Sumpah Al-Qur'an (42)PoV; Ramlah.***Sungguh, aku merasa malu dengan diri sendiri. Perlakuan Asti pada anak-anak membuatku begitu kagum. Ia sama sekali tidak menaruh dendam, setelah apa yang kulakukan padanya berbulan-bulan.Selama Mas Bahri dirawat, ia menjaga anak-anak dengan baik. Aku sendiri yang bertanya pada anak-anak, dan tidak mungkin mereka berbohong. Bahkan aku sendiri juga menginap di rumahnya. Sangat tak tahu diri, bukan? Namun, Asti sama sekali tidak mengungkit perbuatan jahatku padanya, ia menyambutku dengan hangat. Bahkan ia dan anak-anaknya rela tidur di lantai beralaskan selembar kain, karena kasur kumalnya yang sudah tipis itu dipakai anak-anakku.Aku bisa dengan tenang dan fokus di rumah sakit, tanpa memikirkan anak-anak. Aku menaruh kepercayaan penuh Asti akan menjaga mereka dengan sangat baik. Jam kunjungan belum dimulai. Aku duduk termenung melempar pandangan ke depan, menatap dinding datar dan menggeluti suatu hal yang selalu menganggu pikiran.Ah iya, ada sa
Sumpah Al-Qur'an (43)PoV; Ramlah.***Kurang lebih enam hari perawatan, Mas Bahri sudah diziinkan untuk pulang. Walau kondisinya belum pulih sempurna, tetapi dokter berkata jika luka-lukanya bisa dirawat mandiri di rumah.Aku mengiyakan dengan senang, sebab sebagian luka Mas Bahri pun mulai sedikit mengering, jadi kurasa sanggup untuk merawatnya dalam beberapa hari saja. Aku mengernyitkan dahi heran ketika mobil yang kutumpangi mulai merayap pelan untuk menepi, mendapati Asti berdiri seorang diri tepat di depan pintu rumahku. Tangannya bergerak memutar anak kunci lalu menggenggamnya. Sial. Aku terlalu percaya padanya, dengan menitipkan kunci rumah di tangannya. Hingga ia mulai besar kepala dan ngelunjak. Pasti si janda dekil itu masuk ke dalam rumah dan mengobrak-abrik barang-barangku, bahkan tidak mustahil ia akan mencuri benda-benda mahal di rumahku ini. Toh, di rumah tidak ada orang. Anak-anak juga ada di rumahnya, lalu untuk apa ia masuk ke dalam rumahku jika bukan untuk mencur
Sumpah Al-Qur'an (44)***Tamu-tamu yang menjenguk Mas Bahri terus datang silih berganti. Suamiku itu memang orang yang begitu baik, jadi tentu saja banyak orang yang perhatian. Sampai sini, apa kalian masih akan mengira bila kami terlibat pertengkaran hingga dilempar bom ikan itu? Baru saja merebahkan diri, pintu kembali diketuk. Aku beranjak dengan menggerutu kesal. Bagaimana tidak, sejak pagi hingga sore ini tamu tak kunjung berkesudahan. Aku kewalahan dalam menjamu mereka. Siang tadi, aku ke rumah Asti untuk meminta bantuannya, rupanya hanya ada Nia dan adiknya di sana. Dia berkata, Asti sedang bekerja.Sebelum membuka pintu, kusempatkan diri ini berkaca. Wajahku penuh peluh, tetapi tetap tak mengurangi kecantikan. Setelah dirasa sempurna, aku keluar membuka pintu. Rupanya, rombongan orang dari gang sebelah datang. Aku menyalami mereka satu per satu sambil melirik jam, pukul empat sore. Asti pasti sudah balik dari ladang.Aku mempersilakan duduk dan meninggalkan mereka ke rumah A
