"Syifa! Kamu benar-benar kelewatan. Tega kamu membuat iparmu sendiri celaka? Apa sebenarnya yang merasuki otakmu!" Papa membentak Syifa yang masih terdiam di sofa. Sementara Anjas sang suami hanya menunduk dalam diam."Papa nggak nyangka saja, kamu bisa sebrutal ini. Dulu kamu nggak pernah seperti ini, Syifa! Kenapa kamu benci dengan kakakmu? Karena dia sudah punya Zahra atau sudah menikah sebelumnya? Atau karena apa? Coba jelaskan, papa mau dengar!" Papa kembali bicara dengan suara penuh penekanan. Syifa yang sejak tadi diam pun mendongakkan kepalanya. Dia menatap lekat wajah papa yang tampak begitu emosi. "Bela saja terus, Pa. Bela dia terus dan salahkan Syifa. Papa dan Mas Hanan sama saja menyebalkannya. Kalian nggak lagi memperhatikan dan menomor satukan aku tapi perempuan itu dan anaknya!" Syifa menutup wajahnya. Dia tergugu dalam tangisnya. Anjas pun memeluk istrinya untuk menenangkan. "Maksud kamu gimana, Syifa? Kamu cemburu sama Wita dan Zahra? Takut mereka merebut perhatian
AKIBAT PELIT PADA ANAK & ISTRI 69Siang, saat mentari begitu teriknya menyinari bumi. Suasana rumah nggak terlalu sepi, ada Zahra yang terdengar ngobrol dengan Bik Sarmi di lantai bawah. Entah mengobrolkan tentang apa. Aku yang sebelumnya tiduran di kamar atas sembari menonton acara kuis di televisi mendadak mulas. Rasanya nggak karuan, sepertinya si bayi memang ingin segera bertemu dengan papa dan ibunya. Zahra teriak histeris saat melihat ibunya meringis kesakitan. Tak selang lama Bik Sarmi dan Bik Mus pun memapahku ke lantai bawah. Mas Hanan datang saat aku sudah tiduran di dalam mobil dengan kondisi kepayahan. Keringat dingin mulai menetes ke dahi dan pipi. Tak henti-hentinya Zahra menangis, mungkin takut melihat kondisi ibunya yang begitu lemah. Setelah itu Mas Hanan menggantikan Pak Sasro untuk mengemudi. Dia membawaku ke rumah sakit ibu dan anak yang cukup terkenal di sini. Berulang kali Mas Hanan memintaku bersabar dan berdoa agar semuanya baik-baik saja. Zahra pun terus m
Pov : Syifa Waktu terus bergulir. Semakin hari kulihat papa dan Mas Hanan semakin sayang sama Mbak Wita, apalagi sejak melahirkan Ghaisan.Papa dan Mas Hanan semakin perhatian pada keduanya. Seolah aku adalah orang asing yang tak perlu mendapatkan perhatian lebih dari mereka. Teringat kembali pesan mama beberapa tahun silam," Jangan biarkan kakakmu nikah sama perempuan itu, Syifa. Mama nggak mau punya menantu seperti dia, sampai kapan pun. Hanan bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dibandingkan dia. Dari segi pendidikan, ekonomi dan paras. Jangan sampai keluarga kita menjadi minus hanya karena Hanan menikah dengan perempuan kampung sepertinya!" Ucapan mama benar adanya. Terlihat di grup whatsapp keluarga besar, Mas Hanan menjadi minus gara-gara perempuan itu datang ke dalam kehidupan kami.Mereka yang biasanya memuji Mas Hanan karena mapan, berpendidikan dan rupawan akhirnya menadapat image kurang menyenangkan gara-gara beristrikan janda beranak satu pula. Siapa yang re
Pov : Wita |Syifa, kamu sekarang di mana? Anjas kebingungan cari kamu kemana-mana. Mas Hanan dan Papa juga begitu mengkhawatirkanmu. Apa kamu baik-baik saja? Pulanglah Syifa| Pesanku untuk Syifa dari pagi tadi belum juga dibalasnya. Entah ke mana dia sekarang. Papa dan Mas Hanan juga belum pulang sejak pagi pamit mencari Syifa. Mereka bilang, kalau sampai nanti malam nggak ketemu, akan lapor polisi saja agar ada yang membantu menemukan keberadaan Syifa.Kepergian Syifa cukup membuatku merasa begitu bersalah. Kasihan papa, beliau pasti begitu mencemaskan anak bungsunya. Sebegitu bencikah Syifa padaku hingga dia melakukan ini semua?Aku tahu dia sangat kecewa karena aku menjadi iparnya. Yang pasti dia merasa tersisih sejak aku masuk di keluarga besarnya. Mungkin takut jika aku merebut perhatian papa dan Mas Hanan. Perhatian dan cinta yang selama ini hanya tercurah padanya.Kekecewaan yang membuatnya memberontak bahkan pergi dari kehidupannya yang mapan dan mencari ketenangan lain di l
