita?" cecarku. Aku jadi penasaran terus dibuatnya.
"Ana, Papa ingin kamu lihat dengan mata kepala sendiri. Papa juga ingin kamu tahu kebenarannya langsung tepat di matamu, tidak dari mulut Papa." Rupanya ada sesuatu hal yang sedang papa sembunyikan. Apakah Lita itu sebenarnya orang kaya raya? Sama halnya sepertiku yang pernah menyamar sebagai anak jalanan? Kalau iya, kami berdua sama-sama penipu.
"Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Telepon pun terputus, aku pamit untuk pulang. Setelah ini mengurus gugatan cerai ke pengadilan.
Di parkiran mobil, kulihat ada sebuah mobil yang tak asing. Kuperhatikan dengan seksama, kuamati dengan teliti, sepertinya ini mobil Mas Zaki. Kenapa ia berada di rumah sakit? Apa Mas Zaki tengah sakit?
Tiba-tiba di pikiranku ada keinginan untuk menghubunginya. Namun, keinginan itu aku pendam saat melihat seseorang yang datang menghampiri mobil tersebut. Ternyata bukan mobil Mas Zaki, tapi aku yakin sekali, plat nomor kendaraan sangat aku hapal.
Kemudian, untuk memastikan bahwa pemilik mobil tersebut adalah Mas Zaki atau bukan. Aku menghampiri laki-laki tersebut.
"Mas, maaf. Ini mobil Mas Zaki atau bukan ya?" tanyaku sesaat laki-laki itu hendak membuka pintu.
"Betul, Mbak. Saya pinjam mobilnya untuk menjenguk teman," sahutnya sembari menundukkan wajahnya.
"Oh gitu, terima kasih informasinya, Mas." Kemudian aku kembali ke mobilku. Ia pun menyetir mobil Mas Zaki yang telah dipinjamnya.
Aku segera kembali pulang, tapi papa menghubungiku lagi. Ada apa lagi ini? Apa masih persoalan bunga mawar?
"Nak, sebaiknya setelah dari rumah sakit, kamu pergi ke restoran yang berada di jalan kelinci," suruhnya. Papa memerintahkanku untuk pergi ke sana ke sini tapi tak kunjung ada hasilnya. Lama-lama aku pun jenuh dengan ini semua.
"Pah, aku mau pulang, capek!" ketusku.
"Ya sudah, terserah kamu saja," pungkasnya.
"Pah, memang ada apa sih sebenarnya?" tanyaku penasaran. Aku lelah dengan teka-teki ini, tapi tak dapat dipungkiri, hati ini pun berkeinginan mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Apa yang sedang papa ingin tunjukkan padaku?
"Kalau kamu ingin pulang, terserah kamu, Papa tutup teleponnya, ya!" timpalnya. Kemudian telepon terputus.
Aku menghela napas sembari memarkirkan mobil ini. Kemudian, melaju untuk pulang. Namun, di perjalanan, pikiranku terus menuju ke restoran jalan kelinci. Rasa penasaranku kian memacu. Akhirnya kuputar setir dan menuju jalan kelinci.
Aku ikuti arah g****e maps, yang sudah terlihat dekat dan tidak jauh dari rumah sakit. Hanya saja beda arah dengan rumah papa.
Rumah makan yang papa sebutkan sudah tepat di titiknya. Ternyata rumah makan yang dulu sering aku kunjungi bersama Lita saat ia mentraktirku. Apa mungkin Lita sedang berada di sini dengan suaminya yang tadi di rumah sakit? Lalu untuk apa papa menyuruhku mengikutinya?
Setelah memarkirkan mobil, aku coba hubungi papa kembali. Namun, belum sempat menghubungi papa, aku bertemu dengan Pak Gilang di parkiran. Laki-laki yang sebenarnya hanya beda lima tahun dariku, tapi aku lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan Pak. Itu dikarenakan ia adalah kaki tangan papa yang setia.
"Pak Gilang ada di sini?" tanyaku heran.
