Sumpah Al-Qur'an (35)"Memangnya Kiyai itu tahu dari mana ayahmu punya kesalahan? Kenapa tiba-tiba bertanya tentang itu?" tanyaku penasaran. Apa iya sehebat itukah orang yang dijuluki kiyai tersebut, hingga bisa menerawang masa lalu seseorang."Dari pengalaman dua pasiennya, Bu!" sahut Adi pelan. Bahkan seperti bergumam. Nampaknya, ia masih shock dengan apa yang kukatakan.Aku mulai bergidik ngeri kala Adi menceritakan tentang dua pasien kiyai itu dengan kasus yang sama. Terlebih saat mendengar kondisi pasien wanita, yang katanya bagian dadanya membusuk. Walau ada rasa kesal karena kiyai tersebut tidak menceritakan detail tentang kasus dua orang pasiennya itu, tapi tetap saja yang ia ceritakan cukup jelas."Le ... lalu apa yang harus kita lakukan? Apa yang Kiyai itu sarankan, cepat katakan!" paksaku ketakutan. Bibirku terasa gemetar."Sudah, Bu. Ayah sudah didoakan. Dan, saat ditanya Kiyai, ayah juga berkata dengan jujur. Aku juga tahu, ada satu kebohongan yang belum Ibu ceritakan pa
Sumpah Al-Qur'an (36)Aku segera beranjak dari sofa saat pintu utama dibuka. Adi muncul di baliknya. Raut wajahnya nampak beda, tak lagi tegang dan gusar seperti sebelumnya. Sekarang terlihat jauh lebih tenang dan berseri. Seperti ada binar lega yang terpancar dari wajahnya."Halah, sudah Ibu tebak. Pasti kedatangan kamu ditertawakan sama Asti yang licik itu!" Gerutuku seraya melangkah ke arahnya.Adi menggelengkan kepalanya pelan. "Ibu salah!" sanggahnya. "Justru Bu Asti menyambutku dengan baik. Bahkan aku bisa melihat ketulusannya saat mendoakan Ayah. Dan takjubnya, Bu Asti sama sekali tidaklah dendam terhadap keluarga kita, Bu!" papar Adi tersenyum samar. Senyumannya itu seolah mengejekku."Halah itu mah topeng!" balasku tak mau kalah."Terserah Ibu. Yang jelas sekarang aku lega. Dan aku minta sama Ibu, setelah ini tolong jangan pernah ganggu siapa pun. Siapa pun! Bukan hanya keluar-""Sudah kubilang jangan pernah sok jago dengan menasehatiku! Aku ini ibumu, lebih tahu mana yang ba
Sumpah Al-Qur'an (37)PoV; Bu AyuAku menanti dokter itu di gerbang utama rumah sakit, sembari menenangkan diri dengan menghirup udara sejuk dini hari. Tak bohong, dokter itu tiba justru lebih cepat. Sebelum adzan Subuh. Ia segera ke ruang UGD, setelah sebelumnya pergi ke ruangannya dulu.Wajah dokter nampak tegang, tak ada senyum mengejek seperti yang kuterka. Bahkan aku tak sempat sedikit berbicara dengannya, karena ketika turun dari mobil, dokter tua itu segera melangkah tanpa peduli padaku yang siap menghakiminya.Dokter dan dua perawat di dalam tak kunjung keluar. Aku menanti dengan cemas. Kuminta Adi dan Nisa untuk shalat Subuh di mushalla rumah sakit, sembari mendoakan kesembuhan ayahnya. Pintu dibuka, dokter muncul di baliknya. Aku segera beranjak dari bangku besi itu, dan segera menghampirinya."Gimana, Dok? Suami saya bisa sembuh?" tanyaku langsung. "Kami berikan surat rujukan untuk ke rumah sakit pusat di luar kota, ya, Bu!" jawabnya lemah. Raut wajah dokter nampak tak be
