"Bu ... Nia mau berangkat!" teriak Nia dari ruang tengah.
Aku tegopoh menyajikan bekal untuknya. Bersyukur, bubur semalam masih tersisa banyak. Sebetulnya hatiku nyeri melihat Nia tak begitu berselera untuk makan.
"Kayak mau mual, Bu. Nasinya lembek," katanya, saat makan malam.
"Ih, Nia ngga tau, ya? Ini tuh makanan orang kaya." Aku tertawa ringan, menutupi kepedihan. Tak tega melihat raut mukanya yang berusaha menelan.
Sedangkan pagi tadi ia tak makan, katanya kenyang, saat melihatku menyuguhkan bubur itu kembali. Seandainya bubur dengan topping suwiran daging ayam, potongan telur dadar dan kacang, mungkin Nia lebih suka.
"Ini bekalnya. Hati-hati, Nak!"
Aku menyodorkan ragu kotak bekalnya. Gadisku itu menerima dengan senang. Namun, raut mukanya meredup saat membuka kotak bekal.
"Ini lagi, Bu?" tanyanya lirih.
Aku tersenyum. Lalu membungkuk, menyejajari tinggi tubuhnya.
"Ini tuh makanan Nabi Nuh dan beberapa orang yang berada di kapalnya dulu, saat dilanda musibah. Masak Nia ngga pengen cobain makanan Nabi?" ujarku mencoba merayu.
Ia terdiam sejenak. "Ohh ... makanan Nabi. Kalo gitu Nia harus suka. Nia paksa makan deh." Ia tersenyum, mengangguk-anggukkan kepala dengan lugu.
Ya Allah, tak masalah jika aku harus kelaparan. Namun, jangan biarkan anak-anakku juga merasakan.
Aku menatapnya nanar. Tanpa sadar, permukaan pipi terasa basah. Tak tega jika Nia harus memaksakan makanan yang tidak ia sukai.
Aku terkesiap saat tersadar tangan mungilnya menghapus air mata. "Bu ... Ibu pasti nggak punya uang, ya? Nggak papa kok, Nia sekarang suka. Kan, kata Ibu juga bubur itu makanan orang kaya," ujarnya lugu. Hatiku semakin nyeri.
Nia berlari kecil menuju dapur. Lalu kembali dengan membawa bungkusan plastik di tangannya.
"Itu apa?" tanyaku.
"Garem, Bu. Biar makin enak nanti makannya. Nia berangkat, ya! Assalamualaikum!" Ia berlalu setelah mencium tanganku, tanpa memberi kesempatan untukku menimpali ucapannya.
Nia memang suka makanan sedikit asin. Ia akan makan dengan lahap bila aku memasak ikan asin dengan sambal terasi tak terlalu pedas.
Bahkan mungkin Nia lupa rasanya daging ayam. Saking lamanya kami tidak lagi memakannya. Yang kuingat, terakhir kami makan daging ayam saat ada hajatan tetangga empat bulan lalu. Itu pun hanya sepotong.
Beberapa waktu lalu, Bu Ramlah memberiku ceker ayam yang sudah menghitam. Baunya menyengat. Katanya itu stok miliknya di kulkas. Aku memang orang miskin, tetapi aku juga punya rasa. Makanan itu tak layak, mungkin sudah terlalu lama hingga membusuk. Tidak ada seorang ibu yang dengan tega memberi anaknya makanan busuk. Tanpa sepengetahuan Bu Ramlah, aku pun membuangnya.
****
Sebelah rumah ramai dengan aktivitas orang-orang yang tengah membuat kandang untuk ternak kambing, membuat Ica tidak bisa tertidur.
"Ibu, Nia pulang!" seru Nia dari luar rumah. Ia baru saja pulang sekolah.
"Bu, itu di sebelah rumah ada apa? Kok, rame-rame?" tanyanya sembari melepas seragam sekolah.
"Itu buat kandang kambing."
Matanya membulat. "Jadi kita bakal tetanggaan sama kambing?" tanyanya polos.
Aku tergelak mendengarnya. Tawaku terhenti saat melihat kotak bekal yang tadi ia bawa. Aku membukanya, isi di dalam kotak tersebut tandas. Kini, tatapanku beralih pada Nia.
"Habis, Bu. Nia bisa ngabisin. Soalnya juga Nia lapar hehe," katanya tanpa kutanya.