"Iya, Mbak. Saya sudah pesankan kursi untuk Mbak. Mari masuk!" Aku keheranan mendengarnya. Hingga kedua alisku menyatu karena bingung dengan ulah papa.
Aku pun mengangguk, dan mengikuti arah Pak Gilang jalan. Ia menunjukkan kursi dan mempersilahkanku duduk.
Makanan yang ia pesan pun sudah banyak, sepertinya akan makan siang dengan temannya juga.
"Pak Gilang ada janji dengan orang lain juga?" tanyaku heran.
"Iya, Mbak. Sebentar lagi mereka juga datang." Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.
Tak lama kemudian, Pak Gilang berdiri, aku pun ikut berdiri, entahlah siapa yang akan ia sambut kedatangannya. Aku lihat di hadapanku tidak ada siapa-siapa. Kebetulan, aku dan Pak Gilang duduk berhadapan.
"Selamat siang, Pak Gilang!" sapa dua orang dari arah belakangku. Kedengaran telingaku, satu suara wanita, satu lagi suara laki-laki.
POV Zaki
Sejak pertama kali mendengar dari Arman, temanku yang mengurus bengkel, bahwa ia melihat Ana bersama dengan laki-laki lain. Saat itulah kepercayaanku mulai hilang kepadanya. Istri pertama yang amat kucintai ternyata telah berpaling dariku hanya karena ingin mendapatkan mobil dan fasilitas mewah lainnya.Aku memang tidak memberikan apapun pada Ana saat bersamaku. Itu dikarenakan mama tak mengizinkan. Alih-alih karena Ana belum memberikan keturunan.
"Woy, mending elu pulang ke rumah. Tunggu Ana pulang, barusan gue liat dia di cafe dengan laki-laki. Sayangnya gue nggak bisa motoin tadi, ribet bawa bocah," tutur Arman saat memberikan informasi ini.
"Yang bener lu? Ana selingkuh? Apa jangan-jangan gara-gara minta beliin baju kemarin ya?"
"Mungkin, makanya elu jadi laki yang adil, masa Ana nggak pernah elu manjain," sahutnya. Kemudian tanpa basa-basi, aku bergegas ke parkiran bengkel. Lalu pulang, menunggu kedatangan Ana.
Benar saja apa yang Arman informasikan. Ana pulang membawa mobil Honda jazz, dan perhiasan beserta tas mewah. Alangkah terkejutnya aku melihat kejadian ini. Emosi campur penasaran menggebu di hati. Namun, sayangnya Ana Melissa tak dapat membuktikan bahwa ia tidak selingkuh. Malahan ia berontak dan berusaha pergi dari rumah, hingga membuatku sontak kesal lalu menalaknya.
Harta memang membuatnya buta, ia rela menjual dirinya untuk sebuah mobil dan perhiasan. Hingga mengorbankan pernikahan kami. Itu artinya, memang tidak perlu mempertahankan wanita seperti itu.
Saat itu, Lita istri keduaku menghubungi. Aku terkejut mendengar penuturannya di telepon.
"Mas, barusan Ana ke sini. Aneh sekali, ia memberikanku bunga mawar berduri," imbuhnya dalam sambungan telepon.
"Masa? Tahu dari mana Ana rumahmu? Bukankah ia tahunya kamu itu anak jalanan?" tanyaku heran.
Setahu aku, Ana Melissa, anak jalanan dan yang ia tahu tentang Lita, ia adalah anak jalanan juga. Padahal, Lita adalah wanita yang ternyata dijodohkan denganku, yang akhirnya aku nikahi secara siri setelah 5 bulan aku menikahi Ana secara sah. Tidak ada pernikahan paksaan antara aku dan Ana. Begitu pula dengan pernikahan siri antara aku dan Lita. Semuanya atas kemauan aku, itu karena aku ingin sekali memiliki anak, tapi Ana tak kunjung hamil.
"Mas, aku juga tidak tahu Ana mengetahui ini dari mana! Aku khawatir Ana menyakitiku dan calon anak kita!" tambah Lita. Aku yakin Lita ketakutan karena tahu bahwa Ana Melissa adalah wanita yang tidak lemah.
