“Darell,” panggil Elaine.
“Ya?” respon Darell.
“Lo pernah tidur sama cewek?” tanya Elaine sedikit canggung.
Pupil Darell membulat. Dia merasa aneh pada gadis yang sedang berdiri di depannya ini. Kenapa gadis yang mungkin baru kenal dunia malam bertanya hal se-private itu pada laki-laki yang jelas-jelas tak dikenalnya.
“Maksud lo?” tanya Darell mencoba mengkonfirmasi apa yang baru saja dia dengar.
“Making Love sama cewek pernah?” tanya Elaine lagi. Kini gadis itu memperjelas maksudnya. Sontak membuat Darell terkejut, namun disaat yang bersamaan dia juga tertarik dengan gadis yang baru saja dia temui ini.
“Pernah. Kenapa?” Darell kembali bertanya.
Napas Elaine memburu, Darell bisa melihat dadanya kembang kempis secara cepat.
“Lo mau ngga, buat tidur sama gue?” ucap gadis itu polos. Dia menatap Darell bukan dengan tatapan yang ‘pengin’ tapi lebih menunjukan tatapan putus asa dan pasrah. Dan Darell bisa melihat hal itu pada sorot matanya.
“Hah? Maksud lo?”
“Kenapa nanya maksud-maksud terus? Gue tanya lo mau nggak tidur sama gue?” Gadis itu mengulang kembali pertanyaannya dengan penuh penekanan. Dia menegaskan bahwa pertanyaannya ini bukan main-main, alias serius.
Darell mengernyitkan dahinya, dia tidak habis pikir dengan gadis yang baru saja ditemuinya beberapa jam yang lalu.
“Kenapa harus gue?” tanya Darell penuh selidik. Dia tidak langsung mengiyakan ajakan Elaine.
“Karena gue nggak kenal lo,” jawabnya lirih.
Darell mencoba menyidik maksud di balik ajakan gadis yang mungkin umurnya baru genap tujuh belas tahun. Ekspresi wajahnya bukan menegaskan bahwa dia ingin melakukan itu. Hal ini membuat Darell tertarik pada gadis tersebut.
“Mau nggak?” tanya Elaine lagi. Kini nadannya sedikit memaksa.
“Tapi lo nggak akan minta gue buat tanggung jawab kan?” sidik Darell.
Gadis itu menggeleng. “Nggak, tenang aja. Just for tonight, Rell,” katanya dengan yakin.
Darell menelan ludah. Bagi dirinya yang seorang laki-laki normal, ini adalah kesempatan emas yang tidak datang dua kali. Walaupun sebenarnya, Darell sering sekali mendapatkan tawaran seperti ini. Namun gadis ini berbeda, entah kenapa gadis ini membuat pertahanan Darell goyah.
“Jadi mau nggak?” Lagi-lagi Elaine bertanya namun dengan nada yang memaksa.
“Huh!” Darell menghela napas, tak ada pilihan lagi. “Ayok, kita cari hotel sekarang!” ucapnya. Kemudian dia menarik tangan Elaine.
***
Elaine kini sudah berada di sebuah kamar hotel yang berada di pusat kota. Dia memindai seisi ruangan yang dilapisi dengan cat putih yang dominan. Di sana terdapat televisi, sofa, lemari, rak, dan buffet. Tak lupa kamar mandinya juga ada. Sepertinya hotel ini lumayan mahal.
Elaine mengigit bibirnya, saat ini dia merasa menyesal telah meminta hal konyol pada laki-laki yang tidak ia kenal. Sampai saat ini dia hanya tahu identitas laki-laki itu sebatas nama dan statusnya, yang seorang mahasiswa tingkat tiga. Hanya itu informasi yang dia ketahui tentang laki-laki yang saat ini sedang berada di toilet.
Tapi jika dia mengingat bagimana mantannya mengkhianatinya. Dia ingin merasakan apa yang dilakukan dan dirasakan oleh mantannya. Masih jelas terekam dalam memorinya, malam itu dia melihat sang mantan bersama dengan seorang perempuan. Hal yang membuat Elaine sangat terkejut dan merasa dikhianati, yaitu ketika mengetahui bahwa perempuan tersebut adalah kakaknya sendiri.