Sungguh, hatiku tercabik. Memang Nia tak pernah protes ataupun menuntut makanan enak. Namun, aku yakin, ia pasti ada rasa ingin saat semua kawannya jajan.
"Jagain adik dulu, Ibu mau ke dapur," ujarku. Lalu melangkah menuju dapur membawa kotak bekal Nia untuk kucuci.
Untuk saat ini, aku hanya mempunyai uang tujuh ribu. Tidak cukup untuk membeli beras. Mataku nanar menatap panci yang masih berisi satu sendok bubur, yang kusisakan untuk makan siang Nia.
Tempe goreng habis. Hanya tinggal kacang panjang yang sudah patah-patah, belum kumasak.
Teriakan Nia membuatku terkesiap. Aku menyusulnya, rupanya ada Bu Ramlah.
"As, ini ada sayur nangka buat kamu." Bu Ramlah menyodorkan mangkuk yang cukup besar padaku. Isinya dipenuhi dengan sayur nangka muda dengan potongan tahu.
Aku menerimanya dengan senang. Bersyukur, ada rezeki tak terduga. Setidaknya untuk menunda lapar.
"MasyaAllah ... terima kasih, Bu."
"Bahul potong kambing untuk selametan, sebagian dibagikan kepada tetangga. Sebagai rasa syukur sebentar lagi ternak kambingnya itu berjalan. Jadi sayang, gak kumakan sayur nangka itu." Bu Ramlah bercerita, aku menanggapi dengan anggukan ringan.
"Mangkuknya nanti jangan lupa dicuci terus balikin ya, As!" titahnya, aku kembali mengangguk. Lalu ia pun berlalu setelah kuucapkan terima kasih kembali.
Aku membawanya ke dapur, untuk menghangatkan kembali sayur nangka itu. Untuk memasak aku menggunakan tungku, itu mengapa aku tak memikirkan soal gas. Sebab, hanya membutuhkan kayu bakar.
Setelah mendidih, aku menuangnya ke dalam mangkuk. Menuang sisa bubur ke piring, untuk jatah makan Ica dan Nia, lalu membawanya ke ruang tengah.
Nia dengan semangat menuang sayur nangka itu ke dalam piringnya. Sedang aku masih sibuk menyuapi si kecil.
"Bu ... kok, sayurnya asam ya, Bu. Kayak kecut gitu," keluh Nia, raut wajahnya seakan menahan mual.
Memang aku tak mencicipinya. Kupikir sayur nangka itu Bu Ramlah masak tadi pagi. Jadi, tidak mungkin basi.
Ya Allah. Aku beristighfar saat mencicipi sayur nangka yang rasanya sudah asam itu. Sayur nangka dimasak dengan santan, tentu tidak bisa awet. Dari rasanya, sepertinya sayur nangka ini sudah sejak kemarin.
Aku berpikir baik, mungkin Bu Ramlah tidak tahu jika sayur ini basi, sebab itu ia memberinya padaku.
Walaupun setiap pemberiannya memang sudah tak layak, namun aku sangat berterima kasih. Aku tahu diri, pemberian dari orang tidak boleh meminta lebih.
Atau, apa memang Bu Ramlah sengaja melakukannya? Aku tidak merasa memiliki masalah apapun dengan keluarganya, lalu untuk apa ia melakukan itu padaku? Ah, aku segera menepis pikiran buruk itu.
Mengingat tadi ucapannya, jika Pak Bahul memotong kambing dan dibagikan untuk tetangga, aku kembali senang. Setidaknya Nia bisa memakan daging. Sangat berharap aku juga kebagian.
Aku memungut potongan-potongan tahu di dalamnya, lalu menyisihkannya di tempat lain.
"Makan tahunya aja ya, Nak! Sayurnya ternyata sudah basi," ujarku lembut. Nia mengangguk, lalu melanjutkan makan dengan potongan tahu itu.
Harapanku untuk kenyang sirna. Sejak tadi pagi aku hanya makan dengan porsi sangat sedikit, lalu meminum air dengan banyak. Sengaja supaya bubur itu bisa dimakan Nia dan Ica.
Nia menghabiskan makannya, Ica pun sudah tampak kenyang. Aku mengambil kerak-keras bekas bubur di panci yang sebelumnya sudah kurendam dengan air. Lalu memakannya dengan sisa potongan tahu. Setelah ini, aku akan bekerja sebagai buruh di ladang Bu Surti.