"Sudahlah, dia sudah pergi, kan? Tak mungkin dia tahu tentang pernikahan kita. Semua sudah bersedia tutup mulut tentang rahasia ini," ucapku menenangkan.
"Ya sudah, besok antar aku ke Dokter kandungan," ajaknya.
"Pastinya, sampai bertemu besok, ya!" Kemudian telepon pun terputus.
Keesokan harinya, pagi-pagi kami ke rumah sakit. Kami memeriksa kandungan Lita, setelah itu saat hendak antri obat, aku melihat Ana masuk ke ruangan dokter kandungan, tidak kusangka di sana ternyata ada Ana juga.
"Mas, itu Ana."
"Iya, dia pasti ingin cari tahu siapa suamimu, Lita. Sebentar, aku minta tolong orang dulu."
Aku sembunyikan Lita dari keramaian, agar tak terlihat dari Ana. Lalu aku bayar orang untuk mengantri obat dan memakai jas yang tengah aku gunakan.
Kemudian, setelah itu, aku hubungi teman untuk mengambil mobil yang terparkir di rumah sakit, khawatir Ana curiga jika melihat mobilku terparkir di sini.
"Ayo kita pulang!" ajakku pada Lita.
"Ayo, Mas." Setelah itu, ponsel Lita berdering.
"Telepon tuh," ucapku. Sementara Lita mengangkat telepon, aku menunggu temanku untuk mengembalikan mobil itu kembali. Kami janjian tepat di belakang rumah sakit, agar Ana tidak melihat keberadaan kami berdua.
Lita pun selesai menerima telepon, ia mengajakku untuk ke sebuah restoran.
"Mas, kita diundang makan siang oleh Pak Gilang." Siapa dia? Ada apa ngundang kami berdua?
"Siapa Pak Gilang? Sudah tua kamu panggil dengan sebutan Pak?" tanyaku.
"Usianya baru 26 kayaknya, hanya saja jabatannya di sebuah perusahaan membuatku harus memanggil dengan sebutan Pak."
"Kamu kenal dari mana?" tanyaku menyelidik.
"Dia itu teman Papaku, Mas. Baru kenal beberapa bulan yang lalu juga. Saat kita menikah, ia datang loh!" jelasnya.
Berati aman, ia kenal dengan Lita beserta keluarganya. Tidak ada sangkut pautnya dengan Ana. Aku juga bingung sebenarnya dengan orang yang mengirimkan bunga mawar merah ke rumah Lita. Namun, jika aku bicarakan ini pada Lita, yang ada ia malah cemas dengan keselamatannya.
"Ya sudah, tunggu mobil datang dulu."
Kami menunggu mobil datang, sekitar lima belas menitan kami menunggu. Akhirnya ia sampai juga.
"Makasih ya," ucapku pada Arman.
"Sama-sama, jangan kelamaan bohongin anak orang. Ngomong-ngomong cakep sekarang Ana. Punya mobil juga lagi," pungkasnya membuatku bergemuruh.
"Sudahlah, aku mau pergi dulu!" Aku dan Lita pun bergegas ke sebuah restoran di jalan kelinci.
"Mas, restoran itu kan sering aku kunjungi bersama Ana. Aku sering traktir dia di sana, tanpa ia tahu kondisi keuanganku. Ia pikir, aku punya uang dari hasil ngamen saja. Ana tidak tahu bahwa Papaku pemilik PT. Keramik Jaya."
Aku bergeming, jangankan Ana. Aku pun yang baru menikahinya beberapa bulan lalu baru tahu setelah mama bicarakan ini padaku. Kalau tahu yang dijodohkan dulu adalah Lita, anak pemilik PT. Keramik Jaya. Pastinya takkan aku paksakan Ana menikah denganku.
Setibanya di restoran, aku dan Lita bergegas masuk. Aku menyapa dua orang yang tengah duduk. Satu wanita membelakangi kami, dan satu pria berhadapan dengan kami.
"Selamat siang, Pak Gilang!" Kami memberikan salam saat baru saja datang.