Pov : Anjas Malam semakin larut namun mata belum jua bisa terpejam. Bagaimana mungkin aku bisa terlelap dan mimpi indah, jika hingga detik ini tak tahu kabar ataupun keadaan istriku. Sejak kepergiannya siang tadi, Syifa masih belum bisa dihubungi. Sepertinya dia benar-benar marah, atau memang ingin menenangkan diri. Entahlah.Pikiranku kacau. Aku takut dia kenapa-kenapa. Meski Syifa keras kepala, egois dan begitu labil, tapi aku sangat menyayanginya. Aku rindu saat dia manja di pangkuanku. Aku rindu saat dia tersenyum menyambutku saat bangun tidur, membisikkan kata mesra lalu menyeduhkan jahe hangat dan menyiapkannya di atas meja. Aku mencintai kelebihan dan kekurangan yang dia punya. Dua tahun sudah aku membina rumah tangga dengannya. Selama ini, kami selalu bahagia dan baik-baik saja. Tak ada drama atau percekcokan apalagi perselingkuhan. Aku dan dia sama-sama tipe setia. Rumah tanggku dengannya cukup tenang, damai dan menyenangkan. Aku pun tak diizinkan kerja di luar. Cukup memb
Pov : Wita "Mas, sebenarnya ada apa sih? Apa preman yang kabur itu ada hubungannya dengan kecelakaan Anjas?" tanyaku pada Mas Hanan yang masih tampak kebingungan. Dia terlihat sangat gugup saat mendengar pertanyaanku."Eh ... iya, Sayang. Nanti aku ceritakan, ya? Aku mau ke kantor polisi dulu untuk membereskan semua ini.""Aku ikut, Mas. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," ucapku lagi. Mas Hanan dan Anjas tampak sedikit terkejut tapi mereka tak bisa menghalangiku untuk ikut. Mas Hanan pub mengajakku ke kantor polisi untuk membucarakan masalah ini. Selama dalam perjalanan, Mas Hanan masih saja terdiam. Sepertinya sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesekali kulihat telunjuknya mengetuk-ngetuk stir mobil. Dia terlihat begitu gusar. Dering ponsel memecah kebisuan diantara kami. Entah siapa yang menelepon. Gegas kulihat ponsel Mas Hanan. Ada nama Sasro di sana. Sopir pribadi kami. "Terima aja, Sayang. Speaker biar aju juga dengar." Aku pun mengangguk lalu menekan tombol hijau di
|Wita, kamu bisa ajak Zahra ke rumahku? Aris sekarang ikut aku di sini. Dia habis operasi usus buntu, Wit. Sekarang kondisinya menurun karena usaha bengkelnya bangkrut. Sepertinya dia cukup stress memikirkan hidupnya. Aku benar-benar merasa bersalah sudah menghancurkan kehidupannya| Sebuah pesan dari Mbak Yuli muncul di whatsapp. Memang sudah cukup lama aku tak bertukar kabar dengannya. Terakhir bertemu saat aku ikut ke kantor Mas Hanan empat bulanan yang lalu. Itu pun nggak sempat ngobrol karena buru-buru menjemput Zahra ke sekolah.Kupikir setelah keluar dari kantor ini, Mas Aris susah berhasil merintis usaha barunya. Aku benar-benar tak menyangka jika usahanya gagal. Lebih tak menyangka lagi jika ternyata dia baru saja operasi dan mungkin saat ini sedang depresi. Aku tak pernah mendoakan hal buruk padanya, meski dia seringkali membuatku dan Zahra terluka. Justru aku dulu sering mendoakannya agar selalu sehat dan sadar akan kesalahan-kesalahannya. Namun, apakah begini secuil bala
|Mbak Wit, gimana kabarnya? Kapan pulang ke Solo? Kenapa kita jadi terbalik gini sih? Aku yang asli Jakarta malah ke Solo, sementara kamu yang asli Solo justru menetap di Jakarta. Hahaa|Pesan dari Mbak Ulya membuatku senyum-senyum sendiri. Benar juga ucapannya. Aku dan Mbak Ulya memang terbalik. Sejak Mama Santi-- Mamanya Mbak Ulya-- mulai sehat dan ikut dengan anak sulungnya, Mbak Ulya memang izin menetap di Solo, karena memang Rony sudah menyiapkan rumah dan usaha bengkel yang cukup besar di sana. Mungkin sakitnya Mama Santi juga karena memikirkan Mbak Ulya yang tak kunjung menikah, padahal usianya sudah menginjak angka tiga. Allahualam, aku tak tahu pasti. Namun, memang seperti itu pula yang dikatakan Mama Santi. Beliau bilang, selalu kepikiran masa depan Mbak Ulya hingga membuatnya banyak pikiran dan cukup stress hingga jatuh sakit. Buktinya setelah Mbak Ulya berumah tangga bahkan sekarang sudah hamil, Mama Santi mulai sehat. Beliau sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. |