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat, saat aku pulang dari ladang Bu Surti. Aku berjalan dengan membungkuk, memikul satu kaleng padi di punggung, sebagai gaji buruh. Aku menghentikan langkah melihat kerumunan banyak orang di kebun sebelah rumah. Sebagian ada yang berjejer antri, sebagian pulang dengan membawa bungkusan plastik hitam. Mataku berbinar, sepertinya ini pembagian daging kambing.Benar, bau amis menguar saat aku melewati mereka menuju rumah. Aku mempercepat langkah, lalu meletakkan kaleng padi di dapur. Setelahnya bergegas balik, menimbrung pada kerumunan orang yang sedang mengantri.Aku mengamati mereka yang maju satu per satu, lalu memberikan secarik kertas pada petugas, mereka bapak-bapak yang kemarin merusak tanamanku. Lalu, petugas pun memberinya bungkusan. Seperti tukar kupon.Aku mengedarkan pandangan. Semua orang yang mengantri memang memegang kupon dengan warna kuning. Aku kembali pulang, menanyakan pada Nia. "Nggak, Bu. Dari tadi Nia jagain adik ngga ada orang
Aku menutup hidung dengan ujung baju, lalu membereskan karung yang penuh dengan bercak-bercak darah tersebut. Bau amis dan busuk membuat isi perutku seakan hendak meluap.Aku meminta Nia untuk menjaga Ica, tak mengizinkan mereka untuk memasuki dapur. Pastilah Nia tidak akan bisa menahan rasa mualnya.Karung itu kulipat rapi, sedangkan sisa-sisa potongan kambing yang tak bisa dimakan itu kubungkus plastik, lalu menguburnya dalam tanah. Supaya bau busuknya tak lagi menyengat.Aku mengusap peluh di dahi. Rasanya lelah sekali. Aku teringat pepatah orang Jawa, 'Ndak ikut makan nangkanya tapi dapat getahnya', seperti yang kualami sekarang. Aku tersenyum masam, mengingat tak mendapat bagian daging kambingnya, malah diberi kotorannya.Setelah mandi, aku memasak mie gelas untuk sarapan Nia. Lalu menyuapi Ica dengan biskuit."Bu, hari ini aku nggak bawa bekal. Kan, hari Jumat. Pasti pulang cepet," katanya, lalu lanjut menyuap mie ke dalam mulut. Aku mengangguk.Setelah Nia berangkat, aku merapi
"Terima kasih, Bu!" jawabku."Kenapa? Kalau nggak mau bilang aja! Biar saya kasih yang lain," ketus Bu Ramlah.Mungkin ia melihat raut tak semangat di wajahku, saat menerima pemberiannya."Eh enggak, kok, Bu. Terima kasih," ucapku lagi sambil tersenyum. Bu Ramlah berlalu setelah mengingatkanku untuk mengembalikan nampan miliknya itu."Bu!" Nia berlari dengan membawa buku di tangannya. "Kenapa, Nak? Lapar?" tanyaku, mengingat ia hanya sarapan dengan mie gelas saja."Bu ... emang kalo orang miskin nggak pantes, ya, liat tivi gede?" tanyanya polos. Namun, wajahnya terlihat sedih.Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. "Siapa yang bilang gitu, Nak?" tanyaku lembut, walau sejujurnya rasa nyeri menjalar di ulu hati."Mama Nisa, Bu. Tadi juga, yang lain dikasih makanan. Tapi, Nia enggak. Katanya orang miskin nggak pantes ikut makan kayak orang kaya. Takut makanannya sedih katanya."Ya Allah, astaghfirullah ....Aku menggandengnya masuk, meninggalkan tumbukan padi yang belum kuselesaikan. Ic