"Siang, Lita, Zaki. Perkenalkan ini Ana Melissa." Kami serentak tercengang, termasuk Ana yang sepertinya tidak mengetahui juga akan pertemuan ini.
Bersambung
POV Zaki"Mas Zaki, Lita?" Dengan wajah tertegun, ia menatap kami berdua. Aku dan Lita hanya terdiam, ada rasa gemetar dalam dada ini. Namun, ada rasa api cemburu saat melihat laki-laki yang bernama Gilang bersama Ana. Ternyata, laki-laki yang memberikan fasilitas untuk Ana itu adalah Pak Gilang."Silahkan duduk!" Pak Gilang mempersilahkan kami duduk. Memang tidak terlalu tua juga wajahnya. Aku semakin panas melihat Ana kini duduk di sampingnya."Maaf, Pak. Ada apa kami diundang ke sini?" tanya Lita keheranan. Kemudian Pak Gilang mengeluarkan sebuah laptop dan membuka layarnya."Laptop? Untuk apa?" tanyaku."Saya akan memutar video, kalian simak, ya!" tukas Pak Gilang dengan senyuman disertai lesung pipi di sebelah kirinya. Aku pun mengerenyitkan dahi dan menatap wajah Lita, tanda keheranan dengan sikap Pak Gilang yang akan mempertontonkan pada kami sebuah video. Entahlah, video apa yang akan kami lihat?POV AnaSaat aku menoleh ke ar
POV LitaTernyata Pak Gilang adalah selingkuhannya Ana. Astaga, kenapa Ana sampai nekat seperti itu hanya karena ingin hidup yang lebih layak?Mas Zaki tidak memberikan fasilitas kepada Ana dikarenakan Ana hanya anak jalanan. Berbeda denganku, anak dari pemilik PT. Keramik Jaya. Salahnya Mas Zaki kenapa ia menolak perjodohan itu? Kini, ia jadi terjebak cinta dua wanita. Tak mau melepaskan Ana, tapi tetap menginginkan aku juga.Sampai pada akhirnya, aku dan Ana dipertemukan saat pertemuan dengan Pak Gilang. Aku rasa Mas Zaki cemburu, makanya ia mengajakku buru-buru pergi dari restoran tersebut.Di sepanjang jalan, ia emosi dengan Ana. Aku tetap berusaha menenangkan Mas Zaki yang agak keras kepala."Argh ... kesel aku Lit, masa Ana memilih laki-laki semacam Pak Gilang?" tanyanya kesal."Loh, memang kenapa? Bukankah usiamu dengan Pak Gilang hanya beda 2 tahun? Kalau dibandingkan dengan Ana memang agak jauh, tapi tidak ada salahnya dengan
POV AnaAku bergegas pulang ke rumah, ingin segera mengetahui kejutan apa yang telah papa siapkan untukku? Sudah setahun berpisah darinya, kini hari-hariku penuh dengan kejutan-kejutan.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, agar sampai di rumah dengan selamat. Kebetulan jarak dari rumah Lita ke perumahan tempat papa tinggal tidak terlalu jauh.Setibanya di rumah, ternyata kejutan manis itu adalah kedatangan Sinta, adikku. Lama tak jumpa dengannya, kini ia sudah memiliki gelar sarjana."Halo, Kak!" sapanya."Hai, kamu cantik sekali hari ini," sahutku sambil memujinya. Kemudian aku melihat ke sekeliling rumah yang penuh dengan meja dan kursi. Ada persiapan apa ini? Rasanya terlalu berlebihan jika menyambut kedatangan Sinta mengundang orang. Terlihat dari kursi yang dipersiapkan sebegitu banyak."Hari ini akan banyak kejutan untukmu, Sayang. Kedatangan Sinta hanya kejutan kecil yang Papa berikan," sambung papa sembari menghampiriku.