Sumpah Al-Qur'an (45)Aku memang begitu takut jika tubuhku sampai berdarah. Sekalipun lukanya tidak seberapaAku menangis tersedu. Bukan karena sakit, tapi karena tubuhku berdarah. Bahkan rasa nyeri di sekujur tubuh tidak lagi terasa. "Ibu ini kenapa?" Mas Bahri kembali bertanya sambil meraih tanganku."Ja-jatuh," sahutku tergagap.Melangkah dengan agak pincang, Mas Bahri pergi ke kamar. Luka di bagian lututnya sulit mengering, tapi setidaknya ia sudah bisa berjalan tanpa perlu dipapah. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa kapas. Aku memejamkan mata ketika Mas Bahri mulai membersihkan darah di tangan. Sesekali aku memekik ketika rasa perih menjalar karena gesekan kapas itu.Mas Bahri memang tahu betul aku takut darah. Pernah ketika memasak, tanpa sengaja tanganku tergores pisau. Dengan cekatan Mas Bahri membersihkan darah itu, lalu melanjutkan masakan yang belum kuselesaikan. "Sudah," katanya.Aku membuka mata, dan bernapas lega mendapati tanganku sudah bersih dari darah. Ad
Sumpah Al-Qur'an (46)PoV; Ramlah.***"Kenapa, Mak? Ada apa?" tanyaku mulai panik. Mak Paraji mendongak sekilas, lalu kembali menunduk menekuri perutku. Tangannya terus mencoba meraba bagian sana.Aku mulai gemetar. Menit berikutnya, pandanganku beralih menatap Mas Bahri yang juga terlihat menanti jawaban Mak Paraji dengan gusar. "Bagaimana, Mak?" Mas Bahul bersuara. Mak Paraji mulai menghentikan tindakannya, lalu membenarkan posisi duduk sambil merapikan bajuku yang tersingkap.Aku bangkit untuk duduk dan menatap Mak Paraji penuh ketakutan. Menanti jawaban yang bisa saja kabar buruk yang tak kuharapkan."Iya, benar. Nak Ramlah sedang hamil. Janinnya sudah keraba. Mungkin sudah dua bulanan usianya." Mak Paraji berkata hati-hati.Demi apa? Aku tak salah dengar, bukan? Mak Paraji berkata jika ada nyawa yang saat ini bersemayam dalam rahimku?"Tuh, kan, Bu! Apa aku bilang," timpal Mas Bahri bangga. Aku mendongak menatapnya dengan senyum."Mak, benarkah begitu?" tanyaku tak percaya.
Sumpah Al-Qur'an (47) "Apa perlu kami perlihatkan kembali hasil pemeriksaan USG?" Dokter menawari dengan ekspresi datar. Ia nampak tidak senang. "Tidak perlu! Saya tidak percaya pada gambar. Yang saya mau lakukan pemeriksaan sekarang juga! Bahkan kalau perlu lakukan tes darah!" Mas Bahri tetap kekeuh. Aku masih tidak paham dengan percakapan mereka. Apa memangnya hasil USG? Tak berniat bertanya, aku hanya menunduk untuk menetralisir rasa. Menasehati diri untuk tegar dengan kemungkinan buruk yang akan kudengar. Aku mendongak, tampak Dokter sedang berbicara dengan perawat agak jauh dari ranjangku. Mas Bahri memantau dengan wajah tegang. Marah, dan kecewa. Sudah tak bisa kugambarkan raut wajah Mas Bahri. "Baiklah. Kita lakukan USG sekarang juga. Bapak bisa di sini untuk melihatnya langsung!" Dokter kembali menghampiri, memutuskan walau nampak terpaksa. Detak jantung makin cepat. Bahkan tubuhku terasa menggigil karena rasa takut yang menyelimuti. "Dok ... memangnya apa yang terjad
"Kamu yang memulai. Dengar, Mas! Sejak dulu aku selalu bicara padamu untuk tidak terlalu menaruh harap begitu besar. Lihatlah sekarang! Kenapa kamu yang bersikap dingin? Kenapa kamu yang marah? Di sini aku sebagai korban. Aku yang kesakitan!" hardikku menggebu, dengan mengacungkan telunjuk di depan wajahnya, memuntahkan kemarahan yang kupendam. Rasanya saat ini bukan lagi waktu yang tepat untuk bersabar, bersikap baik dan sopan pada lelaki yang disebut suami."Ramlah, jaga mulutmu! Turunkan tanganmu itu. Jangan pernah berani menunjuk pada suami!" sergah Mas Bahri marah. Tapi tak membuatku gentar."Sekarang lihat aku, Mas! Aku yang menderita, aku yang kesakitan. Tapi mana perhatian yang kamu tunjukkan? Kamu bahkan tidak peduli dan bersikap dingin. Masih pantaskah aku bersabar?" Aku mulai melemahkan suara, untuk kembali menarik perhatiannya. Tangis yang kutahan mulai jebol. Bahkan mataku mulai terasa berat karena beberapa kali menangis.Benar saja.Wajah Mas Bahri yang merah padam mu
Aku ingin melihat bagaimana reaksinya ketika tahu istrinya ini berpenyakit serius. Yang kutahu, ia lelaki bertanggung jawab dan penyayang. Jadi tentu saja ekspetasiku Mas Bahri akan prihatin dan kembali bersikap hangat mengetahui diri ini begitu menderita. "Ganas?" Ia terperanjat, seketika menoleh padaku. Aku mengangguk, dengan pandangan yang mulai kabur. Air mata menggenang di pelupuk mata. Mas Bahri berjalan pelan ke arahku. Hampir tiba di ranjang, ia memutar arah lalu melesat keluar kamar. Tanpa pamit. Hatiku kembali mencelos diperlakukan demikian. *** Lima hari dirawat, dokter mengabarkan jika hasil pemeriksaan sudah keluar. Beberapa rangkaian pemeriksaan yang tak kuketahui apa saja sebutannya. Salah satunya dengan pemeriksaan lendir yang beberapa waktu lalu diambil dari daerah miss V, untuk mengetahui penyebaran kangker, katanya. Aku menunggu dengan hati berdebar. Lagi-lagi diri ini sendiri. Mas Bahri sudah berubah total, sikapnya bertolak belakang dengan Mas Bahri yang du
PoV ; Asti ***"Nak, gini. Ibu pengen kalau meninggal nanti, kita bisa sama-sama lagi di surga. Percaya deh, kebersamaan dan kebahagiaan di surga itu jauh lebih segalanya daripada di dunia." "Termasuk hingga saat ini Ibu tidak merenovasi rumah agar lebih besar, itu karena Ayah?" tanyanya menyelidik.Aku mengangguk."Iya. Ibu tidak mau mengubah apapun dari rumah ini. Rumah pertama tempat kita bersama. Setidaknya hanya tampilannya saja, tetapi tidak dengan bentuknya. Biarkan rumah ini menjadi kenangan.""Nia paham itu, Bu. Terima kasih, Ibu sudah setia sama Ayah. Nia juga mengharapkan hal yang sama seperti Ibu." ***Pagi hari, saat aku ke rumah Bu Ramlah, aku merasakan hal yang berbeda. Aku tak dibiarkannya bangkit untuk sekadar mencuci piring, bahkan membuatkan jamu untuknya. Tanganku tak dibiarkan lepas dari genggamannya.Aku membuang firasat buruk jauh-jauh. Meyakinkan diri, bahwa Bu Ramlah baik-baik saja. Ia hampir sembuh dan akan pulih. "Maaf, ya, As." Aku membelalakkan mata me
Sumpah Al-Quran (62) Pov ; Asti *** "Nggak, As. Saya nggak mau. Saya cuma mau mati. Saya ini sudah nggak bisa sembuh. Allah mungkin hanya mau nyiksa saya. Dosa apa yang saya perbuat, As! Kenapa Allah segitu dendamnya sama saya," ucap Bu Ramlah meraung. "Istighfar, Bu. Allah bukan dzat yang pendendam. Allah memberi Ibu kesempatan untuk hidup, berbuat baik. Tidakkah Ibu tahu, bahwa setiap rasa sakit, bisa mengurangi nafsu makan, nafsu minum, bahkan dosa kita juga berkurang, Bu. Tapi, atas kebaikan Allah, ketika kita sembuh, Allah kembalikan nafsu makan dan minum itu. Tapi Allah tidak mengembalikan dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita akan berkurang setiap rasa sakit yang kita rasakan." Aku mencoba memberi Bu Ramlah pengertian dengan panjang. Entah Bu Ramlah paham dan mendengarkan atau tidak, yang penting aku berusaha mengingatkannya. Agar tidak lagi-lagi berprasangka buruk pada Allah. Walau pada akhirnya juga tetap sama. Ucapanku seolah mental, lagi-lagi Bu Ramlah menyudutkan Allah setia
Sumpah Al-Quran (61)PoV ; Asti"Kalau sekarang, tidur di lantai pun Nia nggak ngeluh. Lantainya halus, nggak kasar nggak bikin sakit," celetuk Nia. Ia tampak begitu girang. Berguling di lantai dengan tawa lebar.Lalu, ia beralih ke kasur. Mengempaskan tubuhnya dengan kasar. Tertawa riang dengan sang adik. Kebahagiaan yang rasanya sudah lama tak kurasakan. Gema tawa yang sudah lama tak kudengar. Ini suasana yang kutunggu, yang kuimpikan sejak dulu.Terima kasih, Ya, Allah ....Terima kasih. Atas kemurahanMu, Kau permudah segalanya. Ini kebahagian yang sesungguhnya, yang kucari sejak dulu.***Tak ada setiap detik yang terlewat tanpa adanya cerita. Dari rangkaian minggu yang berganti bulan, lalu berguling menjadi tahun, tak ada masa yang terlewat tanpa adanya kenangan dan sebuah pengajaran.Pelajaran hidup. Ica gadis kecilku, kini ia sudah kanak-kanak. Ia bukan lagi anak kecil yang merengek ketika kutinggal. Yang harus kuberikan mainan agar bisa terdiam, ketika aku disibukkan dengan
Sumpah Al-Qur'an (60)PoV; Asti***Aku bergeming sesaat, mengatur napas. Jika kubersihkan sekarang, waktunya mepet. Lagipun, ini sudah malam. Bukan waktunya beberes. Biarlah esok hari saja aku ke mari. Aku menghela napas panjang. Tak berpikir untuk menyalahkan Bu Ramlah juga atas kondisi rumah yang teramat kotor ini. Aku paham di posisinya.Yang tak habis pikir kenapa Pak Bahri bisa demikian tak peduli pada Bu Ramlah. Siapa istri keduanya, hingga membuat Pak Bahri tergila-gila?Ah, biarlah. Ini menjadi urusan keluarga Pak Bahri. Aku orang luar, tidak ada hak untuk itu. Aku kembali ke ruang tengah. Mata Bu Ramlah tarkatup rapat. Aku memperhatikannya dengan seksama. Betapa malangnya hidup Bu Ramlah kini. Wajahnya mulai kusam, tanpa bedak dan lipstik. Kurus."Dari mana, As?" Aku mengerjap saat Bu Ramlah tiba-tiba membuka matanya. Kupikir ia sudah lelap."Da-dari dapur, Bu," sahutku, "Kupikir Ibu sudah tidur.""Ngapain? Udah di sini aja. Saya hanya butuh teman.""Bu, makan, ya. Dikit
Sumpah Al-Qur'an (59)PoV; Asti***Bu Ramlah tersenyum. Masam. "Lama. Mungkin tiga bulanan. Anehnya saya nggak mati-mati. Padahal saya nggak berobat. Makan juga nggak teratur. Allah seakan dengan sengaja menyiksa saya seperti ini. Dia tidak puas melihat penderitaan saya, As!" Bu Ramlah tergelak.Astaghfirullah."Bu, istighfar. Jangan bicara seperti itu. Yakin, Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya." Aku berkata lembut. Mencoba memberi pengertian.Bukan maksud menggurui, atau sok pintar. Namun, aku tak mau Bu Ramlah berprasangka buruk kepada pencipta. Dia sang Maha, maha segalanya."Hidup kamu sudah enak, ya, sekarang. Tadi aja saya liat kamu mau bangun rumah lagi, kan. Selamat, ya. Kamu pasti tertawa liat kondisi saya sekarang kayak gini. Kamu di atas sekarang." Bu Ramlah tertawa. Seolah menertawakan dirinya sendiri.Dari sini aku dapat menangkap. Mungkin Bu Ramlah tadi terganggu dengan keramaian Ibu-Ibu dan pengangkut barang. Lalu ia berusaha mengintip dari pin
Sumpah Al-Qur'an (58) PoV; Asti. _ "Mas Bahri membawa mereka, tinggal bersama istrinya." Deg. Jantungku, jantungku seolah berhenti berdetak sesaat. Apa maksud Bu Ramlah. Apa dia ngelantur. Istri? "Ma-maksud, Bu Ramlah?" Aku menatapnya dalam. Pandangan Bu Ramlah yang sebelumnya terpaku pada langit-langit ruangan, sontak menoleh padaku sesaat. Jelas, matanya memerah. Bukan hanya tangis yang terlihat. Namun, luka. Aku bisa melihat dari matanya, Bu Ramlah menyimpan luka yang dalam. Bu Ramlah mencoba bangkit. Aku membantunya, lalu menyusun bantal di balik punggung, agar ia nyaman duduk dengan posisi bersandar. Aku meraih jahe hangat yang sebelumnya kuletakkan di kepala ranjang. Ranjang di ruang tengah ini ranjang kuno. Bukan ranjang kekinian empuk yang aku tak tahu namanya, tetapi pernah kulihat di kamar Bu Ayu waktu memijat Pak Bahul tempo lalu. Di bagian kepala ranjang, terbuat dari kayu jati dan berupa semacam lemari kecil. Khas ranjang kuno. "Minum, Bu." Aku menyodorkan te
