AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU[Bu Arin, hari ini Indri sudah mulai masuk kerja lagi. Dia hanya izin selama tiga hari saja.] Pesan dari Dina, karyawan Mas Ridwan yang aku suruh untuk selalu memantau dan memberi informasi tentang Mas Ridwan dan Indri. [Oke, terima kasih atas informasinya]~~~Du du du ... hem hem hem ....Dari tadi Mas Ridwan terus bersenandung. Raut wajahnya begitu berseri-seri."Bahagia sekali hari ini kamu, Pa?" tanyaku dengan memilih dasi untuk Mas Ridwan. "Pasti dong, Ma. Siapa yang ngga bahagia, kalau pagi-pagi sudah disambut bidadari secantik kamu," jawab Mas Ridwan dengan menempelkan kedua tangannya di pinggangku sembari mengecup kening. Bohong kamu, Pa. Aku tahu, kamu begitu bahagia karena hari ini Indri sudah mulai masuk kerja lagi setelah beberapa hari izin pulang kampung. "Aku tunggu di meja makan, Pa.""Oke, Ma," jawab Mas Ridwan sembari memasang dasi berwarna biru yang kupilihkan barusan.Tidak berapa lama, Mas Ridwan keluar dari kamar dan menghampir
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kamu. Perempuan tak tahu diuntung. Ini balasannya setelah aku kasih pekerjaan? Kamu lupa, siapa yang membantumu saat kebingungan mencari uang untuk membayar hutang-hutangmu?" tanyaku dengan mengangkat dagu Indri yang dari tadi hanya menunduk di depanku."Ma-maaf. Ta-tapi, saya memang mencintai Mas Ridwan," terang Indri tanpa basa-basi.PLAAKK Sebuah jawaban yang membuat dada ini terasa bergemuruh. Dan sebuah tamparan tak sebanding dengan apa yang telah dia lakukan padaku. "Mas Ridwan? Kamu memanggil dia dengan sebutan, Mas?" Dengan cepat tanganku langsung menyeretnya keluar dari ruang kerja Mas Ridwan."Ternyata, apa yang kalian bicarakan selama ini memang benar. Perempuan ini telah berselingkuh dengan suami saya. Perempuan yang sudah saya izinkan untuk bekerja di sini, tapi malah menusuk saya dari belakang," jelasku di depan semua karyawan yang lain.Mas Ridwan langsung mendekat dengan wajah yang terlihat memerah. Sepertinya dia tidak rela atas pe
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin, akhirnya kamu pulang juga. Ibu dan Arza sudah menunggumu dari tadi."Astaghfirullah, aku sampai lupa kalau tadi disuruh Ibu jemput Arza."Ma-maaf, Bu. Arin sampai lupa jemput Arza.""Ya sudah, ngga pa-pa, Rin.""Arza ke mana, Bu? Kok Ibu sendirian di sini?""Oh ... Arza sedang beli martabak sama Mbak Jum.""Mbak Jum? Dia sudah balik ke sini, Bu? Kok ngga ngabari Arin?""Itu mereka, kamu tanya sendiri sama Mbak Jum!"Aku pun langsung menoleh ke belakang. "Bu Arin," sapa Mbak Jum dengan mengulas senyum.Kenapa aku jadi merasa kesal melihat Mbak Jum? Seandainya waktu itu Mbak Jum tidak memohon padaku untuk memberi Indri pekerjaan, pasti tidak akan ada masalah seperti ini. "Rin, Arin," tegur ibu mengagetkanku."I-iya, Bu. Kenapa?""Kenapa ngga di jawab?" tanya ibu dengan sedikit melihat ke arah Mbak Jum."O - oh, iya Mbak. Mbak Jum kok ngga ngabari saya?"Aku tidak boleh nyalahin Mbak Jum. Karena dia tidak tahu apa-apa soal masalah ini. Tapi, dia h
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Dia rela kalau harus menjadi istri kedua. Bahkan menikah siri pun, dia tidak masalah. Aku harap, kamu bisa mengerti, Ma."PLAAAKKSebuah tamparan kulayangkan pada laki-laki yang sudah menikah denganku selama delapan tahun.Teganya Mas Ridwan terang-terangan bicara seperti itu padaku. Sedangkan apa yang kulihat tadi siang masih bergelayut di pelupuk mata.Bahkan, Mas Ridwan tidak takut sama sekali meskipun ibunya dan Mbak Jum sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Indri. "Kamu benar-benar sudah tidak waras, Pa."Duarr Aku keluar dari kamar dengan menghempaskan pintu begitu kasar. Kulihat Mbak Jum duduk di belakang dengan pandangan nanar dan sesekali mengusap air mata yang membasahi pipinya. Kini pandangannya tertuju ke arahku dengan raut wajah yang merasa bersalah atas perbuatan keponakannya, Indri. "Bu Arin, maafin saya, Bu! Saya benar-benar tidak menyangka kalau Indri akan berbuat seperti itu," terang mbak Jum yang langsung mendekat dan meme
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Eh, apa-apan ini? Kenapa ruang kerjaku di sekat?""Kamu lupa dengan ucapanku tadi malam, Pa? Bukan hanya ruang kerja yang akan kubagi dua. Tapi, toko ini juga," jelasku dan berlalu meninggalkan Mas Ridwan.Tidak ada alasan untuk menundanya. Karena semua ini sudah menjadi keputusanku. Keputusan yang kuambil karena rasa sakit hati dengan pengkhianatanmu, Pa."Ma ... Ma, kamu tidak bisa melakukan hal ini. Toko batik ini milikku. Dan aku tidak pernah menyetujui semua ini."Aku tidak peduli dengan apapun yang ingin kamu katakan. Terserah.---------"Arinn ...," teriak Feby yang tiba-tiba datang ke toko.Nih orang, datangnya selalu tiba-tiba. Hemh .... Tapi dia sahabat yang selalu ada saat aku susah sekalipun. Pandanganku seketika beralih pada sosok laki-laki yang berjalan di samping Feby. Siapa dia? Apa mungkin pacar barunya Feby? Kok Feby tidak pernah cerita sama aku, kalau sudah punya pacar lagi."Woy ... bengong aja kamu, Rin," tegur Feby membuatku kag
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUAaaaaa ... teriakku dan langsung menghentikan mobil dengan mendadak.Kur*ng aj*r kamu, Pa. Ternyata kalian sudah melangsungkan pernikahan siri. Sudah sejauh ini kalian mempermainkan perasaanku. Breng*ek kalian. Aku yang tidak bisa mengontrol emosi membuat Dina hanya terdiam dengan menundukkan kepala."Apa saya salah, Din, kalau membalas perbuatan mereka yang sudah keterlaluan seperti itu?"Dadaku bergetar hebat. Keinginan untuk membuat mereka menyesal semakin kuat setelah aku mengetahui kalau mereka ternyata sudah menikah siri. Tadinya aku ingin memberitahu pemilik rumah yang dikontrak Indri agar dia di usir. Ternyata, aku malah mendapat kabar tentang pernikahan mereka."Din, kamu kembali ke toko naik taksi, ya! Terima kasih, kamu sudah banyak membantu saya.""Sa-sama-sama, Bu Arin. Saya akan selalu membantu Bu Arin kapanpun di butuhkan."Aku membalas ucapan Dina dengan senyuman.Segera kulajukan mobilku setelah Dina turun. Air mata yang sejak tadi ku
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kenapa kamu lebih memilih berpisah denganku? Seandainya sedikit saja bisa mengerti dan mau menerima Indri jadi istri kedua. Semua akan baik-baik saja. Toh, kamu tetap menjadi istri pertama dan tidak merubah statusmu sebagai istriku. Sungguh keras kepala kamu, Ma.""Keluar!" tegasku dengan nada yang begitu tinggi.Suami macam apa kamu, Pa, dengan mudahnya bicara seperti itu tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Keterlaluan.Berkali-kali aku mengetahui kebohonganmu, tapi belum pernah sekalipun kamu meminta maaf padaku. Justru kata-kata menyakitkan yang selalu kamu ucapkan."Mbak, segera kamu tutup pintunya!""Ta-tapi, Bu. Pak Ridwan masih ada di depan.""Saya bilang, tutup pintunya!"Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamar. "Mama," tiba-tiba panggilan bocah polos mengalihkan kepiluanku. Dia mendekatiku dengan senyum manisnya dan memberikan sebuah mainan."Ar-Arza, kamu ingin ngajakin Mama main ya, Nak?" tanyaku dengan segera mengusap air mata
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Apalagi ini, Ma? Setelah minta cerai, terus mengusirku dari rumah, dan sekarang kamu mengambil semua karyawan di toko ini," bentak Mas Ridwan di depan semua karyawan toko.Hah ... lagi-lagi harus ada drama di toko ini. Capek. Aku hanya terdiam tanpa menjawab sepatah katapun ucapan Mas Ridwan."Bu-bukan Bu Arin yang meminta. Tapi kami sendiri yang ingin bekerja dengan Bu Arin, Pak Ridwan." terang salah satu karyawan.Mas Ridwan terlihat begitu marah setelah mendengar jawaban tersebut."Kalian pikir, dengan satu toko yang dibagi menjadi dua, mampu menampung kalian semua?" jawab Mas Ridwan menatap satu per satu karyawan yang berderet di depannya.Rasain kamu, Pa. Bahkan karyawan saja enggan menjaga toko batikmu. Harusnya kamu bisa intropeksi, kenapa mereka semua lebih memilih bekerja denganku. "Kalian tidak perlu khawatir! Karena saya masih punya butik yang tak kalah besar dari toko ini. Nanti sebagian saya pindah ke sana. Kalian tidak keberatan 'kan?""
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKULima tahun penjara. Hukuman untuk Indri dan Mbak Jum karena ulahnya sendiri. Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya aku mendengar putusan Majelis Hakim yang membuat hatiku merasa lega. Semua itu salah kalian sendiri. Kenapa harus menghalalkan segala cara hanya demi harta. Ayah dan Ibu langsung memelukku begitu erat. Mereka juga merasakan hal yang sama sepertiku setelah mendengar putusan tersebut.Aku menatap tajam Indri dan Mbak Jum yang hanya bisa menundukkan kepala di depanku. Hukuman itu memang pantas kalian dapatkan. Orang-orang yang dulu menyakitiku, kini sudah mendapatkan balasannya. -----------Aku hanya bisa membolak-balikkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Mungkin sampai pagi aku tidak akan bisa memejamkan mata. Perasaan deg-deg'an sudah begitu terasa malam ini. Apalagi besok saat ijab qobul.Ya. Aku dan Daffa akan melangsungkan akad nikah besok pagi. Tujuh bulan setelah acara lamaran.Tok tok tok "Rin, kamu sudah tidur?" panggil i
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSebuah pesan dari Indri masuk. Dia memberitahu alamat di mana kami akan bertemu. Dan tetap memberi sebuah ancaman untukku agar tidak lapor polisi."Rin, terus bagaimana ini? Kamu buruan ambil uang dan berikan pada mereka. Agar Arza segera pulang," tegas ibu.Karena harta mereka melakukan hal bodoh yang akan menjerumuskan mereka ke dalam penjara."Arin akan datang, Bu, dengan membawa uang. Tapi bukan untuk diberikan melainkan untuk Arin pamerkan.""Maksudnya, Rin? Kamu jangan main-main! Arza ada bersama mereka."Ayah dan Ibu ikut, tapi dengan mobil lain! Jangan bareng sama Arin! Nanti ikuti Arin agak jauh! Kita ikuti saja akting mereka, Bu!"Mbak Jum, Indri. Kalian itu terlalu amatir untuk melakukan hal seperti itu. Terlalu memaksa meniru adegan seperti di sinetron.Bukan tidak khawatir Arza di tangan mereka. Tapi aku lebih khawatir kalau Arza di tangan penculik asli.***Drrttt drrttt drrttt"Aku sedang perjalanan. Tenang saja! Uangnya sudah ada.""Bu A
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin, bukannya Ayah dan Ibu memaksa kamu. Tapi ini sidang terakhir kasusnya Ridwan. Setidaknya kamu datang untuk memberi dukungan kepada Ridwan sebagai ayahnya Arza, tidak lebih," terang ibu yang terus berharap agar aku datang dalam sidang terakhir kasusnya Mas Ridwan."Tapi, Bu. Ibu tahu sendiri 'kan kalau sekarang ibunya Mas Ridwan begitu benci dengan Arin. Apalagi setelah tahu Arin dan Daffa menjalin hubungan.""Biarkan saja, Rin! Cepat atau lambat ibunya Ridwan juga akan paham.""Arin tidak mau, Bu."Ayah dan Ibu terus memaksa agar aku mau datang dalam sidangnya Mas Ridwan yang terakhir kalinya.Akhirnya dengan terpaksa aku pun mengiyakan keinginan mereka.Selama perjalanan, aku lebih memilih diam. Bukannya aku ingin memutus silaturahim dengan Mas Ridwan dan orang tuanya. Tetapi dengan sedikit menjauh dari mereka, aku bisa lepas dari bayang-bayang yang berhubungan dengan Mas Ridwan. Sudah cukup selama ini waktuku terbuang untuk urusan yang berhubu
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Arin ...," teriak Feby yang tiba-tiba muncul di ruang kerjaku.Aku hanya diam dan santai melihat sikap Feby. Sudah tidak kaget, tiba-tiba muncul langsung heboh."Ngapain lihatin aku kaya' gitu?" tanyaku dengan melotot.Feby hanya memalingkan wajah. Sepertinya dia sedang kesal denganku. Tapi kenapa?Aku melanjutkan lagi kerjaanku yang belum selesai. Brukk Tiba-tiba kedua tangan Feby menggebrak meja."Apa-apaan sih kamu, Feb?" "Kamu udah ngga nganggep aku sahabat lagi, ya?" tanya Feby menatapku tajam.Ish ... pertanyaan macam apa itu? Aneh."Menurut kamu?" "Ngga," jawab Feby dengan lantang.Aku langsung menghentikan kerjaan dan menatap Feby dengan begitu dekat."Kamu ngga lagi ngelindur 'kan? Memangnya ada apa? Datang-datang marah.""Kamu udah jadian dengan Daffa 'kan? Arin ... kenapa harus dirahasiakan dari aku? Nyebelin ...."Kini aku hanya terdiam dan menelan saliva'ku."Kenapa malah diam?" tandas Feby."Emangnya siapa yang bilang?""Ngga ada. Ak
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSenyum yang mengembang selalu kulihat dari Daffa ketika dia mengajak bercanda Arza. Kini Daffa memang lebih sering datang ke rumah."Rin.""Ya?"Tatapannya seakan mengisyaratkan sesuatu."Boleh aku bicara sesuatu?""Biacara saja!""Sebelumnya aku minta maaf kalau sedikit lancang. A-apa kamu belum bisa ngebuka hati lagi setelah perceraian kemarin?"Pertanyaan yang membuatku terdiam beberapa saat. "Sebenarnya aku sudah bisa move-on dari Mas Ridwan. Dan untuk ngebuka hati lagi memang belum terpikir, Daff. Sekarang ini aku lebih fokus pada Arza dan kerjaan, seperti yang pernah aku bilang. Untuk ngebuka hati lagi, butuh banyak pertimbangan. Kamu sendiri 'kan tahu, aku udah punya Arza. Dan masalah yang datang dalam rumah tanggaku kemarin, sedikit banyak membuatku harus hati-hati memilih pendamping hidup," jawabku dengan pandangan ke depan."Trauma?"Aku menggelengkan kepala."Tapi kenapa kamu tanya soal itu?" tanyaku balik.Daffa menatapku sebelum akhirnya m
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," sapa Daffa dengan tatapan yang begitu hangat. Sesaat kami pun saling berpandangan."Ekhem ... ekhem ... kaya'nya yang jemput kamu ngga cuma Arin deh, Daff. Aku seperti ngga dianggap," ucap Feby membuat kami mengalihkan tatapan padanya."Iya, bawel," ucap Daffa dengan mengelus rambut Feby dengan kasar. "Mobil kamu mana, Feb?""Di rumah Arin. Nanti kita ke sana dulu ambil mobilku, Daff!"Daffa tidak menghiraukan jawaban dari Feby. Tetapi dia malah menatapku lagi. Dan kali ini tatapannya begitu dalam.Aku sangat gugup dan salah tingkah dengan sikap Daffa yang seperti itu."Pulang ... pulang." Lagi-lagi Feby membuat kami kelimpungan. "Daff, kamu mau duduk di depan dengan Arin atau di belakang?" tanya Feby."Depan aja deh, Feb." jawab Daffa yang membuat mataku membulat sempurna. "Eh, maksudku belakang aja." Sepertinya dia memang sengaja ngerjain aku.Kuhembuskan napas lega dengan memalingkan wajah."Berarti aku di depan dengan Arin, ya. Terus kamu di