"Buu! Ibu ngga jijik, ya? Masak makanan sambil cium bau embek. Apalagi eeknya banyak jatuh itu, Bu!" ujar Nia lagi, memecah lamunan. Aku segera membalik ikan asin di wajan. Sedangkan gadisku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat menyapu pandangan di depan."Lagian Nia berdiri di situ. Jangan di situ, biar nggak bau," ujarku tertawa."Kenapa kandangnya nggak dimajuin dikit, ya, Bu. Kan juga masih agak luas di depan sana," celetuk Nia. Apa yang ia katakan sama persis dengan yang ada dalam pikiran. Padahal mereka jelas tahu jika rumah ini berpenghuni. Setidaknya tunjukkan sedikit saja rasa manusiawinya padaku. Kupikir, masalah kami ini sudah selesai. Toh tidak ada lagi yang mereka perebutkan dariku. Lalu apa alasan kebenciannya ini?"Udah, Nia mandi dulu sana. Abis itu sarapan," pintaku. Ia mengangguk.Bab (6) fizo***"Bu ... tahu nggak? Menurut Nia, daging ayam bahkan daging kambing yang kemarin itu nggak ada yang bisa ngelebihin enaknya ikan asin," ujar Nia tertawa riang, lalu
Sumpah Al-Qur'an (7)***Setelah kejadian tersebut, kini setiap malam Pak Bahul mempekerjakan dua orang untuk menjaga kambing-kambingnya di malam hari. Hal itu membuatku tak nyaman, sebab tawa yang menggelegar dari mereka membuat tidur kedua anakku tidak nyenyak di malam hari. Aku masih mengingat wajah riang Nia saat kubelilan eskrim homemade di tetangga, yang hanya seharga dua ribu itu. Ia menikmatinya hingga bibir mungilnya itu belepotan dengan eskrim. Jika bekerja seharian penuh, maka gaji yang kudapat tiga puluh ribu. Itu pun hanya di hari minggu aku bisa bekerja seharian penuh. Ica tak memakai diapers, aku hanya menggunakan kain sebagai popok untuknya. Uang yang kudapat hasil buruh hanya cukup untuk makan, itu pun hanya pas-pasan. Sebab, tak setiap hari ada yang memintaku untuk bekerja di ladangnya. "As! Aku masuk, ya?" Suara Bu Ramlah terdengar setengah berteriak dari luar rumah. Gegas aku membuka pintu, ia pun masuk tanpa kupersilakan.Jam delapan, tetapi cuaca begitu mendun
Sumpah Al-Qur'an (8)***Aku mengemasi peralatan masak yang sebelumnya tergeletak di bawah. Bingung hendak bagaimana. Jika angin dan hujan terus berembus kencang, sudah pasti rumah ini akan roboh. Di luar juga tidak menjamin keselamatan, sebab tingginya pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bisa saja roboh. Aku begitu menghawatirkan Nia. Semoga saja ia tetap di sekolah bersama teman-temannya. Tubuhku menggigil. Semoga saja Ica tidak kedingingan, dan juga hujan segera reda. Baru kali ini hujan turun dengan begitu dahsyat.Aku tersentak kaget saat terdengar suara yang begitu keras di sebelah rumah. Seperti suara pohon yang tumbang. Aku gemetar hebat. Bagaimana nanti bila rumahku juga tertindih pohon. Ya Allah ... mohon lindungi kami semua.Aku mandi dan segera shalat. Lalu mengaji di sebelah Ica yang masih terlelap. Beberapa kali ia terjaga sebab terkejut dengan kilatan petir yang memekkakkan telinga. Entah berapa lapis kain yang menimpa tubuhnya. Supaya ia tidak kedinginan.Kilatan peti
Sumpah Al-Qur'an (9)***Walaupun hubungan keluargaku dan Pak Bahul tidak pernah baik, akan tetapi jujur, sama sekali aku tidak dendam. Atau bahkan merasa senang melihat Pak Bahul mendapat cobaan demikian. Tidak sama sekali.Walau terkadang aku juga marah karena perlakuan mereka. Aku bukanlah sabar, atau bahkan tidak bisa marah. Bukan! Keadaan yang menuntutku untuk bersikap demikian. Berusaha tabah. Sebisa mungkin menahan amarah bila merasa ditindas. Berusaha menahan hati agar tidak berdoa keburukan bila merasa didzalimi. Sungguh, aku tidaklah sabar. Yang bisa kulakukan hanya berdoa, semoga Allah melapangkan hati ini, dan mereka segera sadar atas tindakannya.Pikirku, asal aku bisa makan. Nia dan Ica tidak kelaparan. Itu sudah lebih dari cukup. Aku juga tahu diri. Tidak berharap bantuan dari tetangga. Yang kuharap hanya mereka memintaku bekerja di ladangnya, lalu diupah dengan layak. Hanya itu. Aku hanya menginginkan hakku.Sering kali saat ada bantuan dari program pemerintah, baik