Sumpah Al-Qur'an (38)Aku pulang dengan menggunakan ojek, setelah pamit pada Adi dan Nisa. Entah Nisa paham atau tidak dengan situasi ini, ia tak banyak bertanya. Justru sekarang menjadi lebih pendiam. Cuaca cukup terik. Sinar matahari terasa menyengat kulit. Padahal tadi pagi mendung. Sial!Tak tahan dengan panas yang menyengat, juga pantat yang mulai terasa panas, aku meminta pada kang ojek untuk menepi sejenak, di bawah pohon yang rindang. Begitu terus, tidak berbeda dengan perjalanan selama berangkat. Berkali-kali menepi untuk sekadar merenggangkan punggung.Tiba di rumah, aku lekas masuk dan merebahkan diri di lantai. Sudah lama rasanya tak kurasakan kenyamanan ini. Sekujur tubuh terasa rileks, aku memejamkan mata untuk menikmati, hingga terlelap di lantai yang dingin ini.***Suara dering ponsel membuatku mengerjap. Aku mengabaikannya, mencoba untuk kembali terlelap. Rasa lelah masih mendera, terlebih karena tidur di lantai yang keras, membuat tubuhku makin pegal.Dering ponsel
Sumpah Al-Qur'an (39)Lidahku mulai kelu, bibirku gemetar tak keruan. Aku mencoba berontak saat kang ojek itu menarik paksa tanganku memasuki lorong bangunan. Aku mencoba berteriak, tetapi kang ojek itu segera membungkam mulutku dengan tangannya.Dia terus membawaku masuk ke dalam lorong bangunan dengan paksa. Tak jarang aku meringis, saat kaki ini terantuk sesuatu karena mencoba berontak. Lelaki gondrong menghentikan aksinya ketika kita sudah berada di dalam sebuah ruangan. Ia melepas cengkeramannya di tanganku dengan kasar. Rasa nyeri menjalar di sana. Aku memandangi sekitar, untuk mencari pintu dan mencoba kabur, tetapi hanya kegelapan yang terlihat. Hanya ada cahaya temaram dari ponsel kang ojek, yang sama sekali tidak membantu untuk meneliti bagian ruangan.Aku mencoba berjalan dengan perlahan, mengitari ruangan. Rasa takut menyerang, kala pandanganku menangkap sosok berbaju putih yang mengapung di bagian sudut. Bulu kuduk mulai meremang, tetapi mataku terpaku padanya. Aku tak
Sumpah Al-Qur'an (40)PoV; Bu Ayu.***Adzan Subuh berkumandang. Aku segera beranjak untuk mandi. Cukup lama aku menghabiskan waktu di kamar mandi, mengundang pertanyaan dari Adi."Lama banget, Bu? Biasanya ogah-ogahan karena dingin, atau kamar mandi rumah sakit nggak bersih," ujarnya menyindir."Gerah," jawabku singkat. Jika menuruti amarah, ingin rasanya mengumpatnya karena sudah berani mengurusi bahkan menyindirku. Tetapi aku sudah teramat lelah, aku sedang tidak ingin berdebat."Mbak, saya boleh masuk?" tanyaku, saat seorang perawat melintas. Aku beranjak menghampirinya."Jam kunjungan jam tujuh, Bu. Nanti kalau jam tujuh, keluarga boleh masuk," jawabnya sopan. Tapi aku tak suka dengan larangannya."Heh, saya ini istrinya. Kamu siapa berani-beraninya melarang saya, hah?!" sentakku. Raut wajah perawat itu pun seketika berubah."Bu, Ibu ... ini sudah aturan rumah sakit, Bu. Biasanya juga seperti ini, dari kemarin-kemarin di rumah sakit sebelumnya juga jam kunjungan dimulai pukul tuj
Sumpah Al-Qur'an (41)PoV ; Ramlah***Pasti kalian sudah banyak tahu, kan, tentang misi kami dari Mbak Ayu? Jadi, kurasa tidak perlu untuk dijabarkan lagi semuanya.Ya, misi kami untuk membuat si Asti janda dekil itu segera pergi dari sini. Setelah misi pertama kami berhasil dalam merebut tanah di sebelahnya untuk dijadikan ternak kambing, walau melalui proses yang cukup panjang, karena Asti yang kuanggap lemah ternyata tak menyerah begitu saja ketika tanahnya kami rampas.Misi kedua kami, agar ia pergi dari rumah itu. Jika ia segera pergi, maka tanah dan rumahnya akan jatuh ke tangan kami lagi. Tanah yang ibunya si Rahmat ambil dengan merayu nenekku, lebih tepatnya Nenek dari Bahri.Kami berunding dengan matang. Aku yang kurang pandai untuk bersikap galak dan tegas, hanya ditugaskan untuk mengusili Asti oleh Mbak Ayu. Tentu harus dengan cara yang baik. Pikiran licikku mulai merespon, yaitu dengan mengirimi makanan-makanan yang sudah tak layak.Bahkan aku dengan sengaja menyisihkan s