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Apa ini, Rin?" tanya ibunya Mas Ridwan yang saat itu tengah duduk di samping ibuku.Kebetulan malam ini kedua orang tuaku dan kedua orang tua Mas Ridwan berkumpul. Mereka semua memang akan menginap di rumah kontrakanku untuk beberapa hari."Itu kunci rumah dan juga kunci mobil milik Mas Ridwan, Bu."Kedua orang tuanya Mas Ridwan saling berpandangan. Sepertinya mereka terlihat bingung."Kemarin Mas Ridwan meminta Arin untuk mengambil semua harta miliknya dari Indri. Apa tadi Mas Ridwan tidak cerita pada Ayah dan Ibu soal ini?"Mereka terlihat menggelengkan kepala."Apa Mas Ridwan tidak cerita apapun soal Indri?" tanyaku lagi pada kedua orang tua Mas Ridwan.Lagi-lagi mereka menggelengkan kepala."Waktu Ayah dan Ibu menemui Ridwan, dia tidak bicara apa-apa soal itu. Ridwan hanya menangis dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Ayah dan Ibu juga tidak bertanya apapun padanya. Rasa kecewa kami pada Ridwan masih begitu terasa.Sekarang ini aku tidak
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," ucap Mas Ridwan. Aku masih tetap berdiri karena rasanya enggan untuk mendekat.Seketika Ayah dan Ibu menatapku dengan menganggukan kepala. Pertanda kalau aku harus mendekat pada Mas Ridwan.Perlahan aku melangkahkan kaki dan mendekat. Kini aku sudah duduk persis di hadapan Mas Ridwan. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Tapi kulihat Mas Ridwan memendam rasa amarah yang begitu besar.Aku hanya terdiam menunggu Mas Ridwan akan bicara apa. Sesekali pandanganku menoleh ke arah Ayah dan Ibu yang ada di sebelahku."R-Rin, aku akan menyerahkan semua toko untukmu. Mobil dan juga rumah yang aku tempati saat ini bersama perempuan penipu itu," terang Mas Ridwan dengan pandangan nanar.Aku begitu kaget dengan apa yang diucapkan Mas Ridwan. Apa maksud Mas Ridwan? Dan perempuan penipu, siapa yang dia maksud? Indri kah? Pikirku penuh tanda tanya.Tiba-tiba Mas Ridwan memegang tanganku dengan tangan yang terborgol. "Maaf." Aku pun segera
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Mbak Arin?" sapa seorang pelanggan yang terlihat keluar dari tokonya Mas Ridwan."Mbak Dila. Kenapa Mbak? Ada yang bisa saya bantu?" "Sekarang toko batiknya sudah beda ya, Mbak? Kenapa karyawannya tidak ada yang saya kenal? Makanya saya langsung keluar dan mencari toko milik Mas Ridwan dan Mbak Arin. Tapi mbaknya itu melarang saya untuk masuk ke toko ini," terang Mbak Dila dengan menunjuk perempuan di pojokan.Mbak Jum? Akhirnya dia muncul lagi di toko ini setelah berapa lama tidak kelihatan bak ditelan bumi."Toko sudah dibagi menjadi dua, Mbak. Dan kebetulan, semua karyawan yang dulu ada di toko saya. Silahkan masuk dan dipilih! Nanti karyawan saya akan melayani dengan sepenuh hati." Aku memandang Mbak Jum dengan tatapan tajam. Dia terlihat begitu gugup dan salah tingkah.Tidak berapa lama, terlihat Mas Ridwan datang bersama Indri. Akhirnya, laki-laki tidak bertanggung jawab itu menampakkan batang hidungnya.Sepertinya yang Mas Ridwan lakukan hany