Elaine meremas sprei. Kesal, marah, dan kecewa. Perasaan itu yang sampai detik ini mendominasi dirinya.
“Lo yakin, Elaine?” tanya Darell mencoba meyakinkan kembali gadis itu. Selain itu dia memberikan kesempatan kepadanya untuk mundur.
Tanpa disangka gadis itu malah mengangguk. “Panggil Ilen aja. Biar lebih gampang,” ucapnya enteng.
Darell menyeringai, kemudian dia langusng mendekati Elaine.
“Lo nggak akan nyesel kan?” tanya Darell. Kini tangannya mengelus pipi Elaine. Tiba-tiba Elaine tersentak, karena sentuhan dari Darell.
Lagi-lagi Elaine menggeleng. Napasnya kini memburu, sampai Darell bisa merasakan hembusan napas gadis itu.
“Yakin?” kini jemari Darell menyentuh bibir mungil Elaine. Mengusapnya dengan lembut oleh ibu jarinya.
“I-iya,” ucap Elaine gugup. Dada Elaine naik turun, dan Darell memindai tubuh Elaine dari bawah ... kemudian ke atas.
Darell mengecup kening Elaine, kemudian turun ke pipinya, dan sampai pada bibir gadis itu. Darell mengecup bibir Elaine dengan lembut beberapa kali. Dia melakukan hal ini sampai Elaine terbiasa dengan sentuhan itu.
“Tenang aja ya, gue bakal lakuin ini pelan-pelan kok,” ucap Darell. Kemudian dia kembali menyerang bibir Elaine.
Bibir mereka saling bertautan. Elaine bisa merasakan darahnya mulai berdesir, jantungnya berdegup dengan kencang. Apa mungkin nafsu sudah mulai menguasai dirinya?
Elaine bisa merasakan lidah Darell mencoba untuk menerobos masuk ke dalam mulutnya. Gadis itu mempersilakan lidah Darell menjejal setiap jengkal mulutnya. Bahkan Elaine membalas serangan tersebut. Dan dia bisa melihat Darell menyeringai, ketika ia membalas serangan dari Darell.
“Mpph … ah.” Elaine melepaskan ciuman mereka. Dia mencoba untuk menarik napas. Namun Darell hanya memberikan Elaine kesempatan untuk menghirup oksigen beberapa detik saja. Kemudian Darell kembali menciumnya dengan panas.
Darell mulai menjamah bagian tubuh Elaine. Gadis itu tidak menolak. Awalnya dia terkejut dengan sentuhan yang menggelikan itu, namun tiba-tiba dia mendesah ketika jari Darell menyentuh hampir setiap inci tubuhnya. Mungkin ini adalah sentuhan pertamanya dari seorang laki-laki, karena tubuh Elaine benar-benar sensitif.
Elaine tak menyadari kapan Darell membukakan pakaiannya. Kini dirinya pasrah dengan tanpa busana. Dia menatap Darell yang sedang berada di atasnya, laki-laki itu baru saja menidurkan Elaine. Napasnya berderu dengan cepat, kini hatinya terasa sakit sekali. Lagi-lagi gadis itu membayangkan apa yang dia lihat malam itu. Persis seperti ini!
Elaine membuang muka, mencoba tak menatap wajah tampan Darell. Dia mulai mengasihani dirinya sendiri. Elaine Venesia Rinjani, gadis tujuh belas tahun ini harus merelakan hal yang berharga dalam hidupnya pada laki-laki yang tak ia kenali. Mirisnya lagi dia melakukan hal ini karena sakit hati oleh mantannya, yang sebenarnya menyukai sang kakak.
Mata Elaine terasa panas. Sepertinya buliran air matanya sudah terkumpul dan ingin segera bergulir membasahi pipinya yang mulus. Namun gadis itu menahannya, sebisa mungkin dia tidak boleh menangis lagi.
“Ilen, lo siap kan?” tanya Darell. Sepertinya permainan ini akan menuju klimaks. Kini mereka sedang berada di bawah selimut yang sama.
Elaine menelan ludah dan menghela napas yang panjang. Dia mengangguk menjawab pertanyaan Darell tanpa menatapnya. Dadanya kini benar-benar berdegup kencang.
Kemudian dia bisa merasakan ada benda asing yang menerebos masuk ke dalam miliknya.