Setelah terjeda beberapa detik, Pak Gilang segera melanjutkan penyambutan orang tuaku. Semua yang menyaksikan tiba-tiba hening, tak ada seorangpun yang bersuara, termasuk Lita dan Mas Zaki.Kemudian, papa dan mama turun dari tangga ke anak tangga lainnya. Semua para tamu undangan seketika menyorot mereka berdua. Terlebih-lebih Mas Zaki dan Lita, mereka mulai saling beradu pandangan. Sedikit-sedikit Mas Zaki menoleh ke arahku. Ada rasa heran terpancar di matanya.Setelah anak tangga terakhir yang orang tuaku injak, Pak Gilang segera mempersilahkan kembali mereka berdua untuk segera menaiki panggung."Marilah kita sambut, Pak Ardi Dinata beserta Bu Fatma Ningtyas. Kepada Pak Ardi dan Bu Fatma, diperkenankan untuk naik ke atas panggung," tutur Pak Gilang mempersilahkan orang tuaku naik ke atas panggung.Aku tersenyum tipis ke arah mereka berdua. Aku rasa di hati mereka sedang bertanya-tanya, untuk apa aku merahasiakan jati diri ini terhadap mer
Nama jalannya seperti dekat bengkel Mas Zaki, tapi alamat lengkapnya bukan. Sinta menambah volume televisi tersebut, dan kami perhatikan seksama."Pah, itu rumah temanku kan? Ayumi!" teriak Sinta sambil menepuk paha papa.Aku hanya memperhatikan lingkungan sekitarnya, tepat sekali itu adalah rumah Ayumi, temannya Sinta."Oh, Ayumi teman SMA kamu dulu?" Papa berusaha mengingat nama yang Sinta sebut."Itu dekat dengan bengkel Mas Zaki, Pah," tunjukku. Kemudian kami perhatikan kembali berita yang sedang disiarkan secara langsung."Suasana di lingkungan semakin ricuh, banyak orang malah memanfaatkan situasi saat kebakaran berlangsung. Menjarah ke berbagai toko dan bengkel." Begitulah pembaca berita menyiarkan berita terkini.Aku dan papa menoleh bersamaan, itu bengkel milik Mas Zaki, secara gamblang terlihat sedang diburu oleh para penjarah."Kak, itu gerbang bengkel sampai roboh gitu!" Sinta terperangah melihat
POV ZakiSaat itu, kupikir undangan yang kami datangi di sebuah perumahan elite adalah undangan terbuka dari orang yang tidak kukenal. Namun, ternyata itu adalah undangan dari keluarga Ana Melissa, istri pertamaku.Kesal saat mendengar pernyataan yang satu demi satu membuka jati diri keluarga dari Ana. Ternyata mereka merahasiakan jati dirinya yang sesungguhnya dariku dan keluarga. Termasuk dari Lita yang tidak lain adalah istri keduaku.Ada perasaan malu saat mendengar mereka bicara di atas panggung. Namun, rasa kesal kepadanya itu yang lebih menggebu-gebu. Apalagi mereka sengaja bekerja sama dengan keluarganya Lita. Untuk apa semua itu? Apa ada dendam yang sedang mereka rencanakan?"Lita, kita pergi dari sini," bisikku setelah mengetahui bahwa Ana adalah pemilik rumah tempatku berdiri. Jangan sampai ia mengejutkan satu hal lagi. Aku yakin setelah ini akan ada pengumuman pertunangannya dengan Pak Gilang.Lita pun hanya mengangguk, la
POV Zaki "Siapa bilang Ana mandul?" sanggah Pak Ardi, papanya Ana. Jantungku berdetak kencang saat ia tiba-tiba muncul di kantor polisi. Aku bergeming, kemudian Pak Ardi menghampiri polisi untuk memberikan bukti bahwa Ana tidaklah mandul. "Selamat sore, Pak Ardi. Silahkan duduk!" Komandan polisi mempersilahkan Pak Ardi beserta pengacaranya duduk. "Saya tidak ingin basa-basi, cepatlah kurung laki-laki, ini bukti bahwa Ana, anak saya tidak mandul. Ia sehat, hanya saja rezekinya belum berpihak," tegasnya. Aku hanya mampu menghela napas dan mengembuskannya kembali. Rasanya tidak bisa melawan di hadapan pria yang ternyata adalah bukan orang main-main. Polisi menelaah bukti yang ia pegang. Pak Ardi benar-benar tidak dapat diragukan lagi. Lembaran kertas hasil pemeriksaan medis atas nama Ana Mellisa itu sedang dibuka satu persatu. Pengacaraku pun hanya menggelengkan kepalanya. Sepertinya sudah sulit melawan orang kaya ray
