Bagaimana Elaine tidak menaruh hati pada laki-laki yang saat ini sedang duduk di depannya? Setiap hari laki-laki ini memperlakukan Elaine dengan sangat baik. Semakin hari Elaine semakin suka pada sosok Darell. Padahal dia tahu, laki-laki itu hanya memanfaatkannya saja.
“Btw, bukannya lo lagi magang? Kok, udah seminggu lo diem aja di sini?” tanya Elaine pada Darell yang sedang sibuk dengan layar laptopnya.
“Iya. Santai aja sih, lagian gue bilang lagi ngurus skripsi dulu,” jawab Darell enteng.
Memang benar, beberapa hari ini Darell sedang sibuk dengan skripsinya. Dia berniat untuk lulus semester ini. Laki-laki itu pernah bercerita bahwa dia dan kedua temannya –Kale dan Valen- memiliki janji untuk lulus bersama di tahun ini. Sampai-sampai Kale menunda sidangnya, hanya untuk lulus bersama dengan Darell dan Valen. Persahabatan mereka patut diacungi jempol.
“Hah? Tapi kan lo kudunya masih magang, jangan jadiin skripsi alesan,
Halo, terima kasih sudah selalu setia membaca After The Heartbreak. Yang kemarin nebak Elsa tekdung. Selamat kakak benar <3 hehehehe.
Hati Elaine terasa sakit. Bagaimana bisa kakaknya hamil anak Tirta? Elaine tak rela jika harus merelakan Elsa bersama dengan laki-laki busuk seperti Tirta. Apalagi dia ingat ucapan Tirta, yang hanya menganggap hubungan dengan Elsa main-main belaka.Sekarang, Elsa sedang hamil anak dari laki-laki itu! Ini sudah tidak bisa dikatakan hubungan yang sekedar main-main belaka. Tapi entah kenapa Elaine yakin laki-laki itu tak akan bertanggung jawab dengan apa yang sudah diperbuatnya. Tangan Elaine mengepal ketika membayangkan wajah laki-laki busuk itu.“Tirta, anak Pak Pratama yang pengacara itu?” tanya Robby dengan penuh penekanan.Elsa hanya mengangguk. Sedangkan Robby mulai merasa frustrasi, pasalnya dia mengenal baik laki-laki yang bernama Tirta. Bagaimana tidak? Tirta adalah sahabat anak bungsunya. Dia mengenal Tirta sebagai anak yang baik dan juga sopan.“Bukannya dia dekat dengan Elaine?” tanya Lena terheran-heran. Baik
“Apa-apaan Elsa!” geram Tirta. Saat ini laki-laki itu sedang berada di kamarnya. Hal yang bisa dia lakukan adalah mengumpat. Laki-laki itu langsung meraih benda pipih yang ada di dalam saku celananya. Mencari kontak Elsa, dia harus bertanya langsung pada pacarnya itu. Ah, rasanya malas sekali mengakui Elsa sebagai pacarnya. Tirta langsung meneleponnya. ‘Nomor yang ada tuju sedang tidak aktif. Cobalah—’ “Ah, Shit!” umpat Tirta yang langsung membantingkan ponselnya di atas kasur. “Argh!” erangnya sambil menarik rambut, tanda seseorang yang sedang kesal dan frustrasi. Laki-laki itu kini berkacak pinggang. Otaknya sedang memikirkan momen terakhir bersama Elsa. Seingatnya, dia sudah lama tidak tidur dengan gadis itu. Lalu, kenapa dia bisa hamil? Tirta masih tidak habis pikir dengan hal tersebut. Tirta harus menanyakan hal ini pada Elaine. Siapa tahu dia tahu sesuatu. Karena tak mungkin jika Elaine tak tahu apa-apa. Laki-laki itu mengambil ponselnya
Selepas pertemuan dengan keluarga Tirta tadi sore, Elsa tak bisa tidur. Dia merasakan gelisah bukan main. Gadis itu mencoba memejamkan matanya, mematikan lampu kamar, dan fokus beristirahat. Tapi semua usahanya itu sia-sia. Padahal badannya sangat amat lelah. Matanya juga terasa berat, akibat tangisan yang tidak berhenti mengalir deras dari matanya. Namun otaknya ini tak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi.Kini air mata Elsa terasa sudah kering, dia tak bisa menangis lagi. Karena saat ini dia sedang dilanda rasa takut yang sangat besar. Sampai-sampai mengalahkan rasa sedih dan kecewa akibat respon dari kekuarga Tirta.“Argh!” Elsa mengerang sambil menarik selimutnya. Kini seluruh tubuhnya diselimuti, dia bersembunyi di balik selimut putih yang membungkus seluruh tubuhnya.Mata Elsa terus melirik ke kanan dan ke kiri. Terkadang dia mengigit bibir bawahnya. Jantungnya pun terus berdegup dengan kencang. Elsa benar-benar merasa kalut saat ini.
Elsa mematung ketika melihat Elaine dan Tirta ada di hadapannya. Mempertanyakan kedatangan mereka berdua di sini. Lidahnya kini terasa kelu, tak bisa berbicara sama sekali. Ekspresi wajahnya terlihat sangat panik dan itu pun terjadi pada Rio. Pasalnya laki-laki itu tahu betul siapa yang datang, dia adalah Tirta pacar dari gadis yang sedang bersamanya sekarang. “Wah, keren! Ternyata kelakuan lo gini ya, Sa!” Terdengar nada cibiran dari kalimat yang dilontarkan oleh Tirta. Laki-laki itu bertepuk tangan. Sedetik kemudian melirik ke arah Rio yang tadi membukakan pintu. Mencoba memindai penampilannya dari atas sampai bawah, lalu menepuk pundak laki-laki itu. Tirta seolah tak peduli dengan yang namanya sopan santun. Mengingat Rio satu tahun lebih tua darinya. Elsa hanya diam, dia tidak bisa membela dirinya. Sudah jelas-jelas dia kepergok sedang berduaan dengan Rio. Bagaimana ini? Apa yang harus Elsa lakukan disaat seperti ini? Pikirannya kalut seketika.
PLAK!Lagi-lagi Robby menampar pipi anak sulungnya. Rasanya Elsa sudah kebal dengan sensasi ketika ditampar. Mungkin ini tamparan ke ... entahlah Elsa tidak mengingat sudah berapa kali ayahnya ini menampar dirinya. “Kurang ajar, ya kamu! Berani-beraninya mengaku bahwa itu anak Tirta! Sekarang mau ditaruh di mana muka Papa, hah?” berang Robby yang tidak habis pikir dengan pemikiran sempit Elsa. “Memang, ya. Kamu itu anak yang bego!” hardik Robby seolah dia lupa bahwa Elsa juga merupakan darah dagingnya.“Papa! Jangan pernah bilang seperti itu pada anakmu! Anak kita tidak ada yang bego!” sergah Lena yang tidak terima ketika Elsa dikatai demikian.Sebagai seorang ibu dia tak ingin anaknya dihardik oleh orang tuanya sendiri. Seharusnya sebagai orang tua haruslah melindungi, mengatakan hal-hal baik dan memuji anak mereka. Jika mereka salah, sampaikanlah dengan cara yang benar. Bukan dengan cara memarahi, menghardik, b
Elaine mau melakukan apa saja untuk Om dan Tante, asalkan Om dan Tante bisa mempertimbangkan perihal tuntutan tersebut,” pinta Elaine sambil berlutut di bawah kaki Risa.Risa membulatkan matanya. Terkejut dengan sikap Elaine yang tiba-tiba berlutut dan memohon. “Elaine, jangan seperti ini Tante nggak enak,” kata Risa yang mencoba untuk merangkul Risa.Namun tiba-tiba Lena juga melakukan hal yang sama. Wanita paruh baya itu berlutut di kaki Risa. Memohon ampunan mereka, untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan saja. Risa jadi merasa tak enak kepada ibu dan anak ini.“Aduh, Bu Lena. Ayok berdiri!” ucap Risa mencoba meraih mereka, dia tak ingin diperlakukan seperti ini. Entah kenapa Risa jadi merasa terbebani dan seolah dirinya benar-benar jahat di sini.Elaine dan Lena beranjak perlahan dan kembali duduk di sofa. “Saya mohon, Bu Risa. Untuk memepertimbangkan perihal tuntutan tersebut. Kami siap melakukan apa sa
[Siap-siap es batu, ya. Takut aja kepanasan dengan bab ini. Alias 21+] *** Satu minggu. Elaine hanya memiliki waktu satu minggu untuk memutuskan semuanya. Lena sudah mendesak gadis itu untuk menyetuji perjodohan tersebut. Lagi pula Tirta dan Elaine sudah berteman baik. Menurutnya hal itu tidak terlalu sulit. Tapi … Lena tidak tahu bagaimana kisah mereka berdua. Padahal Elsa sudah pernah menyinggungnya, namun Lena seolah tak peduli. Berbeda dengan Lena, Robby hanya bisa pasrah. Dia menyerahkan semua keputusan tersebut pada Elaine. Walau dalam hati kecilnya dia berharap Elaine bisa menyetujui persyaratan itu. Tapi laki-laki itu tak ingin memaksa. Fokusnya kini terbagi-bagi, antara menyelesaikan masalah Elsa, masalah dirinya, dan sekarang ditambah dengan masalah Elaine. “Len, kalau kamu nggak mau tolak aja. Aku coba cari cara lain,” ucap Elsa dari seberang telepon. Kini Elaine sudah tidak ada di rumah. Demi mengalihkan perha
“Cantik sekali!” puji seorang makeup artist, saat selesai memoles wajah mempelai wanita yang hari ini akan menikah. “Terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum. Tangannya sedikit bergetar, gadis itu sangat gugup sekali. “Jangan gugup. Kamu harus yakin dan percaya diri. Hari ini kamu mejadi ratu, semua mata akan tertuju padamu,” kata MUA tersebut mengingatkan. Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum sebagai respon pada sang juru rias. Tak lama kemudian seorang perempuan dengan mengenakan kebaya tosca masuk ke dalam ruangan tersebut. “Ayok! Mempelai wanita sudah di panggil ke meja akad,” ucap perempuan itu. Mendadak tangan sang gadis terasa dingin. ‘Aku akan menikah? Hari ini?’ batinnya. Dia masih tidak percaya bahwa hari ini dia akan menikah dengan laki-laki yang awalnya tidak dia cintai. Tapi karena niat tulusnya, akhirnya dia luluh pada laki-laki itu. Lagi pula ini juga salahnya, yang dulu menjadikan laki-laki itu sebagai pelampiasan. P