“Aaa...” Elaine meringis kesakitan. Elaine mulai tak sanggup menahan buliran air mata yang tadi sempat tertahan di matanya.
Elaine menangis. Dia mengasihani dirinya sendiri. Elaineku sayang, Elaineku malang.
***
Elaine meringis kesakitan, rasa sakit itu bersumber dari area bawah miliknya. Sang gadis terisak.
“Len, are you ok?” bisik Darell yang sedang tertidur di sebelahnya.
“Hmm.” Elaine hanya berdeham menjawab pertanyaan dari Darell.
“Serius? Gue ngerasa gak enak sama lo. Lo sakit kan?” tanya Darell lagi.
“It’s Ok. Ini nggak seberapa kok. Thanks Rell, lo udah mau tidur sama gue,” jawab Elaine dingin. Gadis itu masih enggan menatap Darell.
“You're welcome. Harusnya gue yang bilang makasih. Karena lo ngajaknya gue,” ucap Darell.
Elaine menyeringai ketika mendengar ucapan dari lawan mainnya tadi.
“Rell,” panggil Elaine.
“Ya?” respon Darell.
“Mulai besok saat kita berpisah. Gue harap kalau suatu hari nanti kita bertemu lagi, kita nggak saling kenal ya,” pinta Elaine. “Hubungan kita cuman sebatas malam ini. Setelah itu kita lupakan apa yang udah terjadi diantara kita,” imbuhnya.
Darell melirik ke arah Elaine yang sedari tadi hanya memandangi lemari, yang ada disamping kanannya. Wajah gadis itu terlihat sangat cantik. Namun jika ditilik lebih dalam, gadis itu benar-benar sedang merasa putus asa. Ah, sedari tadi Darell bermain dengan gadis itu, dia bisa merasakan bahwa gadis itu tidak lepas dalam permainan yang diinginkan olehnya. Darell berpikir, sepertinya Elaine sedang meratapi sesuatu.
“Ok.”
“Deal?”
“Deal.”
Darell benar-benar tidak habis pikir dengan Elaine. Gadis ini belum pernah melakukan hal yang baru saja mereka lakukan beberapa menit lalu, dengan siapapun. Darell adalah yang pertama. Kenapa dia bisa seyakin itu? Karena dia bisa merasakan pelindung milik Elaine yang berhasil dia terobos. Walau membutuhkan waktu yang lumayan lama.Terlebih tiba-tiba Elaine memintanya untuk tidak saling mengenal, jika suatu saat mereka bertemu kembali. Sepertinya ada sesuatu pada gadis ini, namun Darell tak ingin bertanya.“Gue balik ya,” ucap Darell tiba-tiba. Laki-laki itu tahu betul, bahwa sang gadis sedang ingin sendiri untuk kali ini.“Gue aja yang balik,” sanggah Elaine. Dia mencoba untuk beranjak namun sialnya rasa sakit itu masih tetap bisa dia rasakan. Elaine meringis.“Yakin?” tanya Darell. Laki-laki itu tahu betul, Elaine belum sanggup untuk beranjak dan berjalan. Jelas, ini adalah kali pertamanya pasti rasa sakit itu lu
Cuaca yang tadinya panas berubah menjadi mendung. Mungkin alam pun mendukung Elaine untuk kembali merapati nasib sialnya ini. Gadis itu meninggalkan sekolah tepat setelah mendengar omongan Tirta dan kawan-kawannya. Dia memesan taxi online dan segera pulang ke rumah. Tak peduli dengan acara perpisahan di sekolah yang belum selesai. Dia ingin menenangkan dirinya di rumah. Walau Elaine tahu betul itu bukan hal yang tepat, karena dia pasti akan bertemu dengan pemeran perempuan antagonis dari drama percintaannya ini.'Apa katanya? Elsa tahu aku ada hubungan dengan Tirta, dan dia diam saja?' batin Elaine kesal.“Emang kakak brengsek!” umpatnya pelan.Taxi online yang ditumpangi Elaine sudah sampai tepat di depan rumahnya. Rumah yang tak terlalu besar, namun cukup bagi empat orang untuk tinggal di sana.Gadis bergaun cream itu menarik gaunnya ke atas, kemudian dia melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Tidak di kunci, mungkin salah satu anggot