Tiba-tiba Sinta teringat bahwa ia sedang mendekap tubuh Dimas. Kemudian, ia melepaskannya hingga terlihat malu."Maaf, tadi kaget dan takut," jelas Sinta malu. Wajahnya yang cantik dan putih kini tiba-tiba memerah."Ehem ... Kakak jadi malu nih, eh keceplosan," ledekku. Kemudian wajah Dimas yang datar tiba-tiba tersenyum tipis."Saya lihat lingkungan sekitar, ya," imbuhnya."Jangan, di sini saja. Jangan tinggalkan kami berdua!" rengek Sinta. Kemudian Dimas pun tidak jadi melangkahkan kakinya.Entahlah, siapa orang yang telah meneror kami berdua. Melemparkan batu dan membuat ban mobil kami sobek.Aku ambil ponsel yang masih berada di dalam mobil. Kemudian, kuhubungi papa agar menjemput kami berdua. Namun, Dimas melarang untuk meminta dijemput."Aku hubungi Papa dulu, mau minta jemput," kataku sambil mencari kontak papa."Saya antar kalian saja. Ini sudah malam, kalau kalian nunggu dijemput, mau sampai j
Bab 39POV AnaKetika kami sedang berbincang-bincang, dan menyantap hidangan yang telah tersaji di hadapanku. Tiba-tiba Lita menghubungiku, ada apa ya kira-kira? Aku angkat teleponnya, sepertinya mereka sedang bertengkar. Buktinya Mas Zaki tak mau disebutkan sedang bersama dengannya."Halo, Lita, ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Pasti ini hal penting, bukan hal main-main."Ana, aku sulit menghubungi Mas Zaki. Ya Tuhan, anakku meninggal dunia barusan dokter mengabarkan, ia melemah tadi, lalu tidak kuat," tuturnya membuatku terkejut. Astaga, rupanya bayi prematur yang dilahirkan Lita sudah tak bernapas. Bibirku pun kaku, sulit untuk berkata apapun.Setelah Lita bercerita, aku pun sontak mematikan teleponnya. Mataku sedikit berair, merasa bersalah atas kejadian yang menimpanya ini."Ana, ada apa?" Mas Zaki terus menerus menanyakan apa yang Lita katakan."Mas, bayi itu meninggal," ujarku padanya.Aku menghela napas, begitu pun de
Bab 38POV Zaki"Maaf, Anda siapa ya? Ada keperluan apa ke sini?" tanyaku penasaran. Sebab, wajahnya tak pernah kulihat sebelumnya."Mas, ini laki-laki yang sudah beristri itu," jawab Yuni tertunduk. Dadaku bergetar hebat, tanganku tiba-tiba mengepal. Namun, saat melihat wajah Yuni, tak tega rasanya melakukan kekerasan di hadapannya."Jadi, kamu yang mempermainkan adikku?" selidikku."Ya, aku orang yang dirayu adikmu," sahutnya membuat darah ini semakin mendidih. Namun, lagi-lagi wajah Yuni yang memelas di hadapanku membuat tangan ini hanya mengepal tak kuat melampiaskan."Mau apa lagi kamu ke sini?""Aku ingin Yuni segera menggugurkan kandungannya, sebelum istriku dan keluarga besar mengetahuinya," terangnya.Plak ....Tak tahan lagi aku menahan emosi yang sudah meledak, tangan ini melayang ke pipi laki-laki songong itu. Bibirnya pun berdarah kala aku memukulnya dengan sekuat tenaga."Mas, tolon
