"Mira, Ana itu istri mas. Kenapa kamu halangi mas bikin dia kembali lagi ke rumah ini? Apa mau kamu sebenarnya? Mau cari muka? Mau cari perhatian ke orang tua Ana supaya kamu dibilang pahlawan? Atau jangan-jangan, kamu suka sama Andre, makanya kamu belain Ana karena dia kakaknya?" hardikku penuh emosi pada Mira.
Tak kusangka adik yang kubela mati-matian tu ternyata tak lebih dari seorang musuh dalam selimut.
"Benar. bu juga gak nyangka kamu setega itu gagalkan rencana kita buat bikin Arya dan Ana bersatu lagi, Mira. Mau kamu apa sih sebenarnya? Kamu mau kita makan bubur nasi encer setiap hari? Ibu sudah jenuh begini, Mir. Besok pagi entah kita bisa makan atau tidak, karena gak ada lagi beras di dapur." Ibu menimpali ucapanku.
&
Mendengar perkataan Mira itu aku jadi terdiam. Benar apa yang dikatakan adikku ini, harapan itu akan selalu ada asal kita mau berusaha. Allah tidak akan menutup pintu rezeki seorang hamba sebelum nyawanya sampai di kerongkongan.Asalkan mau berusaha, pasti Allah berikan jalan rezeki nantinya. Ya, itu benar. Buktinya, jadi petugas parkir liar selama empat jam saja, semalam aku bisa menghasilkan uang lima puluh ribu rupiah yang kalau pandai mengaturnya, pastilah bisa untuk biaya makan kami bertiga selama seharian penuh.Mira benar. Aku tak boleh putus asa dan kembali menzalimi diri sendiri dengan melakukan kejahatan lagi pada Ana yang selama ini sudah banyak membantuku. Aku tak mau Allah benci dan melaknat diri ini karena kembali menzalimi wanita itu. Ya, aku t
POV AryaAku membaca Surat Keputusan Kepala Daerah yang berisikan pemecatan diriku sebagai seorang aparatur sipil negara di tanganku dengan dada terasa bengkak.Naas, walaupun sudah berkali-kali membela diri dengan memberikan alasan bahwa aku dan Maya tak lagi menjalani hubungan suami istri dan sudah berpisah, tetapi keputusan kepala daerah melalui badan kepegawaian daerah ini tak bisa dianulir lagi.Dan di sinilah aku saat ini. Duduk resah di bangku depan kantor badan kepegawaian sambil menekuni SK di tangan dengan pandangan kabur dan hati gundah gulana."Bro, aku ikut prihatin ya. Gak nyangka gara-gara Ana ngelaporin kamu ke BKD kamu jadi dipecat dari pekerjaan sebagai ASN begini," ujar Heru, teman kantor yang barusan menemaniku mengambil surat ini, sambil duduk di sebelahku.Aku menghela nafas mendengar ucapannya."Entah
Setelah berembuk bersama ibu dan Mira, akhirnya aku memutuskan untuk membuka usaha gorengan pinggir jalan.Aku sudah mempelajari cara-cara membuat aneka gorengannya yang biasanya dijual di pasar, tinggal mencari lokasi dan gerobak yang akan kugunakan untuk menggelar dagangannya lagi.Setelah mencari ke sana kemari bahan-bahan yang diperlukan, akhirnya benda sederhana yang bisa dipikul itu pun terbuat juga.Meski pun bentuknya sangat sederhana dan nyaris tak karuan, tapi beruntung juga bisa membuatnya sendiri, sebab kalau harus beli, modal pinjaman dari Heru ini pasti tak akan cukup lagi.💌💌💌💌💌Hari ini akhirnya aku mulai berjualan.Mengambil tempat di persimpangan jalan yang rame, aku mulai menggelar dagangan di sana."Mas, gorengan ya dua ribu. Dapat berapa?" tanya seorang remaja sambil mengulurka