Sumpah Al-Qur'an (42)PoV; Ramlah.***Sungguh, aku merasa malu dengan diri sendiri. Perlakuan Asti pada anak-anak membuatku begitu kagum. Ia sama sekali tidak menaruh dendam, setelah apa yang kulakukan padanya berbulan-bulan.Selama Mas Bahri dirawat, ia menjaga anak-anak dengan baik. Aku sendiri yang bertanya pada anak-anak, dan tidak mungkin mereka berbohong. Bahkan aku sendiri juga menginap di rumahnya. Sangat tak tahu diri, bukan? Namun, Asti sama sekali tidak mengungkit perbuatan jahatku padanya, ia menyambutku dengan hangat. Bahkan ia dan anak-anaknya rela tidur di lantai beralaskan selembar kain, karena kasur kumalnya yang sudah tipis itu dipakai anak-anakku.Aku bisa dengan tenang dan fokus di rumah sakit, tanpa memikirkan anak-anak. Aku menaruh kepercayaan penuh Asti akan menjaga mereka dengan sangat baik. Jam kunjungan belum dimulai. Aku duduk termenung melempar pandangan ke depan, menatap dinding datar dan menggeluti suatu hal yang selalu menganggu pikiran.Ah iya, ada sa
PoV ; Asti ***"Nak, gini. Ibu pengen kalau meninggal nanti, kita bisa sama-sama lagi di surga. Percaya deh, kebersamaan dan kebahagiaan di surga itu jauh lebih segalanya daripada di dunia." "Termasuk hingga saat ini Ibu tidak merenovasi rumah agar lebih besar, itu karena Ayah?" tanyanya menyelidik.Aku mengangguk."Iya. Ibu tidak mau mengubah apapun dari rumah ini. Rumah pertama tempat kita bersama. Setidaknya hanya tampilannya saja, tetapi tidak dengan bentuknya. Biarkan rumah ini menjadi kenangan.""Nia paham itu, Bu. Terima kasih, Ibu sudah setia sama Ayah. Nia juga mengharapkan hal yang sama seperti Ibu." ***Pagi hari, saat aku ke rumah Bu Ramlah, aku merasakan hal yang berbeda. Aku tak dibiarkannya bangkit untuk sekadar mencuci piring, bahkan membuatkan jamu untuknya. Tanganku tak dibiarkan lepas dari genggamannya.Aku membuang firasat buruk jauh-jauh. Meyakinkan diri, bahwa Bu Ramlah baik-baik saja. Ia hampir sembuh dan akan pulih. "Maaf, ya, As." Aku membelalakkan mata me
Sumpah Al-Quran (62) Pov ; Asti *** "Nggak, As. Saya nggak mau. Saya cuma mau mati. Saya ini sudah nggak bisa sembuh. Allah mungkin hanya mau nyiksa saya. Dosa apa yang saya perbuat, As! Kenapa Allah segitu dendamnya sama saya," ucap Bu Ramlah meraung. "Istighfar, Bu. Allah bukan dzat yang pendendam. Allah memberi Ibu kesempatan untuk hidup, berbuat baik. Tidakkah Ibu tahu, bahwa setiap rasa sakit, bisa mengurangi nafsu makan, nafsu minum, bahkan dosa kita juga berkurang, Bu. Tapi, atas kebaikan Allah, ketika kita sembuh, Allah kembalikan nafsu makan dan minum itu. Tapi Allah tidak mengembalikan dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita akan berkurang setiap rasa sakit yang kita rasakan." Aku mencoba memberi Bu Ramlah pengertian dengan panjang. Entah Bu Ramlah paham dan mendengarkan atau tidak, yang penting aku berusaha mengingatkannya. Agar tidak lagi-lagi berprasangka buruk pada Allah. Walau pada akhirnya juga tetap sama. Ucapanku seolah mental, lagi-lagi Bu Ramlah menyudutkan Allah setia
