Benar. Peramal itu mengatakan sesuatu yang sempat ia lupakan. Menemukan seseorang yang telah membunuhnya. Ia terjebak di sini untuk itu. Untuk menemukan pembunuhnya.
Kaline untuk kesekian kalinya meneguk teh hangat yang terus mengepulkan asap tipis untuk meredam rasa panik yang menghantuinya, membuat gadis itu tak bisa tidur meski langit sudah gelap gulita. Tak ada sedikitpun suara kasak-kusuk dari luar sana, menandakan bahwa seisi penginapan sudah terlelap dengan mimpi mereka.
Pembunuh itu, bagaimana bisa dia menemukannya?
Saat dewi itu menyetujui permohonannya, dia pikir ia akan kembali hidup di bumi bersama Theo dan bahagia selamanya. Tapi ternyata salah. Ia terdampar di negeri antah berantah dengan makhluk-makhluk yang seharusnya hanya mitos. Ia terjebak di negeri yang amat luas. Bagaimana bisa dia menemukan
Suara tapak sepatu yang kasar bertumbukan dengan tanah yang sedikit berair terdengar dengan jelas dari dalam kereta kuda berwarna keemasan yang dinaiki Kaline. Gadis itu tengah sibuk menulis sesuatu di atas kertas perkamennya, buru-buru melipat kertas itu dengan sembarang meski tintanya belum sepenuhnya mengering. Jamerinya dengan cekatan menyelipkan lipatan perkamen itu di sela-sela dress-nya. Seseorang yang membuka pintu kereta dengan terburu-buru itu membuat Kaline sedikit terpanjat, sebelum akhirnya ia sadar bahwa orang itu adalah Narin. Napasnya terengah-engah, begitu juga dengan surai yang tak lagi beraturan. “Pangeran akan segera datang, Putri. Bersiaplah!” kata Narin dengan terburu-buru. “Tu—“ belum sempat Kaline bersua
Daging panggang setengah gosong yang hanya tersisa beberapa irisan itu sudah sepenuhnya dingin. Kaline meletakkan pisau serta garpunya di samping piring, tak berniat untuk melanjutkan kegiatan memakannya. Daging itu terasa keras dan hambar, membuatnya bertanya-tanya siapa koki yang memasak makanan ini. “Jadi, Putri. Kau benar-benar berasal dari dunia lain?” Pangeran Cliftone kembali bersuara setelah tiga puluh menit berlalu, meminta permohonan yang aneh, namun disetujui oleh Kaline begitu saja. Mendengar pertanyaan tak terduga yang terdengar rigan keluar begitu saja dari mulut Pangeran Cliftone tanpa aba-aba membuat Kaline mematung. Ia mengangkat sebelah alisnya, menatap lawan bicaranya itu dengan tenang, namun ia bisa merasakan detak jantungnya berdetak dengan cepat. Jemarinya yang bersembunyi di balik meja bergerak gelisah.
Langit malam tampak begitu sepi lantaran hanya diisi oleh bulan purnama utuh dan gumpalan awan mendung yang terus bergerak, saling menyatu membentuk satu kesatuan lantaran angin kencang yang terus bertiup. Saking kencangnya, beberapa batang pohon tumbang, membuat perjalanan Kaline bersama Pangeran Cliftone terhambat lantaran harus menyingkirkan semua batang pohon yang tumbang.Kaline mengeratkan lilitan selimut tebal dari bulu domba yang ia bawa, berusaha untuk tertidur lelap meski suhu mencekam yang menusuk kulitnya membuat gadis itu menggigil.Manik abu-abu Kaline terbuka sedikit, mengintip dari sudut matanya. Pria dihadapannya itu sama sekali tidak bersara, membuat Kaline penasaran bagaimana bisa ia tidur nyenyak dengan suhu yang ekstrim seperti ini?Cahaya merah menyala yang hampir mirip seperti laser itu
Perjalanan menuju istana terpaksa berhenti karena kuda yang menarik kereta yang dinaiki Kaline kelelahan, membuatnya berjalan dengan sangat lambat. Mereka berhenti di pemukiman sepi, hanya ada satu toko serba ada yang begitu sederhana. Jika dikira-kira, jumlah kepala keluarga yang ada di daerah ini tidak lebih dari 50 kepala keluarga.Kaline menghela napas, bersandar di gerobak yang biasanya digunakan untuk mendorong jerami. Ia tak lagi mengenakan jubah milik Pangeran Cliftone maupun selimut tebal berbulu dombanya. Sekarang, fajar telah menyapa, membuat hawa dingin menghilang begitu saja.“Putri.” Seorang prajurit menghampirinya, menunduk selama beberapa detik sebelum akhirnya berbicara, “Seorang warga telah mengizinkan rumahnya untuk dijadikan tempat singgah sementara, Putri. Kau bisa beristirahat di sana selama beberapa jam.”
Kereta yang membawa Kaline melaju dengan kencang, melewati jalanan setapak yang tak mulus sehingga membuatnya sedikit terpanjat setiap kali roda kayu itu mengenai batu atau bagian jalan yang berlubang. Jantung Kaline berdetak dengan cepat. Lagi-lagi, matanya menelisik ke bagian luar kereta yang iring berganti dengan cepat. Tidak ada penjaga yang mengitari keretanya seperti biasanya. Kali ini, hanya ada seorang prajurit yang memacu kuda dengan kecepatan tinggi. Tangan gadis itu yang tadinya memegang pegangan di ujung kursi dengan erat mulai bergerak, membuka papan tipis yang menjadi penghalang antara dirinya dan prajurit yang tengah fokus memacu kuda. “Kenapa tidak ada penjaga lainnya?” tanya Kaline. Sedari tadi, kepalanya sibuk menyusun kemungkinan-kemungkinan kenapa hanya ada satu prajurit yang ditugaskan untuk menjaganya. “Tutup papannya, Putri. Tidak ada yang boleh melihatmu sekarang. Istana sedang kacau, kita tidak bisa mempercayai siapapun
Napas gadis itu tak beraturan. Giginya terkatup rapat, pun dengan tangannya yang mengepal pisau dengan erat, membuat baku-baku jarinya memerah. Telapak tangan se-pucat salju yang jauh lebih dingin daripada es itu meraba bahunya dengan ringan, menimbulkan rasa geli yang silih berpindah dengan beraturan hingga tangan dingin itu menggenggam telapak tangan Kaline dengar erat, mengambil alih dominansi tangannya dengan seketika. “Bunuh dia, Putri. Dia bukan manusia,” bisik Pangeran Cliftone sekali lagi, namun kali ini penuh dengan penekanan yang tak mampu membuat Kaline berkata-kata. “Tidak.” Tolak Kaline dengan tegas, gadis itu berusaha melepaskan tangan Pangeran Cliftone namun gagal. “Tidak sebelum dia memberitahuku siapa Tuannya.” “Bahkan setelah kau bertanya seratus kali, jawabanku tetap sama, Putri,” jawab prajurit itu dengan tenang, di raut wajahnya sama sekali tak tertera raut wajah panik maupun rasa bersalah. Kaline tersenyum miring. “Kau tahu, bahk
Kaline menyipitkan matanya tampak kebingungan. Ia terus berusaha memahami penjelasan Pangeran Cliftone selama beberapa detik sebelum akhirnya ia berbicara, “Jadi maksudmu, vampir itu anggota Sekte Selz?” tanyanya memastikan, tak ingin terjadi sedikitpun kesalahpahaman yang nantinya akan berakibat fatal.Pangeran Cliftone mengangguk. “Semua Klan Morz adalah anggota Sekte Selz, Putri. Sekitar setengah tahun yang lalu, mereka semua tiba-tiba saja menghilang, meninggalkan cincin klan mereka. Bagi kami, siapapun yang melepaskan cincin klan berarti sudah berkhianat pada kerajaan."Kaline mengangguk. Ia sama sekali tidak merasa asing dengan cincin para klan di negeri vampir itu. Bagi mereka, cincin klan yang telah diwariskan selama berabad-abad adalah benda sakral, seperti sebuah jati diri yang tak boleh hilang. Siapapun yang berani melepaskan cincin itu sudah pasti seorang pengkhianat."Kami menduga mereka berpencar ke kerajaan-kerajaan lain, m
Ribuan prajurit istana terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 30-an prajurit, dititahkan langsung oleh Raja untuk mencari Putri Kaline dan Pangeran Cliftone yang kemungkinan besar disembunyikan di dalam hutan belantara jalur selatan yang sering terjadi tindakan kriminalitas. Setiap kelompok berisi 30 orang, menyusuri kegelapan hutan bersama kuda mereka. Pangeran Rex melirik pria di sampingnya, api obor yang dinyalakan ketua kelompok prajurit membuat Pangeran Rex dapat melihat dengan jelas ukiran benang emas di jubah hijau orang itu, bahkan sesekali ukiran benang emas itu menyala, membuat Pangeran Rex terkejut saat pertama kali melihatnya. Ya, Pangeran Antheo. Saat mengetahui berita buruk dari rombongan Putri Kaline (yang tentu saja termasuk Pangeran Cliftone di dalamnya), pria itu terlihat amat panik, turut bersikeras pada Raja untuk membantu proses pencarian Putri Kaline (yang akhirnya disetujui sesudah beberapa menit perdebatan sengit yang tak be
Setahun setelah musim dingin yang menegangkan. Saat malam gelap lagi-lagi menurunkan hujan gumpalan es pertama yang kali ini disambut dengan penuh kegembiraan.Setahun setelah musim dingin yang menegangkan. Sebuah penikahan akan dilaksanakan.“Cal, apa kau baik-baik saja?” tanya Kaline khawatir, menatap Pangeran Cliftone yang berdiri di sebelahnya sebagai seseorang yang beberapa detik lagi akan dinikahi.“Kau tahu aku telah-”“Aku telah memaafkanmu,” potong Kaline, kembali mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Pangeran Cliftone yang sempat melonggar.“Kau bisa membatalkannya sebelum acaranya dimulai,” ucap Pangeran Cliftone untuk yang kesekian kalinya.Lagi-lagi, Kaline menggeleng dengan tegas. “Tidak akan ada yang dibatalkan, Cal. Aku akan menikahimu.”Pangeran Cliftone membuang napasnya dengan kasar. Ada perasaan campur aduk yang sedari tadi hinggap di dalam dir
Kaline membelalak. Tepat sebelum panah yang dilepaskan Zed mengenai tubuh Pangeran Antheo, peri-peri bersayap merah beterbangan secara acak, membakar panah itu hingga tak bersisa.“Sial!” Pangean Rex menggerutu kesal. Maniknya yang kecoklatan seperti madu berubah menjadi kuning terang. Gigi-giginya yang tajam tiba-tiba saja muncul.Gawat. Pangeran Rex akan berubah menjadi serigala.“Pangeran, awas!” seru Kaline, berusaha mengalihkan perhatian Pangeran Antheo yang fokus memerintah para peri itu sehingga tak menyadari Pangeran Rex dengan tubuh serigala yang beringas berdiri tepat di belakangnya.Satu ayunan penuh amarah keluar, seakan mengajak Pangeran Antheo berduet dengannya yang langsung diterima Pangeran Antheo tanpa keberatan.Sementara Kaline yang masih terikat di pohon berseru panik. Ingin sekali ia curi pisau kecil yang terselip di antara celana Zed, namun mustahil karena kini, kuku-kukunya sudah berubah menjadi panjan
Kedua tangan itu menggenggam setir mobil dengan kuat. Nyeri di ulu hatinya sama sekali tak mereda. Meski begitu, tidak akan ada satupun air mata yang membasahi pipinya. Waktunya sudah habis. Gadis yang dicintainya akan bertunangan dengan seseorang. Seseorang yang jauh lebih baik darinya. Seseorang yang bisa menyampaikan perasaannya. Bukan dengan seorang pengecut seperti dirinya yang seumur hidup hanya berani melihatnya dari jauh. Kaline, seorang perempuan yang tinggal di depan rumahnya. Mereka tumbuh bersama. Cal melihat semuanya. Bagaimana lucunya gadis itu saat balita hingga kini tumbuh menjadi seorang perempuan jelita. Selama itu, ia tak melakukan apapun. Bahkan tidak sekalipun ia pernah menyapanya. Cal adalah seorang pengecut. Dulu maupun sekarang. Dalam kecepatan mobil yang tinggi dan terus berjalan, pandangannya terkunci pada sebuah restoran tiga lantai. Disanalah, harapannya akan benar-benar berakhir, kala seorang pria menyematkan cincin indah
Napas Kaline teramat sesak. Dalam kondisi terikat pada pohon besar seperti sekarang, Kaline nyaris tidak dapat melakukan apapun jika saja mulutnya ikut tertutup.“Apa yang kau lakukan?” tanya Kaline penuh amarah saat Pangeran Rex mendekat dengan senyuman memuakkan.Bagaimana bisa pria itu tersenyum setelah hal gila yang ia lakukan?“Ssstt … tidak perlu marah, Putri. Aku hanya ingin membuat namamu abadi. Setelah ini, aku yakin tidak akan ada yang berani melupakanmu,” ucapnya dengan penuh kebanggaan sambil menumpahkan sebotol minyak berbau menyengat tepat di bawah kaki Kaline.Dari ujung mata gadis itu, dapat ditangkap pergerakan Pangeran Antheo dan Cliftone yang mengendap-endap menuju tempat yang saling berlawanan. Langkah Pangeran Antheo perlahan mendekati seorang penyihir tua yang sedang fokus bertapa, sedangkan langkah Pangeran Cliftone menjauhinya.Rencana mereka harus berhasil.“Kau akan menyesali per
“Aku bersumpah aku tidak tahu apapun tentang ini!” seru Pangeran Antheo dengan frustasi.Ini sudah lebih dari dua puluh kali Kaline dan Pangeran Cliftone menanyakan hal yang sama, terus membuat posisinya semakin terpojok.Pangeran Antheo mengatakan hal yang sebenarnya. Dia tidak tahu apapun soal ini. Bahkan hingga saat ini, dirinya masih bertanya-tanya bagaimana bisa peri-peri itu berada di luar kendalinya.“Kau sendiri yang mengatakan bahwa hanya dirimu yang bisa mengendalikan peri-peri itu, Pangeran. Jangan berbohong.” Kaline terus mendesaknya. Meski Pangeran Antheo tidak bisa melihat apapun sekarang, ia yakin kini Kaline sedang memandangnya dengan tajam.“Demi negeriku, Putri. Aku tidak tahu apapun soal ini. Peri-peri itu, aku tidak tahu apapun!” seru Pangeran Antheo sambil menjambak rambutnya untuk mengalihkan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya.“Sudahlah, Putri. Kau tahu dia bukan pelak
Lenguhan ringan beberapa kali keluar dari mulut Kaline. Kepalanya terasa seperti baru saja ditimpa oleh sesuatu yang berat dan memang benar adanya, di dahi gadis itu sekarang, sudah ada benjolan sebesar setengah bola pingpong. Bau busuk asap pertama kali masuk ke dalam indera penciumannya saat gadis itu terbangun. Kedua tangan dan kakinya terikat dengan kencang, membuat gadis itu harus bersusah payah untuk menyandarkan tubuhnya pada dinding di tepi ruangan kecil ini. “Ah … akhirnya ada yang terbangun juga.” Suara ringan itu membuat Kaline kembali was-was. Di dalam kegelapan seperti ini, ia tidak bisa melihat apapun kecuali … dua sinar kecil berwarna merah di ujung ruangan. “Cal, apa itu kau?” tanya Kaline dengan hati-hati. “Ya … syukur kau masih mengingatku. Aku pikir kau akan hilang ingatan setelah dipuku oleh bata, Putri,” jawab pria itu dengan candaan yang sama sekali tidak lucu. Kaline memilih untuk tidak lagi menimpali ucapan pria
Kantung mata yang mulai menghitam itu sama sekali tidak dipedulikan oleh Pangeran Antheo. Sudah seminggu lebih ia hanya tidur selama 2 jam. Malam panjang yang seharusnya digunakan untuk istirahat ia habiskan bersama lima ekor peri nakal yang kini sudah kembali terkurung didalam sangkarnya.Kini, saat samar-samar fajar telah terlihat, Pangeran Antheo akan kembali ke Istana Eargard dengan wajah lelah.Ada jeda waktu lima hari tersisa sebelum sayembara akan kembali dimulai. Lima hari yang harus dimanfaatkannya sebaik mungkin untuk membuat monster-monster kecil di dalam sarang itu patuh padanya. Setelah ia berhasil mengendalikan 5 peri penghancur ini, ia akan kembali mengirimkannya ke penjara bawah laut.Langkah jenjang pria itu perlahan-lahan melambat kala mendengar sesuatu yang mencurigakan.Jelas sekali tadi terdengar beberapa langkah kecil di belakangnya. Meski pendengaran Pangeran Antheo tak begitu tajam, bahkan saat ia sengaja berjalan denga
Sinar bulan purnama malam ini tampak amat terang, seakan-akan cahayanya mampu menerangi 4 orang yang kini sedang bersembunyi diantara semak belukar, membiarkan tubuh mereka menjadi santapan empuk nyamuk yang kelaparan.Kaline terus berdoa dalam hati, harap-harp Narin tidak memasuki kamarnya malam ini agar tidak ada yang tahu bahwa Putri Mahkota Eargard diam-diam menyusup pergi menguntit Pangeran Antheo.Tentu saja, jika aktivitasnya bersama 3 pria ini ketahuan dan beritanya menyebar, merekaa terpaks mendekam di istana selama berbulan-bulan untuk menghindari hujatan masyarakat. Menguntit adalah tindakan yang berbelok dari tata krama. Siapapun bangsawan yang menyalahi tata krama akan dianggap tidak memiliki adab dan dikucilkan oleh masyarakat dan tentu saja itu tak boleh terjadi mengingat posisi Kaline sebagai Putri Mahkota yang seharusnya dihormati.
malam sebelumnya Tatapan penuh permusuhan itu tampak dengan amat jelas di antara kedua tanganya. Meja bundar sebagai penengah itu agaknya terlampau kecil untuk menghalau aura menegangkan diantara keduanya. Tidak, di meja itu tidak hanya ada mereka berdua. Seorang wanita tua dengan punggung yang sudah membungkuk ada di antara keduanya dengan senyuman licik yang tak kunjung pudar. Selain itu, Zed juga dengan setia berdiri di belakang Pangeran Rex. “Jadi, seberapa jauh yang kau tahu?” tanya Pangeran Rex dengan dingin, membuka suara untuk pertama kalinya. Mata menyala yang terus berkilat itu tak gentar membalas tatapan tajam dari manik bak madu milik Pangeran Rex. Jika saja ia bukan seorang vampir, sudah pasti ia akan meminum teh hangat di hadapannya untuk mengulur waktu, bermaksud membuat Pangeran Rex tersulut emosi. “Aku tidak bisa mengukur jika tidak tahu batasan ukurannya, Pangeran. Jika kau menginginkan jawabannya, kau harus memberitahuku sej