Kehidupan baru Elaine dimulai. Kini dia bertekad untuk berubah, dan akan lebih memperhatikan penampilannya. Bukan berarti dulu Elaine adalah anak yang cupu, culun, dan kuper. Hanya saja dulu gadis ini terlalu cuek dengan penampilan. Dia tidak pernah mengenakan bedak dengan benar, tak pernah memoles bibirnya dengan lip balm, dan selalu mengucir rambut panjangnya. Kali ini dia bertekad untuk berubah, gadis ini ingin menunjukkan eksistensi dirinya.“Good! Pokoknya lo harus bikin si Tirta nyesel gak pilih loh!” ucap Grace saat mereka baru saja berbelanja makeup juga baju untuk Elaine kenakan saat dia sudah kuliah.Saat ini Elaine, Shani, dan Grace sedang berada di kosan Elaine. Dua gadis ini sengaja mengunjungi sahabatnya, untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Persahabatan mereka kini menemukan jarak. Karena kini mereka berkuliah di tiga kampus yang berbeda.“Btw dia sekampus sama lo kan?” tanya Shani memastikan.Elaine m
Kosan Elaine lumayan jauh dari jalan raya. Dia harus melewati gang sempit yang hanya muat satu motor. Ya, sepertinya memang gang ini diperuntukan untuk mereka yang pejalan kaki.Gadis yang sedang mengenakan kemeja putih dengan corak bunga itu, melangkah dengan santai. Namun ketika dia hendak sampai ke kosannya, tiba-tiba dia dikejutkan oleh kehadiran seorang laki-laki.“Hai, Elaine. Apa kabar?” sapa laki-laki itu.Sontak Elaine menghentikkan langkahnya. Kemudian gadis itu melihat wajah laki-laki yang mencegatnya, ya sebut saja dia mencegat Elaine. Saking terkejutnya melihat wajah laki-laki itu, Elaine memundurkan langkahnya.“Tirta?” ucap Elaine kaget.“Wah, wah!” Tirta menepuk tangannya. “Jadi gini cara lo balas dendam sama gue?” tanya Tirta. Laki-laki itu melangkah dan sekarang posisinya berdiri di depan Elaine.“Hmm … tapi bagi gue lo nggak banyak berubah,” ucap Tirta semb
“Darell?” batin Elaine, kini jantungnya berpacu dengan cepat. Dia bisa meraskan wajahnya sedikit panas.Seketika Elaine sadar dan mengalihkan pandangannya ke depan. Tak ingin membuat kecurigaan di depan banyak orang. Dia haraus tenang dan tinggal berpura-pura tidak tahu dan tidak mengenali laki-laki tampan di sampingnya ini. Sesuai dengan kesepakatan yang dia minta pada malam itu.“Len, ngapain bengong mulu dah? Ini buku lo sampe jatuh,” ucap Veni sembari memberikan buku Elaine yang sudah dia ambil dari lantai.“Eh?” Elaine melihat ke arah Veni. “Iya, sorry. Thanks loh udah diambilin,” katannya berterima kasih. Elaine meraih buku yang diberikan oleh Veni. Sejurus kemudian dia langsung menyibukkan dirinya dengan membaca buku.Sesekali Elaine melirik Darell, takut saja laki-laki itu melakukan hal-hal yang mencurigakan. Tapi ternyata dia tidak bergeming sedikitpun. Hal itu membuat Elaine meras
“Gue pernah denger gosip. Banyak cewek yang rela buat jalan sama dia, terus ya gitu menggoda dia buat tidur sama dia. Tapi DITOLAK SEMUA!” ucap Nurri dengan penekanan.“UHUK … UHUK.” Elaine terbatuk, dia tersedak mie ayam yang sedang dia makan. Karena dia terkjeut dengan ucapan yang baru saja dia dengar, dari gadis yang duduk di sampingnya itu.Veni yang melihat Elaine tersedak langsung panik dan memberikan minum pada temannya itu. Sedangkan Timmi dan Nurri, mereka terkejut dan langsung terdiam tak melanjutkan lagi pembicaraannya.“Lo kenapa?” tanya Veni khawatir.Elaine masih meneguk air pemberian Veni. “Duh … keselek,” jawabnya. “UHUK.” Dia terbatuk lagi. Tenggorokannya kini terasa tidak enak sekali, seperti ada sesuatu yang mengganjal.“Kenapa sih bisa keselek, macem bocah aja,” keluh Veni.Elaine merasa sedang diperhatikan oleh dua orang yang sedang dud
