Hari ini sidang terakhir perceraianku dengan Mas Aris dan Alhamdulillah sudah digelar beberapa menit yang lalu.
Tak ada tuntutan atau pun banding darinya. Semua berjalan lancar hingga ketuk palu dan dinyatakan sah bercerai.
Cukup cepat dan mudah. Mungkin karena aku juga tak menuntut harta gono-gini. Dia pun tak memperjuangkan hak asuh anak yang memang jatuh ke tanganku.
Sesuai kesepakatan awal, Zahra ikut denganku. Lagipula Mas Aris juga sudah menawarinya untuk tinggal di rumah, tapi Zahra menolak.
Dia bersikeras untuk hidup denganku apapun dan bagaimanapun keadaan yang akan terjadi ke depan nanti.
Aku ke luar sidang dengan perasaan campur aduk. Ada sedihnya karena rumah tangga yang berjalan hampir sembilan tahun lamanya itu akhirnya usai juga.
Namun di sudut hati lain, aku begitu lega karena sudah pisah dengan Mas Aris dan keluarga toxicnya itu.
Gegas kukirimkan pesan pada Mbak Mayang, minta tolong untuk menjemput
"Assalamu'alaikum."Suara salam terdengar dari luar. Sepertinya Mbak Ulya sudah datang. Aku buru-buru meletakkan jarum dan benang ke tempatnya lalu melangkah cepat ke arah pintu.Benar saja, perempuan cantik itu tersenyum begitu manis sambil membawa kantong kresek."Wa'alaikumsalam, Mbak. Gimana kabarnya?" tanyaku sambil cipika-cipiki."Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Wita gimana kabarnya?""Semakin baik, Alhamdulillah," jawabku dengan senyum lebar.Mbak Ulya pun ikut tersenyum. Kuajak dia untuk masuk ke ruang tengah seperti biasanya."Permisi ya, Mbak," ucap Mbak Ulya sembari membungkukkan badan saat masuk ke ruang tengah.Ketiga partnerku yang masih sibuk packing aksesoris hijab ke dalam box pun menoleh lalu menganggukkan kepala."Langsung aja ya, Mbak. Soalnya aku buru-buru mau bertemu seseorang, ini kekurangannya dua belas juta tujuh ratus ribu rupiah. Dihitung saja dulu," ucap Mbak Ulya
"Bu, mulai sekarang Zahra simpan rindu pada ayah ini sendirian. Zahra nggak mau lihat ibu nangis lagi karena diejek tante sama budhe. Kalau memang ayah nggak kangen sama Zahra, ya sudah nggak apa-apa. Masih ada ibu yang selalu kangen Zahra, kan?"Kedua mata anak perempuanku itu begitu basah. Ada luka menganga dalam tatapnya.Betapa tidak? Cinta dan kasih sayang seorang ayah yang selama ini dia harapkan hanya berakhir dengan sebuah tangisan.Mas Aris seolah tak peduli dengan rindu dan air matanya. Dia justru sibuk dengan dunianya sendiri.Tak peduli ada hati kecil yang sedang menunggu hadirnya di sini.Berulang kali aku membesarkan hati Zahra untuk jangan terlalu memikirkan ayahnya, tapi tetap saja Zahra bilang rindu ingin bertemu.Berulang kali aku menenangkan hatinya saat kecewa, Zahra bilang selalu memaafkan dan mendoakan ayah dalam tiap sujudnya.Sedih? Jelas iya. Kecewa? Apalagi. Hatiku terasa tercabik-cabik melihat ke
Pesanan Mbak Ulya sudah selesai dikerjakan oleh ketiga timku yang kece. Mbak Salwa dan Mbak Uni mulai sibuk dengan pesanan offline, aksesoris hijab untuk ibu-ibu pengajian.Sementara Mbak Mayang aku tugaskan untuk menyelesaikan pesanan bahan kerajinan yang kupasarkan via instagram dan facebook.Impian keduaku saat ini adalah membeli rumah yang nyaman untuk diriku sendiri dan Zahra, karena hutang ibu dan bapak pun sudah kulunasi dua hari yang lalu.Rencananya aku juga ingin menyewa kontrakan sebelah, kebetulan minggu depan pengontrak pindah kerja jadi kontrakannya kosong.Kontrakan yang khusus untuk berdagang dan kerja. Sementara kontrakan ini khusus untuk tidur, masak dan bersantai agar nyaman untuk Zahra juga. Tak terlalu semrawut dan berantakan.Sedikit demi sedikit stok aksesoris mulai ada. Aku membeli etalase dan display untuk mempromosikan dagangan.Meski tak dekat dengan jalan raya, tapi kontakanku cukup ramai orang l
"Kamu tahu darimana aku dan Zahra tinggal di sini?" tanyaku pada laki-laki itu.Dia kembali tersenyum. Seolah tak mempedulikan raut penasaran di wajahku.Tak berselang lama, Mbak Ulya ke luar dari dalam kontrakan, membawa kardus berisi aksesoris hijab yang sudah disiapkan Mbak Mayang tadi pagi."Eh ... Mbak Wita sudah pulang," ucap perempuan cantik itu dengan senyum lebar. Aku mengangguk pelan.Ternyata dugaanku waktu itu benar. Mbak Ulya memang suruhan Mas Hanan untuk pesan aksesoris hijab padaku."Mbak ... mbak. Jangan marah sama aku, ya? Aku cuma menjalankan tugas aja. Si bos yang minta," bisiknya di telingaku sebelum melangkah pergi ke mobil.Mobil yang parkir di samping rumah haji Abdullah itu ternyata mobil Mas Hanan.Ibu-ibu yang sejak tadi lihat-lihat proses pembuatan aksesoris hijab pun pergi satu per satu.