Hari ini untuk pertama kalinya sejak berpisah dari Ana, akhirnya bibir ini bisa juga tersenyum gembira.Berkat kesabaran dan semangat untuk terus berusaha, usaha berjualan gorengan di pinggir jalan yang kulakukan hari ini menemui juga keberuntungannya.Tak sia-sia memang usahaku, alhamdulilah di hari pertama berdagang ini, aku bisa membawa pulang uang sebesar lima ratus ribu rupiah, yang sebagian akan kugunakan untuk modal belanja besok pagi sementara yang lainnya untuk biaya hidup kami bertiga esok hari."Ya, kamu sudah pulang? Gimana? Ada hasil nggak jualannya hari ini?" tanya ibu saat menyambut kepulanganku di depan pintu rumah.Aku tak langsung menjawab melainkan meletakkan gerobak dagangan yang sudah kosong ke sudut teras, baru menghadap beliau."Alhamdulillah, Bu. Gak sia-sia usaha dagang yang aku lakukan. Modal dua ratus, untung tiga ratus ribu, Bu. Semoga besok bisa lebih banyak lagi hasilnya," sahutku sambil tersenyum dan memperlihatkan ha
Mitha sendiri mewarisi bisnis perhiasan yang pangsa pasarnya telah merambah luar negeri. Benar-benar tipikal calon istri yang kuidam-idamkan.Namun, meski berasal dari keluarga kaya raya, gadis itu bukanlah tipikal gadis sombong dan tinggi hati.Ia justru senang berbagi kebahagiaan dan rezeki dengan sesamanya yang membutuhkan.Gadis itu bahkan memiliki beberapa yayasan yang bergerak di bidang sosial dan menjadi donatur beberapa panti asuhan.Kebiasaan lainnya adalah senang membeli makanan pinggir jalan yang dijual oleh pedagang kecil, seperti yang kulakukan kemarin.Itu dilakukannya demi membantu perekonomian pedagang kecil sepertiku. Itulah alasan yang dikemukakan Mitha tadi saat aku bertanya mengapa dengan kekayaan yang dia miliki dia justru senang berbagi dan tidak gengsi makan makanan dari pedagang kecil di pinggir jalan.Ternyata alasannya adalah demi kemanusiaan.Dan demi mendengar cerita Mitha itu, kekagumanku padanya pun semak
Hmm, jadi itu kekurangan dan syarat yang Mitha ajukan pada laki-laki yang ingin menikahinya?Hmm ... syarat pertama kurasa tidaklah terlalu sulit bagiku. Tidak punya anak dari Mitha, kurasa bukanlah hal yang berat, toh aku juga sudah punya Via, meskipun saat ini gadis kecil itu tinggal bersama ibunya.Tapi kalau kangen, tentu saja aku bisa sering-sering mengunjunginya. Apalagi kalau hidupku sudah kaya, tentu akan lebih mudah bagiku untuk menemuinya. Aku akan membawanya keliling mall dan memberikan apapun yang diminta putri kecilku itu tanpa kesulitan.Bahkan kalau aku mau dan Mitha juga tak keberatan, aku bisa saja meminta hak asuh anak atas Via. Meski aku tak yakin sebab Via masih terlalu kecil untuk tinggal terpisah dari ibu kandungnya.Namun, syarat ke dua. Ini yang cukup membuatku merasa khawatir.Bukan tidak yakin bahwa aku telah berubah dari laki-laki mata keranjang menjadi laki-laki setia setelah pengalaman buruk bersama Maya kemarin, tapi a
"Ada apa, Mas? Apa ada yang mau Mas Arya sampaikan?" tanya Mitha saat hari ini aku kembali mengajaknya bertemu di luar.Demi bisa bertemu, karena gadis itu juga sedang sibuk bekerja, aku bahkan sampai rela tak berdagang karena apa yang ingin aku sampaikan pada wanita cantik itu bagiku jauh lebih penting dari pada sekadar menggelar dagangan.Meski sama -sama demi masa depan, tetapi urusan Mitha tentu saja jauh lebih penting bagiku. Jika tak cepat-cepat dipastikan, aku takut gadis itu keburu diambil orang.Sejak bertemu Mitha, jujur konsentrasiku untuk bekerja memang mulai buyar.Ya, kalau ada jalan instan untuk cepat kaya kenapa harus melalui jalan yang melelahkan dan menguras tenaga? Itu pikirku."Benar, Mit, mas hanya ingin memastikan sama kamu kalau mas sanggup menerima semua persyaratan dari kamu. Soal anak, mas gak akan nuntut kamu memberikannya karena kamu juga sudah kehilangan rahim, jadi gak mungkin mas mau menuntut hal yang gak mungki