Sumpah Al-Quran (57)PoV ; Asti****Bu Ramlah.Ia terkapar di lantai. Tubuhnya sangat kurus. Bu Ramlah yang cantik dan anggun, kini terlihat tua tak terurus. Wajahnya pucat. Rambut hitam legamnya itu kini nampak kusut dan tak lagi lebatTak jauh dari Bu Ramlah terbaring, tepat di sebelah kirinya terdapat pecahan gelas serta cairan bening dan irisan jahe tercecer di lantai. Aku termangu menatapnya sebentar, sebelum akhirnya kesadaran menyergap."Buuu!" pekikku. Aku tergopoh menghampiri.Bu Ramlah mengangkat tangan, mengulurkannya padaku. Aku segera peka, ia hendak berdiri.Aku menyambut uluran tangannya dan membantu untuk berdiri. Tubuhnya yang dulu berisi, kini sungguh kurus. Bahkan aku tak merasa keberatan walau menopang tubuh Bu Ramlah sendiri"Ranjang, As," lirihnya.Aku menuntunnya untuk ke ranjang, di ruang tengah yang berada di depan televisi. Setelahnya, aku dengan tergesa keluar, untuk pamit pada Nia jika aku berada di rumah Bu Ramlah. Lalu segera kembali menghampiri Bu Ram
Sumpah Al-Qur'an (56)PoV; Asti.***Mobil pickup dengan bak berwarna hitam kombinasi hijau tosca memasuki halaman rumah, ketika aku baru saja tiba dari sungai. Aku hendak menjemur kain cucian di teras depan. Seorang lelaki turun dengan tergesa. Dia menghampiriku yang mematung di tempat."Benar ini dengan rumah Bu Asti?" tanyanya sopan. Aku menjawab dengan senyuman. "Iya, benar, Pak. Diturunkan di sini saja, ya!" pintaku menunjuk beranda rumah yang hanya beralaskan tanah.Dua lelaki itu mulai meletakkan barang-barang di bak pickup ke beranda rumah. Pintu terbuka, Nia keluar sembari menuntun Ica. Sedikit tergesa ia menghampiriku."Nia kaget. Nia pikir ada apa rame-rame kayak dibanting," celotehnya. Ia menguap, lalu segera ditutupinya dengan tangan.Aku tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya. Ia baru saja bangun tidur. Beruntung Ica kecil tidak menangis. Aku meminta mereka untuk kembali ke dalam. Aku segera menyelesaikan menjemur kain, untuk kemudian membuat kopi. Khawatir mengangg
Sumpah Al-Qur'an (55) "Jadi Nia bohong?" tanyaku serius. Aku mengunci matanya dengan tatapanku. Nia sontak menghentikan tawanya, lalu menunduk. "Nia minta maaf." "Nia bilang kalau memang suka tidur di bawah, karena kasurnya panas." Aku terus memojokkannya dengan alasan yang selalu keluar dari mulutnya, ketika kutanya mengapa aku selalu menemukannya tidur di bawah setiap aku bangun di pagi hari, atau ketika malam saat hendak Tahajjud. Kasur lantai memang tak begitu luas. Beberapa kali kutemukan Nia tidur di bawah, di lantai semen tanpa alas apapun. Kasar, apalagi sebagian berlubang. "Gerah, Bu. Di bawah adem. Makanya Nia guling aja ke bawah." Begitu sahutnya untuk kesekian, ketika kutanya dengan perihal yang sama. Bukan hanya sekali, bahkan bisa dibilang setiap malam ia kutemukan tidur di bawah. Tidur meringkuk dengan menekuk lutut. Kedua tangannya bersilang memeluk lengan. Ketika aku bangun tengah malam, aku memindahkannya ke atas. Namun, esok harinya kutemukan ia di bawah