AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUAku berusaha untuk tetap tenang saat duduk di kursi sidang yang seumur hidup tak pernah kubayangkan sedikitpun.Pandanganku terus menatap ke depan dan tak ingin menoleh ke samping. Di mana ada Mas Ridwan yang duduk di sebelahku.Ketika sidang sudah dibuka oleh Hakim Ketua, perasaan deg-deg'an begitu terasa. Meskipun memang sudah mantap untuk bercerai dengan Mas Ridwan, tapi persidangan ini membuat perasaanku tiba-tiba begitu pilu. "Saudara Ridwan Setiawan, apakah anda tidak mempertimbangkan kembali keinginan anda untuk bercerai dengan saudari Arin Prameswati?"Sebuah pertanyaan dari Hakim Ketua yang ditujukan pada Mas Ridwan. Meskipun pandangan ke depan, tapi aku tahu kalau Mas Ridwan menoleh ke arahku sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Hakim Ketua."Tidak Bapak Hakim, saya tetap pada pendirian saya untuk bercerai."Jawaban yang membuat perasaanku berkecamuk. Tapi memang inilah yang harus aku hadapi. Karena sudah menjadi pilihan."Lalu, bagaima
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Bu Arin akan datang atau mewakilkan saya dalam sidang ikrar talak besok?" tanya Pak Herman pengacaraku."Apa saya harus datang, Pak Herman?""Alangkah lebih baiknya kalau Bu Arin datang dalam sidang ikrar talak. Karena sudah mendapat surat panggilan dari pengadilan. Kalaupun ingin diwakilkan juga tidak apa-apa.""Ya sudah, saya akan datang.""Baik, Bu. Besok kita bertemu di pengadilan."----------Setelah beberapa kali melewati sidang. Hari ini memasuki sidang ikrar talak. Kali ini aku akan hadir dalam sidang tersebut. Setelah bebarapa kali sidang sebelumnya, aku lebih memilih tidak hadir karena sudah memberi kuasa penuh pada Pak Herman, pengacaraku.Dari awal, sidang perceraianku dengan Mas Ridwan memang berjalan lancar. Mungkin karena aku dan Mas Ridwan sama-sama menginginkan proses perceraian ini segera selesai. Meskipun dari pihak pengadilan selalu memberi kesempatan pada kami untuk memperbaiki rumah tangga dan rujuk kembali.Hemh ... kuhembuskan n
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Mbak Arin?" sapa seorang pelanggan yang terlihat keluar dari tokonya Mas Ridwan."Mbak Dila. Kenapa Mbak? Ada yang bisa saya bantu?" "Sekarang toko batiknya sudah beda ya, Mbak? Kenapa karyawannya tidak ada yang saya kenal? Makanya saya langsung keluar dan mencari toko milik Mas Ridwan dan Mbak Arin. Tapi mbaknya itu melarang saya untuk masuk ke toko ini," terang Mbak Dila dengan menunjuk perempuan di pojokan.Mbak Jum? Akhirnya dia muncul lagi di toko ini setelah berapa lama tidak kelihatan bak ditelan bumi."Toko sudah dibagi menjadi dua, Mbak. Dan kebetulan, semua karyawan yang dulu ada di toko saya. Silahkan masuk dan dipilih! Nanti karyawan saya akan melayani dengan sepenuh hati." Aku memandang Mbak Jum dengan tatapan tajam. Dia terlihat begitu gugup dan salah tingkah.Tidak berapa lama, terlihat Mas Ridwan datang bersama Indri. Akhirnya, laki-laki tidak bertanggung jawab itu menampakkan batang hidungnya.Sepertinya yang Mas Ridwan lakukan hany