Sumpah Al-Quran (61)PoV ; Asti"Kalau sekarang, tidur di lantai pun Nia nggak ngeluh. Lantainya halus, nggak kasar nggak bikin sakit," celetuk Nia. Ia tampak begitu girang. Berguling di lantai dengan tawa lebar.Lalu, ia beralih ke kasur. Mengempaskan tubuhnya dengan kasar. Tertawa riang dengan sang adik. Kebahagiaan yang rasanya sudah lama tak kurasakan. Gema tawa yang sudah lama tak kudengar. Ini suasana yang kutunggu, yang kuimpikan sejak dulu.Terima kasih, Ya, Allah ....Terima kasih. Atas kemurahanMu, Kau permudah segalanya. Ini kebahagian yang sesungguhnya, yang kucari sejak dulu.***Tak ada setiap detik yang terlewat tanpa adanya cerita. Dari rangkaian minggu yang berganti bulan, lalu berguling menjadi tahun, tak ada masa yang terlewat tanpa adanya kenangan dan sebuah pengajaran.Pelajaran hidup. Ica gadis kecilku, kini ia sudah kanak-kanak. Ia bukan lagi anak kecil yang merengek ketika kutinggal. Yang harus kuberikan mainan agar bisa terdiam, ketika aku disibukkan dengan
Sumpah Al-Qur'an (60)PoV; Asti***Aku bergeming sesaat, mengatur napas. Jika kubersihkan sekarang, waktunya mepet. Lagipun, ini sudah malam. Bukan waktunya beberes. Biarlah esok hari saja aku ke mari. Aku menghela napas panjang. Tak berpikir untuk menyalahkan Bu Ramlah juga atas kondisi rumah yang teramat kotor ini. Aku paham di posisinya.Yang tak habis pikir kenapa Pak Bahri bisa demikian tak peduli pada Bu Ramlah. Siapa istri keduanya, hingga membuat Pak Bahri tergila-gila?Ah, biarlah. Ini menjadi urusan keluarga Pak Bahri. Aku orang luar, tidak ada hak untuk itu. Aku kembali ke ruang tengah. Mata Bu Ramlah tarkatup rapat. Aku memperhatikannya dengan seksama. Betapa malangnya hidup Bu Ramlah kini. Wajahnya mulai kusam, tanpa bedak dan lipstik. Kurus."Dari mana, As?" Aku mengerjap saat Bu Ramlah tiba-tiba membuka matanya. Kupikir ia sudah lelap."Da-dari dapur, Bu," sahutku, "Kupikir Ibu sudah tidur.""Ngapain? Udah di sini aja. Saya hanya butuh teman.""Bu, makan, ya. Dikit
Sumpah Al-Qur'an (59)PoV; Asti***Bu Ramlah tersenyum. Masam. "Lama. Mungkin tiga bulanan. Anehnya saya nggak mati-mati. Padahal saya nggak berobat. Makan juga nggak teratur. Allah seakan dengan sengaja menyiksa saya seperti ini. Dia tidak puas melihat penderitaan saya, As!" Bu Ramlah tergelak.Astaghfirullah."Bu, istighfar. Jangan bicara seperti itu. Yakin, Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya." Aku berkata lembut. Mencoba memberi pengertian.Bukan maksud menggurui, atau sok pintar. Namun, aku tak mau Bu Ramlah berprasangka buruk kepada pencipta. Dia sang Maha, maha segalanya."Hidup kamu sudah enak, ya, sekarang. Tadi aja saya liat kamu mau bangun rumah lagi, kan. Selamat, ya. Kamu pasti tertawa liat kondisi saya sekarang kayak gini. Kamu di atas sekarang." Bu Ramlah tertawa. Seolah menertawakan dirinya sendiri.Dari sini aku dapat menangkap. Mungkin Bu Ramlah tadi terganggu dengan keramaian Ibu-Ibu dan pengangkut barang. Lalu ia berusaha mengintip dari pin
Sumpah Al-Qur'an (58) PoV; Asti. _ "Mas Bahri membawa mereka, tinggal bersama istrinya." Deg. Jantungku, jantungku seolah berhenti berdetak sesaat. Apa maksud Bu Ramlah. Apa dia ngelantur. Istri? "Ma-maksud, Bu Ramlah?" Aku menatapnya dalam. Pandangan Bu Ramlah yang sebelumnya terpaku pada langit-langit ruangan, sontak menoleh padaku sesaat. Jelas, matanya memerah. Bukan hanya tangis yang terlihat. Namun, luka. Aku bisa melihat dari matanya, Bu Ramlah menyimpan luka yang dalam. Bu Ramlah mencoba bangkit. Aku membantunya, lalu menyusun bantal di balik punggung, agar ia nyaman duduk dengan posisi bersandar. Aku meraih jahe hangat yang sebelumnya kuletakkan di kepala ranjang. Ranjang di ruang tengah ini ranjang kuno. Bukan ranjang kekinian empuk yang aku tak tahu namanya, tetapi pernah kulihat di kamar Bu Ayu waktu memijat Pak Bahul tempo lalu. Di bagian kepala ranjang, terbuat dari kayu jati dan berupa semacam lemari kecil. Khas ranjang kuno. "Minum, Bu." Aku menyodorkan te
