Elaine menaiki lift sendirian, kebetulan karena ini jam kerja jadi lift tersebut sepi. Saat Elaine hendak menutup pintu lift, tiba-tiba saja dia mendengar seruan dari seseorang.
“Mbak, tunggu!” seru seorang perempuan.
Elaine mencoba menekan tombol pada lift, agar pintu tersebut kembali terbuka. Kemudian dia melihat dua orang perempuan yang sama-sama karyawan di perusahaan itu. Mereka berdua langsung menaiki lift.
“Terima kasih, Mbak,” ucap salah satu peremppuan yang mengenakan kacamata. Elaine hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Kini dua orang perempuan itu berdiri tepat di hadapan Elaine.
“Nes, jadi gimana tadi, tuh? Serius kalau BA kita yang baru itu dulunya mantan Mas Direktu—”
“Ssst!” Perempuan berkacamata itu langusng menempelkan telunjuknya di bibir rekan yang berdiri di sampingnya. “Diem!” bisiknya lagi. Kemudian dia mengedikkan kepalanya ke belakang, memberikan kode pada rekannya.
“Ah, sorry. Gue gemes soalnya Vanesa. Kalau
Halo, kak! Masih ingat kalau Kale kerja disalah satu perusahaan game? Kalau iya dan penasaran game apa yang akan dikembangkan oleh Kale. Boleh baca cerita Tujuh Dosa Besar, cerita bergenre fantasi-game. Siapa tahu cocok juga, nih. Jangan lupa baca My Dominant CEO juga, ya. Semuanya hanya ada di GoodNovel. Terima kasih banyak <3
Benda pipih berwarna biru itu Elaine tempelkan pada telinganya. Dengan mengigit jarinya, Elaine mencoba menelepon seseorang. Air matanya kini pecah. Saat sampai ke kosannya, Elaine langsung menangis.“Kenapa nggak diangkat, sih?” gerutunya dengan suara parau.Panggilannya itu tak kunjung diangkat oleh yang bersangkutan. Siapa lagi kalau bukan Darell. Setelah Elaine meluapkan semua emosinya, dia segera menyambar ponselnya dan langsung menelepon laki-laki yang sekarang masih berstatus sebagai pacarnya.Iya, sekarang masih, tapi entahlah beberapa jam atau mungkin hari ke depan. Jujur saja Elaine sangat merasa sakit, saat mengetahui gosip dan fakta itu. Elaine masih menganggap berita Chelsea adalah tunangan Darell itu sebuah gosip. Tapi untuk masalah laki-laki itu membawa sang model cantik ke pesta pernikahan kakaknya, itu cukup membuat Elaine tak bisa megabaikan hal yang dirasa serius ini.“Harus berapa kali lagi gue telfon?” keluh El
“Kenapa diem?” tanya Elaine, melihat Darell mematung dan memasang ekspresi terkejut. “Benar, kan? Kamu memang sedang dekat lagi dengan mantanmu itu?”Darell langsung menggeleng. Dekat lagi? Tentu saja Darell tidak menganggap hubungan dia dan Chelsea itu adalah sebuah hubungan yang dekat. Darell hanya terpaksa.Mendengus dan menarik sudut bibirnya sebelah. Elaine kesal dengan sanggahan dari Darell. “Terus apa?” kata Elaine ngotot.“Kamu salah paham, Len,” timpal Darell. Dia mencoba meraih kedua tangan Elaine, ingin menggenggamnya. Namun, sayang Elaine langsung menepisnya.“Salah paham apa? Aku punya bukti kalau kamu datang dengan Chelsea.” Elaine mendengus, dia masih ingat betul foto yang ditunjukkan oleh Aya tadi. “Dan kalian juga sangat serasi. Seperti sudah direncanakan. Sejak kapan kalian merencanakan itu?” sungut Elaine, kesal. Hatinya lagi-lagi terasa perih.Darell mendesa
Berat? Jujur, iya. Elaine merasa sangat berat saat mengatakan hal itu pada Darell. Apa katanya? Memikirkan lagi tentang hubungan mereka berdua? Elaine mendadak putus asa. Dengan mata sembabnya, Elaine menatap langit-langit kamar. Dia sedikit menyesali perkataannya tadi. Bagaimana jika memang benar Darell diancam oleh ayahnya? Bagaimana jika memang benar hidup Elaine juga sedang terancam? Tiba-tiba saja Elaine merasa goyah, saat dia mengingat sesuatu. Mengingat momen di mana beberapa kali dia merasa sedang dibuntuti dan diawasi oleh seseorang. Namun, saat Elaine mencoba mencari orang yang sedang mengawasinya itu, nihil. Dia tidak mendapati apa pun dan siapa pun. “Ah, gimana kalau Darell bener-bener balik sama Chelsea?” lirihnya. Dia langsung menangis lagi saat membayangkan hubungannya dengan Darell berakhir begitu saja. Bagaimanapun Elaine benar-benar menyayangi Darell. Sangat menyayangi dan mencintai laki-laki itu. Dia bisa menemukan kebahagiaannya be
“Cukup!” teriak seseorang yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu ruangan itu. Ternyata orang itu adalah anak sulung Pandu. Dia merasa kesal dengan pertengkaran antara ayah dan adiknya itu. “Ini kantor. Suara kalian itu terdengar sampai luar!” Varell mendatangi mereka berdua.“Kamu ngapain ikut campur?” tanya Pandu marah. Dia tidak suka ketika ucapannya dipotong oleh orang lain.“Karena aku dengar kalau adikku ini terus memanggil namaku. Aku rasa aku harus ke sini, karena merasa terpanggil,” jawab Varell sambil melirik ke arah Darell.“Cih!” Darell berdecih kesal.Varell menghela napas, lalu menggeleng. “Sudahlah, Pa, Rell. Nggak usah berantem di sini. Ini bukan rumah! Kalau mau berantem silakan di rumah.”“Nggak sudi aku datang ke rumah laki-laki tua ini!” hardik Darell.“Darell!” sentak Varell saat mendengar adiknya itu mencela ayah kandu
Elaine membuka matanya perlahan. Ia mengerang, kepalanya terasa sedikit sakit. Walau pandangannya masih terlihat buram, tapi dia berusaha untuk memindai area sekelilingnya.“Di mana ini?” gumamnya. Ruangan itu sangat terasa asing baginya. Elaine sedang berada di sebuah kamar yang besar dan mewah. Dia mencoba bangkit dari tidurnya. “Ah,” desahnya, kepalanya berdenyut.Menjilat bibirnya yang terasa kering—akibat rasa gugup yang tiba-tiba saja muncul dari dalam dirinya, sambil terus memindai dengan teliti setiap inci ruangan. Elaine mengedipkan matanya berkali-kali, sungguh ini adalah tempat asing yang tidak dia ketahui. Kemudian dia mencoba mengingat momen terakhir saat dirinya sadar.Seketika matanya membulat, saat mengingat kejadian terakhir yang diingatnya. Kalau tak salah ingat, dia baru saja keluar dari toilet, lalu tiba-tiba ada seseorang yang menyekap dirinya. Sialnya, Elaine tak sempat untuk melihat orang itu.Elaine me
“Jawab!” Darell membentak ayahnya. Matanya kini melotot tajam, menyala karena terbakar api amarah.“Ck! Seharusnya kamu sudah tahu konsekuensinya, Darell,” ucap Pandu dingin.Jujur, Pandu tidak tahu di mana keberadaan gadis itu. Awalnya dia mengira bahwa anaknya itu sudah bertindak duluan, mengamankannya. Akan tetapi, melihat Darell sekarang, dia yakin bahwa gadis itu tidak ada bersama dengan anak bungsunya.Walau ada perasaan khawatir, tapi Pandu mengambil kesempatan ini. Dia akan berpura-pura kalau memang Elaine bersamanya. Kemudian bernegosiasi dengan Darell, membuat kesepakatan baru dengannya. Siapa pun orang yang membawa Elaine, Pandu sangat berterima kasih, karena dia tidak perlu repot-repot mengotori tangannya sendiri.“Pa, ini masalah kita berdua! Dia itu nggak salah apa-apa!” Darell terus membela Elaine.“Dia nggak salah apa-apa? Yang benar saja. Gara-gara dia, kamu jadi membangkang sama Papa
Tidak. Tidak bisa! Elaine tidak ingin sampai Darell menuruti permintaan ayahnya dan menikah dengan Chelsea. Bagaimanapun rasa sayang dan cintanya pada Darell sangat besar. Apalagi saat mengetahui perjuangan Darell untuk mempertahankannya.“Gue nggak bisa diem aja,” gumam Elaine. Dia mencoba memikirkan cara bagaimana dia bisa keluar dari sini, menemui Pandu dan menenatng usahanya.Elaine tidak bisa membiarkan Darell berjuang sendirian. Dia rasa, dirinya juga harus berusaha mempertahankan hubungan mereka berdua. Tapi bagaimana? Elaine medesah saat otaknya terasa tumpul, tak bisa memikirkan apa pun.***Keesokan harinya.Darell terlihat sangat kacau sekali. Kemarin, dia seharian mencari keberadaan Elaine tapi ia tak kunjung menemukannya. Perasaan khawatir semakin mencuat dari dalam diri Darell, ketika dia mengingat bahwa hari ini adalah tenggat waktu untuknya.Tok. Tok. Tok.Darell langsung menoleh
Bagai disambar petir, Pandu benar-benar terkejut dengan kedatangan sosok Elaine di rumahnya. Sontak laki-laki itu berdiri dari sofa yang sedang didudukinya. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit menganga, saking terkejutnya. ‘Kenapa gadis itu ada di sini?’ batin Pandu. Melihat Elaine muncul dengan tiba-tiba di kediaman Bumantara, membuat Darell langsung berlari ke arahnya. Ia langsung mengecek kondisi Elaine. “Kamu baik-baik saja?” tanya Darell dengan nada khawatir. Belum juga Elaine menjawab pertanyaan Darell, Martha sudah langsung memberang. “Maksudmu gadis ini, kan?” tanyanya. Keluarga Admar hanya diam saja, mereka menoton pertengkaran antara Martha dan Pandu. Namun, bukan berarti mereka senang dan menikmatinya. Melainkan Tio dan Chelsea terlihat sangat gusar. “Ke-kenapa dia ada di sini?” tanya Pandu dengan terbata-bata. “Seenaknya kamu mengancam anakmu sendiri dengan melibatkan orang lain, yang tidak bersalah sama sekali!