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," ucap Mas Ridwan. Aku masih tetap berdiri karena rasanya enggan untuk mendekat.Seketika Ayah dan Ibu menatapku dengan menganggukan kepala. Pertanda kalau aku harus mendekat pada Mas Ridwan.Perlahan aku melangkahkan kaki dan mendekat. Kini aku sudah duduk persis di hadapan Mas Ridwan. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Tapi kulihat Mas Ridwan memendam rasa amarah yang begitu besar.Aku hanya terdiam menunggu Mas Ridwan akan bicara apa. Sesekali pandanganku menoleh ke arah Ayah dan Ibu yang ada di sebelahku."R-Rin, aku akan menyerahkan semua toko untukmu. Mobil dan juga rumah yang aku tempati saat ini bersama perempuan penipu itu," terang Mas Ridwan dengan pandangan nanar.Aku begitu kaget dengan apa yang diucapkan Mas Ridwan. Apa maksud Mas Ridwan? Dan perempuan penipu, siapa yang dia maksud? Indri kah? Pikirku penuh tanda tanya.Tiba-tiba Mas Ridwan memegang tanganku dengan tangan yang terborgol. "Maaf." Aku pun segera
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Apa ini, Rin?" tanya ibunya Mas Ridwan yang saat itu tengah duduk di samping ibuku.Kebetulan malam ini kedua orang tuaku dan kedua orang tua Mas Ridwan berkumpul. Mereka semua memang akan menginap di rumah kontrakanku untuk beberapa hari."Itu kunci rumah dan juga kunci mobil milik Mas Ridwan, Bu."Kedua orang tuanya Mas Ridwan saling berpandangan. Sepertinya mereka terlihat bingung."Kemarin Mas Ridwan meminta Arin untuk mengambil semua harta miliknya dari Indri. Apa tadi Mas Ridwan tidak cerita pada Ayah dan Ibu soal ini?"Mereka terlihat menggelengkan kepala."Apa Mas Ridwan tidak cerita apapun soal Indri?" tanyaku lagi pada kedua orang tua Mas Ridwan.Lagi-lagi mereka menggelengkan kepala."Waktu Ayah dan Ibu menemui Ridwan, dia tidak bicara apa-apa soal itu. Ridwan hanya menangis dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Ayah dan Ibu juga tidak bertanya apapun padanya. Rasa kecewa kami pada Ridwan masih begitu terasa.Sekarang ini aku tidak
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," sapa Daffa dengan tatapan yang begitu hangat. Sesaat kami pun saling berpandangan."Ekhem ... ekhem ... kaya'nya yang jemput kamu ngga cuma Arin deh, Daff. Aku seperti ngga dianggap," ucap Feby membuat kami mengalihkan tatapan padanya."Iya, bawel," ucap Daffa dengan mengelus rambut Feby dengan kasar. "Mobil kamu mana, Feb?""Di rumah Arin. Nanti kita ke sana dulu ambil mobilku, Daff!"Daffa tidak menghiraukan jawaban dari Feby. Tetapi dia malah menatapku lagi. Dan kali ini tatapannya begitu dalam.Aku sangat gugup dan salah tingkah dengan sikap Daffa yang seperti itu."Pulang ... pulang." Lagi-lagi Feby membuat kami kelimpungan. "Daff, kamu mau duduk di depan dengan Arin atau di belakang?" tanya Feby."Depan aja deh, Feb." jawab Daffa yang membuat mataku membulat sempurna. "Eh, maksudku belakang aja." Sepertinya dia memang sengaja ngerjain aku.Kuhembuskan napas lega dengan memalingkan wajah."Berarti aku di depan dengan Arin, ya. Terus kamu di
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSenyum yang mengembang selalu kulihat dari Daffa ketika dia mengajak bercanda Arza. Kini Daffa memang lebih sering datang ke rumah."Rin.""Ya?"Tatapannya seakan mengisyaratkan sesuatu."Boleh aku bicara sesuatu?""Biacara saja!""Sebelumnya aku minta maaf kalau sedikit lancang. A-apa kamu belum bisa ngebuka hati lagi setelah perceraian kemarin?"Pertanyaan yang membuatku terdiam beberapa saat. "Sebenarnya aku sudah bisa move-on dari Mas Ridwan. Dan untuk ngebuka hati lagi memang belum terpikir, Daff. Sekarang ini aku lebih fokus pada Arza dan kerjaan, seperti yang pernah aku bilang. Untuk ngebuka hati lagi, butuh banyak pertimbangan. Kamu sendiri 'kan tahu, aku udah punya Arza. Dan masalah yang datang dalam rumah tanggaku kemarin, sedikit banyak membuatku harus hati-hati memilih pendamping hidup," jawabku dengan pandangan ke depan."Trauma?"Aku menggelengkan kepala."Tapi kenapa kamu tanya soal itu?" tanyaku balik.Daffa menatapku sebelum akhirnya m
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Arin ...," teriak Feby yang tiba-tiba muncul di ruang kerjaku.Aku hanya diam dan santai melihat sikap Feby. Sudah tidak kaget, tiba-tiba muncul langsung heboh."Ngapain lihatin aku kaya' gitu?" tanyaku dengan melotot.Feby hanya memalingkan wajah. Sepertinya dia sedang kesal denganku. Tapi kenapa?Aku melanjutkan lagi kerjaanku yang belum selesai. Brukk Tiba-tiba kedua tangan Feby menggebrak meja."Apa-apaan sih kamu, Feb?" "Kamu udah ngga nganggep aku sahabat lagi, ya?" tanya Feby menatapku tajam.Ish ... pertanyaan macam apa itu? Aneh."Menurut kamu?" "Ngga," jawab Feby dengan lantang.Aku langsung menghentikan kerjaan dan menatap Feby dengan begitu dekat."Kamu ngga lagi ngelindur 'kan? Memangnya ada apa? Datang-datang marah.""Kamu udah jadian dengan Daffa 'kan? Arin ... kenapa harus dirahasiakan dari aku? Nyebelin ...."Kini aku hanya terdiam dan menelan saliva'ku."Kenapa malah diam?" tandas Feby."Emangnya siapa yang bilang?""Ngga ada. Ak
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKULima tahun penjara. Hukuman untuk Indri dan Mbak Jum karena ulahnya sendiri. Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya aku mendengar putusan Majelis Hakim yang membuat hatiku merasa lega. Semua itu salah kalian sendiri. Kenapa harus menghalalkan segala cara hanya demi harta. Ayah dan Ibu langsung memelukku begitu erat. Mereka juga merasakan hal yang sama sepertiku setelah mendengar putusan tersebut.Aku menatap tajam Indri dan Mbak Jum yang hanya bisa menundukkan kepala di depanku. Hukuman itu memang pantas kalian dapatkan. Orang-orang yang dulu menyakitiku, kini sudah mendapatkan balasannya. -----------Aku hanya bisa membolak-balikkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Mungkin sampai pagi aku tidak akan bisa memejamkan mata. Perasaan deg-deg'an sudah begitu terasa malam ini. Apalagi besok saat ijab qobul.Ya. Aku dan Daffa akan melangsungkan akad nikah besok pagi. Tujuh bulan setelah acara lamaran.Tok tok tok "Rin, kamu sudah tidur?" panggil i
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSebuah pesan dari Indri masuk. Dia memberitahu alamat di mana kami akan bertemu. Dan tetap memberi sebuah ancaman untukku agar tidak lapor polisi."Rin, terus bagaimana ini? Kamu buruan ambil uang dan berikan pada mereka. Agar Arza segera pulang," tegas ibu.Karena harta mereka melakukan hal bodoh yang akan menjerumuskan mereka ke dalam penjara."Arin akan datang, Bu, dengan membawa uang. Tapi bukan untuk diberikan melainkan untuk Arin pamerkan.""Maksudnya, Rin? Kamu jangan main-main! Arza ada bersama mereka."Ayah dan Ibu ikut, tapi dengan mobil lain! Jangan bareng sama Arin! Nanti ikuti Arin agak jauh! Kita ikuti saja akting mereka, Bu!"Mbak Jum, Indri. Kalian itu terlalu amatir untuk melakukan hal seperti itu. Terlalu memaksa meniru adegan seperti di sinetron.Bukan tidak khawatir Arza di tangan mereka. Tapi aku lebih khawatir kalau Arza di tangan penculik asli.***Drrttt drrttt drrttt"Aku sedang perjalanan. Tenang saja! Uangnya sudah ada.""Bu A
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin, bukannya Ayah dan Ibu memaksa kamu. Tapi ini sidang terakhir kasusnya Ridwan. Setidaknya kamu datang untuk memberi dukungan kepada Ridwan sebagai ayahnya Arza, tidak lebih," terang ibu yang terus berharap agar aku datang dalam sidang terakhir kasusnya Mas Ridwan."Tapi, Bu. Ibu tahu sendiri 'kan kalau sekarang ibunya Mas Ridwan begitu benci dengan Arin. Apalagi setelah tahu Arin dan Daffa menjalin hubungan.""Biarkan saja, Rin! Cepat atau lambat ibunya Ridwan juga akan paham.""Arin tidak mau, Bu."Ayah dan Ibu terus memaksa agar aku mau datang dalam sidangnya Mas Ridwan yang terakhir kalinya.Akhirnya dengan terpaksa aku pun mengiyakan keinginan mereka.Selama perjalanan, aku lebih memilih diam. Bukannya aku ingin memutus silaturahim dengan Mas Ridwan dan orang tuanya. Tetapi dengan sedikit menjauh dari mereka, aku bisa lepas dari bayang-bayang yang berhubungan dengan Mas Ridwan. Sudah cukup selama ini waktuku terbuang untuk urusan yang berhubu
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Arin ...," teriak Feby yang tiba-tiba muncul di ruang kerjaku.Aku hanya diam dan santai melihat sikap Feby. Sudah tidak kaget, tiba-tiba muncul langsung heboh."Ngapain lihatin aku kaya' gitu?" tanyaku dengan melotot.Feby hanya memalingkan wajah. Sepertinya dia sedang kesal denganku. Tapi kenapa?Aku melanjutkan lagi kerjaanku yang belum selesai. Brukk Tiba-tiba kedua tangan Feby menggebrak meja."Apa-apaan sih kamu, Feb?" "Kamu udah ngga nganggep aku sahabat lagi, ya?" tanya Feby menatapku tajam.Ish ... pertanyaan macam apa itu? Aneh."Menurut kamu?" "Ngga," jawab Feby dengan lantang.Aku langsung menghentikan kerjaan dan menatap Feby dengan begitu dekat."Kamu ngga lagi ngelindur 'kan? Memangnya ada apa? Datang-datang marah.""Kamu udah jadian dengan Daffa 'kan? Arin ... kenapa harus dirahasiakan dari aku? Nyebelin ...."Kini aku hanya terdiam dan menelan saliva'ku."Kenapa malah diam?" tandas Feby."Emangnya siapa yang bilang?""Ngga ada. Ak
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUSenyum yang mengembang selalu kulihat dari Daffa ketika dia mengajak bercanda Arza. Kini Daffa memang lebih sering datang ke rumah."Rin.""Ya?"Tatapannya seakan mengisyaratkan sesuatu."Boleh aku bicara sesuatu?""Biacara saja!""Sebelumnya aku minta maaf kalau sedikit lancang. A-apa kamu belum bisa ngebuka hati lagi setelah perceraian kemarin?"Pertanyaan yang membuatku terdiam beberapa saat. "Sebenarnya aku sudah bisa move-on dari Mas Ridwan. Dan untuk ngebuka hati lagi memang belum terpikir, Daff. Sekarang ini aku lebih fokus pada Arza dan kerjaan, seperti yang pernah aku bilang. Untuk ngebuka hati lagi, butuh banyak pertimbangan. Kamu sendiri 'kan tahu, aku udah punya Arza. Dan masalah yang datang dalam rumah tanggaku kemarin, sedikit banyak membuatku harus hati-hati memilih pendamping hidup," jawabku dengan pandangan ke depan."Trauma?"Aku menggelengkan kepala."Tapi kenapa kamu tanya soal itu?" tanyaku balik.Daffa menatapku sebelum akhirnya m
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," sapa Daffa dengan tatapan yang begitu hangat. Sesaat kami pun saling berpandangan."Ekhem ... ekhem ... kaya'nya yang jemput kamu ngga cuma Arin deh, Daff. Aku seperti ngga dianggap," ucap Feby membuat kami mengalihkan tatapan padanya."Iya, bawel," ucap Daffa dengan mengelus rambut Feby dengan kasar. "Mobil kamu mana, Feb?""Di rumah Arin. Nanti kita ke sana dulu ambil mobilku, Daff!"Daffa tidak menghiraukan jawaban dari Feby. Tetapi dia malah menatapku lagi. Dan kali ini tatapannya begitu dalam.Aku sangat gugup dan salah tingkah dengan sikap Daffa yang seperti itu."Pulang ... pulang." Lagi-lagi Feby membuat kami kelimpungan. "Daff, kamu mau duduk di depan dengan Arin atau di belakang?" tanya Feby."Depan aja deh, Feb." jawab Daffa yang membuat mataku membulat sempurna. "Eh, maksudku belakang aja." Sepertinya dia memang sengaja ngerjain aku.Kuhembuskan napas lega dengan memalingkan wajah."Berarti aku di depan dengan Arin, ya. Terus kamu di
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Apa ini, Rin?" tanya ibunya Mas Ridwan yang saat itu tengah duduk di samping ibuku.Kebetulan malam ini kedua orang tuaku dan kedua orang tua Mas Ridwan berkumpul. Mereka semua memang akan menginap di rumah kontrakanku untuk beberapa hari."Itu kunci rumah dan juga kunci mobil milik Mas Ridwan, Bu."Kedua orang tuanya Mas Ridwan saling berpandangan. Sepertinya mereka terlihat bingung."Kemarin Mas Ridwan meminta Arin untuk mengambil semua harta miliknya dari Indri. Apa tadi Mas Ridwan tidak cerita pada Ayah dan Ibu soal ini?"Mereka terlihat menggelengkan kepala."Apa Mas Ridwan tidak cerita apapun soal Indri?" tanyaku lagi pada kedua orang tua Mas Ridwan.Lagi-lagi mereka menggelengkan kepala."Waktu Ayah dan Ibu menemui Ridwan, dia tidak bicara apa-apa soal itu. Ridwan hanya menangis dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Ayah dan Ibu juga tidak bertanya apapun padanya. Rasa kecewa kami pada Ridwan masih begitu terasa.Sekarang ini aku tidak
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Arin," ucap Mas Ridwan. Aku masih tetap berdiri karena rasanya enggan untuk mendekat.Seketika Ayah dan Ibu menatapku dengan menganggukan kepala. Pertanda kalau aku harus mendekat pada Mas Ridwan.Perlahan aku melangkahkan kaki dan mendekat. Kini aku sudah duduk persis di hadapan Mas Ridwan. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Tapi kulihat Mas Ridwan memendam rasa amarah yang begitu besar.Aku hanya terdiam menunggu Mas Ridwan akan bicara apa. Sesekali pandanganku menoleh ke arah Ayah dan Ibu yang ada di sebelahku."R-Rin, aku akan menyerahkan semua toko untukmu. Mobil dan juga rumah yang aku tempati saat ini bersama perempuan penipu itu," terang Mas Ridwan dengan pandangan nanar.Aku begitu kaget dengan apa yang diucapkan Mas Ridwan. Apa maksud Mas Ridwan? Dan perempuan penipu, siapa yang dia maksud? Indri kah? Pikirku penuh tanda tanya.Tiba-tiba Mas Ridwan memegang tanganku dengan tangan yang terborgol. "Maaf." Aku pun segera
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU "Mbak Arin?" sapa seorang pelanggan yang terlihat keluar dari tokonya Mas Ridwan."Mbak Dila. Kenapa Mbak? Ada yang bisa saya bantu?" "Sekarang toko batiknya sudah beda ya, Mbak? Kenapa karyawannya tidak ada yang saya kenal? Makanya saya langsung keluar dan mencari toko milik Mas Ridwan dan Mbak Arin. Tapi mbaknya itu melarang saya untuk masuk ke toko ini," terang Mbak Dila dengan menunjuk perempuan di pojokan.Mbak Jum? Akhirnya dia muncul lagi di toko ini setelah berapa lama tidak kelihatan bak ditelan bumi."Toko sudah dibagi menjadi dua, Mbak. Dan kebetulan, semua karyawan yang dulu ada di toko saya. Silahkan masuk dan dipilih! Nanti karyawan saya akan melayani dengan sepenuh hati." Aku memandang Mbak Jum dengan tatapan tajam. Dia terlihat begitu gugup dan salah tingkah.Tidak berapa lama, terlihat Mas Ridwan datang bersama Indri. Akhirnya, laki-laki tidak bertanggung jawab itu menampakkan batang hidungnya.Sepertinya yang Mas Ridwan lakukan hany