Sumpah Al-Qur'an (10)"Yeeyyy! Tuh tuh, Ibu pulang. Bawa mie sed**p. Udah lama banget kayaknya kita nggak maem mie itu ya, Dek!" Nia berkata dengan tertawa riang pada adiknya yang hanya dijawab dengan celoteh tak jelas.Anak-anakku rupanya sudah menunggu di teras rumah. "Lho, Bu! Mana bungkusannya, Bu?" tanya Nia. Dahinya mengernyit."Masuk dulu, yuk!" pintaku. Mereka masuk mengekor di belakang.Tadi saat melewati rumah Bu Ayu, aku sengaja memperlambat langkah. Sebab kudengar gelak tawa Bu Ramlah dari sana. Berharap ia melihatku, lalu memberi jatahku itu. Kebetulan pintunya dibuka cukup lebar. Aku melirik sekilas, melihat mereka sedang menata berbagai bungkusan yang aku tak tahu. Sebab aku hanya memandangnya sekilas. Kurang jelas."Bu, Ibu nggak dapet lagi, ya? Kayak daging kambing kemarin," tanya Nia. Kini, raut mukanya itu terlihat kecewa."Apa kehabisan lagi, Bu?" cecarnya terus."Ehmm ... gini ya, Nak. Nia mau mie sed**p, kan? Bentar!" Aku bangkit meninggalkannya. Berjalan menuj
PoV ; Asti ***"Nak, gini. Ibu pengen kalau meninggal nanti, kita bisa sama-sama lagi di surga. Percaya deh, kebersamaan dan kebahagiaan di surga itu jauh lebih segalanya daripada di dunia." "Termasuk hingga saat ini Ibu tidak merenovasi rumah agar lebih besar, itu karena Ayah?" tanyanya menyelidik.Aku mengangguk."Iya. Ibu tidak mau mengubah apapun dari rumah ini. Rumah pertama tempat kita bersama. Setidaknya hanya tampilannya saja, tetapi tidak dengan bentuknya. Biarkan rumah ini menjadi kenangan.""Nia paham itu, Bu. Terima kasih, Ibu sudah setia sama Ayah. Nia juga mengharapkan hal yang sama seperti Ibu." ***Pagi hari, saat aku ke rumah Bu Ramlah, aku merasakan hal yang berbeda. Aku tak dibiarkannya bangkit untuk sekadar mencuci piring, bahkan membuatkan jamu untuknya. Tanganku tak dibiarkan lepas dari genggamannya.Aku membuang firasat buruk jauh-jauh. Meyakinkan diri, bahwa Bu Ramlah baik-baik saja. Ia hampir sembuh dan akan pulih. "Maaf, ya, As." Aku membelalakkan mata me
Sumpah Al-Quran (62) Pov ; Asti *** "Nggak, As. Saya nggak mau. Saya cuma mau mati. Saya ini sudah nggak bisa sembuh. Allah mungkin hanya mau nyiksa saya. Dosa apa yang saya perbuat, As! Kenapa Allah segitu dendamnya sama saya," ucap Bu Ramlah meraung. "Istighfar, Bu. Allah bukan dzat yang pendendam. Allah memberi Ibu kesempatan untuk hidup, berbuat baik. Tidakkah Ibu tahu, bahwa setiap rasa sakit, bisa mengurangi nafsu makan, nafsu minum, bahkan dosa kita juga berkurang, Bu. Tapi, atas kebaikan Allah, ketika kita sembuh, Allah kembalikan nafsu makan dan minum itu. Tapi Allah tidak mengembalikan dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita akan berkurang setiap rasa sakit yang kita rasakan." Aku mencoba memberi Bu Ramlah pengertian dengan panjang. Entah Bu Ramlah paham dan mendengarkan atau tidak, yang penting aku berusaha mengingatkannya. Agar tidak lagi-lagi berprasangka buruk pada Allah. Walau pada akhirnya juga tetap sama. Ucapanku seolah mental, lagi-lagi Bu Ramlah menyudutkan Allah setia
Sumpah Al-Quran (61)PoV ; Asti"Kalau sekarang, tidur di lantai pun Nia nggak ngeluh. Lantainya halus, nggak kasar nggak bikin sakit," celetuk Nia. Ia tampak begitu girang. Berguling di lantai dengan tawa lebar.Lalu, ia beralih ke kasur. Mengempaskan tubuhnya dengan kasar. Tertawa riang dengan sang adik. Kebahagiaan yang rasanya sudah lama tak kurasakan. Gema tawa yang sudah lama tak kudengar. Ini suasana yang kutunggu, yang kuimpikan sejak dulu.Terima kasih, Ya, Allah ....Terima kasih. Atas kemurahanMu, Kau permudah segalanya. Ini kebahagian yang sesungguhnya, yang kucari sejak dulu.***Tak ada setiap detik yang terlewat tanpa adanya cerita. Dari rangkaian minggu yang berganti bulan, lalu berguling menjadi tahun, tak ada masa yang terlewat tanpa adanya kenangan dan sebuah pengajaran.Pelajaran hidup. Ica gadis kecilku, kini ia sudah kanak-kanak. Ia bukan lagi anak kecil yang merengek ketika kutinggal. Yang harus kuberikan mainan agar bisa terdiam, ketika aku disibukkan dengan
Sumpah Al-Qur'an (60)PoV; Asti***Aku bergeming sesaat, mengatur napas. Jika kubersihkan sekarang, waktunya mepet. Lagipun, ini sudah malam. Bukan waktunya beberes. Biarlah esok hari saja aku ke mari. Aku menghela napas panjang. Tak berpikir untuk menyalahkan Bu Ramlah juga atas kondisi rumah yang teramat kotor ini. Aku paham di posisinya.Yang tak habis pikir kenapa Pak Bahri bisa demikian tak peduli pada Bu Ramlah. Siapa istri keduanya, hingga membuat Pak Bahri tergila-gila?Ah, biarlah. Ini menjadi urusan keluarga Pak Bahri. Aku orang luar, tidak ada hak untuk itu. Aku kembali ke ruang tengah. Mata Bu Ramlah tarkatup rapat. Aku memperhatikannya dengan seksama. Betapa malangnya hidup Bu Ramlah kini. Wajahnya mulai kusam, tanpa bedak dan lipstik. Kurus."Dari mana, As?" Aku mengerjap saat Bu Ramlah tiba-tiba membuka matanya. Kupikir ia sudah lelap."Da-dari dapur, Bu," sahutku, "Kupikir Ibu sudah tidur.""Ngapain? Udah di sini aja. Saya hanya butuh teman.""Bu, makan, ya. Dikit
Sumpah Al-Qur'an (59)PoV; Asti***Bu Ramlah tersenyum. Masam. "Lama. Mungkin tiga bulanan. Anehnya saya nggak mati-mati. Padahal saya nggak berobat. Makan juga nggak teratur. Allah seakan dengan sengaja menyiksa saya seperti ini. Dia tidak puas melihat penderitaan saya, As!" Bu Ramlah tergelak.Astaghfirullah."Bu, istighfar. Jangan bicara seperti itu. Yakin, Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya." Aku berkata lembut. Mencoba memberi pengertian.Bukan maksud menggurui, atau sok pintar. Namun, aku tak mau Bu Ramlah berprasangka buruk kepada pencipta. Dia sang Maha, maha segalanya."Hidup kamu sudah enak, ya, sekarang. Tadi aja saya liat kamu mau bangun rumah lagi, kan. Selamat, ya. Kamu pasti tertawa liat kondisi saya sekarang kayak gini. Kamu di atas sekarang." Bu Ramlah tertawa. Seolah menertawakan dirinya sendiri.Dari sini aku dapat menangkap. Mungkin Bu Ramlah tadi terganggu dengan keramaian Ibu-Ibu dan pengangkut barang. Lalu ia berusaha mengintip dari pin
Sumpah Al-Qur'an (58) PoV; Asti. _ "Mas Bahri membawa mereka, tinggal bersama istrinya." Deg. Jantungku, jantungku seolah berhenti berdetak sesaat. Apa maksud Bu Ramlah. Apa dia ngelantur. Istri? "Ma-maksud, Bu Ramlah?" Aku menatapnya dalam. Pandangan Bu Ramlah yang sebelumnya terpaku pada langit-langit ruangan, sontak menoleh padaku sesaat. Jelas, matanya memerah. Bukan hanya tangis yang terlihat. Namun, luka. Aku bisa melihat dari matanya, Bu Ramlah menyimpan luka yang dalam. Bu Ramlah mencoba bangkit. Aku membantunya, lalu menyusun bantal di balik punggung, agar ia nyaman duduk dengan posisi bersandar. Aku meraih jahe hangat yang sebelumnya kuletakkan di kepala ranjang. Ranjang di ruang tengah ini ranjang kuno. Bukan ranjang kekinian empuk yang aku tak tahu namanya, tetapi pernah kulihat di kamar Bu Ayu waktu memijat Pak Bahul tempo lalu. Di bagian kepala ranjang, terbuat dari kayu jati dan berupa semacam lemari kecil. Khas ranjang kuno. "Minum, Bu." Aku menyodorkan te