Wita benar-benar tak menyangka jika ibu dan keluarga Ulya datang dalam acara ini karena pagi tadi saat dia menelepon, mereka sama-sama bilang sibuk. Ibunya bilang ada acara penting jadi tak bisa mengobrol terlalu lama dengannya via telepon, sementara Ulya bilang mau ke luar kota. Dia tak menyangka jika alasan itu sengaja mereka pakai untuk memuluskan rencana. Iya, ibu dan Ulya memang sibuk ke luar kota, tapi Wita tak mengira jika mereka sama-sama dalam perjalanan ke Jakarta dan sengaja ingin memberikan kejutan spesial untuknya dan keluarga kecilnya. Syifa menyambut mereka dengan senyum lebar dan pelukan hangat. Pura-pura tak peduli dengan kekagetan kakak iparnya, Syifa segera mengajak para tamunya untuk masuk ke rumah dan duduk bersama tamu-tamu lainnya. Kedua mata Syifa dan Wita bertemu. Mereka pun tersenyum lalu terkekeh dengan mata yang sama-sama berkaca. Wita benar-benar tak menyangka jika Syifa akan memberikan kejutan spesial seperti ini untuknya. Ucapan terima kasih pun terden
Dua wajah cantik terlihat di depan mata. Syifa dengan senyumnya yang memikat dan putri sulungnya masih masih terlelap. Wita sangat bersyukur melihat keadaan adik iparnya itu membaik pasca pendarahan kemarin. Syifa berulang kali memeluk kakak iparnya dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal tentang sabar dan ikhlas. Kini, kesabarannya menanti buah hati sekian tahun telah terobati dengan hadirnya si kecil dalam hidupnya. "Sehat-sehat ya, Syif. Selamat menikmati masa-masa mendebarkan ini. Begadang, mengasihi, bau ompol dan banyak hal yang kelak akan menjadi kenangan tersendiri buatmu bahkan tak jarang akan menjadi kenangan yang amat dirindukan tiap ibu," ucap Wita saat melihat iparnya duduk di sofa ruang tengah sembari menggendong malaikat kecilnya. Syifa menatap Wita lagi dan lagi lalu tersenyum lebar. Semenjak kepergian papanya, Wita sering kali menjadi tempatnya mencurahkan segala resah di saat suaminya sibuk bekerja. Wita tahu banyak hal tentang kegundahan S
"Apa ini, Sayang?" tanya Hanan saat melihat sebuah undangan di meja kerja Wita. Kebetulan sore ini Hanan menjemput istri dan anak-anaknya di butik tempat Wita menghabiskan sebagian waktunya di sana beberapa hari belakangan. PuZa Butik itu cukup terkenal dan banyak konsumen yang datang membeli beragam aksesoris hijab dan gamis-gamisnya. Meskipun usaha offline dan online gamis beserta hijabnya sudah melejit, tapi Wita masih mempertahankan usaha handmadenya. Beragam kerajinan masih diproduksi oleh beberapa karyawannya yang setia menemaninya sejak tinggal di kontrakan sampai sekarang memiliki ruko sendiri. Beragam aksesoris hijab mulai dari bros, head piece, kalung, anting dan lain-lain. Berbahan flanel pun ada mulai dari gantungan kunci, jam dinding dengan beragam bentuk, sepatu buat bayi, bunga hias, kotak tissu hias dan lainnya. Aksesoris handmade itu dipajang tersendiri di bagian depan ruko sebelah kiri, sementara bagian kanan ada beberapa set gamis dengan hijabnya dan lantai ata
Seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Zikri diperbolehkan pulang. Laki-laki itu benar-benar tak mengingat siapapun kecuali istrinya. Naomi kini sudah menjalani pemeriksaan dan ditahan di kantor polisi. Sementara Zikri pulang ke rumahnya didampingi Bi Sumi sebagai asisten rumah tangganya. Anjas dan Hanan masih memiliki hati, membiarkan Zikri pulih lebih dulu baru mengurus penangkapannya. Kasusnya ditangguhkan beberapa saat sampai Zikri bisa diajak kompromi. Semua bukti sudah ada dan kini diurus oleh pengacara Hanan. Hanan dan Syifa cukup lega setelah berhasil mengetahui siapa pengirim surat ancaman di hari kepergian papa mereka itu. Laki-laki yang juga menjadi dalang teror keluarganya beberapa hari belakangan. Zikri merencanakan banyak hal untuk menghancurkan bisnis dan keluarga Hanan. Kebenciannya terlalu dalam pada Hanan dan keluarganya sejak dia di penjara dia tahun silam. Tak hanya sekali Zikri dan Naomi merecoki kehidupan Hanan dan Wita, tapi berulang kali. Mereka seolah
Semalaman Naomi tak bisa tidur. Dia hanya guling-guling di kasur sembari sesekali membayangkan kehadiran kedua orang tuanya kembali. Papa dan mamanya telah tiada. Seharusnya dia bahagia karena masih memiliki kerabat dekat yaitu sang paman, adik kandung papanya sendiri. Namun, kerabat dekatnya justru membuat hidupnya di ambang kehancuran. Mereka yang awalnya terlihat baik, mendukung dan merangkul Naomi yang kesepian, justru bersekongkol merebut apa yang papanya wariskan. Terlebih saat Naomi masuk penjara. Rumah dengan segala fasilitasnya habis tak bersisa. Semua sudah berganti nama sang paman, lengkap dengan tandatangannya sendiri. Naomi tak sadar kapan dia menandatangani surat itu. Yang dia tahu, sang paman sering datang menjenguknya di awal-awal Naomi masuk penjara. Meminta perempuan itu menandatangani ini itu dengan alasan syarat untuk banding, minta keringanan, pembebasan bersyarat dan alasan lainnya. Kenyataannya, Naomi tetap menjalani masa tahanan normal seperti pada umumnya
Mobil yang dikendarai Hanan berhenti di garasi. Suasana sudah cukup malam, nyaris jam sebelas mereka sampai di rumah. Pak Sasro turun dari mobil diikuti Ahmad dan Naomi. Perempuan itu terdiam sejenak di samping mobil sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju teras. Gerbang ditutup dan dikunci oleh Pak Sasro, sementara Hanan membuka pintu utama. Terdengar jawaban dari Wita dan Syifa dari ruang makan saat Hanan mengucap salam. Kedua perempuan itu melangkah beriringan menuju ruang tengah. Keduanya shock saat melihat Naomi berdiri di antara Pak Sasro dan seorang laki-laki yang belum mereka kenali. "Naomi?" Syifa pun ternganga melihat perempuan itu bergeming tak jauh darinya. "Zikri yang meminta Ahmad melakukan semua itu, Sayang." Hanan menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu Wita dan Syifa pun duduk di sebelahnya. "Mas Anjas mana, Kak?" Syifa terlihat cemas saat suaminya tak ikut dengan mereka. Dia takut jika Anjas kenapa-kenapa, apalagi saat ini posisinya sedang hamil muda. "An
"Apa yang terjadi, Njas? Zikri gimana?" Hanan kembali bertanya dengan sedikit gugup. "Zikri kecelakaan saat mau numpang di truk sayur, Mas. Dia terjatuh lalu terserempet mobil. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Khadijah. Sebaiknya Mas Hanan langsung ke kantor polisi saja untuk mengurus masalah ini. Dengan begitu, polisi akan lebih cepat bertindak dan mengusut kejahatan Zikri dan Naomi. Barang kali ada kejahatan lain yang belum kita ketahui." "Oke, Njas. Kamu hati-hati di sana." "Siap. Nanti kalau ada sesuatu aku kabari lagi. Sekarang baru mau ke UGD, Mas. Pak Sasro kuminta balik ke rumah Zikri. Takutnya Naomi sama Ahmad kabur kalau cuma Mas Hanan yang menjaga mereka." "Oke, Njas. Kalau begitu aku tunggu Pak Sasro datang." Anjas mengiyakan lalu menutup obrolan. Di saat menunggu kedatangan Pak Sasro itu, Hanan pun mulai berpikir jika ucapan adik iparnya itu ada benarnya. 'Sebaiknya memang meminta bantuan polisi untuk mengusut tuntas soal ini. Setidaknya agar papa lebih tenang di
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin