AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU
"Eh, apa-apan ini? Kenapa ruang kerjaku di sekat?""Kamu lupa dengan ucapanku tadi malam, Pa? Bukan hanya ruang kerja yang akan kubagi dua. Tapi, toko ini juga," jelasku dan berlalu meninggalkan Mas Ridwan.Tidak ada alasan untuk menundanya. Karena semua ini sudah menjadi keputusanku. Keputusan yang kuambil karena rasa sakit hati dengan pengkhianatanmu, Pa."Ma ... Ma, kamu tidak bisa melakukan hal ini. Toko batik ini milikku. Dan aku tidak pernah menyetujui semua ini."Aku tidak peduli dengan apapun yang ingin kamu katakan. Terserah.---------"Arinn ...," teriak Feby yang tiba-tiba datang ke toko.Nih orang, datangnya selalu tiba-tiba. Hemh .... Tapi dia sahabat yang selalu ada saat aku susah sekalipun.Pandanganku seketika beralih pada sosok laki-laki yang berjalan di samping Feby.Siapa dia? Apa mungkin pacar barunya Feby? Kok Feby tidak pernah cerita sama aku, kalau sudah punya pacar lagi."Woy ... bengong aja kamu, Rin," tegur Feby membuatku kaget."Apaan, sih.""Oh iya, Rin. Kenalin, dia Daffa saudaraku yang baru pulang dari Jepang. Daffa ini Desainer Interior. Kebetulan kamu 'kan sedang ingin merubah toko batik ini. Mungkin dia bisa membantumu," ucap Feby dengan melirik ke arah Mas Ridwan. Sepertinya Feby sengaja hanya mengenalkan Daffa padaku."Daffa," ucap laki-laki itu sembari mengulurkan tangan dan mengulas senyum.Tatapan Mas Ridwan begitu tajam padaku ketika Daffa memperkenalkan dirinya.Kenapa Mas Ridwan menatapku seperti itu? Apa dia cemburu? Tidak. Tidak mungkin Mas Ridwan cemburu. Toh yang ada dalam hati dan pikirannya saat ini hanya perempuan itu."Arin," jawabku dengan membalas uluran tangannya.Tiba-tiba Feby menarik tanganku menghindar dari Daffa dan Mas Ridwan. Feby menatapku sembari senyum-senyum tidak jelas."Kamu kenapa sih, Feb, ngga jelas banget?" tanyaku sembari menutup wajahnya menggunakan tangan."Kamu beneran ingin bercerai dengan Mas Ridwan?" tanya Feby seakan ingin memastikan."Belum tahu juga. Mungkin iya, mungkin juga ngga," jawabku dengan melangkahkan kaki.Tapi lagi-lagi Feby menarik tanganku."Maksudnya?""Maksud apa lagi sih, Feb ...?""Ya ... aku ngga rela lah, sahabatku yang cantik, baik hati, pintar dan mandiri seperti kamu dikhianati oleh suaminya. Apalagi Mas Ridwan tergoda sama perempuan seperti Indri. Huh ... sungguh menyebalkan.""Terus ...? Jangan bilang kamu bahagia aku akan bercerai dengan Mas Ridwan?" tanyaku dengan lirikan tajam yang mengarah persis di wajah Feby."Y - ya, ngga gitu juga, Rin. Kamu berhak bahagia. Masih banyak laki-laki baik di luar sana. Tuh, contohnya Daff." Feby tidak meneruskan ucapannya.Kali ini tatapanku pada Feby benar-benar dalam. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku."Daff, Daff siapa, Feb? Daffa maksudmu? Kamu jangan aneh-aneh, ya! Aku ini masih istri orang," terangku gantian menarik tangan Feby.Sekarang aku tahu maksud Feby mengajak Daffa ke sini. Hah ... ada-ada saja sih kamu, Feb."Feb. Lebih baik kamu ajak Daffa pergi dari sini," ucapku berbisik."Oh ... ceritanya kamu ngusir nih?""Kamu lihat raut wajah Mas Ridwan! Sepertinya dia tidak suka dengan kedatangan Daffa ke sini. Aku ngga mau ribut, Feb."Hemh ... terdengar hembusan napas kasar Feby."Okelah. Tapi kalau kamu sudah cerai bebas dong," ucapan yang sontak membuatku langsung mencubit tangan Feby."Oh ... jadi karena sudah ada laki-laki lain, makanya kamu semangat sekali untuk bercerai denganku?" ucapan yang sungguh memalukan Mas Ridwan lontarkan di depan semua karyawan sesaat Feby dan Daffa pergi.Heh ... ternyata perempuan itu tidak hanya membutakan hati Mas Ridwan. Tetapi, membuat Mas Ridwan hilang akal sehatnya juga. Bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu."Sayangnya aku bukan kamu, Pa. Begitu murahan. Apa waktu delapan tahun tak cukup membuatmu paham tentang diriku? Miris. Indri telah membuatmu menjadi laki-laki yang tidak ada harga dirinya lagi di mataku."Tangannya mengepal dengan mata yang memerah menunjukkan kalau Mas Ridwan begitu marah atas ucapanku.Ucapanku tidak sebanding dengan sakit hati yang telah kamu torehkan padaku, Pa. Bukan hanya marah yang aku rasakan. Bahkan pengkhianatan ini telah merubahku menjadi perempuan yang penuh dendam.Mas Ridwan berlalu dari hadapanku begitu saja. Dia keluar dari toko dan pergi dengan melajukan mobil begitu kencang."Din, kamu temani saya!"Dengan cepat pula aku pun mengikuti mobil Mas Ridwan. Aku tahu dia akan pergi ke mana."Bu Arin. Kita mau ngikutin Pak Ridwan, ya?""Iya, Din."Dina menoleh ke arahku sembari memeluk boneka bear yang ada di dalam mobil. Sepertinya dia ketakutan aku ajak ngebut. Ternyata hampir sama dengan Feby."Din, kamu tahu tidak, pemilik rumah yang dikontrak Indri?""Sa - saya tidak tahu, Bu. Tapi kalau Ibu meminta saya untuk mencari tahu. Saya akan membantu Ibu."Kuhentikan mobil persis di tempat kemarin saat aku mengintai Mas Ridwan bersama Feby.Kecupan mesra mendarat di kening perempuan itu. Ketika dia menyambut kedatangan Mas Ridwan.Lagi-lagi pemandangan yang menyakitkan kulihat secara langsung."Bu Arin tidak apa-apa?""Hemh ... kamu tenang saja, Din. Saya akan selalu baik-baik saja."Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya. Aku tidak perlu menyakiti hatiku sendiri dengan memikirkan apa yang akan mereka lakukan di dalam sana."Din, coba kamu tanya sama Bapak itu! Siapa pemilik rumah yang dikontrak Indri," ucapku sembari menunjuk seorang Bapak yang sedang berdiri di depan rumah sebelah kontrakannya Indri.Dina pun langsung keluar dari mobil dan mendekati Bapak itu.Mataku seketika membulat sempurna melihat Indri keluar lagi. Dia membuka mobil Mas Ridwan yang terparkir di depan rumah.Hah ... mudah-mudahan Indri tidak melihat Dina.Dina pun terlihat berjongkok seperti mengambil sesuatu. Entah memang ada barang yang jatuh, atau karena dia melihat Indri keluar lagi.Dengan cepat Dina berlari dan masuk ke dalam mobilku. Terdengar napasnya yang ngos-ngosan. Aku pun langsung memberikan sebotol air mineral sebelum menanyakan sesuatu padanya.Aku menunggu sampai Dina terlihat lebih tenang."B - Bu Arin. Tadi saya melihat Indri keluar. Jantung saya serasa mau copot, Bu. Takut kalau Indri sampai melihat saya. Untung saya langsung jongkok," terang Dina mengalihkan pikiranku yang tadinya tegang menjadi sedikit terhibur.Tanpa kamu jelaskan, saya juga tahu, Din. Dari sini saya bisa melihat hal yang kamu ceritakan barusan."Kamu sudah tahu alamat pemilik kontrakan Indri?""Sudah, Bu. Tapi kita harus jalan kaki untuk menuju rumahnya. Karena melewati gang kecil.""Ya sudah ngga pa-pa, Din. Nanti saya akan memarkirkan mobil ini lebih jauh lagi agar tidak ketahuan Mas Ridwan dan Indri."Sudah tidak sabar ingin melihat Indri diusir dari kontrakannya.BersambungAKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUAaaaaa ... teriakku dan langsung menghentikan mobil dengan mendadak.Kur*ng aj*r kamu, Pa. Ternyata kalian sudah melangsungkan pernikahan siri. Sudah sejauh ini kalian mempermainkan perasaanku. Breng*ek kalian. Aku yang tidak bisa mengontrol emosi membuat Dina hanya terdiam dengan menundukkan kepala."Apa saya salah, Din, kalau membalas perbuatan mereka yang sudah keterlaluan seperti itu?"Dadaku bergetar hebat. Keinginan untuk membuat mereka menyesal semakin kuat setelah aku mengetahui kalau mereka ternyata sudah menikah siri. Tadinya aku ingin memberitahu pemilik rumah yang dikontrak Indri agar dia di usir. Ternyata, aku malah mendapat kabar tentang pernikahan mereka."Din, kamu kembali ke toko naik taksi, ya! Terima kasih, kamu sudah banyak membantu saya.""Sa-sama-sama, Bu Arin. Saya akan selalu membantu Bu Arin kapanpun di butuhkan."Aku membalas ucapan Dina dengan senyuman.Segera kulajukan mobilku setelah Dina turun. Air mata yang sejak tadi ku
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kenapa kamu lebih memilih berpisah denganku? Seandainya sedikit saja bisa mengerti dan mau menerima Indri jadi istri kedua. Semua akan baik-baik saja. Toh, kamu tetap menjadi istri pertama dan tidak merubah statusmu sebagai istriku. Sungguh keras kepala kamu, Ma.""Keluar!" tegasku dengan nada yang begitu tinggi.Suami macam apa kamu, Pa, dengan mudahnya bicara seperti itu tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Keterlaluan.Berkali-kali aku mengetahui kebohonganmu, tapi belum pernah sekalipun kamu meminta maaf padaku. Justru kata-kata menyakitkan yang selalu kamu ucapkan."Mbak, segera kamu tutup pintunya!""Ta-tapi, Bu. Pak Ridwan masih ada di depan.""Saya bilang, tutup pintunya!"Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamar. "Mama," tiba-tiba panggilan bocah polos mengalihkan kepiluanku. Dia mendekatiku dengan senyum manisnya dan memberikan sebuah mainan."Ar-Arza, kamu ingin ngajakin Mama main ya, Nak?" tanyaku dengan segera mengusap air mata
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Apalagi ini, Ma? Setelah minta cerai, terus mengusirku dari rumah, dan sekarang kamu mengambil semua karyawan di toko ini," bentak Mas Ridwan di depan semua karyawan toko.Hah ... lagi-lagi harus ada drama di toko ini. Capek. Aku hanya terdiam tanpa menjawab sepatah katapun ucapan Mas Ridwan."Bu-bukan Bu Arin yang meminta. Tapi kami sendiri yang ingin bekerja dengan Bu Arin, Pak Ridwan." terang salah satu karyawan.Mas Ridwan terlihat begitu marah setelah mendengar jawaban tersebut."Kalian pikir, dengan satu toko yang dibagi menjadi dua, mampu menampung kalian semua?" jawab Mas Ridwan menatap satu per satu karyawan yang berderet di depannya.Rasain kamu, Pa. Bahkan karyawan saja enggan menjaga toko batikmu. Harusnya kamu bisa intropeksi, kenapa mereka semua lebih memilih bekerja denganku. "Kalian tidak perlu khawatir! Karena saya masih punya butik yang tak kalah besar dari toko ini. Nanti sebagian saya pindah ke sana. Kalian tidak keberatan 'kan?""
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kamu yakin, Rin. Kalau Mbak Jum sebenarnya sudah mengetahui hubungan Mas Ridwan dan Indri dari awal?""Entahlah, Feb. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan sikap Mbak Jum. Kemarin aku mengintai dia saat menerima telepon dari seseorang. Mbak Jum sampai harus ngumpet di belakang untuk bicara dengan penelepon tersebut. Apa yang dia ucapkan juga menjadi tanda tanya untukku."Aku dan Feby terdiam sejenak dengan saling menatap."Rin, kamu pasang CCTV aja di setiap sudut rumah. Biar kamu bisa memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah. Apalagi Arza 'kan diasuh Mbak Jum. Biar kamu bisa memantau Arza sekalian."Ide yang bagus, kenapa aku tidak kepikiran hal itu. Feby memang selalu cepat dalam mencari solusi. Kudekati Feby dan memeluknya begitu erat. Sahabat yang selalu memberi semangat saat diri ini rapuh."Arin, lepasiin ...! Sakit tahu. Lagian kita dilihatin banyak orang di cafe ini."Seketika langsung kulepaskan pelukanku dari Feby. "Terus. Bagaimana perceraian
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Hari ini adalah awal mencari jawaban atas kecurigaanku terhadap Mbak Jum. Ide dari Feby untuk memasang CCTV sudah sukses. Sekarang aku akan lebih mudah memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah ini.Oh ya, aku sampai lupa kalau harus memberi laporan pada Feby. Segera kuambil ponsel untuk mengirim pesan padanya.[Sukses, Feb.][Oke.][Udah selesai belanjanya?][Aku udah selesai dari tadi, Rin. Belum ada laporan dari kamu, makanya aku ajak Mbak Jum muter-muter. Biar dia pusing. Ha ha ha ....]Dasar Feby, masih sempet-sempetnya bercanda. Sembari menunggu mereka pulang, aku menelepon salah satu karyawan kepercayaan di butik dan toko batik. Aku ingin mengontrol keadaan di sana karena hari ini aku tidak datang.Tin tin tin ....Terdengar suara klakson mobil. Itu pasti mereka. Aku pun segera keluar."Bu Arin, maaf belanjanya lama. Tadi sama Mbak Feby diajak muter-muter dulu," jelas Mbak Jum."Kamu tuh ya, Feb. Kebiasaan. Kalau udah belanja lupa waktu," ucapku
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Ayah dan Ibu lebih percaya dengan omongannya Mas Ridwan daripada Arin? Arin yang telah dikhianati Mas Ridwan. Dia menjalin hubungan dengan Indri, keponakan Mbak Jum. Dan mereka juga sudah menikah siri," jelasku dengan napas yang tersengal-sengal."Indri? Kamu salah, Rin. Mereka hanya teman, tidak lebih. Bukannya Indri karyawan kalian? Kenapa kamu berpikir sejauh itu?" jawab ibu masih tetap tidak percaya dengan penjelasanku. Sebenarnya apa yang telah Mas Ridwan dan Indri katakan pada orang tuaku? Sampai-sampai Ayah dan Ibu begitu percaya dengan mereka."Salah? Arin melihat dengan mata kepala Arin sendiri. Semua karyawan toko saksinya. Arin juga punya saksi kalau mereka sudah menikah siri. Tapi kalau Ayah dan Ibu memang tidak percaya dengan Arin, tidak apa-apa," jawabku langsung berlalu meninggalkan Ayah dan Ibu ke kamar dengan mengajak Arza.Ku'dudukkan Arza di atas kasur dan kuputarkan film kartun favorit dia. Langsung kuhempaskam tubuh ini di samping
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Kuparkirkan mobil dan tetap berada di dalam. Kini mataku terarah pada dua orang yang sedang bergandengan mesra hendak masuk ke dalam toko. Mas Ridwan dan Indri. Aku tidak ingin Arza melihat papanya bersama perempuan lain. Arza memang masih kecil, tapi dia tidak boleh melihat kelakuan papanya yang memalukan seperti itu. Akan kubimbing dan kudidik Arza tumbuh menjadi anak yang baik. "Mama, ayo ulun, ayo!" Dengan ucapan polosnya, Arza mengajakku turun dari mobil."Iya, Nak, sebentar ya!" jawabku dengan melihat ke depan menunggu Mas Ridwan dan Indri benar-benar masuk."Ayo Arza, kita turun!" ajakku setelah melihat Mas Ridwan dan Indri masuk ke toko."Pagi, Bu," sapa beberapa karyawan dengan mengulas senyum."Pagi."Aku melihat renovasi toko sudah hampir selesai. Memang tidak butuh waktu lama, karena hanya merenovasi bagian tengah. Pembatas antara tokoku dengan toko Mas Ridwan."Din. Tolong kamu temani Arza sebentar!" pintaku dengan mendekatkan Arza pada
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Mas Ridwann ...," teriakku dengan menggedor pintu rumah kontrakan Indri.Klek Sosok perempuan yang tak asing bagiku keluar dari balik pintu.Mbak Jum? Ternyata sekarang dia tinggal dengan Mas Ridwan dan Indri? Heh ... tiga pengkhianat kumpul jadi satu. Tapi bukan itu yang menjadi urusanku saat ini."Mas Ridwan mana?" tanyaku langsung menyelonong masuk ke dalam."Arin, sabar!" panggil Feby dengan menarik tasku. "Sabar? Kamu memintaku untuk sabar, Feb? Mas Ridwan tiba-tiba mengambil Arza dari rumah Ibu." Feby pun kena sasaran atas kemarahanku pada Mas Ridwan."Ada apa ini?" tanya Mas Ridwan yang keluar dari balik gorden."Arza mana? Kenapa kamu bawa Arza dari rumah Ibu? Keterlaluan.""Arin ... Arin. Kamu tuh bisa ngga sih, ngga usah marah-marah! Arza itu anakku juga. Terus, apa salah kalau seorang Ayah mengajak anaknya sendiri?""Tergantung. Ayah seperti apa dulu? Aku ke sini bukan untuk bicara panjang lebar denganmu. Sekarang, Arza, mana?"Kesabarank
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKULima tahun penjara. Hukuman untuk Indri dan Mbak Jum karena ulahnya sendiri. Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya aku mendengar putusan Majelis Hakim yang membuat hatiku merasa lega. Semua itu salah kalian sendiri. Kenapa harus menghalalkan segala cara hanya demi harta. Ayah dan Ibu langsung memelukku begitu erat. Mereka juga merasakan hal yang sama sepertiku setelah mendengar putusan tersebut.Aku menatap tajam Indri dan Mbak Jum yang hanya bisa menundukkan kepala di depanku. Hukuman itu memang pantas kalian dapatkan. Orang-orang yang dulu menyakitiku, kini sudah mendapatkan balasannya. -----------Aku hanya bisa membolak-balikkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Mungkin sampai pagi aku tidak akan bisa memejamkan mata. Perasaan deg-deg'an sudah begitu terasa malam ini. Apalagi besok saat ijab qobul.Ya. Aku dan Daffa akan melangsungkan akad nikah besok pagi. Tujuh bulan setelah acara lamaran.Tok tok tok "Rin, kamu sudah tidur?" panggil i
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSebuah pesan dari Indri masuk. Dia memberitahu alamat di mana kami akan bertemu. Dan tetap memberi sebuah ancaman untukku agar tidak lapor polisi."Rin, terus bagaimana ini? Kamu buruan ambil uang dan berikan pada mereka. Agar Arza segera pulang," tegas ibu.Karena harta mereka melakukan hal bodoh yang akan menjerumuskan mereka ke dalam penjara."Arin akan datang, Bu, dengan membawa uang. Tapi bukan untuk diberikan melainkan untuk Arin pamerkan.""Maksudnya, Rin? Kamu jangan main-main! Arza ada bersama mereka."Ayah dan Ibu ikut, tapi dengan mobil lain! Jangan bareng sama Arin! Nanti ikuti Arin agak jauh! Kita ikuti saja akting mereka, Bu!"Mbak Jum, Indri. Kalian itu terlalu amatir untuk melakukan hal seperti itu. Terlalu memaksa meniru adegan seperti di sinetron.Bukan tidak khawatir Arza di tangan mereka. Tapi aku lebih khawatir kalau Arza di tangan penculik asli.***Drrttt drrttt drrttt"Aku sedang perjalanan. Tenang saja! Uangnya sudah ada.""Bu A