Zahra mengambil gunting dari atas etalase untuk membuka paketnya. Paket misterius itu ternyata dua buah gamis lengkap dengan hijab berwarna merah muda yang cantik dan terlihat mahal. Benar kah paket ini buatku dan Zahra? Lagi-lagi pertanyaan itu muncul di benak."Bagus banget gamisnya, Bu. Kembar lagi sama ibu," teriak Zahra kegirangan. Aku hanya tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala."Zahra coba dulu ya, Bu. Sepertinya pas ini," ucapnya lagi. Dia mulai mengambil gamis merah muda itu lalu membawanya ke kamar mandi.Ohya, aku tanyakan saja dulu sama Mbak Ulya, bener nggak dia yang kirim gamis ini untukku dan Zahra. Jangan sampai Zahra sudah kegirangan ternyata bukan untuk kami berdua.Drrrtttt drrrtttttBelum sempat kirim pesan, ponsel di atas kasur bergetar. Gegas kuambil benda pipih berwarna silver itu dari tempatnya. Sengaja kulihat dari notifikasi, Mbak Ulya mengirimkan pesan.|Mbak, gamisnya sudah
Mbak Yuli tersenyum lebar melihat kedatangan adik dan mungkin calon iparnya. Syarlina yang terlihat begitu akrab dengan Mas Aris. Mbak Yuli yang sedari tadi nongrong di cafe depan sekolah tiba-tiba muncul di halaman. Menyambut adik dan perempuan itu dengan tatapan bahagia. Berbeda sekali ketika dulu berpapasan denganku. Selalu saja masam dan tak enak dipandang mata. Ah sudah lah. Ngapain terus mengingat masa lalu yang suram itu. Toh sekarang aku dan Zahra sudah bahagia. Ekonomi pun kecukupan meski masih ngontrak di kontrakan sempit tapi setidaknya aku bebas. Tak selalu disesaki beban dan sakit hati berkepanjangan. "Wit, aku mau jemput Zahra. Aku sama Syarlina mau ke mall, jadi sekalian ajak Zahra. Soal baju nanti bisa pakai punya Annisa dulu. Aku juga mau belikan dia baju baru," ucap Mas Aris tiba-tiba. Tumben sekali dia mau ngajak Zahra jalan-jalan, pakai acara akan dibelikan baju segala. "Kok dadakan ya, Mas
Pov : Aris |Kamu bujuk Zahra supaya benci sama aku, kan, Wit? Apa maumu, ha? Mana ada seorang ibu yang sengaja membujuk anaknya untuk membenci ayahnya sendiri. Ayah yang selama ini berjuang buat besarin dan sekolahin dia!| Kukirimkan pesan itu pada Wita. Biar saja dia tahu kalau detik ini aku benar-benar emosi. Bagaimana tidak? Zahra yang selama ini bilang selalu kangen sama ayahnya, kemarin mau aku ajak jalan-jalan justru menolak mentah-mentah. Aku sudah menjemputnya ke sekolah dia menolak, bahkan saat aku kejar lagi sampai depan gang kontrakan ibunya pun, gadis kecilku itu tetap menolak. Aku yakin dia begitu karena pengaruh ibunya. Karena apalagi kalau bukan rayuan ibunya yang sengaja agar terlihat paling berkorban dan berjasa. Padahal aku juga sudah bilang kalau jalan-jalan kali ini spesial, karena aku akan memperkenalkannya dengan seseorang. Aku pun bilang kalau Nisa dan b
Pov : Wita Aku dan Zahra dijemput Mbak Ulya pagi tadi untuk jalan-jalan ke Anggrek Mall. Sekadar cuci mata dan ngobrol-ngobrol ria. Zahra terlihat begitu bahagia main perosotan di kids land lalu makan di tempat makan yang terkenal dengan ayam kriuknya. "Minumnya susu coklat aja ya, Bu," ucap Zahra saat kuminta memilih minuman yang tersedia. Aku mengangguk pelan. Mbak Ulya memesan tiga paket ayam lengkap dengan dua minuman bersoda dan satu susu coklat untuk Zahra. "Zahra seneng nggak hari ini?" tanya Mbak Ulya dengan senyum manisnya. "Seneng banget dong, tante. Lain kali ajak Zahra dan Ibu jalan-jalan lagi ya?" pinta gadis kecilku itu. Mereka pun tertawa bersama. "Lain kali kita ajak Om Hanan, mau?" Mbak Ulya melirik ke arahku. Aku melotot tajam menatapnya. "Zahra mau kalau ibu juga mau, Tante," jawab Zahra dengan senyum lebarnya. Pintar sekali jawaban shalehahku itu. Dia memang selalu begitu, peka dengan apa yang kurasa. Kami masih ngobrol ngalor-ngidul kulihat Mas Hana