Bab 37POV ZakiPonselku berdering kembali, kini kurogoh dengan cepat agar tidak keburu mati lagi. Kulihat ke arah layar ponsel, ternyata Ana yang menghubungi."Halo, Ana, ada apa?" tanyaku masih dalam keadaan gemetar. Sebab, belum berhasil lihat wajah di balik kain putih itu."Mas, Yuni bersamaku, ia sudah kuantar pulang," celetuknya membuatku bernapas lega. Berati wanita yang berada di balik kain putih itu bukanlah Yuni. Ia sudah dibawa pulang oleh Ana."Ana, kamu membawanya pulang ke rumahku, kan? Aku mohon, tolong jangan tinggalkan Yuni sendirian, please!" pintaku. Dengan amat sangat, aku mengharapkan Ana menemani Yuni di rumah."Maaf, Mas. Aku tidak bisa, sebentar lagi ada meeting dengan klien, tapi aku sudah suruh bodyguard Papa untuk berjaga di depan rumahmu sampai kamu dan Mama tiba di rumah," tolaknya. Aku tidak bisa berharap lebih padanya. Ana sudah mau menolong Yuni saja aku seharusnya berterima kasih."Maaf ya, Ana. Aku me
Bab 36POV ZakiBerita tentang Yuni kini tersebar di mana-mana. Akun sosial medianya pun ia tutup karena sudah meresahkan keluarga. Mama tak bisa bicara apa-apa, karena sejak berita itu muncul, Yuni pergi meninggalkan rumah."Mah, sebenarnya aku sudah tahu mengenai berita Yuni ini," ungkapku akhirnya membuka rahasia ini."Maksud kamu bagaimana?" tanya mama masih belum paham. Rupanya ia masih berharap bahwa berita ini adalah tidak benar."Mah, berita ini benar, dan saat ini Yuni sedang bersembunyi," sahutku lagi.Mama terdiam, matanya sudah berkaca-kaca saat mendengar penuturanku tentang Yuni. Lita yang baru pulih dari sakitnya pun menghela napas."Lalu bagaimana keadaannya?" tanya mama penasaran."Yuni hamil, Mah. Suami yang disebut-sebut menghamilinya itu memang pengusaha, tapi seenaknya ia meninggalkan Yuni, ini dikarenakan ia tak punya bukti apapun," sambungku membuat lutut mama tiba-tiba lemas. Ia mencari kursi untuk bersan
Bab 35Aku berusaha tenang, terus berjalan ke arah Lita. Hati ini berusaha melawan rasa sakit hati atas pengkhianatannya padaku."Ana, maafkan atas segala kesalahanku," ucapnya membuatku dan Sinta saling beradu pandangan. Seorang Lita yang tak pernah mengucapkan kata-kata maaf, kini kata-kata itu terdengar merdu di telingaku?"Aku tidak salah dengar? Lita, ini kamu?" Aku benar-benar tidak menyangka bahwa ia telah dibukakan pintu hatinya."Tidak, Ana. Aku sungguh menyesal telah mengkhianatimu, dengan merebut Mas Zaki dari sisimu," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.Rasa bahagia pun sontak mengiringi pertemuanku dengan Lita. Tubuhnya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit, membuatku yang harus mendekatinya lebih dekat lagi.Aku memeluknya erat, dan menangis sesegukan. Menyesal pasti ada, telah balas membalas rasa sakit hati yang telah ia torehkan. Begitu pula dengan Mas Zaki, aku yang memiliki dendam berapi-api kepadanya, kini menyesali ke
Bab 34"Angga, ternyata elo pengkhianat, kenapa lakukan ini pada gue?" teriak Mas Zaki tak menghiraukan tempat. Seharusnya ia bisa jaga emosi di rumah sakit."Jangan ribut di rumah sakit!" sentak Pak Farid saat melihat pertikaian Mas Zaki dengan laki-laki yang ternyata bernama Angga itu. Mereka pun menghentikan perkelahiannya.Aku menyaksikan kedua orang yang ternyata berteman. Lita memilih Angga agar ia bisa memiliki anak dan mengaku anak itu adalah benih cinta Mas Zaki. Kutepis pikiran buruk tentang Lita untuk sementara, karena ia sedang berjuang antara hidup dan mati.Seorang suster pun keluar dari ruangan observasi. Ia memberikan kabar terbaru kondisi Lita."Pak, Bu, alhamdulilah pasien Lita sudah melewati masa kritisnya, silahkan untuk keluarga, segera urus ruang rawat inapnya," ungkap suster seketika membuat kami yang berada di depan ruang observasi menghela napas panjang.Syukurlah kalau begitu, aku sudah tenang atas kabar yang telah
Bab 33POV AnaBahagia itu saat ulang tahun dirayakan bersama keluarga, kebahagiaan yang tak pernah aku lalui selama ini. Bertahun-tahun hidup sebagai anak dari Ardi Dinata, ini adalah kali pertamanya aku diberikan kejutan manis olehnya. Rupanya salah memilih pasangan hidup yang kualami, telah membuat papa mengesampingkan egonya. Kini, sosok seorang ayah benar-benar ada dalam dirinya.Aku yakin setelah kejadian ini, Mas Zaki takkan pernah berharap untuk kembali padaku. Namun, ia juga harus mengetahui bahwa sebenarnya ia yang tidak bisa memiliki keturunan.Tidak pernah menepis, mertuaku, Bu Ayu, hanya menilai sosok menantu dari harta saja. Seandainya ia dulu tidak pernah menganggap rendah seorang anak jalanan, mungkin kepura-puraanku juga takkan terjadi. Namun, itu semua juga tidak akan terjadi bila papa menyetujui hubunganku dan Mas Zaki. Jadi, inilah yang dinamakan garisan takdir yang tak bisa dipungkiri."Tolong kirim berkas ini ke alamat y
Bab 32POV ZakiAku buka hingga full, ternyata tes kesuburan Ana Mellisa pada 7 bulan lalu. Aku baca hingga habis, ada keterangan bahwa semua hasil tes menunjukkan Ana Melissa normal dan tidak ada kendala dengan hormonnya.Hasil tes ini persis sama dengan tanggalnya saat aku dan Ana tes dulu. Namun, ada perbedaannya, dulu hasil tes Ana menunjukkan bahwa ia mandul dan harus melakukan serangkaian tes lagi, tapi dia menolaknya pada saat itu."Ini tes kesuburan Ana, kenapa beda dengan yang dulu?" tanyaku pada mama, Lita, dan Yuni. Mereka semua terdiam, matanya membulat secara serempak.Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan yang telah aku lontarkan."Bisa saja Ana mengubah itu semua, ia berkuasa untuk mendapatkan hasil apapun yang ia mau," sanggah Lita. Namun, hasil tes kesuburan ini asli, tidak mungkin dapat dipalsukan, stempel rumah sakitnya pun asli."Ini asli, atau mungkin saat itu ada yang menukarnya?" tanyaku pad
Bab 31POV Zaki"Mas Zaki! Ke sini kok nggak ngomong-ngomong?" celetuknya sembari menghampiriku. Tangannya sudah mulai merangkul lengan ini, rayuan pun mulai ia lontarkan."Angga, laki-laki ini ngapain di sini?" tanyaku menyelidik. Ya, aku mengenal sosok laki-laki yang berada di sebelah Lita tadi, tapi aku tidak tahu kenapa ia berani merangkulnya dengan begitu mesra.Lita terdiam, begitu pula dengan Angga. Namun, tiba-tiba Pak Farid datang menghampirinya."Angga, sudah lama kamu menunggu saya?" tanya Pak Farid."Tuh kan, Angga itu sedang ada janji dengan Papa. Kamu nggak usah curiga macam-macam dong, Sayang!" rayu Lita. Aku pun terdiam, lalu menghampiri papa mertua."Pah, apa kabarnya?" tanyaku pada mertua yang berada di dekat Angga."Baik, Zaki. Saya dan Angga permisi, kamu lanjutkan saja ngobrolnya dengan Lita," tuturnya. Mungkin aku salah paham terhadap Lita. Buktinya papanya tetap meminta aku yang menemani putrinya.Ak