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin, bukannya Ayah dan Ibu memaksa kamu. Tapi ini sidang terakhir kasusnya Ridwan. Setidaknya kamu datang untuk memberi dukungan kepada Ridwan sebagai ayahnya Arza, tidak lebih," terang ibu yang terus berharap agar aku datang dalam sidang terakhir kasusnya Mas Ridwan."Tapi, Bu. Ibu tahu sendiri 'kan kalau sekarang ibunya Mas Ridwan begitu benci dengan Arin. Apalagi setelah tahu Arin dan Daffa menjalin hubungan.""Biarkan saja, Rin! Cepat atau lambat ibunya Ridwan juga akan paham.""Arin tidak mau, Bu."Ayah dan Ibu terus memaksa agar aku mau datang dalam sidangnya Mas Ridwan yang terakhir kalinya.Akhirnya dengan terpaksa aku pun mengiyakan keinginan mereka.Selama perjalanan, aku lebih memilih diam. Bukannya aku ingin memutus silaturahim dengan Mas Ridwan dan orang tuanya. Tetapi dengan sedikit menjauh dari mereka, aku bisa lepas dari bayang-bayang yang berhubungan dengan Mas Ridwan. Sudah cukup selama ini waktuku terbuang untuk urusan yang berhubu
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Arin ...," teriak Feby yang tiba-tiba muncul di ruang kerjaku.Aku hanya diam dan santai melihat sikap Feby. Sudah tidak kaget, tiba-tiba muncul langsung heboh."Ngapain lihatin aku kaya' gitu?" tanyaku dengan melotot.Feby hanya memalingkan wajah. Sepertinya dia sedang kesal denganku. Tapi kenapa?Aku melanjutkan lagi kerjaanku yang belum selesai. Brukk Tiba-tiba kedua tangan Feby menggebrak meja."Apa-apaan sih kamu, Feb?" "Kamu udah ngga nganggep aku sahabat lagi, ya?" tanya Feby menatapku tajam.Ish ... pertanyaan macam apa itu? Aneh."Menurut kamu?" "Ngga," jawab Feby dengan lantang.Aku langsung menghentikan kerjaan dan menatap Feby dengan begitu dekat."Kamu ngga lagi ngelindur 'kan? Memangnya ada apa? Datang-datang marah.""Kamu udah jadian dengan Daffa 'kan? Arin ... kenapa harus dirahasiakan dari aku? Nyebelin ...."Kini aku hanya terdiam dan menelan saliva'ku."Kenapa malah diam?" tandas Feby."Emangnya siapa yang bilang?""Ngga ada. Ak
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSenyum yang mengembang selalu kulihat dari Daffa ketika dia mengajak bercanda Arza. Kini Daffa memang lebih sering datang ke rumah."Rin.""Ya?"Tatapannya seakan mengisyaratkan sesuatu."Boleh aku bicara sesuatu?""Biacara saja!""Sebelumnya aku minta maaf kalau sedikit lancang. A-apa kamu belum bisa ngebuka hati lagi setelah perceraian kemarin?"Pertanyaan yang membuatku terdiam beberapa saat. "Sebenarnya aku sudah bisa move-on dari Mas Ridwan. Dan untuk ngebuka hati lagi memang belum terpikir, Daff. Sekarang ini aku lebih fokus pada Arza dan kerjaan, seperti yang pernah aku bilang. Untuk ngebuka hati lagi, butuh banyak pertimbangan. Kamu sendiri 'kan tahu, aku udah punya Arza. Dan masalah yang datang dalam rumah tanggaku kemarin, sedikit banyak membuatku harus hati-hati memilih pendamping hidup," jawabku dengan pandangan ke depan."Trauma?"Aku menggelengkan kepala."Tapi kenapa kamu tanya soal itu?" tanyaku balik.Daffa menatapku sebelum akhirnya m