"Ya, kamu hari ini jualan nggak? Kok sudah jam segini belum prepare juga?" tanya ibu saat melihatku sedang berada dalam kamar.Hari ini aku memang memutuskan untuk kembali libur jualan, sebab rencana hendak mengajak Mitha jalan ke mall.Bukan untuk belanja atau membelikan ia barang yang dia inginkan melainkan sekedar cuci mata demi melakukan pendekatan lebih jauh agar ia tak ragu-ragu lagi menjadikanku calon suaminya.Aku memang sudah tak sabar lagi ingin segera bersanding dengan Mitha, sayang wanita itu harus mendahulukan pernikahan sepupunya lebih dulu ketimbang pernikahan kami.Tapi semoga saja pernikahan kami tidak gagal karena aku menggantungkan harapan yang sangat besar kepadanya.Kelak jika telah menikah dengannya, aku tentu bisa hidup lebih enak dan terjamin tanpa harus kerja keras lagi seperti saat ini.Dengan alasan patuh pada suami, aku akan memintanya memberikan sejumlah uang untuk membesarkan usaha ini agar kelak hid
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (132)Menyadari dirinya telah keceplosan bicara, Bu Wati pun buru buru meralat ucapannya supaya Bu Hasnah tak sadar jika putrinya sebenarnya memang telah berbadan dua."Eh, maaf ... salah ngomong. Maksudnya bukan hamil tapi biar cepat hamil, Hasnah. Maklum pengantin baru. Makanya harus banyak makan, biar rahimnya subur. Soalnya aku udah nggak sabar lagi pengen gendong cucu. Kamu juga kan, Hasnah?" ujar Bu Wati buru buru meralat ucapannya.Mendengar perkataan besannya itu, Bu Hasnah pun tersenyum lega dan gembira. Syukurlah, ternyata Hamidah bukannya sedang hamil melainkan berharap supaya bisa cepat hamil. Kalau begitu, dia pun tak keberatan karena sudah lama memang dia menginginkan kehadiran seorang cucu lagi dari Arya, sebab sekarang Via, putri Ana, mantan istri pertama Arya sudah sulit ia temui karena kesibukan cucunya tersebut sekolah. Belum lagi dia pun sibuk mengurus Arya yang sedang sakit.Bu Hasnah pun menganggukkan kepalanya dengan rona gembira.
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (131)"Bagaimana anak saya, Dok? Apa masih bisa diselamatkan?" tanya Bu Hasnah dengan perasaan sedih luar biasa saat melihat pria berseragam putih keluar dari ruang operasi di mana Arya beberapa saat yang lalu dibawa masuk untuk ditangani.Sudah sejak malam tadi sejak mendapatkan kabar kalau anak laki lakinya itu masuk rumah sakit akibat tertabrak mobil entah karena sebab apa, Bu Hasnah terus menerus menangis hingga sembab air mukanya.Dia tak bisa menyalahkan Bu Wati dan Hamidah yang telah membiarkan Arya berkeliaran di luar rumah di malam pengantin mereka sebab alasan Bu Wati, Arya tak bisa dilarang dan dicegah meski hari sudah malam saat hendak membeli sesuatu barang keperluannya. Itulah yang telah membuat kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi.Dan Bu Hasnah pun terpaksa percaya begitu saja sebab sejauh ini dia memang tak tahu apa yang sebenarnya betul betul terjadi di rumah besannya tersebut malam tadi hingga akhirnya putranya itu harus mengalami t
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (130)Berpikir begitu, Bu Wati pun buru buru masuk kamar mandi dan berbisik di telinga putrinya."Midah, apa ... apa kamu hamil? Apa ... apa kamu dan Afandi sudah melakukan hal terlarang sebelum dia meninggal dunia dan kamu menikah dengan Arya? Kalau iya, kamu harus berdamai dengan Arya, Midah. Kamu nggak boleh menolak kehadirannya karena itu konyol namanya. Kamu butuh suami dan bapak untuk anak kamu, Midah! Ayok ikut Ibu ke kamar sekarang juga. Kita harus membicarakan ini sebelum kamu membuat keputusan yang salah dan membuat Arya pergi meninggalkan kamu!""Sebab kalau itu terjadi maka kemungkinan besar, anak kamu akan lahir tanpa bapak. Apa kamu mau hal Itu terjadi, Midah?" ucap Bu Wati yang tiba tiba merasa takut kalau Arya yang justru tak mau lagi dengan putrinya itu bila tahu putrinya itu ternyata sudah hamil sebelum menikah dengannya.Dia tak mau Hamidah hamil dan melahirkan tanpa suami. Dia tidak mau nama baiknya tercoreng. Itu sebabnya dia harus b
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (129)"Tok! Tok!Tok!"Sedang keduanya bertengkar, dari arah luar kamar terdengar ketukan pintu lumayan keras diiringi suara Bu Wati yang memanggil keras keduanya."Midah ... Arya, ada apa? Buka pintunya!" seru Bu Wati dari luar kamar.Hamidah memandang Arya sejenak seolah meminta pertimbangan, tapi tak lama kemudian karena Arya hanya diam saja tanpa reaksi, Hamidah pun buru buru membuka pintu dengan segera.Segera setelah dia membuka pintu, Bu Wati pun masuk dan menyerbu dengan tanya."Kamu kenapa Midah? Kok teriak teriak tadi? Apa Arya ganggu kamu?""Heh, Arya! Ibu kan sudah bilang, perkawinan kalian hanya sandiwara di atas kertas saja karena Ibu sudah minta tolong sama Ibu kamu untuk bisa menyelamatkan pernikahan putri Ibu yang terancam gagal karena Afandi meninggal dunia dan Ibu kamu sudah setuju!""Lantas sekarang kenapa Hamidah teriak teriak seperti tadi? Apa jangan jangan kamu ganggu dia ya? Kamu kan sudah janji kemarin nggak akan ganggu Hamidah!
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (128)"Lepaskan, Mas! Jangan sentuh aku! Apa kamu lupa perjanjian kita kemarin yang menyatakan kalau pernikahan kita hanya pernikahan pura pura di atas kertas saja dan di antara kita tak akan pernah ada malam pertama karena pernikahan kita bukan pernikahan sungguhan!" ujar Suster Hamidah sembari menepis keras tangan Arya yang berusaha menarik tubuhnya dan membuka pakaiannya.Namun, Arya hanya menyeringai lebar."Pernikahan kita bukan sungguhan? Midah, pernikahan kita tercatat sah di kantor urusan agama! Ijab qobul yang kita lakukan juga sah di mata agama. Kamu sekarang istriku! Sah di mata negara dan agama! Lalu kenapa kamu bilang pernikahan kita tidak sungguhan dan kamu menolak aku sentuh? Kamu mau masuk penjara karena sudah mempermainkan pernikahan? Kamu juga mau masuk neraka dan dilaknat malaikat karena menolak ajakan suami untuk memenuhi kewajiban kamu sebagai seorang istri? Iya?" Arya terlihat tak terima dengan penolakan Hamidah.Hamidah menggeleng
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (127)"Saya terima nikah dan kawinnya Hamidah binti Kusnadi dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.""Sah.""Sah.""Sah "Semua hadirin yang hadir mengucapkan syukur setelah Arya selesai mengucapkan ijab qobul atas istri barunya, Suster Hamidah.Usai Arya mengucapkan penerimaan nikahnya, Suster Hamidah mengangkat wajahnya lalu dengan gerakan kaku karena tak menyangka bila dirinya akan dinikahkan paksa dengan Arya yang baru saja sembuh dari stroke yang diderita, mengangkat telapak tangan lalu mencium punggung tangan Arya yang sekarang telah menjadi suami sah nya itu dengan gerakan lunglai.Sungguh, meski dia tak membenci Arya, tapi dia sama sekali tak mencintai laki laki yang sekarang menjadi suaminya itu. Dia menganggap Arya hanyalah salah satu pasien yang harus dia terapi supaya segera sembuh dari sakitnya.Tapi ternyata, hari ini laki laki itu telah menghalalkan dirinya sebagai seorang istri. Arya akan mendampingi hidupnya hingga maut m