Sumpah Al-Quran (57)PoV ; Asti****Bu Ramlah.Ia terkapar di lantai. Tubuhnya sangat kurus. Bu Ramlah yang cantik dan anggun, kini terlihat tua tak terurus. Wajahnya pucat. Rambut hitam legamnya itu kini nampak kusut dan tak lagi lebatTak jauh dari Bu Ramlah terbaring, tepat di sebelah kirinya terdapat pecahan gelas serta cairan bening dan irisan jahe tercecer di lantai. Aku termangu menatapnya sebentar, sebelum akhirnya kesadaran menyergap."Buuu!" pekikku. Aku tergopoh menghampiri.Bu Ramlah mengangkat tangan, mengulurkannya padaku. Aku segera peka, ia hendak berdiri.Aku menyambut uluran tangannya dan membantu untuk berdiri. Tubuhnya yang dulu berisi, kini sungguh kurus. Bahkan aku tak merasa keberatan walau menopang tubuh Bu Ramlah sendiri"Ranjang, As," lirihnya.Aku menuntunnya untuk ke ranjang, di ruang tengah yang berada di depan televisi. Setelahnya, aku dengan tergesa keluar, untuk pamit pada Nia jika aku berada di rumah Bu Ramlah. Lalu segera kembali menghampiri Bu Ram
Sumpah Al-Qur'an (56)PoV; Asti.***Mobil pickup dengan bak berwarna hitam kombinasi hijau tosca memasuki halaman rumah, ketika aku baru saja tiba dari sungai. Aku hendak menjemur kain cucian di teras depan. Seorang lelaki turun dengan tergesa. Dia menghampiriku yang mematung di tempat."Benar ini dengan rumah Bu Asti?" tanyanya sopan. Aku menjawab dengan senyuman. "Iya, benar, Pak. Diturunkan di sini saja, ya!" pintaku menunjuk beranda rumah yang hanya beralaskan tanah.Dua lelaki itu mulai meletakkan barang-barang di bak pickup ke beranda rumah. Pintu terbuka, Nia keluar sembari menuntun Ica. Sedikit tergesa ia menghampiriku."Nia kaget. Nia pikir ada apa rame-rame kayak dibanting," celotehnya. Ia menguap, lalu segera ditutupinya dengan tangan.Aku tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya. Ia baru saja bangun tidur. Beruntung Ica kecil tidak menangis. Aku meminta mereka untuk kembali ke dalam. Aku segera menyelesaikan menjemur kain, untuk kemudian membuat kopi. Khawatir mengangg
Sumpah Al-Qur'an (55) "Jadi Nia bohong?" tanyaku serius. Aku mengunci matanya dengan tatapanku. Nia sontak menghentikan tawanya, lalu menunduk. "Nia minta maaf." "Nia bilang kalau memang suka tidur di bawah, karena kasurnya panas." Aku terus memojokkannya dengan alasan yang selalu keluar dari mulutnya, ketika kutanya mengapa aku selalu menemukannya tidur di bawah setiap aku bangun di pagi hari, atau ketika malam saat hendak Tahajjud. Kasur lantai memang tak begitu luas. Beberapa kali kutemukan Nia tidur di bawah, di lantai semen tanpa alas apapun. Kasar, apalagi sebagian berlubang. "Gerah, Bu. Di bawah adem. Makanya Nia guling aja ke bawah." Begitu sahutnya untuk kesekian, ketika kutanya dengan perihal yang sama. Bukan hanya sekali, bahkan bisa dibilang setiap malam ia kutemukan tidur di bawah. Tidur meringkuk dengan menekuk lutut. Kedua tangannya bersilang memeluk lengan. Ketika aku bangun tengah malam, aku memindahkannya ke atas. Namun, esok harinya kutemukan ia di bawah