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," sapa Daffa dengan tatapan yang begitu hangat. Sesaat kami pun saling berpandangan."Ekhem ... ekhem ... kaya'nya yang jemput kamu ngga cuma Arin deh, Daff. Aku seperti ngga dianggap," ucap Feby membuat kami mengalihkan tatapan padanya."Iya, bawel," ucap Daffa dengan mengelus rambut Feby dengan kasar. "Mobil kamu mana, Feb?""Di rumah Arin. Nanti kita ke sana dulu ambil mobilku, Daff!"Daffa tidak menghiraukan jawaban dari Feby. Tetapi dia malah menatapku lagi. Dan kali ini tatapannya begitu dalam.Aku sangat gugup dan salah tingkah dengan sikap Daffa yang seperti itu."Pulang ... pulang." Lagi-lagi Feby membuat kami kelimpungan. "Daff, kamu mau duduk di depan dengan Arin atau di belakang?" tanya Feby."Depan aja deh, Feb." jawab Daffa yang membuat mataku membulat sempurna. "Eh, maksudku belakang aja." Sepertinya dia memang sengaja ngerjain aku.Kuhembuskan napas lega dengan memalingkan wajah."Berarti aku di depan dengan Arin, ya. Terus kamu di
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Apa ini, Rin?" tanya ibunya Mas Ridwan yang saat itu tengah duduk di samping ibuku.Kebetulan malam ini kedua orang tuaku dan kedua orang tua Mas Ridwan berkumpul. Mereka semua memang akan menginap di rumah kontrakanku untuk beberapa hari."Itu kunci rumah dan juga kunci mobil milik Mas Ridwan, Bu."Kedua orang tuanya Mas Ridwan saling berpandangan. Sepertinya mereka terlihat bingung."Kemarin Mas Ridwan meminta Arin untuk mengambil semua harta miliknya dari Indri. Apa tadi Mas Ridwan tidak cerita pada Ayah dan Ibu soal ini?"Mereka terlihat menggelengkan kepala."Apa Mas Ridwan tidak cerita apapun soal Indri?" tanyaku lagi pada kedua orang tua Mas Ridwan.Lagi-lagi mereka menggelengkan kepala."Waktu Ayah dan Ibu menemui Ridwan, dia tidak bicara apa-apa soal itu. Ridwan hanya menangis dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Ayah dan Ibu juga tidak bertanya apapun padanya. Rasa kecewa kami pada Ridwan masih begitu terasa.Sekarang ini aku tidak
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," ucap Mas Ridwan. Aku masih tetap berdiri karena rasanya enggan untuk mendekat.Seketika Ayah dan Ibu menatapku dengan menganggukan kepala. Pertanda kalau aku harus mendekat pada Mas Ridwan.Perlahan aku melangkahkan kaki dan mendekat. Kini aku sudah duduk persis di hadapan Mas Ridwan. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Tapi kulihat Mas Ridwan memendam rasa amarah yang begitu besar.Aku hanya terdiam menunggu Mas Ridwan akan bicara apa. Sesekali pandanganku menoleh ke arah Ayah dan Ibu yang ada di sebelahku."R-Rin, aku akan menyerahkan semua toko untukmu. Mobil dan juga rumah yang aku tempati saat ini bersama perempuan penipu itu," terang Mas Ridwan dengan pandangan nanar.Aku begitu kaget dengan apa yang diucapkan Mas Ridwan. Apa maksud Mas Ridwan? Dan perempuan penipu, siapa yang dia maksud? Indri kah? Pikirku penuh tanda tanya.Tiba-tiba Mas Ridwan memegang tanganku dengan tangan yang terborgol. "Maaf." Aku pun segera
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Mbak Arin?" sapa seorang pelanggan yang terlihat keluar dari tokonya Mas Ridwan."Mbak Dila. Kenapa Mbak? Ada yang bisa saya bantu?" "Sekarang toko batiknya sudah beda ya, Mbak? Kenapa karyawannya tidak ada yang saya kenal? Makanya saya langsung keluar dan mencari toko milik Mas Ridwan dan Mbak Arin. Tapi mbaknya itu melarang saya untuk masuk ke toko ini," terang Mbak Dila dengan menunjuk perempuan di pojokan.Mbak Jum? Akhirnya dia muncul lagi di toko ini setelah berapa lama tidak kelihatan bak ditelan bumi."Toko sudah dibagi menjadi dua, Mbak. Dan kebetulan, semua karyawan yang dulu ada di toko saya. Silahkan masuk dan dipilih! Nanti karyawan saya akan melayani dengan sepenuh hati." Aku memandang Mbak Jum dengan tatapan tajam. Dia terlihat begitu gugup dan salah tingkah.Tidak berapa lama, terlihat Mas Ridwan datang bersama Indri. Akhirnya, laki-laki tidak bertanggung jawab itu menampakkan batang hidungnya.Sepertinya yang Mas Ridwan lakukan hany