“Kak, kakak ada kelas lagi habis ini?” tanya Veni ketika pembagian kelompok selesai.“Ada, kenapa?” balas Darell.“Oh, kalau gitu kita bahas untuk materinya nanti ya. Kita coba cari jadwal yang sama-sama kosong. Sekarang saya boleh minta nomor kakak?” tanya Veni dengan sopan. Dia masih tidak tahu sifat Darell seperti apa, jadi dia berbicara secara formal.“Mana handphone lo?” pinta Darell. Sejurus kemudian Veni memberikan ponselnya pada laki-laki tampan itu. Darell langsung memencet layar ponsel milik Veni dan menyimpan nomornya, kemudian memberikan pada Veni. “Nih, nanti calling aja. Btw, ngomongnya santai aja. Pake gue lo juga nggak papa. Sesantainya lo aja,” ucap Darell yang kemudian beranjak dari kursinya.“Oh, oke kalau gitu, Kak,” balas Veni senang. Ternyata anaknya slow juga, nggak kaku dan senioritas.“Yuk ah, gue pamit dulu,” ucapnya dan k
“Kenapa nggak lo aja yang nolongin dan nyamperin dia sih, Rell?” tanya Ghaida kepada laki-laki yang sedang bersamanya itu.Ternyata laki-laki yang meminta Ghaida untuk menyelamatkan Elaine adalah Darell. Ketika dia sedang duduk di selasar FEB, matanya menemukan Elaine yang ditarik paksa oleh seorang laki-laki. Dia bisa melihat bahwa gadis itu tidak suka. Namun apa daya, Elaine terlihat tak bisa melawan.“Gue? Kalau gue yang nyamperin, lo bisa nanggung kalau dia baper sama gue? Dia anak Manajemen 31, sekelas sama gue di matkul Pak Dzul. Kalau dia baper gimana? Lo tau kan, cewek nggak bisa dibaikin sedikit sama cowok. Apalagi cowok ganteng kayak gue,” jawab Darell. Padahal dia tidak Elaine menjadi curiga, bahwa sebenarnya Darell tak sanggup berpura-pura tak mengenal Elaine.Kenangan malam itu selalu muncul di benaknya. Darell sangat menikmatinya, tapi tidak dengan lawan mainnya. Itu merupakan pengalaman pertama, ketika sang wanita tak memba
Elaine paham betul dengan maksud dari ucapan Darell. Makanya dia langsung menoleh dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Hahaha. Kenapa, Sayang?” Darell terkekeh sampe bahunya bergetar. “Nggak papa,” jawab Elaine sekenanya. Merapatkan bibirnya dan masih enggan untuk menatap Darell. Jujur saja, Elaine merasa malu saat Darell berkata demikian. Dia mengingat kejadian bertahun-tahun silam, ketika dirinya pertama kali bertemu dengan Darell. Elaine memang gila saat itu. “Kamu nyesel nggak, Len?” tanya Darell. “Nyesel apa?” sahut Elaine sambil menoleh. Darell terlihat tersenyum senang, ternyata umpannya ditangkap dengan baik oleh Elaine. Dia sengaja bertanya seperti itu agar bisa melihat wajah istrinya yang sedang memerah karena malu. “Nyesel ngajak aku tidur dan kasih aku sesuatu yang berharga dihidup kamu. Padahal dulu kamu nggak kenal aku sama sekali,” kata Darell. Elaine memejamkan matanya dan langsung mengigit bibir bawahnya
Elaine tersentak, matanya tiba-tiba membulat maksimal, saat dia melihat sosok laki-laki yang sudah lama tak ia lihat. Kenapa dia bisa ada di sini? Mau apa dia ke sini? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Elaine.“Tenang, di sini gue bukan mau ngacauin acara spesial lo, kok,” ucap laki-laki itu, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Elaine. Dia adalah Tirta, yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama menghilang.Berbeda dengan Elaine yang terkejut. Darell hanya menatap sinis laki-laki itu. Sampai Tirta berani mengacau di hari bahagianya, dia tak akan segan membunuh laki-laki itu di sini, sekarang juga.“Gue ke sini cuman mau ngucapin selamat doang. Ya, walau gue sadar diri gue nggak lo undang, Len. Tapi nggak salah, kan, kalau gue datang ke sini dan kasih selamat sama lo,” ungkapnya.“Padahal lo nggak usah repot-repot ke sini,” sambar Elsa. Dia juga sama terkejutnya dengan Elaine. Khawatir laki-laki itu akan berla
“Kenapa, Len? Kok diem?” tanya Grace. “Jangan kaget tapi,” kata Elaine. Shani dan Grace langsung saling melempar pandang. “Dua minggu lagi,” ucapnya kemudian. “Hah?” Benar saja Grace dan Shani kompak memekik. “Wait, Len. Itu … maksudnya Darell baru ngelamar lo di acara perusahaannya minggu lalu, loh. Kok udah dua minggu lagi?” tanya Grace. “Iya, sorry memang dadakan. Tante Martha pengin cepet. Dia tahu gimana perjuangan gue sama Darell, dan dia nggak mau ada yang ganggu hubungan kita lagi. Makanya minta buat cepet.” Elaine menghela napas. “Bonyok gue juga kaget pas Tante Martha minta percepet. Awalnya Papa minta buat sekitar dua bulan lagi, karena kita belum ada persiapan apa pun. Tapi Tante Martha kekeuh pengin cepet. Sorry, ya,” ucap Elaine. “Parah. Kok ngeduluin Grace, sih? Padahal dia yang dilamar duluan, tapi lo yang nikah duluan,” kata Shani terkekeh. Grace hanya mendelik kesal. Sungguh Elaine adalah perempuan yan
Mata Elaine membulat, saat Darell memanggil namanya dan melontarkan pertanyaan yang membuatnya mematung seketika. Mimpi apa Elaine semalam? Kenapa Darell melamarnya secara tiba-tiba dan di tempat umum seperti ini? Sungguh, tidak ada tanda-tanda bahwa Darell akan melamarnya. Elaine tersentak saat merasakan ada tangan yang merangkulnya. Dia langsung menoleh dan mendapati Martha yang sedang menyadarkan Elaine dari keterkejutannya. Jantung Elaine kini berdetak dengan cepat, semburat merah pun muncul di pipinya. Apalagi saat dia melihat ke arah sekeliling dan mendapati beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Bagaimana ini? Apa yang harus Elaine katakan? Sungguh, ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Elaine. Walau sebelumnya, memang Darell pernah melamarnya. “Elaine, jangan membuat Darell menunggu,” bisik Martha, saat seorang crew datang sembari membawa microphone untuk Elaine. “Ta-tapi, Tante aku—” “Jawab saja,” selanya sambil
“Ngapain ke sini?” tanya Elaine, saat dirinya dan Darell sampai di sebuah butik mewah.“Beli soto. Ya, beli baju, lah. Kenapa masih nanya, sih?” timpal Darell yang langsung menggenggam tangan Elaine dan menariknya ke dalam.Tak bertanya lagi, Elaine hanya mengikuti Darell. Walau dia masih penasaran, kenapa juga Darell membawanya ke butik mewah? Tak banyak pergerakan yang dilakukan Elaine sampai akhirnya Darell langsung menegurnya.“Kenapa diem aja? Pilih bajunya, dong,” kata Darell.Elaine menoleh dengan mata membulat. “Buat apa? Aku harus tahu dulu alasan kamu bawa aku ke sini. Baru aku bisa pilih baju,” balas Elaine.Ya … bagaimana Elaine akan memilih baju, jika dia saja tidak tahu harus menghadiri acara apa? Pasalnya butik tersebut menjual baju formal untuk perempuan; gaun, blazzer dan lain-lain, tentu saja dengan desain dan harga yang wah. Mungkin butuh beberapa bulan bagi Elaine untuk seke
“A-anu, apa kamu sedang sibuk?”Darell mematung beberapa detik, ketika melihat Elaine ada di hadapannya. Kemudian dia menggeleng dengan cepat. “Oh, nggak. Kenapa?” tanya Darell.“Boleh kita bicara sebentar?” tanya Elaine dengan sedikit canggung.“Boleh, kok. Masuk aja,” ajak Darell. Dia mempersilakan Elaine untuk memasuki kamarnya. Di sana mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah sofa kecil. Darell melihat gadis itu sedang meremas jarinya, sepertinya dia sedang merasa gugup.“Ada apa?” tanya Darell dengan nada yang sangat lembut. Mencoba memberikan kenyamanan pada Elaine. Walau sebenarnya jantungnya ini sedari tadi berdegup dengan kencang.Jujur saja, Darell ingin memeluk gadis itu sekarang juga, mencurahkan segala kerinduan dan rasa kekhawatirnya selama ini. Namun, melihat kondisi Elaine yang seperti itu, dia mengurungkan niatnya.“Mmm … anu itu ….” Ada
Semua terasa cepat, sampai-sampai Darell masih belum begitu paham dengan situasi yang sedang berkecamuk di ruang keluarga kediaman Bumantara.‘Kenapa Elaine ada di sini? Kenapa Mama terlihat sangat marah? Dan kenapa ada Varell di sini? Apa semua ini rencanyanya?’ Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Darell.Mata Darell melihat ke arah amplop cokelat yang baru saja ditaruh oleh Varell tepat di depan Tio Admar. Merasa penasaran dengan isi amplop itu. Apalagi saat dia melihat ekspresi Tio yang terkejut saat membuka amplop tersebut. Tak hanya Tio, tapi Chelsea dan Clarisa pun merasa terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bahkan Chelsea menangis saat melihat isi dari amplop tersebut.Merasa penasaran, Darell langsung menghampiri Tio dan menyambar beberapa lembar kertas yang sedang dipegang oleh laki-laki itu. Tak ada perlawanan dari Tio, mungkin karena saking terkejutnya dia.Darell langsung membaca, membuka lembar demi lembar dokumen yang s
Bagai disambar petir, Pandu benar-benar terkejut dengan kedatangan sosok Elaine di rumahnya. Sontak laki-laki itu berdiri dari sofa yang sedang didudukinya. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit menganga, saking terkejutnya. ‘Kenapa gadis itu ada di sini?’ batin Pandu. Melihat Elaine muncul dengan tiba-tiba di kediaman Bumantara, membuat Darell langsung berlari ke arahnya. Ia langsung mengecek kondisi Elaine. “Kamu baik-baik saja?” tanya Darell dengan nada khawatir. Belum juga Elaine menjawab pertanyaan Darell, Martha sudah langsung memberang. “Maksudmu gadis ini, kan?” tanyanya. Keluarga Admar hanya diam saja, mereka menoton pertengkaran antara Martha dan Pandu. Namun, bukan berarti mereka senang dan menikmatinya. Melainkan Tio dan Chelsea terlihat sangat gusar. “Ke-kenapa dia ada di sini?” tanya Pandu dengan terbata-bata. “Seenaknya kamu mengancam anakmu sendiri dengan melibatkan orang lain, yang tidak bersalah sama sekali!
Tidak. Tidak bisa! Elaine tidak ingin sampai Darell menuruti permintaan ayahnya dan menikah dengan Chelsea. Bagaimanapun rasa sayang dan cintanya pada Darell sangat besar. Apalagi saat mengetahui perjuangan Darell untuk mempertahankannya.“Gue nggak bisa diem aja,” gumam Elaine. Dia mencoba memikirkan cara bagaimana dia bisa keluar dari sini, menemui Pandu dan menenatng usahanya.Elaine tidak bisa membiarkan Darell berjuang sendirian. Dia rasa, dirinya juga harus berusaha mempertahankan hubungan mereka berdua. Tapi bagaimana? Elaine medesah saat otaknya terasa tumpul, tak bisa memikirkan apa pun.***Keesokan harinya.Darell terlihat sangat kacau sekali. Kemarin, dia seharian mencari keberadaan Elaine tapi ia tak kunjung menemukannya. Perasaan khawatir semakin mencuat dari dalam diri Darell, ketika dia mengingat bahwa hari ini adalah tenggat waktu untuknya.Tok. Tok. Tok.Darell langsung menoleh