Wita benar-benar tak menyangka jika ibu dan keluarga Ulya datang dalam acara ini karena pagi tadi saat dia menelepon, mereka sama-sama bilang sibuk. Ibunya bilang ada acara penting jadi tak bisa mengobrol terlalu lama dengannya via telepon, sementara Ulya bilang mau ke luar kota. Dia tak menyangka jika alasan itu sengaja mereka pakai untuk memuluskan rencana. Iya, ibu dan Ulya memang sibuk ke luar kota, tapi Wita tak mengira jika mereka sama-sama dalam perjalanan ke Jakarta dan sengaja ingin memberikan kejutan spesial untuknya dan keluarga kecilnya. Syifa menyambut mereka dengan senyum lebar dan pelukan hangat. Pura-pura tak peduli dengan kekagetan kakak iparnya, Syifa segera mengajak para tamunya untuk masuk ke rumah dan duduk bersama tamu-tamu lainnya. Kedua mata Syifa dan Wita bertemu. Mereka pun tersenyum lalu terkekeh dengan mata yang sama-sama berkaca. Wita benar-benar tak menyangka jika Syifa akan memberikan kejutan spesial seperti ini untuknya. Ucapan terima kasih pun terden
Dua wajah cantik terlihat di depan mata. Syifa dengan senyumnya yang memikat dan putri sulungnya masih masih terlelap. Wita sangat bersyukur melihat keadaan adik iparnya itu membaik pasca pendarahan kemarin. Syifa berulang kali memeluk kakak iparnya dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal tentang sabar dan ikhlas. Kini, kesabarannya menanti buah hati sekian tahun telah terobati dengan hadirnya si kecil dalam hidupnya. "Sehat-sehat ya, Syif. Selamat menikmati masa-masa mendebarkan ini. Begadang, mengasihi, bau ompol dan banyak hal yang kelak akan menjadi kenangan tersendiri buatmu bahkan tak jarang akan menjadi kenangan yang amat dirindukan tiap ibu," ucap Wita saat melihat iparnya duduk di sofa ruang tengah sembari menggendong malaikat kecilnya. Syifa menatap Wita lagi dan lagi lalu tersenyum lebar. Semenjak kepergian papanya, Wita sering kali menjadi tempatnya mencurahkan segala resah di saat suaminya sibuk bekerja. Wita tahu banyak hal tentang kegundahan S
"Apa ini, Sayang?" tanya Hanan saat melihat sebuah undangan di meja kerja Wita. Kebetulan sore ini Hanan menjemput istri dan anak-anaknya di butik tempat Wita menghabiskan sebagian waktunya di sana beberapa hari belakangan. PuZa Butik itu cukup terkenal dan banyak konsumen yang datang membeli beragam aksesoris hijab dan gamis-gamisnya. Meskipun usaha offline dan online gamis beserta hijabnya sudah melejit, tapi Wita masih mempertahankan usaha handmadenya. Beragam kerajinan masih diproduksi oleh beberapa karyawannya yang setia menemaninya sejak tinggal di kontrakan sampai sekarang memiliki ruko sendiri. Beragam aksesoris hijab mulai dari bros, head piece, kalung, anting dan lain-lain. Berbahan flanel pun ada mulai dari gantungan kunci, jam dinding dengan beragam bentuk, sepatu buat bayi, bunga hias, kotak tissu hias dan lainnya. Aksesoris handmade itu dipajang tersendiri di bagian depan ruko sebelah kiri, sementara bagian kanan ada beberapa set gamis dengan hijabnya dan lantai ata
Seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Zikri diperbolehkan pulang. Laki-laki itu benar-benar tak mengingat siapapun kecuali istrinya. Naomi kini sudah menjalani pemeriksaan dan ditahan di kantor polisi. Sementara Zikri pulang ke rumahnya didampingi Bi Sumi sebagai asisten rumah tangganya. Anjas dan Hanan masih memiliki hati, membiarkan Zikri pulih lebih dulu baru mengurus penangkapannya. Kasusnya ditangguhkan beberapa saat sampai Zikri bisa diajak kompromi. Semua bukti sudah ada dan kini diurus oleh pengacara Hanan. Hanan dan Syifa cukup lega setelah berhasil mengetahui siapa pengirim surat ancaman di hari kepergian papa mereka itu. Laki-laki yang juga menjadi dalang teror keluarganya beberapa hari belakangan. Zikri merencanakan banyak hal untuk menghancurkan bisnis dan keluarga Hanan. Kebenciannya terlalu dalam pada Hanan dan keluarganya sejak dia di penjara dia tahun silam. Tak hanya sekali Zikri dan Naomi merecoki kehidupan Hanan dan Wita, tapi berulang kali. Mereka seolah
Semalaman Naomi tak bisa tidur. Dia hanya guling-guling di kasur sembari sesekali membayangkan kehadiran kedua orang tuanya kembali. Papa dan mamanya telah tiada. Seharusnya dia bahagia karena masih memiliki kerabat dekat yaitu sang paman, adik kandung papanya sendiri. Namun, kerabat dekatnya justru membuat hidupnya di ambang kehancuran. Mereka yang awalnya terlihat baik, mendukung dan merangkul Naomi yang kesepian, justru bersekongkol merebut apa yang papanya wariskan. Terlebih saat Naomi masuk penjara. Rumah dengan segala fasilitasnya habis tak bersisa. Semua sudah berganti nama sang paman, lengkap dengan tandatangannya sendiri. Naomi tak sadar kapan dia menandatangani surat itu. Yang dia tahu, sang paman sering datang menjenguknya di awal-awal Naomi masuk penjara. Meminta perempuan itu menandatangani ini itu dengan alasan syarat untuk banding, minta keringanan, pembebasan bersyarat dan alasan lainnya. Kenyataannya, Naomi tetap menjalani masa tahanan normal seperti pada umumnya
Mobil yang dikendarai Hanan berhenti di garasi. Suasana sudah cukup malam, nyaris jam sebelas mereka sampai di rumah. Pak Sasro turun dari mobil diikuti Ahmad dan Naomi. Perempuan itu terdiam sejenak di samping mobil sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju teras. Gerbang ditutup dan dikunci oleh Pak Sasro, sementara Hanan membuka pintu utama. Terdengar jawaban dari Wita dan Syifa dari ruang makan saat Hanan mengucap salam. Kedua perempuan itu melangkah beriringan menuju ruang tengah. Keduanya shock saat melihat Naomi berdiri di antara Pak Sasro dan seorang laki-laki yang belum mereka kenali. "Naomi?" Syifa pun ternganga melihat perempuan itu bergeming tak jauh darinya. "Zikri yang meminta Ahmad melakukan semua itu, Sayang." Hanan menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu Wita dan Syifa pun duduk di sebelahnya. "Mas Anjas mana, Kak?" Syifa terlihat cemas saat suaminya tak ikut dengan mereka. Dia takut jika Anjas kenapa-kenapa, apalagi saat ini posisinya sedang hamil muda. "An
"Apa yang terjadi, Njas? Zikri gimana?" Hanan kembali bertanya dengan sedikit gugup. "Zikri kecelakaan saat mau numpang di truk sayur, Mas. Dia terjatuh lalu terserempet mobil. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Khadijah. Sebaiknya Mas Hanan langsung ke kantor polisi saja untuk mengurus masalah ini. Dengan begitu, polisi akan lebih cepat bertindak dan mengusut kejahatan Zikri dan Naomi. Barang kali ada kejahatan lain yang belum kita ketahui." "Oke, Njas. Kamu hati-hati di sana." "Siap. Nanti kalau ada sesuatu aku kabari lagi. Sekarang baru mau ke UGD, Mas. Pak Sasro kuminta balik ke rumah Zikri. Takutnya Naomi sama Ahmad kabur kalau cuma Mas Hanan yang menjaga mereka." "Oke, Njas. Kalau begitu aku tunggu Pak Sasro datang." Anjas mengiyakan lalu menutup obrolan. Di saat menunggu kedatangan Pak Sasro itu, Hanan pun mulai berpikir jika ucapan adik iparnya itu ada benarnya. 'Sebaiknya memang meminta bantuan polisi untuk mengusut tuntas soal ini. Setidaknya agar papa lebih tenang di
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin