"Baik, Ya. Kalau begitu, selepas keluar dari rumah sakit ini nanti, kita bangkit lagi ya. Mulai sekarang kita berdiri di atas kaki kita sendiri. Lupakan cita-citamu untuk menikahi orang kaya yang banyak hartanya demi bisa menikmati kehidupan mewah tanpa perlu kerja keras lagi, karena semua itu tentu saja percuma. Kalau pun dikabulkan Tuhan juga nggak akan langgeng selamanya. Jadi, lebih baik kita mencari kekayaan sendiri tanpa menyusahkan orang lain lagi," timpal ibunya lagi.Arya menganggukkan kepalanya dengan hati lega dan pikiran yang sekarang jauh lebih plong dan terbuka.Ibunya benar, mereka memang harus mulai berubah demi memperbaiki nasib dengan tangan mereka sendiri bukan dengan memanfaatkan orang lain karena semua itu percuma dan hanya angan-angan belaka.*****Hari ini genap dua bulan sudah Arya keluar dari rumah sakit dan dinyatakan sembuh dari sakitnya.Ia sudah mulai berjualan gorengan kembali seperti dulu. Gorengan super enak dan renyah yang dulu sempat sukses ia jalank
"Sri, kamu datang sendirian?" tanyanya saat menyadari wanita yang ternyata masih single meski usianya sudah cukup umur untuk menikah itu datang tanpa seorang pun teman.Sri yang ditegur mengangkat mukanya lalu tersenyum lega saat melihatnya."Arya? Kamu juga datang sendirian? Nggak masuk? Kok bengong saja di sini?" tanya wanita itu dengan wajah semringah."Nggak ada temannya, Sri. Nggak enak mau masuk," sahut Arya pula."Barengan aja yuk?" ucap Sri lagi."Barengan? Kamu nggak malu jalan bareng sama lelaki cacat sepertiku?""Kenapa harus malu? Di mata Allah semua manusia itu sama. Hatinya saja yang beda. Ayoklah, kita masuk sekarang. Kamu sendiri malu nggak jalan bareng sama perempuan gendut dan hitam sepertiku?" jawab Sri lagi balik bertanya.Arya pun menggelengkan kepalanya. Ya, buat apa malu, jika di hadapan yang Maha Kuasa, semua orang sama derajatnya. Hanya amal dan perbuatannya saja yang membedakan.Dan Arya tak hendak menampik itu. Bila Sri adalah wanita yang Tuhan takdirkan un
"Mas, bangun. Sudah Subuh. Katanya pagi ini mau jualan. Gih buruan bangun. Sholat dulu baru siapin dagangan ..., " ujar Sri sambil menggoyang-goyangkan tubuh Arya yang masih bergelung di bawah selimut.Sudah satu minggu mereka menikah, dan Sri sudah mulai paham rutinitas suaminya itu setiap harinya.Dia sendiri, sehabis menyiapkan keperluan Arya di pagi hari, maka akan berangkat ke rumah sakit karena meski sudah menikah tetapi Sri ingin tetap bekerja seperti biasanya. Apalagi Arya pun memberi izin. Jadilah setiap pagi, keduanya sama sama menjalani rutinitas masing masing di tempat kerjanya.Arya menggeliat bangun lalu tersenyum menatap wajah istrinya. Meski tak cantik, tapi wajah Sri selalu membuatnya merasa nyaman melihatnya. Sri juga baik. Itu membuat Arya makin hari makin betah saja dekat dekat dengan istrinya itu. Meski Sri jauh dari tipe ideal seorang wanita, tapi Arya sayang dan cinta."Ya, Sayang. Sudah jam berapa memangnya? Habis sholat subuh, Mas mau langsung ke rumah ibu ya,
Sesuai niatnya siang tadi, sore harinya setelah pulang dari berjualan, dan Sri juga sudah tiba di rumah serta istirahat, malamnya Arya pun berusaha mengajak bicara istrinya itu untuk mencoba mengutarakan keinginan di dalam hatinya itu pada Sri."Sri, Mas pengen ngomong sesuatu sama kamu. Boleh nggak?" tanya Arya hati hati sebelum memulai pembicaraan. Khawatir bila dia langsung masuk ke pokok pembicaraan, istrinya itu akan merasa kaget karena tak menyangka dia ingin meminjam uang untuk modal usahanya yang baru. Padahal selama ini Arya selalu mengatakan ingin membahagiakannya karena tak ingin Sri kesusahan. "Ngomong apa, Mas? Kok pakai izin segala?" tanya Sri dengan alis berkerut, merasa heran karena tiba tiba Arya minta izin padanya untuk bicara. Tak seperti biasanya yang tak perlu izin izin lagi.Arya berdehem sesaat sebelum melanjutkan perkataannya. Mengurai ketegangan yang sesaat tercipta."Gini, Sri. Siang tadi Mas 'kan lihat lihat lokasi untuk tempat usaha yang baru. Rencananya M
"Ada apa, Ya? Tumben malam malam nelepon?" sambut Bu Hasnah saat Arya menghubungi ibunya tersebut."Bu, barusan Arya tanya Sri, punya tabungan atau nggak. Dan katanya dia nggak punya, Bu. Jadi gimana? Apa kita pinjam koperasi aja ya, Bu? Atau gimana?" jawab Arya sambil menghembuskan nafasnya."Lho masa sih istri kamu nggak punya tabungan? Kok bisa? Jadi hasil kerja dia selama ini perginya ke mana? Masa iya nggak punya tabungan?" jawab Bu Hasnah merasa tidak percaya."Kata Sri sih, buat ngirim ke dua orang tuanya di kampung, Bu. Makanya nggak bisa nabung," sahut Arya pula. Di lubuk hatinya masih memendam kekesalan karena istrinya itu tak bisa membantunya."Oalah, Ya ... Ya! Ya udah, kalau gitu. Kalau Sri nggak punya tabungan ya mau gimana lagi. Kita pinjam koperasi atau gadaikan BPKB mobil kamu aja deh kalau gitu. Kalau kamu memang mau benar benar mengembangkan usaha.""Atau nanti Ibu coba hubungi Mbak Nining deh. Siapa tahu dia mau minjamin uang," sahut Bu Hasnah lagi."Mbak Nining? M
"Sudahlah, Sri. Hari sudah malam. Mas nggak mau ribut sama kamu. Mas mau tidur. Capek!" ucap Arya mencoba menghentikan Sri yang terlihat kesal melihat sikapnya.Namun, Sri tampaknya tak mau berhenti begitu saja. Wanita itu makin terlihat tak suka."Bilang sama aku, Mas! Nining itu siapa? Apa janda yang punya toko perhiasan di pasar itu? Kenapa Mas mau pinjam uang sama dia? Apa nggak ada yang lain lagi?" desak Sri lagi, merasa tak enak hati kalau tak bisa dikatakan cemburu karena tiba tiba suaminya mengatakan ingin meminjam uang pada perempuan itu.Setahu Sri, wanita yang bernama Nining di kampung ini adalah janda kaya yang sukses dengan usaha toko perhiasan dan toko pakaian di pasar itu. Dia sudah beberapa kali menikah, dan rata rata menikah dengan suami orang.Lantas kenapa pada perempuan itu Arya harus pinjam uang? Kenapa tidak ke tempat lain saja yang tidak beresiko seperti ini? Toh, masih banyak tempat lain yang bisa dihutangi. Bukan janda yang sudah beberapa kali menikah dan gaga
"Sri!" Kejar Arya sesaat setelah istrinya itu keluar kamar sembari membanting pintu dengan keras.Jujur, Arya merasa kesal bukan main karena bukannya mengerti, memahami dan mendukung usahanya untuk sukses, demi kebahagiaan mereka berdua juga, istrinya itu justru bersikap protektif dan penuh kecurigaan seperti ini.Bukan seperti ini sikap yang dia harapkan akan dia dapatkan dari Sri sebenarnya, melainkan dukungan sepenuhnya agar dia bisa sukses membangun usaha baru tersebut.Tapi bukannya mendukung, Sri justru bersikap paranoid seperti ini. Siapa yang tidak kesal coba?"Sri!" kejar Arya sekali lagi sembari meraih bahu istrinya itu dan membalikkan tubuh wanita itu saat dia telah berhasil mengejar Sri."Sri, dengarkan Mas! Tolong kamu jangan bersikap seperti ini. Mas itu pinjam uang untuk modal usaha. Demi siapa? Ya demi kamu! Demi Via, anak Mas! Jadi, nggak usah seperti anak kecil begini deh, Sri. Kita sudah sama sama dewasa. Sudah bisa memilih dan memutuskan mana yang terbaik. Jadi pli
"Enak juga ya, Ya. Sistem bagi hasil begini. Jadi kamu nggak perlu bayar hutang lagi. Kalau di luar prediksi, usaha baru kita itu nggak menguntungkan, kita nggak perlu bayar hutang ke Nining lagi," ujar Bu Hasnah di tengah perjalanan menuju pulang ke rumah dari rumah Nining.Arya menganggukkan kepalanya."Iya sih, Bu. Cuma bagi hasilnya sebenarnya banyak sekali. Masak 60 - 40 persen sih, Bu. Padahal nanti kan yang capek aku, Bu," sahut Arya.Bu Hasnah tersenyum."Ya, nggak masalah lah, Ya. Yang penting kamu bisa bikin usaha baru. Coba kalau nggak ada Nining, gimana? Mau pinjam ke koperasi atau leasing juga, panjang urusannya. Belum lagi kalau usaha kamu nggak sukses, bisa bisa mobil kamu ditarik leasing.""Istri kamu juga nggak bisa kasih modal, kan? Hmm ... Ibu pikir bertahun tahun kerja di rumah sakit, minimal punya tabungan. Ternyata nggak," jawab Bu Hasnah, setengah mengeluhkan menantunya yang tidak sesuai dengan harapannya semula itu.Setelah sebelumnya sempat berubah, tampaknya