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (126)"Baiklah, Hasnah ... kalau begitu sesuai dengan rencana kami semula yakni hendak menikahkan Hamidah dengan almarhum Afandi pada tiga hari lagi, itu menjadi tanggal pernikahan Hamidah dengan Arya.""Benar kata kamu, aku harus menyelamatkan keluargaku dengan menikahkan putramu dengan putriku. Selain demi meminimalisir kerugian akibat gagal pesta setelah Afandi meninggal dunia, aku juga ingin menunaikan cita cita kita dulu yang hendak menjodohkan Hamidah dengan putramu.""Jadi tiga hari lagi kita nikahkan mereka ya, Hasnah! Kamu mau ngasih mahar apa untuk putriku? Kemarin rencananya Afandi mau memberi mahar sebuah mobil mewah dan perhiasan sebanyak seratus gram. Kalau kamu apa?" lanjut Bu Wati sembari menatap penuh harap wajah sahabat masa SMA nya itu.Namun, mendengar perkataan Bu Wati, Bu Hasnah melotot lebar. Merasa kaget dan shock ditanya soal mahar, apalagi dibandingkan dengan mahar yang seyogyanya akan diberikan oleh almarhum dokter Afandi pada
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (125)"Wati, apa kamu nggak malu kalau pesta pernikahan putri kamu terpaksa dibatalkan? Kamu bisa rugi besar lho kalau pesta putri kamu benar benar dibatalkan.""Saya aja nggak nyangka kalau Suster Hamidah itu ternyata adalah putri kamu. Aku pikir siapa. Kamu ingat nggak, dulu waktu kita masih SMA, kita pernah bercita cita ingin menjodohkan putra dan putri kita supaya mereka meneruskan persahabatan kita? Tapi apa daya aku kehilangan jejak kamu dan Arya pun kemudian menikah dengan gadis pilihannya, Ana.""Tapi sekarang pernikahan mereka sudah berakhir. Dan status Arya sekarang ini adalah duda. Jadi, tunggu apalagi, Wati? Sekarang lah saatnya kita jodohkan mereka kembali demi memenuhi niat baik kita dulu?""Arya dulu bekerja sebagai seorang ASN, Wati Tapi apa daya sekarang sudah diberhentikan.""Sekarang ini Arya sedang sakit. Tapi dia jadi semangat sembuh kembali setelah bertemu dengan anak kamu, Hamidah. Sayang, Hamidah ternyata hendak menikah hingga me
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (124) "Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ... ." "Kamu yang sabar ya, Midah. Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain. Nyawa calon suami kamu nggak bisa diselamatkan lagi. Kami turut prihatin, Midah ...," ucap rekan rekan sejawatnya yang begitu mendengar kabar kecelakaan calon suaminya, langsung gegas berkumpul di ruang ICU rumah sakit untuk memantau kondisi kesehatannya dan melakukan tindakan penyelamatan terhadap dokter muda yang merupakan calon suami Suster Hamidah tersebut, salah seorang suster di rumah sakit swasta ini. Hamidah mengusap air matanya lalu menatap nanar wajah calon suaminya yang telah terbujur kaku di atas brankar dengan ditutupi kain panjang. "Midah, kamu yang tabah ya, Nak. Semua ini sudah takdir Yang Maha Kuasa ...," tutur Ibunya pula sembari mengelus pelan pundak Hamidah. Sementara di sampingnya, calon mertua tampak meratap pilu menangisi kepergian putra mereka. Hamidah berkali-kali menghembuskan nafasnya demi mengurai s