Sumpah Al-Quran (57)PoV ; Asti****Bu Ramlah.Ia terkapar di lantai. Tubuhnya sangat kurus. Bu Ramlah yang cantik dan anggun, kini terlihat tua tak terurus. Wajahnya pucat. Rambut hitam legamnya itu kini nampak kusut dan tak lagi lebatTak jauh dari Bu Ramlah terbaring, tepat di sebelah kirinya terdapat pecahan gelas serta cairan bening dan irisan jahe tercecer di lantai. Aku termangu menatapnya sebentar, sebelum akhirnya kesadaran menyergap."Buuu!" pekikku. Aku tergopoh menghampiri.Bu Ramlah mengangkat tangan, mengulurkannya padaku. Aku segera peka, ia hendak berdiri.Aku menyambut uluran tangannya dan membantu untuk berdiri. Tubuhnya yang dulu berisi, kini sungguh kurus. Bahkan aku tak merasa keberatan walau menopang tubuh Bu Ramlah sendiri"Ranjang, As," lirihnya.Aku menuntunnya untuk ke ranjang, di ruang tengah yang berada di depan televisi. Setelahnya, aku dengan tergesa keluar, untuk pamit pada Nia jika aku berada di rumah Bu Ramlah. Lalu segera kembali menghampiri Bu Ram
Sumpah Al-Qur'an (56)PoV; Asti.***Mobil pickup dengan bak berwarna hitam kombinasi hijau tosca memasuki halaman rumah, ketika aku baru saja tiba dari sungai. Aku hendak menjemur kain cucian di teras depan. Seorang lelaki turun dengan tergesa. Dia menghampiriku yang mematung di tempat."Benar ini dengan rumah Bu Asti?" tanyanya sopan. Aku menjawab dengan senyuman. "Iya, benar, Pak. Diturunkan di sini saja, ya!" pintaku menunjuk beranda rumah yang hanya beralaskan tanah.Dua lelaki itu mulai meletakkan barang-barang di bak pickup ke beranda rumah. Pintu terbuka, Nia keluar sembari menuntun Ica. Sedikit tergesa ia menghampiriku."Nia kaget. Nia pikir ada apa rame-rame kayak dibanting," celotehnya. Ia menguap, lalu segera ditutupinya dengan tangan.Aku tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya. Ia baru saja bangun tidur. Beruntung Ica kecil tidak menangis. Aku meminta mereka untuk kembali ke dalam. Aku segera menyelesaikan menjemur kain, untuk kemudian membuat kopi. Khawatir mengangg
Sumpah Al-Qur'an (55) "Jadi Nia bohong?" tanyaku serius. Aku mengunci matanya dengan tatapanku. Nia sontak menghentikan tawanya, lalu menunduk. "Nia minta maaf." "Nia bilang kalau memang suka tidur di bawah, karena kasurnya panas." Aku terus memojokkannya dengan alasan yang selalu keluar dari mulutnya, ketika kutanya mengapa aku selalu menemukannya tidur di bawah setiap aku bangun di pagi hari, atau ketika malam saat hendak Tahajjud. Kasur lantai memang tak begitu luas. Beberapa kali kutemukan Nia tidur di bawah, di lantai semen tanpa alas apapun. Kasar, apalagi sebagian berlubang. "Gerah, Bu. Di bawah adem. Makanya Nia guling aja ke bawah." Begitu sahutnya untuk kesekian, ketika kutanya dengan perihal yang sama. Bukan hanya sekali, bahkan bisa dibilang setiap malam ia kutemukan tidur di bawah. Tidur meringkuk dengan menekuk lutut. Kedua tangannya bersilang memeluk lengan. Ketika aku bangun tengah malam, aku memindahkannya ke atas. Namun, esok harinya kutemukan ia di bawah